Dari malam ke malam Kamilia semakin pintar bersolek. Mengumpulkan rupiah demi rupiah dari keberaniannya melepas pakaian kepada pelanggannya.
Tante Melly semakin terkenal di kalangan para penikmat cinta sesaat setelah kedatangan Kamilia. Tentu saja dari bulan ke bulan pundi-pundi Kamilia pun semakin menggembung. Kamilia bukan lagi gadis kampung yang kusam, uang telah mengubahnya menjadi secantik model.
"Mila, jangan lupa kirim adikmu uang!" perintah Tante Melly. Di suatu malam saat ada seorang cukong berduit tebal membooking Kamilia. Pria itu royal dan sepertinya suka dengan suguhan yang Kamilia persembahkan.
"Tentu, Tante ... tentu," jawab Kamilia.
Kamilia tidak pernah lupa mengirim uang buat ibunya di kampung, melalui rekening tetangganya dia sukses membuat ibunya kini dihargai orang. Sejak Kamilia bekerja, ibunya tidak payah lagi kalau buat sekadar belanja makan.
Tante Melly memang begitu perhatian kepada anak buahnya. Mereka harus berdandan elegan seperti artis. Tentu saja dengan tujuan rupiah mengalir deras. Dia juga siap pasang badan kalau anak buahnya dilecehkan, ada kisah anak buahnya sampai lecet disodok penis karet.
Sudah seminggu ini, Kamilia didatangi sosok lelaki berkantong tebal. Ia selalu datang untuk Kamilia saja, tidak mau dilayani oleh orang lain. Kamila merasa tersanjung, imbalannya gadis itu memberi pelayanan terbaiknya.
Sudah menjadi satu kebanggaan dalam kesuksesan laki-laki harus ada perempuan di sampingnya. Begitu pula yang terjadi kini pada Kamilia. Cukong berduit tebal itu ingin menjadikannya gundik. Ia ingin menjadikan Kamilia hanya miliknya saja.
"Enak dong naik level!" ejek Calista. Gadis itu mencebik, saat Tante Melly memberitahu keinginan laki-laki itu, di depan semuanya.
Entah mengapa gadis itu memendam benci kepada Kamilia. Namun, Kamilia tidak peduli, tak ada waktu untuk memikirkan orang.
"Bagaimana, Mila?" tanya Tante Melly. "Tuan Hendra sudah memilihmu, kau beruntung."
Kamilia tersenyum, mengangguk tanda setuju. Hatinya sedikit lebih tenang, tidak usah berpayah-payah tersenyum sepanjang malam kini. Uang datang sendiri tanpa dicari.
Mulai malam ini, Kamilia menjadi lambang kesuksesan Tuan Hendra. Lelaki itu bangga bisa menjadi pemilik primadona rumah bordil Tante Melly. Dia melangkah gagah sambil menggandeng wanita cantik itu.
"Ingat pesanku," bisik Tante Melly.
"Pasti, Tante ... pasti," jawab Kamilia.
*****
Sebuah rumah mungil khusus disediakan untuk Kamilia. Tuan Hendra tidak pernah melibatkan Kamilia dalam urusan bisnisnya. Perempuan itu juga menjaga dirinya untuk tidak mencampuri urusan Tuan Hendra. Kamilia hanya berpikir bagaimana menyenangkan Tuan Hendra di ranjang.
"Mila, cintakah engkau padaku?" Pernah suatu malam, sehabis pertarungan di tempat tidur, Tuan Hendra bertanya kepadanya. Kamilia hanya menunduk, tersenyum manis. Wajah menggemaskan yang menguras uang Tuan Hendra.
Cinta, Kamilia yakin Tuan Hendra tidak senaif itu. Mencintai pelacur, sementara ada istri sah yang lebih baik di istananya.
"Cinta?" ulang Tuan Hendra.
Kamilia tetap tersenyum tidak berani menjawab. Itu pun cukup membuat Tuan Hendra untuk tidak mendaratkan satu ciuman yang memabukkan. Lelaki itu begitu bangga bisa memiliki pelacur terhebat saat ini. Wanita itu juga nyaman bergelung dalam pelukan Tuan Hendra.
