Kamilia tersenyum getir, kenangan demi kenangan menyelinap satu persatu ke dalam benaknya. Memasung rindu yang enggan beranjak.
Setelah cukup beristirahat, Kamilia keluar kamar menjelang sore. Ternyata penghuni rumah ini bukan cuma Tante Melly beserta dirinya. Ada banyak wanita muda di sini. Kamilia hanya memandang tanpa berani bertanya.
"Eh, sini!" Seorang wanita muda melambaikan tangannya ke arah dirinya.
"Aku?" tanya Kamilia sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Ya."
Kamilia berjalan pelan menuju ke arah wanita itu. Beberapa kali melewati wanita-wanita lain yang sedang berdandan. Mereka bersiap-siap berangkat bekerja. Pandangan mereka seolah-olah berkata,"Berlarilah secepat kau bisa!"
"Kamu gak dandan, Mila? Kenalin aku Calista." Wanita cantik itu memperkenalkan diri. Entah dari mana pula dia tahu nama Kamilia.
"Aku dandan untuk apa?" tanya Kamilia heran.
"Loh?" Calista menautkan kedua alisnya tanda heran.
"Ayo cepat dandannya anak-anak! Jangan biarkan tamu menunggu terlalu lama!" Seruan Tante Melly menghentikan pembicaraan antara Kamilia dan Calista.
"Besok Kamilia mulai bekerja, ya!" perintah Tante Melly.
"Oh, semudah itukah aku diterima bekerja?" pikir Kamilia, hatinya senang bukan kepalang. Wajahnya berseri, benaknya dipenuhi eunoia. Berkilau laksana lazuardi.
Kamilia mengangguk tanpa mengerti apa pekerjaannya. Saat diberi tahu tentang pekerjaan itu, Kamilia terhenyak kaget. Hilang sudah kirana di hatinya, berganti elegi senja hari. Perkataan bapaknya menjadi kenyataan. Betapa benci dia kepada lelaki itu. Perkataannya menjadi sebuah doa yang terkabul.
Ingin berlari dari semua ini. Ingin menjerit, suaranya seperti terjebak di kerongkongan. Kamilia teringat ucapan Saiful, "Hasil akhir segala urusan di dunia sudah ditetapkan oleh Allah."
"Lalu, apakah ini ketetapan itu?" Kamilia tersenyum sinis dengan segala pikirannya.
Kamilia menertawakan nasibnya yang kembali sial. Kesakitan serta rasa malu yang dia simpan rapat-rapat kini seumpama gunung meletus. Menyembur keluar bersama lava kehormatan yang tercabik-cabik.
Menjadi kupu-kupu bukanlah tujuan pengembaraannya kali ini. Namun kata-kata bapaknya berhasil membawanya menyusuri lorong hitam ini. Seharusnya yang terucap dari mulut lelaki itu hanyalah doa-doa berisikan kebaikan.
"Biadab!" Kembali Kamilia memaki. Kata itu kini mulai akrab di mulutnya.
Rasanya ingin sekali Kamilia menampar mulut bapaknya. Namun, dia hanyalah wanita lemah. Air mata adalah tumpahan laranya. Meluap, meluahkan aliran mata air dendam.
Kamilia ingin menyalahkan takdir yang hanya bisa menawarkan racun untuknya. Kemarin Kamilia menyangka Tuhan sudah menolongnya tepat waktu. Namun, hatinya kini diliputi prasangka-prasangka buruk yang membuatnya semakin terpuruk.
***
Ibarat kerbau dicucuk hidung, menurut saja saat dituntun ke kubangan. Begitu juga dengan Kamilia. Seorang teman mengajarkan cara berdandan serta bagaimana caranya memuaskan para penikmat cinta satu malam. Ilmu jaran goyang harus dikuasainya dalam sekejap.
Tepat saat pergantian siang ke malam, Kamilia selesai berdandan. Gaun malam dari Tante Melly membungkus tubuhnya, melekat pas membentuk lekuk-lekuk. Walaupun baju itu merupakan utangan yang harus dibayar.
