Kamila terbangun oleh dingin yang menusuk kulitnya. Rupanya dia lupa memakai selimut semalaman. Wanita itu tertidur saat tengah melamun tentang Garganif. Dia melihat jam di ponselnya. Hari hampir subuh, dia akhirnya bangun dan keluar menuju kamar anaknya.Rinai tampak tertidur pulas. Wajahnya damai saat terlelap, mencerminkan muka polos tanpa dosa. Kamilia menghampiri lalu mendekapnya. Rinai terganggu tidurnya, dia membuka matanya dan tersenyum."Mami,' kata gadis tersebut.Kamilia membalasnya dengan tersenyum kembali mendekap wajah polos tersebut. Rinai terlelap kembali dalam pelukan hangat Kamilia. Bibirnya tersenyum damai, Kamilia terharu melihatnya. "Aku tidak akan membiarkanmu disakiti orang." Kamilia mempererat pelukannya. Air matanya mengembun saat teringat kata-kata Garganif. Tega sekali dia ingin menyakiti hati anaknya sendiri. "Mami … teruskan membacanya!" Tiba-tiba Rinai terbangun lagi, Kamilia yang sudah hilang rasa kantuknya melonggarkan pelukannya."Ini hampir pagi, Sa
Garganif heran dengan keadaan rumah yang sepi. Hatinya bertanya-tanya pergi ke mana Kamilia dan Rinai. Melihat roti bakar hangat di meja, laki-laki itu menyantapnya dengan lahap. Rasa laparnya sejak semalam terpuaskan dengan seduhan teh yang dibuat sebagai pelengkapnya. Sambil sarapan Garganif membuka kembali ponselnya. Sejenak dia teringat dengan Paulina. "Sedang apa dia? Sendirian … pasti dia kesepian," pikir Garganif. Lelaki itu mencoba untuk menghubungi Paulina. Kemarahannya sudah hilang kini, hati kecilnya menyesal sudah bertengkar dengan wanita itu. Dengan talak yang diucapkannya mereka telah bercerai.Kening lelaki itu bertaut saat teleponnya tidak tersambung. Biasanya Paulina tidak pernah mematikan HP-nya. Entah mengapa Garganif menjadi khawatir terhadapnya. "Tidak biasanya. Ada apa dengan Paulina?" batinnya. Garganif cepat bersiap, dia akan ke rumah Paulina. Dia memakai baju dengan warna kesukaan Paulina. Begitu juga parfumnya, dia pilih wangi kesukaan Paulina. Garganif ing
Rinai melompat memburu wanita tersebut. Wanita itu sangat terkejut melihat Rinai ada di situ. Dia memandang laki-laki yang bersamanya. Pandangannya meminta penjelasan."Dia cucuku!" kata laki-laki itu."Tante Paulina!" seru Rinai.Tentu saja Paulina sangat terkejut melihat gadis berambut kriwil itu ada di situ. Kamilia yang akhirnya muncul di pintu, semakin membuat wajah Paulina pucat pasi."Maksudmu apa, Freza?" tanya Paulina. Dia marah kepada Freza."Inilah keluargaku," jawab Freza."Kamu … kamu …." Perkataan Paulina terpotong karena Rinai datang.'Ayo, Tante … masuk!" suruh Rinai sambil menuntun Paulina. Wanita itu terpaksa mengikuti Rinai. Pandangannya tak lepas dari Freza. Saat sampai di pintu masuk, Paulina menunduk sesaat setelah bertatapan dengan Kamilia. Sampai detik ini dia tidak mengerti mengapa wanita itu bisa ada di rumah Freza."Jangan-jangan ini konspirasi mereka berdua?" tanya hatinya.Rinai terus menarik tangan Paulina, membawanya masuk serta duduk berdua di sofa rua