Kembali mereka menumpahkan rasa. Bergelut dalam sejuta makna, tidak usah ada cinta untuk berlaku seperti itu. Kamilia hanya butuh uang dan nafsu Tuan Hendra yang beringas terpuaskan.
"Kau kalah, Tuan, hihihihi," kata Kamilia
sambil terkikik.
"Mana ada aku kalah, aku tak pernah kalah," kata Tuan Hendra.
"Dan aku ... tak akan pernah menang selain ... hihihi." Kamilia tertawa kecil.
" ... selain di tempat tidur ... aku tahu jawabannya," potong Tuan Hendra.
Menjadi yang terbaik sudah menjadi kewajiban Kamilia, kalau tidak mau posisinya tergeser. Dia tidak boleh kelihatan tertekan atau mengeluh. Semua rasa sakit di hatinya lenyap tertimbun tumpukan uang.
Sejak Kamilia menjadi penjaja cinta, tidak pernah sekalipun dia pulang. Baginya semua sudah mati kecuali ibu dan adiknya. Dia tidak ingin mempertontonkan rasa malunya kepada orang-orang di kampungnya. Telah terdengar selentingan kabar, kalau Harso bermulut ember. Rupanya uang hasil menjual dirinya tidak tersisa, kemudian berkoar-koar ke sana-sini.
Teringat kembali dengan dendamnya, Kamilia merencanakan sesuatu untuk Harso.
*****
Bau asap rokok dan minuman memenuhi ruangan kecil. Ruangan yang terasa penuh sesak hingar bingar dengan musik dangdut. Lampu kerlap-kerlip berputar-putar di atas kepala.
Harso tertawa terbahak-bahak begitu Pak Ibrahim mengocok kembali kartu domino. Lelaki setengah tua itu mengejek orang yang dulu pernah dihajarnya. Bapak Kamilia itu memang semakin menggilai judi.
"Manis, lihatlah si Tua itu! Dia sepertinya tidak mampu lagi menandingiku," kata Harso kepada gadis di pelukannya.
Gadis itu hanya tersenyum sambil mengangguk. Mukanya putih karena bedak serta bibir bergincu tebal. Seorang gadis muda yang menghambakan hidupnya kepada para lelaki hidung belang.
"Akulah lawanmu, Harso!" Tiba-tiba seseorang datang di tengah kepulan asap. Ia datang dan langsung duduk di hadapan Harso.
"Hahaha hahaha hahaha, siapa kau? Berani sekali menantangku?" tanya Harso.
"Aku Andre, apa taruhanmu?"
"Seluruh hasil judiku malam ini." Harso yakin sekali akan menang, dia mempertaruhkan uang judinya. Dia mengangsurkan setumpuk uang keberuntungannya.
Andre juga sama, dia mengeluarkan uang gepokan yang masih bau bank. Malam ini dia harus menang, kalau tidak ....
Beberapa kali mereka kalah dan menang bergantian. Sampai satu deringan telepon mengganggu Andre.
"Sudah kau laksanakan!?"
"Siap, Bu, laksanakan!"
"Sekarang!"
"Iya, Bu, siap!"
Kini, Andre bersungguh-sungguh melawan Harso. Dia harus segera menyelesaikan tugas. Kemampuannya di meja judi sudah mengirimkannya ke sini. Seseorang sudah membayarnya mahal.
Andre dengan cepat bisa membaca kartu apa saja yang dipunyai lawan. Domino sudah sangat hafal cara memainkannya. Setelah menutup kartu lawan kerkali-kali. Berbagai balak besar-besar diperlihatkan Harso di meja.
Rupanya uang Harso tidak mencukupi untuk membayar kekalahannya. Tentu saja Andre marah. Keributan tidak bisa dihindarkan lagi.
Andre mencengkram kerah baju Harso. Harso tidak melawan karena merasa salah. Andre melepaskan satu tonjokan ke muka Harso, darah muncrat dari hidungnya.
