Setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga Kamilia mengikuti kehendak juru kamera itu. Dia akan keluar rumah diam-diam tanpa Hendra. Hal yang paling dibenci lelaki itu.
Keraguan menyelimutinya saat mobil putih itu membawanya ke Kafe Senja. Tadi dia sudah mengirim pesan, agar fotografer itu datang tepat waktu. Kamilia takut, ketika Hendra pulang dirinya tidak ada di rumah.
"Siapa dia?" Kamilia langsung saja menodong juru kamera itu dengan pertanyaan.
"Sabar, Mila," jawabnya sambil mengerling nakal.
"Maksudmu apa, Bagas?" tanya Kamilia. Ternyata namanya Bagas, sang juru kamera itu.
"Ada harganya," jawab Bagas serius.
"Berapa?"
"Aku tidak meminta uang sebagai imbalan," jawab Bagas. Rupanya dia sudah mulai berani kurang ajar.
Kamilia mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan ucapan Bagas. Sesaat kemudian Bagas mengirim isyarat dengan mengelus tangan Kamilia. Tentu saja Kamilia menolak, perempuan itu menepiskan tangan Bagas.
"Kau hanyalah seekor kelinci, berani sekali kau menantang singa!" Kamilia mendengkus.
"Hahaha … aku kelinci yang cerdik, Mila." Bagas tertawa.
"Aku tidak mau!"
"Itu pilihanmu," ujar Bagas. "Aku hanya punya penawaran menarik," sambungnya.
Kamilia melirik jam di pergelangan tangannya. Dia hanya punya waktu sebentar untuk tetap di luar rumah. Hendra akan tiba di rumah satu jam lagi. Kamilia berpikir ulang. Biarpun dirinya seorang pelacur tidak sudi harus melayani Bagas. Namun, imbalannya Kamilia tahu siapa wanita di foto tersebut.
Dalam kegamangan, Kamilia memutuskan untuk pulang. Dia berpikir, mungkin nanti akan ada jalan lain untuk mengetahui siapa wanita tersebut. Terkejut wanita itu bukan kepalang. Mobil Hendra sudah terparkir rapi di depan rumah.
"Dari mana kau, Mila?" tanya Hendra. Nada suaranya terdengar curiga.
"Aku beli ini," jawab Kamilia. Wanita itu berusaha menutupi kegugupannya. Dia mengacungkan sebotol kecap di tangannya. Untung tadi dia mampir ke minimarket.
"Kamu jangan coba-coba berbuat curang, Mila? Kamu harus ingat siapa dirimu?" Hendra kembali mengingatkan posisinya. Lidah lelaki itu kini sudah setajam pisau. Kamilia sudah paham dengan sifatnya Hendra.
Kamilia mendekati Hendra, kemudian memeluknya dari belakang. Kamilia tertegun sejenak. Ada wangi asing menyentuh hidungnya. Lelakinya itu, kini menebarkan paku-paku beracun ke dalam hatinya. Menancapkan rasa perih.
"Hey, ada apa dengan diriku?" pikir Kamilia. Berbilang hari menapaki jejak bersama Hendra, lama-lama tumbuh benih cinta. Padahal Kamilia selalu menjaga hatinya. Kini, ada ulat-ulat cemburu menggerogoti hatinya.
Kamilia mendengkus saat menyadari ternyata banyak harapan di antara kesakitan. Seharusnya dia mampu mengatasinya. Menanggung rasa sakit adalah cara untuk bertahan. Cinta tanpa nada ini menggeliat minta tempat.
*****
"Aku setuju!"
Kamilia mengirimkan pesan kepada Bagas. Rupanya perempuan itu tidak tahan dengan kecemburuan di hatinya. Jiwanya tertantang untuk satu pembuktian.
Rasa cemburunya meronta. Membawanya kini ke sebuah hotel. Kamilia tidak mengindahkan tadi malam Hendra sudah memperingatkan dirinya.
"Jangan pernah berani kau berbuat curang, Mila. Jangan sampai wajahmu yang cantik menanggung akibatnya!" ancam Hendra semalam.