Freza memandang Paulina dan Garganif bergantian. Terlihat Paulina dengan wajah pucatnya serta Garganif yang berdiri mematung. Sejenak terjadi ketegangan di antara mereka. "Ooh … ya sudah kalau kalian tidak saling kenal," kata Freza mengurai kebisuan."Baiklah, aku ke dalam dulu." Garganif berpamitan.Paulina menghela napas panjang saat Garganif berlalu. Freza memperhatikan Paulina yang nampak gugup. Paulina dengan cepat menyembunyikan kegugupannya itu dengan cara tersenyum.Paulina semakin yakin, kalau di antara mereka sudah ada persekongkolan untuk membalas dendam kepadanya. Paulina merasa takut dan terancam berada di rumah Freza."Aku harus secepatnya pergi dari sini, sebelum terlambat!" pikirnya. Paulina kembali memandang Freza."Aku … aku harus pulang." Paulina berpamitan kepada Freza."Tunggu nanti aku antar," kata Freza."Aku bisa pulang sendiri," ujar Paulina. "Mobil yang kau bawa tadi bannya kempes kata supirnya. Untung tadi ikut bersamaku." Freza yang baru saja mendapat tel
Kamilia pulang karena hari sudah sore. Seluruh penghuni rumah ini pergi kecuali Inah. Entah ke mana Bagas dari pagi tidak kelihatan. Pasti dia akan terkejut saat bapaknya pulang membawa Paulina yang pernah dikencaninya.Bagas rupanya tertarik kepada Erika. Kerjasama saat mengerjai Paulina membuahkan kedekatan di antara mereka. Bagas dan Erika saling mencintai. "Mami … gak nunggu kakek dulu?" tanya Rinai saat pulang. "Tidak usah," jawab Kamilia.Rinai diam sepanjang perjalanan. Dia maklum kalau ibu dan bapaknya sedang tidak baik-baik saja. Tadi sempat dia dengar, bapaknya bersuara keras. Namun, naluri kecilnya tidak bisa menduga ada apa dengan mereka. Mereka adalah orang-orang yang sangat dicintainya. Rinai tahunya ibu bapaknya tidak pernah ribut. Tadi dirinya sempat heran mengapa bapaknya bersikap kasar kepada Kamilia. Dia hanya memandang Inah yang segera membawanya ke taman.Sesungguhnya Rinai ingin bertanya tapi melihat roman ibunya yang murung dia mengurungkan niatnya. Takut ibu
Setiap perbuatan pasti ada akibatnya, begitulah karma dari setiap manusia. Erika tidak menyadari kalau perbuatannya dulu juga sangat menyakiti perasaan Paulina. Begitu juga Bagas, tanpa sadar ulahnya membuat Paulina terluka.Paulina diantar Freza sampai rumah, laki-laki itu menolak saat Paulina menawarinya singgah. Dia masih ada urusan yang harus diselesaikan."Aku akan segera menikahimu!" Kata-kata Freza terus terngiang di telinga Paulina. Dia memandang kepergian Freza sampai mobil laki-laki itu hilang di kelokan jalan. Wanita itu tersenyum sendiri membayangkan dirinya menjadi istri Freza. Kebahagiaan perlahan-lahan merayapi hatinya.Langit begitu bersih, seperti hati Paulina saat ini. Tidak ada perasaan lain selain kebahagiaan. Cinta Freza berhasil mengikis habis semua rasa sedihnya karena perceraian. Walau dirinya yang minta, tapi sikap Garganif sangat menyakitkan.Paulina memandang langit, di sana rembulan tengah bersinar dengan sempurna. Menyempurnakan kebahagiaan Paulina tentang
Pagi-pagi Kamilia dan Rinai berangkat menuju rumah Freza. Dalam keadaan seperti ini hanya orang tua tempat berbagi. Kamilia sudah bulat tekadnya untuk menceritakan segala hal tentang Rinai.Wanita itu juga akan bercerita kepada Rinai tentang siapa ibu kandungnya. Walau Rinai belum mengerti, Kamilia yakin bocah cilik itu akan mampu untuk mengerti."Ada apa, pagi-pagi sudah berkunjung? Kamu bertengkar lagi dengan Garganif?" tanya Freza menyambut kedatangan Kamilia."Tidak, Papah," jawab Kamilia.Kamilia menitipkan Rinai kepada Inah. Dia ingin bicara empat mata dengan bapaknya. Banyak yang harus dia ungkapkan, tentang kekecewaannya terhadap Garganif."Bagaimana pendapatmu tentang perceraian, Papah?" tanya Kamilia."Siapa yang mau bercerai?""Tidak ada," kilah Kamilia."Lalu?"Freza memandang muka Kamilia yang terlihat seperti melamun. Laki-laki itu yakin ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Bukankah Garganif sudah bercerai dengan Paulina?" tanya Freza."Ya tapi tingkahnya semakin me