Kamilia belajar bagaimana caranya memakai high heels, sebelum bertemu para lelaki tengil. Belajar bagaimana caranya bibir tersenyum walau hati menangis. Dia harus terlihat manis sebelum dipaksa meringis.
Bayangan Kamilia tentang seorang penolong yang datang tiba-tiba, menyelamatkan dirinya dari kenistaan. Rupanya itu hanyalah adegan dalam sebuah episode di buku novel. Bukan untuk alur kisahnya.
Ketegangan terjadi saat Kamilia duduk, perempuan itu batuk-batuk saat asap rokok masuk tenggorokannya. Dimainkannya lintingan tembakau itu dengan jarinya, sambil memamerkan senyum. Ilmu yang baru saja dipelajari dari seniornya. Walau sesungguhnya dia benci perokok sebelumnya.
"Ada daun muda!"
"Masih segar sekali!"
"Tidak seperti kamu, Siska, dia masih ranum!"
Berbagai omongan membuat Kamilia jengah. Memerah karena malu, saat itu pula Kamilia menerima order pertama, kedua, ketiga dan seterusnya sebagai pelacur. Wanita ber kecantikan nirmala ini menunduk malu, saat mereka --para lelaki menanyakan nama.
"Namaku, Kamilia ... Kamilia Ibrahim, Tuan." Kamilia menjawab sambil menundukkan kepala. Matanya perih menahan tangis, tidak akan dia tumpahkan air mata di hadapan siapa pun.
Terlihat kerut tergambar di kening lelaki itu. Kamilia paham isi hati pelanggannya.
"Dia, Ayahku," ujar Kamilia lirih. Ya, mulai saat ini, dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Orang yang paling 'berjasa' sehingga dia bisa berada di sini. Orang pertama yang harus dia seret saat Tuhan mengadilinya kelak.
Kamilia akan mendudukan orang yang bergelar bapak itu, paling depan dalam urusannya nanti dengan Sang Pencipta. Dia akan menunjuk muka bapaknya sebagai yang punya andil terbesar dalam kenistaannya kini.
"Untung kau menjadi seorang pelacur. Bila kau menjadi seorang istri dari seorang suami, tentulah aku hanya bisa memandangmu," ujar pelanggannya sambil tertawa senang.
Kamilia ingin menonjok bibir itu, tetapi Kamilia masih bisa menahan diri. Hanya pandangan matanya menyiratkan perasaan niskala yang tidak bisa dijabarkan.
Sudah bukan rahasia lagi, kalau laki-laki berduit, pendamping sesaatnya haruslah cantik. Kamilia memenuhi kriteria para penimba kenikmatan tersebut. Jadilah malam itu dia menjadi pelampiasan manusia bernafsu singa, manusia bernafsu gorilla dan para manusia seberingas macan.
Remuk badan rasanya karena harus mempraktekkan jurus-jurus yang tadi dipelajarinya. Hancur hatinya saat membiarkan pelanggannya menyentuh seluruh bagian tubuhnya, tanpa kecuali. Mengabulkan hasrat para lelaki itu dengan imbalan beberapa lembar merah rupiah.
Tante Melly tersenyum puas penuh kemenangan. Tidak salah prediksinya tentang Kamilia kemarin malam di bis. Kini dia bisa mendapatkan hasilnya. Lembaran merah 50:50 bagi hasilnya.
Kamilia menerima pembagiannya. Dia memegang erat-erat uang tersebut. Ingin rasanya dia melumatkan uang tersebut, membuangnya ke tempat sampah. Uang najis, hasil penjualan tubuh, terdengar hina sekali.
"Ooh, Kamilia, kamu pembawa keberuntungan untukku!" seru Tante Melly ceria.
Seperti biasa, Kamilia hanya tersenyum dan diam. Kamilia sudah tidak mengumpat lagi dalam hatinya, dia harus berdamai dengan hatinya. Dia harus menurut kepada Tante Melly kini.
Kalau tidak karena mengingat wajah ibunya, rasanya tidak ingin menerima hasil kerjanya malam ini. Kamilia harus mengirim uang demi perut mereka.
"Tante, malam ini aku tak dapat banyak," kata Calista.
"Mengapa?" Kening Tante Melly berkerut.
