Alex menatap Bethany dengan tegang. Ia hampir tidak dapat mengeluarkan sepatah kata apa pun. “M-menyembunyikan apa maksudmu?” tanyanya pada Bethany dengan sedikit gagap.Bethany menatapnya dengan dalam dan terdiam sesaat. Ia tidak mampu menahannya lagi, dia harus mengatakannya sekarang. “Kau ....” Alex menengguk ludahnya sendiri menunggu kelanjutan pertanyaan dari Bethany.“Kau belum mandi kan sejak kemarin?! Kenapa kau masih memakai baju yang sama dan sangat bau sake?!” teriak Bethany yang akhirnya tidak dapat menyembunyikan rasa kesalnya. Alex membuka matanya lebih lebar dan akhirnya tertawa terbahak-bahak. Muncul ide jahil dalam dirinya. Ia menghentikan tawanya dan kembali menatap Bethany.“Jadi, kau menyadarinya? Sebenarnya ....” Alex menyentuh beberapa helai rambut Bethany dan melanjutkan kalimatnya dengan senyum misterius. “Sebenarnya aku menunggumu.”Bethany terdiam sejenak dan tersadar akan apa yang dimaksud oleh Alex. “Kau gila?! Pergi sana! Jangan sentuh aku.” Beth
Bethany menyerahkan anak laki-laki yang ia gendong kepada Vallery, ia menghampiri salah satu anak bayi yang sedang menangis di tempat tidur. Menurut Haidy tadi, dia hanya perlu mengganti popoknya. “Di mana kau menyimpan popoknya?” tanya Bethany kepada Haidy yang sedari tadi masih menenangkan anak kembar yang satunya. “Di bawah sana.” Haidy menunjuk sebuah keranjang besar di sudut ruangan, di sebelahnya terdapat sampah yang sebagian besar adalah popok bekas pakai. Bethany kemudian mengambil tisu basah dan membasuh perlahan kotoran yang ada pada makhluk kecil di depannya kini. Beruntungnya, ia pernah diajari ibu pengurus panti asuhan dalam mengganti popok bayi. “Sudah selesai. Aku akan mengelapnya dengan air hangat,” ujar Bethany setelah mengingat langkah selanjutnya. Setelah Bethany kembali dari dapur untuk mengambil sebaskom air hangat, ia memperhatikan Haidy. Haidy kini sedang menyusui bayi yang ia gendong, tapi matanya tertuju pada bayi satunya lagi yang berbaring di tem
Seusai rapat, Bethany dan timnya mulai menyusun segala rancangan pembuatan produk yang ia rencanakan dengan timnya. Beberapa hari terakhir, Bethany dan timnya mulai bekerja lembur untuk mengerjakan project tersebut dengan sungguh-sungguh. Ia dan Betty juga sudah bolak-balik ke pabrik pembuatan produk baru mereka. Setelah akhirnya mereka memastikan sample dari produk tersebut sudah selesai. Bethany menyusun dokumen untuk segera disetujui oleh para petinggi perusahaan Magesty. Alex mengantar Bethany pulang ke apartemennya dan membahasnya bersama di apartemennya. “Alex, bagaimana jika project ini ditolak oleh Bob si botak itu?” tanya Bethany. Alex terdiam sejenak dan fokus dengan pemikirannya sendiri. “Kurasa aku bisa mengatasinya,” jawab Alex dengan sangat yakin. “Benarkah? Bagaimana caranya?” tanya Bethany yang belum terbiasa dengan sikap Alex yang sangat bisa diandalkan. “Aku bisa. Kau hanya perlu tunggu hasilnya,” tukas Alex yang enggan membahasnya lebih lanjut. “Kau tahu
Bethany memandang Alex dengan tatapan yang dalam. Ia merasa ada sesuatu yang salah dari semua ini.“Kenapa kau lakukan ini?” tanya Bethany.“Kenapa? Karena aku tidak mau kau salah paham dengan wanita yang memelukku tadi,” jawab Alex.“Bukan. Maksudku, kenapa kau perlu tergesa-gesa menjelaskannya? Aku bahkan belum sempat mencurigaimu. Aku melihat caramu mendorongnya saat dia memelukmu.” Bethany menjelaskan perasaan yang sejak tadi ia pendam.“Kau tidak ... cemburu?” Alex menaikan alisnya, agak terkejut dengan pernyataan Bethany barusan.“Itu bukan berarti aku tidak cemburu. Aku hanya ....” Bethany terdiam sejenak sambil memikirkan definisi yang tepat dengan apa yang ia rasakan.“Aku hanya mempercayaimu,” lanjutnya.Alex membuka matanya lebih lebar. Tidak menyangka dengan jawaban Bethany barusan. Ia makin merasa bersalah dengan ucapan itu.“Kau benar-benar mempercayaiku?” tanya Alex dengan sedikit ragu.“Kau meremehkan rasa sukaku padamu?” balas Bethany yang langsung cemberut dan membuan