Kamilia begitu khawatir akan keselamatan Garganif. Dirinya tahu tentang Freza yang begitu kejam terhadap pengkhianat. Itulah sebabnya dia rela memohon agar Freza tidak bertindak gegabah."Sudah … aku mau bawa Rinai makan," jawab Freza."Dengan siapa?""Paulina," jawab Freza singkat."Jangan ….""Sudah, siapkan saja dia!" potong Freza.Akhirnya Kamilia membiarkan Freza membawa Rinai untuk makan siang bersama Paulina. Wanita itu sudah siap saat Freza menjemputnya. Dia terlihat segar dan cantik."Ayo!" ajak Freza."Eh … ada Rinai!" Paulina kaget sekaligus gembira. Wanita itu menoleh cepat ke arah Freza.Freza memperhatikan raut muka Paulina. Dia senang sekali saat duduk berdampingan di mobil. Tentu kasih sayang seorang ibu kandung tidak akan lekang tergerus waktu. Walau nampak wajar, Freza tahu dalam batin Paulina menangis. Tentu saja sebagai ibu kandung, wanita itu ingin disebut ibu."Rinai senang pergi sama Tante Paulina?" tanya Freza."Senang sekali, Kakek," jawab Rinai riang."Mulai
"Selamat, Bu Kamilia, aduh jagoannya ganteng sekali!" Teman Kamilia setengah berteriak melihat keelokan buah hatinya."Ya, Allah, ini sih ketampanan yang hakiki!" Amira histeris, dasar cerewet.Harus diakui anaknya memang terlahir sangat rupawan, alhamdulillah. Bukan karena pujian ibunya, tapi setiap orang yang datang menengok semua rata-rata terpesona melihatnya. Mungkin karena ibu bapaknya juga memiliki wajah yang cantik dan tampan, namanya juga seorang model.Namun, di balik puja puji tersebut terdapat cerita yang mengiris hati. Kejadian yang hampir merenggut nyawa Kamilia, karunia Allah yang tak terhingga, wanita itu masih bisa bernafas hari ini.Si tampan ini adalah anak Kamilia yang pertama, usia menjelang empat puluh. Kehamilannya memang agak bermasalah, ketika USG, terlihat ari-ari bayi dibawah menghalangi jalan lahir. Namun, Kamilia bersikukuh untuk lahiran normal.Saat lahiran pun tiba, siang Kamilia sudah pergi ke rumah sakit ditemani suaminya, Saiful. Ternyata pembukaan tid
Suasana hening menunggu aksi Saiful selanjutnya. Menerka-nerka apa sebenarnya yang akan terjadi.Lelaki itu berlutut di depan Kamilia. Tangannya mengeluarkan kotak segi empat kecil berwarna merah. Kamilia terpaku melihat tingkah laki-laki itu. Semua yang hadir juga tidak ada yang bersuara. Suasana hening dan syahdu. Seiring musik mengalunkan nada cinta. "Maukah kau menikah denganku?" Bergetar suara Saiful saat menyatakan keinginannya.Suara tepuk tangan gemuruh disertai suitan. Mereka berharap agar Kamilia juga menerima lamaran Saiful. Berkaca-kaca mata Kamilia, tanpa diduga laki-laki yang dicintainya melamarnya kini."Terima … terima!"Hadirin ramai berteriak. Mereka menyemangati Kamilia agar segera menerima cincin itu. Kamilia memandang ayah dan ibunya. Mereka mengangguk tanda setuju.Perlahan-lahan Kamilia menyodorkan tangannya. Saiful menyambutnya, lalu lelaki itu berdiri. Dia mengambil cincin dari kotaknya dan menyematkannya di jari manis Kamilia.Gemuruh tepuk tangan kembali mem