Dasar wanita, Dia selalu mengandalkan perasaan. Padahal kalau dipikir-pikir, Hendra sudah sudah mengangkat derajatnya sedikit. Nasibnya sudah berpindah suratan. Namun, tetap saja di mata Tuhan dirinya hanyalah seorang pezina. Kamilia merasa dirinya benar-benar sampah.
"Mana fotonya dan jelaskan siapa dia?" Kamilia menagih janji Bagas.
"Tunggulah sebentar, aku masih ingin bermain-main dengan tubuhmu," jawab Bagas.
"Bajingan kau! Jangan sampai mulutmu aku tonjok!" teriak Kamilia.
"Ooh, seorang perempuan cantik tidak akan bisa melukaiku," ujar Bagas.
"Ingatlah Bagas, aku hanyalah wanita sundal dan bisa menjadi begundal, paham!"
Bagas tertawa mendengarnya. Lelaki sialan itu kembali meraih tubuh Kamilia. Hujan deras disertai angin tengah terjadi di luar hotel. Kamilia memandang jarum-jarum kecil itu. Dia memalingkan muka ke jendela, saat Bagas menjarah raganya.
"Alam saja tahu isi hatiku, mereka ikut bersedih," batin Kamilia sendu.
Kamilia secepatnya mandi setelah memuaskan Bagas. Dia menggosok tubuhnya dengan keras. Jangan sampai bau lelaki itu masih menempel di badannya. Dirinya bisa dijadikan daging cincang oleh Hendra.
Bagas duduk sambil menyalakan sebatang rokok. Jarinya memainkan lintingan tembakau itu. Mulutnya membentuk huruf O saat menghembuskan asapnya. Hasilnya, huruf O terbuat dari asap susul menyusul keluar dari mulutnya.
Kamilia duduk diam menunggu informasi yang dia perlukan. Diam-diam pandangannya meretas wajah di depannya itu. Memindai tanpa kata-kata. Harus diakui, lelaki itu begitu sempurna, pahatan sang Maha Pencipta.
"Calista."
Bibir yang baru saja melahap sekujur tubuhnya itu mengucapkan sebuah nama. Terdengar nada getir dalam suaranya. Namun, Kamila tidak peduli itu. Dia lebih tertarik dengan nama itu.
"Siapa?" tanya Kamilia. Sebuah pertanyaan bodoh sebenarnya. Sudah jelas, dari tadi Kamilia berharap tahu sebuah nama.
Bagas memandang Kamilia. Tatapannya mengandung keheranan. Hatinya memaki, betapa gobloknya wanita di depannya itu. Sayang, dia begitu cantik.
"Wanita sainganmu." Bagas menjelaskan.
"Calista dari tempat Tante Melly?"
"Aku tidak tahu siapa Tante Melly?" Bagas balik bertanya.
"Kau mengenal Calista?" Kamilia bertanya lagi, tidak menghiraukan pertanyaan Bagas sebelumnya.
"Tentu saja, dia wanitaku."
Pengakuan yang membuat Kamilia melotot. Pantas saja nada suara Bagas terkesan getir. Saat itu juga Kamilia tersadar. Dirinya sudah masuk ke dalam lingkaran dendam yang Bagas ciptakan.
"Bodoh!" Hati kecil Kamilia mengumpat.
Kamilia memperhatikan foto yang ada di tangannya. Mencoba melukis sketsa wajah di hatinya. Lega, wanita itu bukanlah Calista yang dia kenal dulu.
Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan Kamilia secepatnya pergi dari hotel. Dia harus sampai ke rumah sebelum Hendra pulang. Kamilia harus bermain cantik untuk mendapatkan hasil yang apik.
Hendra datang setelah malam larut. Tercium wangi parfum yang sama seperti kemarin di pakaiannya. Kembali hati Kamilia berdegup. Ulat-ulat cemburu kembali menggeliat. Dia bertekad akan memulai penyelidikannya besok. Berani mengusik seorang Kamilia, maka akan dipastikan hidupnya akan tercabik.