"Ampun, Bang!" teriak Harso.
"Berani-beraninya kau menipu seorang Andre!" seru Andre.
Kembali bogem mentah dilayangkan, kali ini tendangan juga mengarah ke dadanya. Harso ambruk, Andre masih menginjak tangannya dengan keras. "Krek" terdengar bunyi seperti tulang patah. Andre berhenti setelah Harso pingsan tak berdaya. Andre mengambil beberapa foto.
Perempuan itu tersenyum puas melihat-lihat foto yang dikirim oleh Andre. Tidak sia-sia dia membayar mahal penjudi tersebut. Tangan kotor Harso telah menerima karmanya.
Wanita itu kembali terkenang masa lalu. Dua tahun sudah, uang sudah menjadi candu buat dirinya. Uang membuatnya terjerembab ke lumpur hitam ini. Uang pula yang membuat ibunya tersenyum. Begitu pula tangan Harso patah karena uang.
Tuan Hendra tidak pernah membiarkannya kekurangan uang. Asal senyum terbaik saat melepaskan kancing-kancing bajunya disuguhkan Kamilia dengan sempurna.
Tiba-tiba ada rasa lain berdesir di hati Kamilia. Membuat nyaman dan gelisah. Persis rasanya seperti saat melihat Saiful dulu setiap hari. Pemuda itu kini hadir di benaknya.
Musim hujan semakin jemawa. Menyiksa semua mahkluk dengan dingin yang menusuk tulang. Tentu saja Tuan Hendra semakin rajin menyambangi Kamilia. Membawa uang penukaran raga. Senanglah hati Kamilia. Tuan Hendra berupaya agar Kamilia jatuh cinta padanya. Lelaki itu menutup semua akses Kamilia untuk dikenal lelaki lain. Tidak ada yang salah, karena perempuan itu suka hati. Mengabulkan semua permintaan Tuan Hendra.
Setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga Kamilia mengikuti kehendak juru kamera itu. Dia akan keluar rumah diam-diam tanpa Hendra. Hal yang paling dibenci lelaki itu. Keraguan menyelimutinya saat mobil putih itu membawanya ke Kafe Senja. Tadi dia sudah mengirim pesan, agar fotografer itu datang tepat waktu. Kamilia takut, ketika Hendra pulang dirinya tidak ada di rumah. "Siapa dia?" Kamilia langsung saja menodong juru kamera itu dengan pertanyaan. "Sabar, Mila," jawabnya sambil mengerling nakal. "Maksudmu apa, Bagas?" tanya Kamilia. Ternyata namanya Bagas, sang juru kamera itu. "Ada harganya," jawab Bagas serius. "Berapa?" "Aku tidak meminta uang sebagai imbalan," jawab Bagas. Rupanya dia sudah mulai berani kurang ajar. Kamilia mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan ucapan Bagas. Sesaat kemudian Bagas mengirim isyarat dengan mengelus tangan Kamilia. Tentu saja Kamilia menolak, perempuan itu menepiskan tangan Bagas.