Sore yang cerah membawa Kamilia serta Amira dan Rinai sampai ke sebuah pelataran rumah sederhana. Kamilia dan Amira pergi menemui orang tua Amira. Untuk pertama kalinya Amira pulang setelah pergi selama bertahun-tahun.Tadinya Amira tidak mau tapi Amira memaksanya untuk meminta restu dari orang tuanya. Mereka pergi bertiga dengan Rinai ke rumah Amira."Ini rumahmu?" tanya Kamilia.Gadis itu hanya mengangguk. Dia menatap lekat rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Ribuan kenangan berlompatan dalam benaknya. "Aku tidak mau!" seru Amira."Anak durhaka, ikuti dia! Dia akan memberimu pekerjaan." bentak bapak Amira –Zulfikar."Aku masih ingin sekolah, Pak," ratap Amira."Pergilah! Ikuti dia." Suara Zulfikar semakin lemah. Hatinya juga hancur harus merelakan anaknya menjadi pelacur."Mak!" Amira mencoba memohon pertolongan kepada ibunya.Ibunya hanya menggeleng sambil menangis. Matanya sudah bengkak karena menahan tangis sejak tadi. Kini, air matanya tumpah tidak dapat dibendung lagi. Pupu
Kamilia mengusap air matanya. Bersaing dengan hujan yang semakin deras. Lamunan Kamilia semakin dalam. Tok tok tok.Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Rupanya Saiful sudah berada di ambang pintu."Pulang," ajak Saiful."Masih hujan," ujar Kamilia. "Kayak jalan kaki saja, ayo!"Dengan malas Kamilia beranjak dan mengikuti pria itu. Wanita itu tidak ingin membantahnya. Hujan masih mengguyur Jakarta saat mereka menyusuri jalan yang basah. Tampak sepasang laki-laki dan perempuan berjalan dalam hujan. Tangan wanita itu merangkul erat pinggang laki-laki itu. Kamilia membayangkan itu adalah Garganif. Sukar diterima akal, jika dirinya kini telah berpisah. Entah mengapa sakit sekali hati Kamilia membayangkan Garganif dengan wanita lain."Kenapa?" tanya Saiful demi dilihatnya Kamilia hanya duduk mematung. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kamilia. Dia melihat sepasang manusia berjalan sambil berangkulan. "Teringat siapa?""Tidak ada, kenapa?" "Enggak, lain dari biasanya.
Kamilia merasa curiga melihat Amira dan Bintang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Ngapain mereka?" pikir Kamilia. Dia melirik ke arah Saiful. Sama juga, lelaki itu tampak tersenyum misterius.Rinai yang sudah selesai berbelanja mengajak Kamilia untuk segera pulang. Namun, Saiful memberi kode bahwa dirinya masih ada tempat yang dituju."Oom masih ada urusan lain. Jangan dulu pulang, ya!" bujuk Saiful."Mungkin dia ada urusan mendadak," pikir Kamilia.Berlima mereka menaiki mobil mewah keluaran terbaru. Bintang dan Amira duduk bersebelahan di belakang. Rinai dipangku oleh Kamilia. Terlihat sebagai keluarga yang sangat bahagia. Kamila tersenyum bahagia, begitu pula Saiful. Lelaki itu selalu menyunggingkan senyum."Apa ih, senyam-senyum?" tanya Kamilia."Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu tutup mata deh," jawab Saiful."Kenapa? Kalian pada kenapa, sih? Kok mencurigakan?" Kamilia bertanya."Tidak ada apa-apa?" Saiful tersenyum penuh misteri."Apa, sih?" Kamilia menggerutu. "Sok mister
Hari ini Kamilia berniat untuk pergi ditemani oleh Saiful dan Rinai. Bintang dan Amira juga merengek ingin ikut. Dasar, ada-ada saja mereka ini. "Ayolah, Kak, cuma ikut saja nggak minta digendong, kok," kata Amira dengan wajah merajuk. Mau tak mau membuat Saiful dan Kamilia tersenyum dan mengangguk ke arah mereka berdua. Kubiarkan mereka asik menikmati permainan di mall itu, saat Kamilia sendiri memilih masuk pada sebuah salon kecantikan terkenal di tempat itu. Sekarang saatnya dia memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Saiful dan yang lainnya juga seperti tak keberatan meluangkan waktu hanya untuk menunggui Kamilia yang membutuhkan waktu hingga dua jam lebih itu.Setelahnya, mereka berjalan beriringan. Menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya, lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak. Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model ya