"Gara-gara dia lah." Calista menunjuk Kamilia dengan dagunya.
"Hahaha hahaha." Tante Melly tertawa . Suara tawanya lebih besar dari badannya. Sambil menyelipkan rokok putih, wanita itu meraih uang setoran anak buahnya.
"Biasa, hari ini mereka inginkan Kamilia, besok pasti kembali ke pelukanmu," kata Tante Melly menghibur.
Tante Melly memang termasuk orang yang baik. Dia tidak berlaku kejam andai anak buahnya berlaku tidak sesuai kehendaknya. Ketika ada yang mau bertobat juga dengan senang hati dia mempersilakan.
Kamilia tersenyum getir. Ternyata dalam dunia kupu-kupu pun persaingan pasti ada. Kamilia mengusap wajahnya karena perlahan-lahan rasa malu menjalari wajahnya. Persaingan dalam melakukan dosa.
"Kamilia, jangan lupa pil, harus diminum!" perintah Tante Melly.
Kamilia mengangguk, dia lebih mengerti kini. Nuraninya sudah menanggung luka jangan sampai raganya ikut menanggung nestapa. Kembali terbayang wajah lelah ibunya, membuat Kamilia harus tegak berdiri. Tidak boleh lengah sedikit pun, dia harus menjadi seseorang yang layak diperhitungkan.
Dari malam ke malam Kamilia semakin pintar bersolek. Mengumpulkan rupiah demi rupiah dari keberaniannya melepas pakaian kepada pelanggannya.Tante Melly semakin terkenal di kalangan para penikmat cinta sesaat setelah kedatangan Kamilia. Tentu saja dari bulan ke bulan pundi-pundi Kamilia pun semakin menggembung. Kamilia bukan lagi gadis kampung yang kusam, uang telah mengubahnya menjadi secantik model."Mila, jangan lupa kirim adikmu uang!" perintah Tante Melly. Di suatu malam saat ada seorang cukong berduit tebal membooking Kamilia. Pria itu royal dan sepertinya suka dengan suguhan yang Kamilia persembahkan."Tentu, Tante ... tentu," jawab Kamilia.Kamilia tidak pernah lupa mengirim uang buat ibunya di kampung, melalui rekening tetangganya dia sukses membuat ibunya kini dihargai orang. Sejak Kamilia bekerja, ibunya tidak payah lagi kalau buat sekadar belanja makan.Tante Melly memang begitu perhatian kepada anak buahnya. Mereka harus berdanda
Musim hujan semakin jemawa. Menyiksa semua mahkluk dengan dingin yang menusuk tulang. Tentu saja Tuan Hendra semakin rajin menyambangi Kamilia. Membawa uang penukaran raga. Senanglah hati Kamilia. Tuan Hendra berupaya agar Kamilia jatuh cinta padanya. Lelaki itu menutup semua akses Kamilia untuk dikenal lelaki lain. Tidak ada yang salah, karena perempuan itu suka hati. Mengabulkan semua permintaan Tuan Hendra.
Setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga Kamilia mengikuti kehendak juru kamera itu. Dia akan keluar rumah diam-diam tanpa Hendra. Hal yang paling dibenci lelaki itu. Keraguan menyelimutinya saat mobil putih itu membawanya ke Kafe Senja. Tadi dia sudah mengirim pesan, agar fotografer itu datang tepat waktu. Kamilia takut, ketika Hendra pulang dirinya tidak ada di rumah. "Siapa dia?" Kamilia langsung saja menodong juru kamera itu dengan pertanyaan. "Sabar, Mila," jawabnya sambil mengerling nakal. "Maksudmu apa, Bagas?" tanya Kamilia. Ternyata namanya Bagas, sang juru kamera itu. "Ada harganya," jawab Bagas serius. "Berapa?" "Aku tidak meminta uang sebagai imbalan," jawab Bagas. Rupanya dia sudah mulai berani kurang ajar. Kamilia mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan ucapan Bagas. Sesaat kemudian Bagas mengirim isyarat dengan mengelus tangan Kamilia. Tentu saja Kamilia menolak, perempuan itu menepiskan tangan Bagas.