Kamilia terkejut dengan pernyataan Tante Melly. Dia tak menyangka kalau Calista ternyata sudah melakukan operasi plastik. Itu berarti …."Apakah Tante tahu wajahnya dia yang sekarang?" tanya Kamilia penasaran."Tante pernah dikirim foto saat dia bersama pacarnya," ujar Tante Melly. Dengan cepat dia gulirkan HP-nya. Terlihat di layar seorang laki-laki bersama seorang wanita. Namun, rambut wanita tersebut menghalangi wajahnya.Kamilia melongoknya. Kembali didapatinya sebuah kejutan. Lelaki itu adalah Bagas. Ternyata benar, Calista itu adalah orang yang dia kenal. Ah … sempit sekali dunia ini."Mengapa tiba-tiba kamu kangen Calista, Mila? Bukankah kalian saling tidak menyukai?" goda Tante Melly."Gak ada apa-apa, Tante. Aku hanya heran dia tak ada di sini," jawab Kamilia."Kirain kangen, hihihi." Tante Melly terkikik geli."Ayo kita ke Mall, Tante. Hari ini aku ingin mengajak Tante makan suki," ajak Kamilia."M
Kamilia berusaha menyembunyikan wajahnya. Untung, posisinya sedikit terhalang hiasan restoran. Pasangan itu mengambil tempat agak jauh dari Kamilia. Kamila mengambil beberapa gambar dari ponselnya.Perasaan Kamilia seperti membeku di titik rasa sakit. Dirinya merasa seperti secangkir air, tak berdaya di terik matahari. Menguap dan menjadikannya awan hitam. Hanya mampu mengamati bumi dari kejauhan.Awan hitam itu berjanji penuh keyakinan. Dia akan kembali ke bumi dengan kekuatan yang maha dahsyat. Kekuatan yang sanggup menghanyutkan apa pun rintangan. Tentu saja dengan kekuatan dendam yang meluap-luap."Ayo Tante, kita pulang," ajak Kamilia."Ini masih banyak makanan yang belum kita makan, Mila," kata Tante Melly. "Tapi, baiklah." Akhirnya Tante Melly setuju untuk pulang. Dia melihat paras Kamilia berubah.Kamilia mengantarkan Tante Melly pulang. Sepanjang perjalanan Kamilia membisu. Tante Melly diam, tetapi akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya
Hendra menghentikan tawanya. Dia menatap serius muka Kamilia. Kamilia bergeming, mukanya menunjukkan kebulatan hatinya."Mengapa?" tanya Hendra. "Aku pikir kau adalah penganut kebebasan, Mila. Kau tahu, kewajiban apa yang harus kau lakukan, bila menjadi seorang istri?""Aku tahu." Kamilia menjawab singkat. "Aku juga tahu, kewajibanku untuk melabrak Calista. Begitu juga pengganggu-pengganggu lainya," terusnya dalam hati.Hendra mengangkat bahu. Kamilia menganggap Hendra tidak peduli. Wanita itu berusaha mendesak Hendra. Namun, lelaki itu malah mencumbunya."Kita pikirkan nanti, oke!"Akhirnya Kamilia mengalah. Pikirnya, seandainya dia tetap memaksa, Hendra pasti akan marah. Kamilia tahu sifat Hendra, kalau hasratnya tidak kesampaian maka dia akan meradang. Kamilia menjadi pelampiasan Hendra setiap malam, tanpa jeda, kecuali saat datang bulan.Rasa kecewa yang tidak tercerna sempurna membuat Kamilia tidak sehangat biasanya. Namun,
Setelah beberapa saat menelan fase kebimbangan. Kamilia memutuskan untuk datang. Lenyap sudah rasa laparnya. Berganti dengan keinginan untuk menjadikan badan Calista sebagai samsak. Pelampiasan segala murkanya. Kamila berusaha tenang. Diam sejenak, memberikan energi positif kepada dirinya sendiri.Bagas menyambutnya di tempat tersembunyi. Dia mencoba merayu untuk tidak melabrak mereka. Namun, sebagai gantinya dia menawarkan sesuatu."Bagaimana kalau kita melakukan hal yang sama, Mila?"Ide gilanya membuat Kamilia melotot. Hampir telapak tangannya mampir ke wajah tampan itu. Namun, Kamilia masih bisa menahan diri."Jangan gila, Bagas!" desisnya geram. "Kau hanya perlu menunjukkan mereka. Selanjutnya menghilanglah dari hadapanku!""Sorry, bercanda," kata lelaki itu sambil menyeringai. Dia tahu lelaki macam apa Hendra. Celakalah dirinya bila Hendra tahu dirinya terlibat. Akan tetapi Bagas juga bukan seseorang yang gampang mengaku kalah. Di