*****
Tante Melly sangat senang dengan kedatangan Kamilia. Rumahnya tidak banyak berubah sejak Kamilia pergi bersama Hendra. Interiornya masih tetap sama. Gadis-gadis muda berseliweran di dalamnya. Asap rokok adalah hal yang teramat biasa di rumah Tante Melly.
Kamilia memperhatikan wajah-wajah yang lewat di depannya. Hampir semuanya wajah baru. Kamilia maklumi itu, karena pelanggan selalu inginkan wanita baru. Tak jarang Tante Melly, bertukar anak buah dengan temannya sesama mucikari.
Baru kini Kamilia menyadari, ternyata sudah lama dia meninggalkan tempat ini. Sesaat dirinya terkenang masa lalu. Dia melihat dirinya masuk dari pintu itu. Menjinjing tas dengan muka sembab karena menangis.
"Ada apa, Mila?" tanya Tante Melly heran. Kamilia memang bersikap seperti mencari seseorang.
"Calista mana, Tante?" Kamilia balik bertanya.
"Tidak berapa lama setelah kau pergi, dia pun pergi?" jelas Tante Melly. "Terakhir kudengar dia pergi ke Thailand, operasi plastik."
Jeder.
Seperti ada suara halilintar di telinganya. Kaget sekali Kamilia mendengar perkataan Tante Melly.
"A apa, Tante … operasi plastik?"
Kamilia terkejut dengan pernyataan Tante Melly. Dia tak menyangka kalau Calista ternyata sudah melakukan operasi plastik. Itu berarti …."Apakah Tante tahu wajahnya dia yang sekarang?" tanya Kamilia penasaran."Tante pernah dikirim foto saat dia bersama pacarnya," ujar Tante Melly. Dengan cepat dia gulirkan HP-nya. Terlihat di layar seorang laki-laki bersama seorang wanita. Namun, rambut wanita tersebut menghalangi wajahnya.Kamilia melongoknya. Kembali didapatinya sebuah kejutan. Lelaki itu adalah Bagas. Ternyata benar, Calista itu adalah orang yang dia kenal. Ah … sempit sekali dunia ini."Mengapa tiba-tiba kamu kangen Calista, Mila? Bukankah kalian saling tidak menyukai?" goda Tante Melly."Gak ada apa-apa, Tante. Aku hanya heran dia tak ada di sini," jawab Kamilia."Kirain kangen, hihihi." Tante Melly terkikik geli."Ayo kita ke Mall, Tante. Hari ini aku ingin mengajak Tante makan suki," ajak Kamilia."M
Kamilia berusaha menyembunyikan wajahnya. Untung, posisinya sedikit terhalang hiasan restoran. Pasangan itu mengambil tempat agak jauh dari Kamilia. Kamila mengambil beberapa gambar dari ponselnya.Perasaan Kamilia seperti membeku di titik rasa sakit. Dirinya merasa seperti secangkir air, tak berdaya di terik matahari. Menguap dan menjadikannya awan hitam. Hanya mampu mengamati bumi dari kejauhan.Awan hitam itu berjanji penuh keyakinan. Dia akan kembali ke bumi dengan kekuatan yang maha dahsyat. Kekuatan yang sanggup menghanyutkan apa pun rintangan. Tentu saja dengan kekuatan dendam yang meluap-luap."Ayo Tante, kita pulang," ajak Kamilia."Ini masih banyak makanan yang belum kita makan, Mila," kata Tante Melly. "Tapi, baiklah." Akhirnya Tante Melly setuju untuk pulang. Dia melihat paras Kamilia berubah.Kamilia mengantarkan Tante Melly pulang. Sepanjang perjalanan Kamilia membisu. Tante Melly diam, tetapi akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya
Hendra menghentikan tawanya. Dia menatap serius muka Kamilia. Kamilia bergeming, mukanya menunjukkan kebulatan hatinya."Mengapa?" tanya Hendra. "Aku pikir kau adalah penganut kebebasan, Mila. Kau tahu, kewajiban apa yang harus kau lakukan, bila menjadi seorang istri?""Aku tahu." Kamilia menjawab singkat. "Aku juga tahu, kewajibanku untuk melabrak Calista. Begitu juga pengganggu-pengganggu lainya," terusnya dalam hati.Hendra mengangkat bahu. Kamilia menganggap Hendra tidak peduli. Wanita itu berusaha mendesak Hendra. Namun, lelaki itu malah mencumbunya."Kita pikirkan nanti, oke!"Akhirnya Kamilia mengalah. Pikirnya, seandainya dia tetap memaksa, Hendra pasti akan marah. Kamilia tahu sifat Hendra, kalau hasratnya tidak kesampaian maka dia akan meradang. Kamilia menjadi pelampiasan Hendra setiap malam, tanpa jeda, kecuali saat datang bulan.Rasa kecewa yang tidak tercerna sempurna membuat Kamilia tidak sehangat biasanya. Namun,
Setelah beberapa saat menelan fase kebimbangan. Kamilia memutuskan untuk datang. Lenyap sudah rasa laparnya. Berganti dengan keinginan untuk menjadikan badan Calista sebagai samsak. Pelampiasan segala murkanya. Kamila berusaha tenang. Diam sejenak, memberikan energi positif kepada dirinya sendiri.Bagas menyambutnya di tempat tersembunyi. Dia mencoba merayu untuk tidak melabrak mereka. Namun, sebagai gantinya dia menawarkan sesuatu."Bagaimana kalau kita melakukan hal yang sama, Mila?"Ide gilanya membuat Kamilia melotot. Hampir telapak tangannya mampir ke wajah tampan itu. Namun, Kamilia masih bisa menahan diri."Jangan gila, Bagas!" desisnya geram. "Kau hanya perlu menunjukkan mereka. Selanjutnya menghilanglah dari hadapanku!""Sorry, bercanda," kata lelaki itu sambil menyeringai. Dia tahu lelaki macam apa Hendra. Celakalah dirinya bila Hendra tahu dirinya terlibat. Akan tetapi Bagas juga bukan seseorang yang gampang mengaku kalah. Di
Selama ini Kamilia tidak pernah tahu, siapa sebenarnya Hendra. Wanita itu hanya tahu, dia seorang pengusaha muda yang sukses. Uangnya banyak. Menjadi incaran para kupu-kupu di tempat Tante Melly. Tidak terkecuali Calista. Sejak mengenal Hendra, sesungguhnya dirinya sudah jatuh cinta. Namun, dia malu untuk mengungkapkan. Tiba-tiba datanglah Kamilia yang merebut segala harapannya. Kamila yang polos tidak tahu jika Calista berharap banyak kepada Hendra. Kamila setuju saja saat dirinya dijadikan gendak. Dirinya hanyalah seorang hina yang tidak boleh punya kehendak. Setelah bertemu dengan Bagas, perlahan-lahan mata Kamilia terbuka. Ternyata selama ini dia tidak peduli siapa Hendra. Kini, dia ingin sekali tahu siapa sebenarnya Hendra. "Sepertinya Bagas tahu sesuatu tentang Hendra," pikir Kamilia. "Setelah kembali ke Jakarta, aku harus mengorek keterangan dari Bagas." Sementara itu, dari tempat duduknya Hendra melihat ombak. Seperti melihat sebuah fi
Hendra tersenyum mendapat pertanyaan dari Kamilia. Dia tertawa sambil memeluk bahu Kamilia."Ayo kita bersiap-siap, nanti siang harus kembali ke Jakarta.""Jangan tanya!" sentak Kamilia."Sejak kapan Kelinciku pandai membentak?" tanya Hendra sambil tersenyum nakal."Payah!" Gerutu Kamilia. Ga