Kamilia terkejut dengan pernyataan Tante Melly. Dia tak menyangka kalau Calista ternyata sudah melakukan operasi plastik. Itu berarti …."Apakah Tante tahu wajahnya dia yang sekarang?" tanya Kamilia penasaran."Tante pernah dikirim foto saat dia bersama pacarnya," ujar Tante Melly. Dengan cepat dia gulirkan HP-nya. Terlihat di layar seorang laki-laki bersama seorang wanita. Namun, rambut wanita tersebut menghalangi wajahnya.Kamilia melongoknya. Kembali didapatinya sebuah kejutan. Lelaki itu adalah Bagas. Ternyata benar, Calista itu adalah orang yang dia kenal. Ah … sempit sekali dunia ini."Mengapa tiba-tiba kamu kangen Calista, Mila? Bukankah kalian saling tidak menyukai?" goda Tante Melly."Gak ada apa-apa, Tante. Aku hanya heran dia tak ada di sini," jawab Kamilia."Kirain kangen, hihihi." Tante Melly terkikik geli."Ayo kita ke Mall, Tante. Hari ini aku ingin mengajak Tante makan suki," ajak Kamilia."M
Kamilia berusaha menyembunyikan wajahnya. Untung, posisinya sedikit terhalang hiasan restoran. Pasangan itu mengambil tempat agak jauh dari Kamilia. Kamila mengambil beberapa gambar dari ponselnya.Perasaan Kamilia seperti membeku di titik rasa sakit. Dirinya merasa seperti secangkir air, tak berdaya di terik matahari. Menguap dan menjadikannya awan hitam. Hanya mampu mengamati bumi dari kejauhan.Awan hitam itu berjanji penuh keyakinan. Dia akan kembali ke bumi dengan kekuatan yang maha dahsyat. Kekuatan yang sanggup menghanyutkan apa pun rintangan. Tentu saja dengan kekuatan dendam yang meluap-luap."Ayo Tante, kita pulang," ajak Kamilia."Ini masih banyak makanan yang belum kita makan, Mila," kata Tante Melly. "Tapi, baiklah." Akhirnya Tante Melly setuju untuk pulang. Dia melihat paras Kamilia berubah.Kamilia mengantarkan Tante Melly pulang. Sepanjang perjalanan Kamilia membisu. Tante Melly diam, tetapi akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya
Hendra menghentikan tawanya. Dia menatap serius muka Kamilia. Kamilia bergeming, mukanya menunjukkan kebulatan hatinya."Mengapa?" tanya Hendra. "Aku pikir kau adalah penganut kebebasan, Mila. Kau tahu, kewajiban apa yang harus kau lakukan, bila menjadi seorang istri?""Aku tahu." Kamilia menjawab singkat. "Aku juga tahu, kewajibanku untuk melabrak Calista. Begitu juga pengganggu-pengganggu lainya," terusnya dalam hati.Hendra mengangkat bahu. Kamilia menganggap Hendra tidak peduli. Wanita itu berusaha mendesak Hendra. Namun, lelaki itu malah mencumbunya."Kita pikirkan nanti, oke!"Akhirnya Kamilia mengalah. Pikirnya, seandainya dia tetap memaksa, Hendra pasti akan marah. Kamilia tahu sifat Hendra, kalau hasratnya tidak kesampaian maka dia akan meradang. Kamilia menjadi pelampiasan Hendra setiap malam, tanpa jeda, kecuali saat datang bulan.Rasa kecewa yang tidak tercerna sempurna membuat Kamilia tidak sehangat biasanya. Namun,
Setelah beberapa saat menelan fase kebimbangan. Kamilia memutuskan untuk datang. Lenyap sudah rasa laparnya. Berganti dengan keinginan untuk menjadikan badan Calista sebagai samsak. Pelampiasan segala murkanya. Kamila berusaha tenang. Diam sejenak, memberikan energi positif kepada dirinya sendiri.Bagas menyambutnya di tempat tersembunyi. Dia mencoba merayu untuk tidak melabrak mereka. Namun, sebagai gantinya dia menawarkan sesuatu."Bagaimana kalau kita melakukan hal yang sama, Mila?"Ide gilanya membuat Kamilia melotot. Hampir telapak tangannya mampir ke wajah tampan itu. Namun, Kamilia masih bisa menahan diri."Jangan gila, Bagas!" desisnya geram. "Kau hanya perlu menunjukkan mereka. Selanjutnya menghilanglah dari hadapanku!""Sorry, bercanda," kata lelaki itu sambil menyeringai. Dia tahu lelaki macam apa Hendra. Celakalah dirinya bila Hendra tahu dirinya terlibat. Akan tetapi Bagas juga bukan seseorang yang gampang mengaku kalah. Di