Selama ini Kamilia tidak pernah tahu, siapa sebenarnya Hendra. Wanita itu hanya tahu, dia seorang pengusaha muda yang sukses. Uangnya banyak. Menjadi incaran para kupu-kupu di tempat Tante Melly. Tidak terkecuali Calista. Sejak mengenal Hendra, sesungguhnya dirinya sudah jatuh cinta. Namun, dia malu untuk mengungkapkan. Tiba-tiba datanglah Kamilia yang merebut segala harapannya. Kamila yang polos tidak tahu jika Calista berharap banyak kepada Hendra. Kamila setuju saja saat dirinya dijadikan gendak. Dirinya hanyalah seorang hina yang tidak boleh punya kehendak. Setelah bertemu dengan Bagas, perlahan-lahan mata Kamilia terbuka. Ternyata selama ini dia tidak peduli siapa Hendra. Kini, dia ingin sekali tahu siapa sebenarnya Hendra. "Sepertinya Bagas tahu sesuatu tentang Hendra," pikir Kamilia. "Setelah kembali ke Jakarta, aku harus mengorek keterangan dari Bagas." Sementara itu, dari tempat duduknya Hendra melihat ombak. Seperti melihat sebuah fi
Hendra tersenyum mendapat pertanyaan dari Kamilia. Dia tertawa sambil memeluk bahu Kamilia."Ayo kita bersiap-siap, nanti siang harus kembali ke Jakarta.""Jangan tanya!" sentak Kamilia."Sejak kapan Kelinciku pandai membentak?" tanya Hendra sambil tersenyum nakal."Payah!" Gerutu Kamilia. Ga
"Selamat, Bu Kamilia, aduh jagoannya ganteng sekali!" Teman Kamilia setengah berteriak melihat keelokan buah hatinya."Ya, Allah, ini sih ketampanan yang hakiki!" Amira histeris, dasar cerewet.Harus diakui anaknya memang terlahir sangat rupawan, alhamdulillah. Bukan karena pujian ibunya, tapi setiap orang yang datang menengok semua rata-rata terpesona melihatnya. Mungkin karena ibu bapaknya juga memiliki wajah yang cantik dan tampan, namanya juga seorang model.Namun, di balik puja puji tersebut terdapat cerita yang mengiris hati. Kejadian yang hampir merenggut nyawa Kamilia, karunia Allah yang tak terhingga, wanita itu masih bisa bernafas hari ini.Si tampan ini adalah anak Kamilia yang pertama, usia menjelang empat puluh. Kehamilannya memang agak bermasalah, ketika USG, terlihat ari-ari bayi dibawah menghalangi jalan lahir. Namun, Kamilia bersikukuh untuk lahiran normal.Saat lahiran pun tiba, siang Kamilia sudah pergi ke rumah sakit ditemani suaminya, Saiful. Ternyata pembukaan tid
Suasana hening menunggu aksi Saiful selanjutnya. Menerka-nerka apa sebenarnya yang akan terjadi.Lelaki itu berlutut di depan Kamilia. Tangannya mengeluarkan kotak segi empat kecil berwarna merah. Kamilia terpaku melihat tingkah laki-laki itu. Semua yang hadir juga tidak ada yang bersuara. Suasana hening dan syahdu. Seiring musik mengalunkan nada cinta. "Maukah kau menikah denganku?" Bergetar suara Saiful saat menyatakan keinginannya.Suara tepuk tangan gemuruh disertai suitan. Mereka berharap agar Kamilia juga menerima lamaran Saiful. Berkaca-kaca mata Kamilia, tanpa diduga laki-laki yang dicintainya melamarnya kini."Terima … terima!"Hadirin ramai berteriak. Mereka menyemangati Kamilia agar segera menerima cincin itu. Kamilia memandang ayah dan ibunya. Mereka mengangguk tanda setuju.Perlahan-lahan Kamilia menyodorkan tangannya. Saiful menyambutnya, lalu lelaki itu berdiri. Dia mengambil cincin dari kotaknya dan menyematkannya di jari manis Kamilia.Gemuruh tepuk tangan kembali mem
