Selama ini Kamilia tidak pernah tahu, siapa sebenarnya Hendra. Wanita itu hanya tahu, dia seorang pengusaha muda yang sukses. Uangnya banyak. Menjadi incaran para kupu-kupu di tempat Tante Melly.
Tidak terkecuali Calista. Sejak mengenal Hendra, sesungguhnya dirinya sudah jatuh cinta. Namun, dia malu untuk mengungkapkan. Tiba-tiba datanglah Kamilia yang merebut segala harapannya.
Kamila yang polos tidak tahu jika Calista berharap banyak kepada Hendra. Kamila setuju saja saat dirinya dijadikan gendak. Dirinya hanyalah seorang hina yang tidak boleh punya kehendak.
Setelah bertemu dengan Bagas, perlahan-lahan mata Kamilia terbuka. Ternyata selama ini dia tidak peduli siapa Hendra. Kini, dia ingin sekali tahu siapa sebenarnya Hendra.
"Sepertinya Bagas tahu sesuatu tentang Hendra," pikir Kamilia. "Setelah kembali ke Jakarta, aku harus mengorek keterangan dari Bagas."
Sementara itu, dari tempat duduknya Hendra melihat ombak. Seperti melihat sebuah fi
Hendra tersenyum mendapat pertanyaan dari Kamilia. Dia tertawa sambil memeluk bahu Kamilia."Ayo kita bersiap-siap, nanti siang harus kembali ke Jakarta.""Jangan tanya!" sentak Kamilia."Sejak kapan Kelinciku pandai membentak?" tanya Hendra sambil tersenyum nakal."Payah!" Gerutu Kamilia. Ga
Bagas mengantar Kamilia sampai rumahnya. Kamilia tidak mengajaknya mampir. Dia hanya mengucapkan terima kasih."Jangan lupa janjimu, Mila." Bagas mengingatkan."Kalau Hendra belum ketemu, jangan mimpi aku bakal menemuimu, Bagas!""Gampang, nanti dia aku cariin," kata Bagas.Kamilia menarik bibirnya sedikit ke atas, mengejek Bagas. Bagas mengedikkan bahu tidak peduli."Kamu belum tahu, kalau aku super hero," kata Bagas.Kamilia tidak memperdulikan Bagas. Dia menarik kopernya masuk rumah. Sesaat Bagas masih memperhatikan gadis itu menghilang di balik pintu.Kamilia mengempaskan bokongnya di kursi. Dia mencoba menghubungi Hendra, tetapi handphonenya tidak bisa dihubungi. Kamilia tidak tahu harus berbuat apa. Kepada siapa harus meminta bantuan. Dia tidak tahu apa-apa tentang Hendra. Siapa orang tuanya atau saudaranya."Bagas … bisakah dia dipercaya?" pikirnya. Kamilia ragu dengan laki-laki itu. Kalau minta tolong
Freza tersenyum sambil keluar dari ruangan. Dia menerima telepon dari orang yang paling dia rindukan.Freza :"Halo, Sayang."Seseorang menjawab dari seberang telepon : "Papa, bebaskan Hendra!"Setelah adu argumen yang cukup banyak, akhirnya Freza mendukung untuk mendukung Hendra. Dengan satu syarat mereka harus bertemu. Freza masuk lagi, kemudian berkata kepada Andi.