Hari ini, Bethany mengunjungi pabrik pembuatan sample produk baru yang akan dikerjakannya dengan timnya. Produk itu berupa satu set produk kosmetik yang didesign seperti peti harta karun dan memiliki gembok di luarnya.“Apa ini tidak terlalu mewah?” tanya Betty yang saat itu menemaninya ke pabrik pembuatan sample produk tersebut.“Bukankah kita telah menyetujui hal ini?” Bethany sedikit protes dengan komentar rekannya tersebut.“Ya, kita memang sudah sepakat. Tapi, melihatnya secara langsung seperti ini sangat ... entahlah, aku merasa ada yang kurang cocok dengan konsep project kita.”“Bukankah ini sangat ‘Magesty’?” tanya Bethany dengan memberikan kode tanda kutip dengan jari tangannya.“Ya, ini sangat mewah seperti citra brand Magesty. Tapi, bukankah konsep kita adalah Beauty Reborn? Kita seperti memerlukan sesuatu yang sederhana tapi mengejutkan.”“Kita sudah sampai sejauh ini. Kita tidak mungkin mengubah sample produknya lagi,” kata Bethany dengan pertimbangan waktu yang sangat me
Danny memasuki ruangan dan duduk di kursi paling ujung. Bukan hanya untuk mendengar presentasi dari Betty, tapi seolah juga ingin mengamati seluruh tim baru Bethany.Danny menyilangkan tangannya di dada, melihat satu per satu seluruh wajah yang ada di ruangan tersebut. Dia menatap mereka dengan tatapan yang tidak dapat didefinisikan. Ia hanya terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri.Alex duduk di sebelahnya, ia berbisik sesuatu yang tidak dapat didengar oleh seisi ruangan tersebut. Danny terlihat tersenyum dengan kata-kata Alex.“Jadi, kita akan memulai ini segera. Kirim desain ini ke tim produksi dan kita akan segera memproduksinya secara masal.” Danny menutup kalimatnya dan langsung berdiri, seolah puas dengan apa yang ia lihat dan dengar.Sebelum keluar ruangan, Danny memanggil Bethany, dengan nama samarannya. “Bella, ikut ke ruanganku sekarang.” Bethany mengangkat sedikit alisnya, merasa heran dengan permintaan yang sangat tiba-tiba tersebut. Ia memandang Alex untuk menanyaka
Alex mengajak Bethany untuk kembali ke penthousenya. Bethany merasa bahwa Alex tidak terlalu nyaman berada di apartemen yang ia tinggali. "Jangan berpikir macam-macam. Aku bukan melihat tempatnya. Aku hanya merasa kau selalu sedih ketika berada di sana." Alex mencoba menebak isi pikiran Bethany. Bethany tersenyum, Alex benar-benar memahaminya. "Ya, kau benar. Aku selalu teringat Bella ketika berada di sana. Terang saja, itu apartemen milik Bella." "Beth, sampai kapan kau berencana akan tinggal di sana?" tanya Alex sambil menyetir mobilnya. "Mungkin, sampai seseorang membawaku pergi untuk tinggal bersamanya." Alex tiba-tiba mengerem mobilnya secara mendadak. Ia kini menatap Bethany dengan serius. "Kau mengatakan itu dengan serius?" tanya Alex yang mengerti maksud dari arah pembicaraan Bethany. Bethany mengangguk untuk mengkonfirmasi. "Kau mau tinggal bersamaku? Di apartemenku?" Alex lagi-lagi masih tidak mempercayainya. Bethany tersenyum, mengerti bahwa hal itu sulit dimengert
Bethany dan kedua rekannya yang lain sudah di sambut oleh Wendy. Wendy menyuruh mereka segera masuk ke area pabrik. "Ini benar-benar sudah bisa beroperasi?" tanya Bethany dengan takjub. "Ya, sebagian besar sudah bisa digunakan. Bagian lainnya sudah 80% dalam proses pembangunan," ujar Wendy dengan senyuman. "Ayahmu benar-benar mencurahkan uangnya untuk ini semua?" Vallery bertanya dengan rasa yang sama takjubnya dengan Bethany. Wendy terkekeh mendengar pertanyaan Vallery. "Walaupun tidak semua uangnya habis untuk ini. Ya, kurasa dia memang sangat memprioritaskan pabrik ini. Terutama karena pabrik ini menjadi salah satu mata pencaharian sebagian besar penduduk desa." "Bagaimana bantuan yang dikirim perusahaan selama para pekerja tidak bisa mencari nafkah?" tanya David penasaran. "Sesuai yang kalian janjikan sebelumnya. Bantuan itu terus menerus datang. Beberapa bahkan berasal dari seorang relawan yang tidak diketahui namanya, " jelas Wendy. "Relawan?" Bethany menyip