Sore yang cerah membawa Kamilia serta Amira dan Rinai sampai ke sebuah pelataran rumah sederhana. Kamilia dan Amira pergi menemui orang tua Amira. Untuk pertama kalinya Amira pulang setelah pergi selama bertahun-tahun.Tadinya Amira tidak mau tapi Amira memaksanya untuk meminta restu dari orang tuanya. Mereka pergi bertiga dengan Rinai ke rumah Amira."Ini rumahmu?" tanya Kamilia.Gadis itu hanya mengangguk. Dia menatap lekat rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Ribuan kenangan berlompatan dalam benaknya. "Aku tidak mau!" seru Amira."Anak durhaka, ikuti dia! Dia akan memberimu pekerjaan." bentak bapak Amira –Zulfikar."Aku masih ingin sekolah, Pak," ratap Amira."Pergilah! Ikuti dia." Suara Zulfikar semakin lemah. Hatinya juga hancur harus merelakan anaknya menjadi pelacur."Mak!" Amira mencoba memohon pertolongan kepada ibunya.Ibunya hanya menggeleng sambil menangis. Matanya sudah bengkak karena menahan tangis sejak tadi. Kini, air matanya tumpah tidak dapat dibendung lagi. Pupu
Kamilia mengusap air matanya. Bersaing dengan hujan yang semakin deras. Lamunan Kamilia semakin dalam. Tok tok tok.Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Rupanya Saiful sudah berada di ambang pintu."Pulang," ajak Saiful."Masih hujan," ujar Kamilia. "Kayak jalan kaki saja, ayo!"Dengan malas Kamilia beranjak dan mengikuti pria itu. Wanita itu tidak ingin membantahnya. Hujan masih mengguyur Jakarta saat mereka menyusuri jalan yang basah. Tampak sepasang laki-laki dan perempuan berjalan dalam hujan. Tangan wanita itu merangkul erat pinggang laki-laki itu. Kamilia membayangkan itu adalah Garganif. Sukar diterima akal, jika dirinya kini telah berpisah. Entah mengapa sakit sekali hati Kamilia membayangkan Garganif dengan wanita lain."Kenapa?" tanya Saiful demi dilihatnya Kamilia hanya duduk mematung. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kamilia. Dia melihat sepasang manusia berjalan sambil berangkulan. "Teringat siapa?""Tidak ada, kenapa?" "Enggak, lain dari biasanya.
Kamilia merasa curiga melihat Amira dan Bintang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Ngapain mereka?" pikir Kamilia. Dia melirik ke arah Saiful. Sama juga, lelaki itu tampak tersenyum misterius.Rinai yang sudah selesai berbelanja mengajak Kamilia untuk segera pulang. Namun, Saiful memberi kode bahwa dirinya masih ada tempat yang dituju."Oom masih ada urusan lain. Jangan dulu pulang, ya!" bujuk Saiful."Mungkin dia ada urusan mendadak," pikir Kamilia.Berlima mereka menaiki mobil mewah keluaran terbaru. Bintang dan Amira duduk bersebelahan di belakang. Rinai dipangku oleh Kamilia. Terlihat sebagai keluarga yang sangat bahagia. Kamila tersenyum bahagia, begitu pula Saiful. Lelaki itu selalu menyunggingkan senyum."Apa ih, senyam-senyum?" tanya Kamilia."Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu tutup mata deh," jawab Saiful."Kenapa? Kalian pada kenapa, sih? Kok mencurigakan?" Kamilia bertanya."Tidak ada apa-apa?" Saiful tersenyum penuh misteri."Apa, sih?" Kamilia menggerutu. "Sok mister