Rasa kantuk Kamilia hilang seketika. Begitu teringat dengan nama Freza."Apakah Freza yang sama? Atau hanya kebetulan persamaan nama saja," pikir Kamilia.Teringat oleh wanita itu, tatapan mata Freza yang dingin. Tidak ada kehangatan di sana. Merinding Kamilia membayangkannya."Bagas harus menjelaskan kepadaku." Hati Kamilia mereka-reka rencana, agar bisa mengorek keterangan dari Bagas. Besok, dirinya akan menemui Bagas secara khusus. Kebetulan besok ada pemotretan di sebuah taman kota. Untuk sebuah iklan makanan instan.Hendra menggigil lagi, dia mengerang kesakitan. Kamilia panik, akhirnya memutuskan untuk membawanya ke dokter."Ayo, Hendra, kita ke dokter," Kamilia membangunkan Hendra.Mata Hendra terbuka sedikit. Lelaki itu merasa heran, mengapa sampai sakit seperti ini. Kehidupannya yang keras dari dulu tidak pernah membuatnya meringkuk sakit apalagi masuk rumah sakit."Tidak!" Hendra menolak. Kamilia hanya terdiam dengan p
"Parasit sepertiku tidak membutuhkan cinta," kata Kamilia dingin.Selalu diulang-ulang lagi kata-kata itu. Ya … dia merasa seperti parasit sebelum menjadi model kini. Seharusnya dirinya tidak banyak tingkah di luaran."Tidak seperti itu, Mila. Aku akan mencintaimu seumur hidupku." Bagas mulai mengeluarkan rayuannya. Tentu saja gadis itu hanya mencibir."Hhhh … baru saja kau mengajakku bekerja sama agar Calista bisa kembali ke pelukanmu, kini kau menjilat ludahmu sendiri." Kamilia mendengkus."Hahaha hahaha. Kau cemburu?""Heei … !"Kamilia mencibir saat Bagas menyebutnya cemburu. Entah apa yang ada dalam pikiran pemuda itu. Kamilia tidak bisa menduganya. "Cemburu apa?" kata hatinya.Sementara itu, Hendra di rumahnya merasa badannya semakin sakit. Lemas sekujur badannya. Dia melihat jam dinding."Harusnya Kamilia sudah kembali, kemana dia pergi?" Hendra bertanya-tanya.Dia merasa kalau ada yang beruba
Wajah Kamilia sedikit pucat saat tahu itu rumah orang tua Bagas. Wanita itu mengeluh dalam hatinya. Dia merasa Bagas sudah menjebaknya semakin jauh."Mengapa kau membawaku ke sini?" tanya Kamilia.Pemuda itu hanya mengangkat bahunya. Dia malah bersiap untuk turun."Tunggu, mengapa kau membawaku ke sini?" Kamilia bertanya lagi."Aku sudah lama tidak ke sini, kangen." Bagas menjawab sekenanya."Bukan sebuah alasan!" Kamilia berkata dengan sedikit penekanan. Dia memandang Bagas dengan tajam."Sudahlah, mau ikut turun gak?""Hendra sedang sakit dan menungguku di rumah," jawab Kamilia."Terlambat … ayo ikut!" Bagas tidak menyerahkan kunci mobil kepada Kamilia.Kamilia terpaksa mengikuti Bagas. Entah rencana apa lagi yang ada di pikiran laki-laki itu. Kamilia benar-benar tidak bisa menduga. Pikirannya masih tertuju kepada Hendra. Takut penyakitnya bertambah parah.Kamilia melihat ada beberapa mobil mewah berderet
Bang Bos melayangkan tinjauannya ke muka anak muda tersebut. Lelaki itu berkelit, tapi ia tetap dalam posisi bertahan, mungkin ia segan dengan Bang Bos yang menjadi pemimpin para napi di sini.Biarpun Bang Bos pimpinan, dirinya tidak sesuka hati melecehkan para napi bawahannya. Dia termasuk pemimpin yang bijak. Namun, bagi napi baru memang ada semacam perkenalan di sini, dilihat dari kasusnya dulu. Kalau kasus ringan cukup satu pukulan. Namun, jika kasus perkosaan, wow ini sasaran empuk bagi penghuni lama, untuk menghadapi tangan melayangkan bogem muka napi baru.
"A ... aa ... apa?"Bagas memandangnya tidak percaya. Freza hanya terdiam. Bagas kembali lagi, duduk dekat bapaknya.Freza hanya mematung, memandang jauh ke depan. Dia sangat terkejut dengan berita yang baru saja diterimanya. Begitu pula dengan Bagas. Pemuda itu memandang lekat bapaknya, meminta penjelasan.Bagas terhenyak mendengar cerita bapaknya.