Bagas mengantar Kamilia sampai rumahnya. Kamilia tidak mengajaknya mampir. Dia hanya mengucapkan terima kasih."Jangan lupa janjimu, Mila." Bagas mengingatkan."Kalau Hendra belum ketemu, jangan mimpi aku bakal menemuimu, Bagas!""Gampang, nanti dia aku cariin," kata Bagas.Kamilia menarik bibirnya sedikit ke atas, mengejek Bagas. Bagas mengedikkan bahu tidak peduli."Kamu belum tahu, kalau aku super hero," kata Bagas.Kamilia tidak memperdulikan Bagas. Dia menarik kopernya masuk rumah. Sesaat Bagas masih memperhatikan gadis itu menghilang di balik pintu.Kamilia mengempaskan bokongnya di kursi. Dia mencoba menghubungi Hendra, tetapi handphonenya tidak bisa dihubungi. Kamilia tidak tahu harus berbuat apa. Kepada siapa harus meminta bantuan. Dia tidak tahu apa-apa tentang Hendra. Siapa orang tuanya atau saudaranya."Bagas … bisakah dia dipercaya?" pikirnya. Kamilia ragu dengan laki-laki itu. Kalau minta tolong
Freza tersenyum sambil keluar dari ruangan. Dia menerima telepon dari orang yang paling dia rindukan.Freza :"Halo, Sayang."Seseorang menjawab dari seberang telepon : "Papa, bebaskan Hendra!"Setelah adu argumen yang cukup banyak, akhirnya Freza mendukung untuk mendukung Hendra. Dengan satu syarat mereka harus bertemu. Freza masuk lagi, kemudian berkata kepada Andi.
"Selamat, Bu Kamilia, aduh jagoannya ganteng sekali!" Teman Kamilia setengah berteriak melihat keelokan buah hatinya."Ya, Allah, ini sih ketampanan yang hakiki!" Amira histeris, dasar cerewet.Harus diakui anaknya memang terlahir sangat rupawan, alhamdulillah. Bukan karena pujian ibunya, tapi setiap orang yang datang menengok semua rata-rata terpesona melihatnya. Mungkin karena ibu bapaknya juga memiliki wajah yang cantik dan tampan, namanya juga seorang model.Namun, di balik puja puji tersebut terdapat cerita yang mengiris hati. Kejadian yang hampir merenggut nyawa Kamilia, karunia Allah yang tak terhingga, wanita itu masih bisa bernafas hari ini.Si tampan ini adalah anak Kamilia yang pertama, usia menjelang empat puluh. Kehamilannya memang agak bermasalah, ketika USG, terlihat ari-ari bayi dibawah menghalangi jalan lahir. Namun, Kamilia bersikukuh untuk lahiran normal.Saat lahiran pun tiba, siang Kamilia sudah pergi ke rumah sakit ditemani suaminya, Saiful. Ternyata pembukaan tid
Suasana hening menunggu aksi Saiful selanjutnya. Menerka-nerka apa sebenarnya yang akan terjadi.Lelaki itu berlutut di depan Kamilia. Tangannya mengeluarkan kotak segi empat kecil berwarna merah. Kamilia terpaku melihat tingkah laki-laki itu. Semua yang hadir juga tidak ada yang bersuara. Suasana hening dan syahdu. Seiring musik mengalunkan nada cinta. "Maukah kau menikah denganku?" Bergetar suara Saiful saat menyatakan keinginannya.Suara tepuk tangan gemuruh disertai suitan. Mereka berharap agar Kamilia juga menerima lamaran Saiful. Berkaca-kaca mata Kamilia, tanpa diduga laki-laki yang dicintainya melamarnya kini."Terima … terima!"Hadirin ramai berteriak. Mereka menyemangati Kamilia agar segera menerima cincin itu. Kamilia memandang ayah dan ibunya. Mereka mengangguk tanda setuju.Perlahan-lahan Kamilia menyodorkan tangannya. Saiful menyambutnya, lalu lelaki itu berdiri. Dia mengambil cincin dari kotaknya dan menyematkannya di jari manis Kamilia.Gemuruh tepuk tangan kembali mem