"Apa sebaiknya kita percepat saja pernikahan kita?" tanya Saiful.Kamilia yang tengah minum orange jus kesukaannya, langsung menyemburkannya dan hampir saja mengenai muka Saiful. Tentu saja lelaki itu kaget dibuatnya."Kamu itu bercandanya nggak lucu tau," kata Kamilia ketus. Wanita itu menatap ke arah Saiful yang langsung terbahak sambil mengangsurkan tisu padanya."Maaf, kamu sampai kaget begitu. Tapi aku tidak bercanda Kamilia, aku serius dengan ucapanku barusan.""Kamu pikir mentang-mentang aku janda, makanya kamu bisa seperti itu memintaku untuk menikah segera?" "Bukan begitu maksudku, hanya saja aku sudah tak tahan dan ingin segera memilikimu. Lagi pula aku takut tergoda dengan yang lain, atau kamu akan kembali kepada Garganif lagi," ungkap Saiful jujur.Kamilia memutar bola matanya malas, merasa ucapan Saiful sungguh tidak penting."Jika aku mau kembali kepada lelaki itu, aku tidak akan duduk di sini bersamamu dan mengatakan padamu tentang kedatangan papanya Rinai.""Oh ya, beg
Kamilia menghentikan mobilnya tepat di depan mereka, Amira dan Bintang. Tawa Kamilia terhenti saat melihat mata Amira bengkak."Apa yang terjadi?Jangan bilang kamu yang membuat Amira menangis!" tuduh Kamilia kepada Bintang."Bukan bukan aku," elak Bintang. Pemuda itu melihat ke arah Amira mengharapkan dukungan."Bukan, Kak. Aku hanya teringat Andra." Amira menjawab sambil masuk ke mobil. "Kamu gak ikut?" tawar Amira."Aku bawa motor." Bintang melambaikan tangannya kepada mereka."Kamu pacaran sama Bintang?" tanya Kamilia."Hehehe." Amira hanya tertawa malu. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Ya, sudah, gak apa-apa. Kakak juga mau nikah," ucap Kamilia mengagetkan Amira."Sama siapa?" Amira menoleh dengan cepat, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Saiful." Seketika ingatan Amira melayang kepada sosok laki-laki tampan yang bermata teduh. Seorang laki-laki yang sempurna. Amira juga ingin mempunyai suami seperti dia. Sudah ganteng, sholeh, punya perusaha
Laila terkejut mendengar perkataan Amira. Bisa saja Andra meminta Bintang untuk mencintai Amira."Bisa jadi," kata Laila sambil berbisik. Mereka menjaga agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain."Ssst … jenazah sudah keluar. Ayo!" Amira menggamit lengan Laila. Mereka berjalan beriringan dengan pelayat lainnya. Bintang tampak menggandeng sang ibu. Bintang mengedipkan matanya sebagai isyarat dirinya tidak bisa dekat-dekat dengannya. Amira mengangguk, gadis itu mengerti.Amira menangis saat pemakaman, begitu pula Laila dan Adelia. Mereka bertiga lama terpekur setelah orang lain pulang. Mengenang saat-saat kebersamaan dulu dengan kenangannya masing-masing."Kita pulang, yu," ajak Laila.Amira dan Adelia mengangkat wajahnya. Mereka berdiri lalu beranjak dari gundukan tanah merah itu. Berjalan menyusuri deretan batu nisan.Amira menoleh ke arah makam Andra. Gadis itu seperti melihat Andra berdiri menatapnya. Amira berhenti memperhatikan, dia akan kembali lagi. Namun, Laila menggamit le