"Selamat, Bu Kamilia, aduh jagoannya ganteng sekali!" Teman Kamilia setengah berteriak melihat keelokan buah hatinya."Ya, Allah, ini sih ketampanan yang hakiki!" Amira histeris, dasar cerewet.Harus diakui anaknya memang terlahir sangat rupawan, alhamdulillah. Bukan karena pujian ibunya, tapi setiap orang yang datang menengok semua rata-rata terpesona melihatnya. Mungkin karena ibu bapaknya juga memiliki wajah yang cantik dan tampan, namanya juga seorang model.Namun, di balik puja puji tersebut terdapat cerita yang mengiris hati. Kejadian yang hampir merenggut nyawa Kamilia, karunia Allah yang tak terhingga, wanita itu masih bisa bernafas hari ini.Si tampan ini adalah anak Kamilia yang pertama, usia menjelang empat puluh. Kehamilannya memang agak bermasalah, ketika USG, terlihat ari-ari bayi dibawah menghalangi jalan lahir. Namun, Kamilia bersikukuh untuk lahiran normal.Saat lahiran pun tiba, siang Kamilia sudah pergi ke rumah sakit ditemani suaminya, Saiful. Ternyata pembukaan tid
Suasana hening menunggu aksi Saiful selanjutnya. Menerka-nerka apa sebenarnya yang akan terjadi.Lelaki itu berlutut di depan Kamilia. Tangannya mengeluarkan kotak segi empat kecil berwarna merah. Kamilia terpaku melihat tingkah laki-laki itu. Semua yang hadir juga tidak ada yang bersuara. Suasana hening dan syahdu. Seiring musik mengalunkan nada cinta. "Maukah kau menikah denganku?" Bergetar suara Saiful saat menyatakan keinginannya.Suara tepuk tangan gemuruh disertai suitan. Mereka berharap agar Kamilia juga menerima lamaran Saiful. Berkaca-kaca mata Kamilia, tanpa diduga laki-laki yang dicintainya melamarnya kini."Terima … terima!"Hadirin ramai berteriak. Mereka menyemangati Kamilia agar segera menerima cincin itu. Kamilia memandang ayah dan ibunya. Mereka mengangguk tanda setuju.Perlahan-lahan Kamilia menyodorkan tangannya. Saiful menyambutnya, lalu lelaki itu berdiri. Dia mengambil cincin dari kotaknya dan menyematkannya di jari manis Kamilia.Gemuruh tepuk tangan kembali mem
Sore yang cerah membawa Kamilia serta Amira dan Rinai sampai ke sebuah pelataran rumah sederhana. Kamilia dan Amira pergi menemui orang tua Amira. Untuk pertama kalinya Amira pulang setelah pergi selama bertahun-tahun.Tadinya Amira tidak mau tapi Amira memaksanya untuk meminta restu dari orang tuanya. Mereka pergi bertiga dengan Rinai ke rumah Amira."Ini rumahmu?" tanya Kamilia.Gadis itu hanya mengangguk. Dia menatap lekat rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Ribuan kenangan berlompatan dalam benaknya. "Aku tidak mau!" seru Amira."Anak durhaka, ikuti dia! Dia akan memberimu pekerjaan." bentak bapak Amira –Zulfikar."Aku masih ingin sekolah, Pak," ratap Amira."Pergilah! Ikuti dia." Suara Zulfikar semakin lemah. Hatinya juga hancur harus merelakan anaknya menjadi pelacur."Mak!" Amira mencoba memohon pertolongan kepada ibunya.Ibunya hanya menggeleng sambil menangis. Matanya sudah bengkak karena menahan tangis sejak tadi. Kini, air matanya tumpah tidak dapat dibendung lagi. Pupu
Kamilia mengusap air matanya. Bersaing dengan hujan yang semakin deras. Lamunan Kamilia semakin dalam. Tok tok tok.Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Rupanya Saiful sudah berada di ambang pintu."Pulang," ajak Saiful."Masih hujan," ujar Kamilia. "Kayak jalan kaki saja, ayo!"Dengan malas Kamilia beranjak dan mengikuti pria itu. Wanita itu tidak ingin membantahnya. Hujan masih mengguyur Jakarta saat mereka menyusuri jalan yang basah. Tampak sepasang laki-laki dan perempuan berjalan dalam hujan. Tangan wanita itu merangkul erat pinggang laki-laki itu. Kamilia membayangkan itu adalah Garganif. Sukar diterima akal, jika dirinya kini telah berpisah. Entah mengapa sakit sekali hati Kamilia membayangkan Garganif dengan wanita lain."Kenapa?" tanya Saiful demi dilihatnya Kamilia hanya duduk mematung. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kamilia. Dia melihat sepasang manusia berjalan sambil berangkulan. "Teringat siapa?""Tidak ada, kenapa?" "Enggak, lain dari biasanya.