Selama ini Kamilia tidak pernah tahu, siapa sebenarnya Hendra. Wanita itu hanya tahu, dia seorang pengusaha muda yang sukses. Uangnya banyak. Menjadi incaran para kupu-kupu di tempat Tante Melly. Tidak terkecuali Calista. Sejak mengenal Hendra, sesungguhnya dirinya sudah jatuh cinta. Namun, dia malu untuk mengungkapkan. Tiba-tiba datanglah Kamilia yang merebut segala harapannya. Kamila yang polos tidak tahu jika Calista berharap banyak kepada Hendra. Kamila setuju saja saat dirinya dijadikan gendak. Dirinya hanyalah seorang hina yang tidak boleh punya kehendak. Setelah bertemu dengan Bagas, perlahan-lahan mata Kamilia terbuka. Ternyata selama ini dia tidak peduli siapa Hendra. Kini, dia ingin sekali tahu siapa sebenarnya Hendra. "Sepertinya Bagas tahu sesuatu tentang Hendra," pikir Kamilia. "Setelah kembali ke Jakarta, aku harus mengorek keterangan dari Bagas." Sementara itu, dari tempat duduknya Hendra melihat ombak. Seperti melihat sebuah fi
"Selamat, Bu Kamilia, aduh jagoannya ganteng sekali!" Teman Kamilia setengah berteriak melihat keelokan buah hatinya."Ya, Allah, ini sih ketampanan yang hakiki!" Amira histeris, dasar cerewet.Harus diakui anaknya memang terlahir sangat rupawan, alhamdulillah. Bukan karena pujian ibunya, tapi setiap orang yang datang menengok semua rata-rata terpesona melihatnya. Mungkin karena ibu bapaknya juga memiliki wajah yang cantik dan tampan, namanya juga seorang model.Namun, di balik puja puji tersebut terdapat cerita yang mengiris hati. Kejadian yang hampir merenggut nyawa Kamilia, karunia Allah yang tak terhingga, wanita itu masih bisa bernafas hari ini.Si tampan ini adalah anak Kamilia yang pertama, usia menjelang empat puluh. Kehamilannya memang agak bermasalah, ketika USG, terlihat ari-ari bayi dibawah menghalangi jalan lahir. Namun, Kamilia bersikukuh untuk lahiran normal.Saat lahiran pun tiba, siang Kamilia sudah pergi ke rumah sakit ditemani suaminya, Saiful. Ternyata pembukaan tid
Suasana hening menunggu aksi Saiful selanjutnya. Menerka-nerka apa sebenarnya yang akan terjadi.Lelaki itu berlutut di depan Kamilia. Tangannya mengeluarkan kotak segi empat kecil berwarna merah. Kamilia terpaku melihat tingkah laki-laki itu. Semua yang hadir juga tidak ada yang bersuara. Suasana hening dan syahdu. Seiring musik mengalunkan nada cinta. "Maukah kau menikah denganku?" Bergetar suara Saiful saat menyatakan keinginannya.Suara tepuk tangan gemuruh disertai suitan. Mereka berharap agar Kamilia juga menerima lamaran Saiful. Berkaca-kaca mata Kamilia, tanpa diduga laki-laki yang dicintainya melamarnya kini."Terima … terima!"Hadirin ramai berteriak. Mereka menyemangati Kamilia agar segera menerima cincin itu. Kamilia memandang ayah dan ibunya. Mereka mengangguk tanda setuju.Perlahan-lahan Kamilia menyodorkan tangannya. Saiful menyambutnya, lalu lelaki itu berdiri. Dia mengambil cincin dari kotaknya dan menyematkannya di jari manis Kamilia.Gemuruh tepuk tangan kembali mem