Sore yang cerah membawa Kamilia serta Amira dan Rinai sampai ke sebuah pelataran rumah sederhana. Kamilia dan Amira pergi menemui orang tua Amira. Untuk pertama kalinya Amira pulang setelah pergi selama bertahun-tahun.Tadinya Amira tidak mau tapi Amira memaksanya untuk meminta restu dari orang tuanya. Mereka pergi bertiga dengan Rinai ke rumah Amira."Ini rumahmu?" tanya Kamilia.Gadis itu hanya mengangguk. Dia menatap lekat rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Ribuan kenangan berlompatan dalam benaknya. "Aku tidak mau!" seru Amira."Anak durhaka, ikuti dia! Dia akan memberimu pekerjaan." bentak bapak Amira –Zulfikar."Aku masih ingin sekolah, Pak," ratap Amira."Pergilah! Ikuti dia." Suara Zulfikar semakin lemah. Hatinya juga hancur harus merelakan anaknya menjadi pelacur."Mak!" Amira mencoba memohon pertolongan kepada ibunya.Ibunya hanya menggeleng sambil menangis. Matanya sudah bengkak karena menahan tangis sejak tadi. Kini, air matanya tumpah tidak dapat dibendung lagi. Pupu
Kamilia mengusap air matanya. Bersaing dengan hujan yang semakin deras. Lamunan Kamilia semakin dalam. Tok tok tok.Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Rupanya Saiful sudah berada di ambang pintu."Pulang," ajak Saiful."Masih hujan," ujar Kamilia. "Kayak jalan kaki saja, ayo!"Dengan malas Kamilia beranjak dan mengikuti pria itu. Wanita itu tidak ingin membantahnya. Hujan masih mengguyur Jakarta saat mereka menyusuri jalan yang basah. Tampak sepasang laki-laki dan perempuan berjalan dalam hujan. Tangan wanita itu merangkul erat pinggang laki-laki itu. Kamilia membayangkan itu adalah Garganif. Sukar diterima akal, jika dirinya kini telah berpisah. Entah mengapa sakit sekali hati Kamilia membayangkan Garganif dengan wanita lain."Kenapa?" tanya Saiful demi dilihatnya Kamilia hanya duduk mematung. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kamilia. Dia melihat sepasang manusia berjalan sambil berangkulan. "Teringat siapa?""Tidak ada, kenapa?" "Enggak, lain dari biasanya.
Kamilia merasa curiga melihat Amira dan Bintang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Ngapain mereka?" pikir Kamilia. Dia melirik ke arah Saiful. Sama juga, lelaki itu tampak tersenyum misterius.Rinai yang sudah selesai berbelanja mengajak Kamilia untuk segera pulang. Namun, Saiful memberi kode bahwa dirinya masih ada tempat yang dituju."Oom masih ada urusan lain. Jangan dulu pulang, ya!" bujuk Saiful."Mungkin dia ada urusan mendadak," pikir Kamilia.Berlima mereka menaiki mobil mewah keluaran terbaru. Bintang dan Amira duduk bersebelahan di belakang. Rinai dipangku oleh Kamilia. Terlihat sebagai keluarga yang sangat bahagia. Kamila tersenyum bahagia, begitu pula Saiful. Lelaki itu selalu menyunggingkan senyum."Apa ih, senyam-senyum?" tanya Kamilia."Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu tutup mata deh," jawab Saiful."Kenapa? Kalian pada kenapa, sih? Kok mencurigakan?" Kamilia bertanya."Tidak ada apa-apa?" Saiful tersenyum penuh misteri."Apa, sih?" Kamilia menggerutu. "Sok mister
Hari ini Kamilia berniat untuk pergi ditemani oleh Saiful dan Rinai. Bintang dan Amira juga merengek ingin ikut. Dasar, ada-ada saja mereka ini. "Ayolah, Kak, cuma ikut saja nggak minta digendong, kok," kata Amira dengan wajah merajuk. Mau tak mau membuat Saiful dan Kamilia tersenyum dan mengangguk ke arah mereka berdua. Kubiarkan mereka asik menikmati permainan di mall itu, saat Kamilia sendiri memilih masuk pada sebuah salon kecantikan terkenal di tempat itu. Sekarang saatnya dia memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Saiful dan yang lainnya juga seperti tak keberatan meluangkan waktu hanya untuk menunggui Kamilia yang membutuhkan waktu hingga dua jam lebih itu.Setelahnya, mereka berjalan beriringan. Menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya, lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak. Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model ya