Hari ini Kamilia berniat untuk pergi ditemani oleh Saiful dan Rinai. Bintang dan Amira juga merengek ingin ikut. Dasar, ada-ada saja mereka ini. "Ayolah, Kak, cuma ikut saja nggak minta digendong, kok," kata Amira dengan wajah merajuk. Mau tak mau membuat Saiful dan Kamilia tersenyum dan mengangguk ke arah mereka berdua. Kubiarkan mereka asik menikmati permainan di mall itu, saat Kamilia sendiri memilih masuk pada sebuah salon kecantikan terkenal di tempat itu. Sekarang saatnya dia memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Saiful dan yang lainnya juga seperti tak keberatan meluangkan waktu hanya untuk menunggui Kamilia yang membutuhkan waktu hingga dua jam lebih itu.Setelahnya, mereka berjalan beriringan. Menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya, lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak. Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model ya
"Apa sebaiknya kita percepat saja pernikahan kita?" tanya Saiful.Kamilia yang tengah minum orange jus kesukaannya, langsung menyemburkannya dan hampir saja mengenai muka Saiful. Tentu saja lelaki itu kaget dibuatnya."Kamu itu bercandanya nggak lucu tau," kata Kamilia ketus. Wanita itu menatap ke arah Saiful yang langsung terbahak sambil mengangsurkan tisu padanya."Maaf, kamu sampai kaget begitu. Tapi aku tidak bercanda Kamilia, aku serius dengan ucapanku barusan.""Kamu pikir mentang-mentang aku janda, makanya kamu bisa seperti itu memintaku untuk menikah segera?" "Bukan begitu maksudku, hanya saja aku sudah tak tahan dan ingin segera memilikimu. Lagi pula aku takut tergoda dengan yang lain, atau kamu akan kembali kepada Garganif lagi," ungkap Saiful jujur.Kamilia memutar bola matanya malas, merasa ucapan Saiful sungguh tidak penting."Jika aku mau kembali kepada lelaki itu, aku tidak akan duduk di sini bersamamu dan mengatakan padamu tentang kedatangan papanya Rinai.""Oh ya, beg
Kamilia menghentikan mobilnya tepat di depan mereka, Amira dan Bintang. Tawa Kamilia terhenti saat melihat mata Amira bengkak."Apa yang terjadi?Jangan bilang kamu yang membuat Amira menangis!" tuduh Kamilia kepada Bintang."Bukan bukan aku," elak Bintang. Pemuda itu melihat ke arah Amira mengharapkan dukungan."Bukan, Kak. Aku hanya teringat Andra." Amira menjawab sambil masuk ke mobil. "Kamu gak ikut?" tawar Amira."Aku bawa motor." Bintang melambaikan tangannya kepada mereka."Kamu pacaran sama Bintang?" tanya Kamilia."Hehehe." Amira hanya tertawa malu. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Ya, sudah, gak apa-apa. Kakak juga mau nikah," ucap Kamilia mengagetkan Amira."Sama siapa?" Amira menoleh dengan cepat, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Saiful." Seketika ingatan Amira melayang kepada sosok laki-laki tampan yang bermata teduh. Seorang laki-laki yang sempurna. Amira juga ingin mempunyai suami seperti dia. Sudah ganteng, sholeh, punya perusaha
Laila terkejut mendengar perkataan Amira. Bisa saja Andra meminta Bintang untuk mencintai Amira."Bisa jadi," kata Laila sambil berbisik. Mereka menjaga agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain."Ssst … jenazah sudah keluar. Ayo!" Amira menggamit lengan Laila. Mereka berjalan beriringan dengan pelayat lainnya. Bintang tampak menggandeng sang ibu. Bintang mengedipkan matanya sebagai isyarat dirinya tidak bisa dekat-dekat dengannya. Amira mengangguk, gadis itu mengerti.Amira menangis saat pemakaman, begitu pula Laila dan Adelia. Mereka bertiga lama terpekur setelah orang lain pulang. Mengenang saat-saat kebersamaan dulu dengan kenangannya masing-masing."Kita pulang, yu," ajak Laila.Amira dan Adelia mengangkat wajahnya. Mereka berdiri lalu beranjak dari gundukan tanah merah itu. Berjalan menyusuri deretan batu nisan.Amira menoleh ke arah makam Andra. Gadis itu seperti melihat Andra berdiri menatapnya. Amira berhenti memperhatikan, dia akan kembali lagi. Namun, Laila menggamit le