Sore yang cerah membawa Kamilia serta Amira dan Rinai sampai ke sebuah pelataran rumah sederhana. Kamilia dan Amira pergi menemui orang tua Amira. Untuk pertama kalinya Amira pulang setelah pergi selama bertahun-tahun.Tadinya Amira tidak mau tapi Amira memaksanya untuk meminta restu dari orang tuanya. Mereka pergi bertiga dengan Rinai ke rumah Amira."Ini rumahmu?" tanya Kamilia.Gadis itu hanya mengangguk. Dia menatap lekat rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Ribuan kenangan berlompatan dalam benaknya. "Aku tidak mau!" seru Amira."Anak durhaka, ikuti dia! Dia akan memberimu pekerjaan." bentak bapak Amira –Zulfikar."Aku masih ingin sekolah, Pak," ratap Amira."Pergilah! Ikuti dia." Suara Zulfikar semakin lemah. Hatinya juga hancur harus merelakan anaknya menjadi pelacur."Mak!" Amira mencoba memohon pertolongan kepada ibunya.Ibunya hanya menggeleng sambil menangis. Matanya sudah bengkak karena menahan tangis sejak tadi. Kini, air matanya tumpah tidak dapat dibendung lagi. Pupu
Kamilia mengusap air matanya. Bersaing dengan hujan yang semakin deras. Lamunan Kamilia semakin dalam. Tok tok tok.Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Rupanya Saiful sudah berada di ambang pintu."Pulang," ajak Saiful."Masih hujan," ujar Kamilia. "Kayak jalan kaki saja, ayo!"Dengan malas Kamilia beranjak dan mengikuti pria itu. Wanita itu tidak ingin membantahnya. Hujan masih mengguyur Jakarta saat mereka menyusuri jalan yang basah. Tampak sepasang laki-laki dan perempuan berjalan dalam hujan. Tangan wanita itu merangkul erat pinggang laki-laki itu. Kamilia membayangkan itu adalah Garganif. Sukar diterima akal, jika dirinya kini telah berpisah. Entah mengapa sakit sekali hati Kamilia membayangkan Garganif dengan wanita lain."Kenapa?" tanya Saiful demi dilihatnya Kamilia hanya duduk mematung. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kamilia. Dia melihat sepasang manusia berjalan sambil berangkulan. "Teringat siapa?""Tidak ada, kenapa?" "Enggak, lain dari biasanya.
Kamilia merasa curiga melihat Amira dan Bintang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Ngapain mereka?" pikir Kamilia. Dia melirik ke arah Saiful. Sama juga, lelaki itu tampak tersenyum misterius.Rinai yang sudah selesai berbelanja mengajak Kamilia untuk segera pulang. Namun, Saiful memberi kode bahwa dirinya masih ada tempat yang dituju."Oom masih ada urusan lain. Jangan dulu pulang, ya!" bujuk Saiful."Mungkin dia ada urusan mendadak," pikir Kamilia.Berlima mereka menaiki mobil mewah keluaran terbaru. Bintang dan Amira duduk bersebelahan di belakang. Rinai dipangku oleh Kamilia. Terlihat sebagai keluarga yang sangat bahagia. Kamila tersenyum bahagia, begitu pula Saiful. Lelaki itu selalu menyunggingkan senyum."Apa ih, senyam-senyum?" tanya Kamilia."Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu tutup mata deh," jawab Saiful."Kenapa? Kalian pada kenapa, sih? Kok mencurigakan?" Kamilia bertanya."Tidak ada apa-apa?" Saiful tersenyum penuh misteri."Apa, sih?" Kamilia menggerutu. "Sok mister
Hari ini Kamilia berniat untuk pergi ditemani oleh Saiful dan Rinai. Bintang dan Amira juga merengek ingin ikut. Dasar, ada-ada saja mereka ini. "Ayolah, Kak, cuma ikut saja nggak minta digendong, kok," kata Amira dengan wajah merajuk. Mau tak mau membuat Saiful dan Kamilia tersenyum dan mengangguk ke arah mereka berdua. Kubiarkan mereka asik menikmati permainan di mall itu, saat Kamilia sendiri memilih masuk pada sebuah salon kecantikan terkenal di tempat itu. Sekarang saatnya dia memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Saiful dan yang lainnya juga seperti tak keberatan meluangkan waktu hanya untuk menunggui Kamilia yang membutuhkan waktu hingga dua jam lebih itu.Setelahnya, mereka berjalan beriringan. Menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya, lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak. Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model ya