Kamilia merasa curiga melihat Amira dan Bintang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Ngapain mereka?" pikir Kamilia. Dia melirik ke arah Saiful. Sama juga, lelaki itu tampak tersenyum misterius.Rinai yang sudah selesai berbelanja mengajak Kamilia untuk segera pulang. Namun, Saiful memberi kode bahwa dirinya masih ada tempat yang dituju."Oom masih ada urusan lain. Jangan dulu pulang, ya!" bujuk Saiful."Mungkin dia ada urusan mendadak," pikir Kamilia.Berlima mereka menaiki mobil mewah keluaran terbaru. Bintang dan Amira duduk bersebelahan di belakang. Rinai dipangku oleh Kamilia. Terlihat sebagai keluarga yang sangat bahagia. Kamila tersenyum bahagia, begitu pula Saiful. Lelaki itu selalu menyunggingkan senyum."Apa ih, senyam-senyum?" tanya Kamilia."Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu tutup mata deh," jawab Saiful."Kenapa? Kalian pada kenapa, sih? Kok mencurigakan?" Kamilia bertanya."Tidak ada apa-apa?" Saiful tersenyum penuh misteri."Apa, sih?" Kamilia menggerutu. "Sok mister
Hari ini Kamilia berniat untuk pergi ditemani oleh Saiful dan Rinai. Bintang dan Amira juga merengek ingin ikut. Dasar, ada-ada saja mereka ini. "Ayolah, Kak, cuma ikut saja nggak minta digendong, kok," kata Amira dengan wajah merajuk. Mau tak mau membuat Saiful dan Kamilia tersenyum dan mengangguk ke arah mereka berdua. Kubiarkan mereka asik menikmati permainan di mall itu, saat Kamilia sendiri memilih masuk pada sebuah salon kecantikan terkenal di tempat itu. Sekarang saatnya dia memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Saiful dan yang lainnya juga seperti tak keberatan meluangkan waktu hanya untuk menunggui Kamilia yang membutuhkan waktu hingga dua jam lebih itu.Setelahnya, mereka berjalan beriringan. Menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya, lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak. Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model ya
"Apa sebaiknya kita percepat saja pernikahan kita?" tanya Saiful.Kamilia yang tengah minum orange jus kesukaannya, langsung menyemburkannya dan hampir saja mengenai muka Saiful. Tentu saja lelaki itu kaget dibuatnya."Kamu itu bercandanya nggak lucu tau," kata Kamilia ketus. Wanita itu menatap ke arah Saiful yang langsung terbahak sambil mengangsurkan tisu padanya."Maaf, kamu sampai kaget begitu. Tapi aku tidak bercanda Kamilia, aku serius dengan ucapanku barusan.""Kamu pikir mentang-mentang aku janda, makanya kamu bisa seperti itu memintaku untuk menikah segera?" "Bukan begitu maksudku, hanya saja aku sudah tak tahan dan ingin segera memilikimu. Lagi pula aku takut tergoda dengan yang lain, atau kamu akan kembali kepada Garganif lagi," ungkap Saiful jujur.Kamilia memutar bola matanya malas, merasa ucapan Saiful sungguh tidak penting."Jika aku mau kembali kepada lelaki itu, aku tidak akan duduk di sini bersamamu dan mengatakan padamu tentang kedatangan papanya Rinai.""Oh ya, beg
Kamilia menghentikan mobilnya tepat di depan mereka, Amira dan Bintang. Tawa Kamilia terhenti saat melihat mata Amira bengkak."Apa yang terjadi?Jangan bilang kamu yang membuat Amira menangis!" tuduh Kamilia kepada Bintang."Bukan bukan aku," elak Bintang. Pemuda itu melihat ke arah Amira mengharapkan dukungan."Bukan, Kak. Aku hanya teringat Andra." Amira menjawab sambil masuk ke mobil. "Kamu gak ikut?" tawar Amira."Aku bawa motor." Bintang melambaikan tangannya kepada mereka."Kamu pacaran sama Bintang?" tanya Kamilia."Hehehe." Amira hanya tertawa malu. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Ya, sudah, gak apa-apa. Kakak juga mau nikah," ucap Kamilia mengagetkan Amira."Sama siapa?" Amira menoleh dengan cepat, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Saiful." Seketika ingatan Amira melayang kepada sosok laki-laki tampan yang bermata teduh. Seorang laki-laki yang sempurna. Amira juga ingin mempunyai suami seperti dia. Sudah ganteng, sholeh, punya perusaha
Laila terkejut mendengar perkataan Amira. Bisa saja Andra meminta Bintang untuk mencintai Amira."Bisa jadi," kata Laila sambil berbisik. Mereka menjaga agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain."Ssst … jenazah sudah keluar. Ayo!" Amira menggamit lengan Laila. Mereka berjalan beriringan dengan pelayat lainnya. Bintang tampak menggandeng sang ibu. Bintang mengedipkan matanya sebagai isyarat dirinya tidak bisa dekat-dekat dengannya. Amira mengangguk, gadis itu mengerti.Amira menangis saat pemakaman, begitu pula Laila dan Adelia. Mereka bertiga lama terpekur setelah orang lain pulang. Mengenang saat-saat kebersamaan dulu dengan kenangannya masing-masing."Kita pulang, yu," ajak Laila.Amira dan Adelia mengangkat wajahnya. Mereka berdiri lalu beranjak dari gundukan tanah merah itu. Berjalan menyusuri deretan batu nisan.Amira menoleh ke arah makam Andra. Gadis itu seperti melihat Andra berdiri menatapnya. Amira berhenti memperhatikan, dia akan kembali lagi. Namun, Laila menggamit le