"Apa sebaiknya kita percepat saja pernikahan kita?" tanya Saiful.Kamilia yang tengah minum orange jus kesukaannya, langsung menyemburkannya dan hampir saja mengenai muka Saiful. Tentu saja lelaki itu kaget dibuatnya."Kamu itu bercandanya nggak lucu tau," kata Kamilia ketus. Wanita itu menatap ke arah Saiful yang langsung terbahak sambil mengangsurkan tisu padanya."Maaf, kamu sampai kaget begitu. Tapi aku tidak bercanda Kamilia, aku serius dengan ucapanku barusan.""Kamu pikir mentang-mentang aku janda, makanya kamu bisa seperti itu memintaku untuk menikah segera?" "Bukan begitu maksudku, hanya saja aku sudah tak tahan dan ingin segera memilikimu. Lagi pula aku takut tergoda dengan yang lain, atau kamu akan kembali kepada Garganif lagi," ungkap Saiful jujur.Kamilia memutar bola matanya malas, merasa ucapan Saiful sungguh tidak penting."Jika aku mau kembali kepada lelaki itu, aku tidak akan duduk di sini bersamamu dan mengatakan padamu tentang kedatangan papanya Rinai.""Oh ya, beg
Kamilia menghentikan mobilnya tepat di depan mereka, Amira dan Bintang. Tawa Kamilia terhenti saat melihat mata Amira bengkak."Apa yang terjadi?Jangan bilang kamu yang membuat Amira menangis!" tuduh Kamilia kepada Bintang."Bukan bukan aku," elak Bintang. Pemuda itu melihat ke arah Amira mengharapkan dukungan."Bukan, Kak. Aku hanya teringat Andra." Amira menjawab sambil masuk ke mobil. "Kamu gak ikut?" tawar Amira."Aku bawa motor." Bintang melambaikan tangannya kepada mereka."Kamu pacaran sama Bintang?" tanya Kamilia."Hehehe." Amira hanya tertawa malu. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Ya, sudah, gak apa-apa. Kakak juga mau nikah," ucap Kamilia mengagetkan Amira."Sama siapa?" Amira menoleh dengan cepat, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Saiful." Seketika ingatan Amira melayang kepada sosok laki-laki tampan yang bermata teduh. Seorang laki-laki yang sempurna. Amira juga ingin mempunyai suami seperti dia. Sudah ganteng, sholeh, punya perusaha
Laila terkejut mendengar perkataan Amira. Bisa saja Andra meminta Bintang untuk mencintai Amira."Bisa jadi," kata Laila sambil berbisik. Mereka menjaga agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain."Ssst … jenazah sudah keluar. Ayo!" Amira menggamit lengan Laila. Mereka berjalan beriringan dengan pelayat lainnya. Bintang tampak menggandeng sang ibu. Bintang mengedipkan matanya sebagai isyarat dirinya tidak bisa dekat-dekat dengannya. Amira mengangguk, gadis itu mengerti.Amira menangis saat pemakaman, begitu pula Laila dan Adelia. Mereka bertiga lama terpekur setelah orang lain pulang. Mengenang saat-saat kebersamaan dulu dengan kenangannya masing-masing."Kita pulang, yu," ajak Laila.Amira dan Adelia mengangkat wajahnya. Mereka berdiri lalu beranjak dari gundukan tanah merah itu. Berjalan menyusuri deretan batu nisan.Amira menoleh ke arah makam Andra. Gadis itu seperti melihat Andra berdiri menatapnya. Amira berhenti memperhatikan, dia akan kembali lagi. Namun, Laila menggamit le