"Apa sebaiknya kita percepat saja pernikahan kita?" tanya Saiful.Kamilia yang tengah minum orange jus kesukaannya, langsung menyemburkannya dan hampir saja mengenai muka Saiful. Tentu saja lelaki itu kaget dibuatnya."Kamu itu bercandanya nggak lucu tau," kata Kamilia ketus. Wanita itu menatap ke arah Saiful yang langsung terbahak sambil mengangsurkan tisu padanya."Maaf, kamu sampai kaget begitu. Tapi aku tidak bercanda Kamilia, aku serius dengan ucapanku barusan.""Kamu pikir mentang-mentang aku janda, makanya kamu bisa seperti itu memintaku untuk menikah segera?" "Bukan begitu maksudku, hanya saja aku sudah tak tahan dan ingin segera memilikimu. Lagi pula aku takut tergoda dengan yang lain, atau kamu akan kembali kepada Garganif lagi," ungkap Saiful jujur.Kamilia memutar bola matanya malas, merasa ucapan Saiful sungguh tidak penting."Jika aku mau kembali kepada lelaki itu, aku tidak akan duduk di sini bersamamu dan mengatakan padamu tentang kedatangan papanya Rinai.""Oh ya, beg
Kamilia menghentikan mobilnya tepat di depan mereka, Amira dan Bintang. Tawa Kamilia terhenti saat melihat mata Amira bengkak."Apa yang terjadi?Jangan bilang kamu yang membuat Amira menangis!" tuduh Kamilia kepada Bintang."Bukan bukan aku," elak Bintang. Pemuda itu melihat ke arah Amira mengharapkan dukungan."Bukan, Kak. Aku hanya teringat Andra." Amira menjawab sambil masuk ke mobil. "Kamu gak ikut?" tawar Amira."Aku bawa motor." Bintang melambaikan tangannya kepada mereka."Kamu pacaran sama Bintang?" tanya Kamilia."Hehehe." Amira hanya tertawa malu. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Ya, sudah, gak apa-apa. Kakak juga mau nikah," ucap Kamilia mengagetkan Amira."Sama siapa?" Amira menoleh dengan cepat, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Saiful." Seketika ingatan Amira melayang kepada sosok laki-laki tampan yang bermata teduh. Seorang laki-laki yang sempurna. Amira juga ingin mempunyai suami seperti dia. Sudah ganteng, sholeh, punya perusaha
Laila terkejut mendengar perkataan Amira. Bisa saja Andra meminta Bintang untuk mencintai Amira."Bisa jadi," kata Laila sambil berbisik. Mereka menjaga agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain."Ssst … jenazah sudah keluar. Ayo!" Amira menggamit lengan Laila. Mereka berjalan beriringan dengan pelayat lainnya. Bintang tampak menggandeng sang ibu. Bintang mengedipkan matanya sebagai isyarat dirinya tidak bisa dekat-dekat dengannya. Amira mengangguk, gadis itu mengerti.Amira menangis saat pemakaman, begitu pula Laila dan Adelia. Mereka bertiga lama terpekur setelah orang lain pulang. Mengenang saat-saat kebersamaan dulu dengan kenangannya masing-masing."Kita pulang, yu," ajak Laila.Amira dan Adelia mengangkat wajahnya. Mereka berdiri lalu beranjak dari gundukan tanah merah itu. Berjalan menyusuri deretan batu nisan.Amira menoleh ke arah makam Andra. Gadis itu seperti melihat Andra berdiri menatapnya. Amira berhenti memperhatikan, dia akan kembali lagi. Namun, Laila menggamit le