Benar-benar suatu kebetulan yang tidak disangka-sangka, dimana ketika Dimas melontarkan perkataannya, sosok yang ingin ia ajak bicara pun mendengar seluruh kalimatnya.“Ayah nggak serius kan?” tanya Adnan dengan raut wajah yang tak mampu terjelaskan.“Eh, kamu denger ya? Hehehe.. Ayah cuman latihan acting tadi. Nggak usah dianggep serius, Nan.” Dimas pun menyangkal. Merasa tidak enak hati, ia pun melarikan diri, pergi begitu saja dari hadapan menantunya.Lagi Pula, ia tak mungkin serius melontarkan kalimat yang nantinya akan merugikan sang putri, terutama dirinya sendiri.Meminta Adnan mengembalikan Cinta disaat anak perempuannya itu tengah berbadan dua sama halnya dengan menggali lubang menuju gerbang masuk neraka— singkatnya, mendatangkan cobaan ditengah kehidupannya yang harusnya berjalan damai.Ck! Tolong jangan mempertanyakan rasa sayang Dimas kepada putri tunggalnya.Kalimatnya itu tak berarti jika dirinya tidak mampu menghidupi Cinta dan calon cucu di perut putrinya. Hanya saja
“Mom.. Hiyaa! Aing mabuur!” jerit Cinta tatkala tubuhnya terangkat ke udara sebelum mendarat tepat di atas panggulan bahu Adnan.“Momooon, gue diculik, lontoooong!!” Cinta kembali menjerit, kali ini dengan kedua tangan bergerak tak beraturan, bermaksud meminta bantuan anak tetangga yang sudah lama tak ditemuinya.Simon alias Momon, pemuda itu menatap penculikan sahabatnya dengan rahang terbuka. Ia tidak beranjak satu inci pun, membiarkan Cinta berduel secara mandiri dengan pria yang menculiknya.“Ntar juga dibalikin kalau udah ngerasain ruginya.” Lontar Simon, tak yakin penculikan Cinta akan bertahan lama. Yah, paling lama mungkin sampai nanti malam. Setelahnya, tubuh sahabatnya itu akan dikembalikan, lengkap bersama tas makanan ringan hasil rampokannya.“Simon, Bangke! ini gue beneran diculik!!” teriak Cinta kala Adnan mencoba memasukkan tubuhnya ke dalam mobil.“Tolongin, Nyet!!”Simon mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Terakhir membantu Cinta yang hendak diculik, ia justru i
“Damn! Your bacot ya, Cin! Gue udah straight! Udah hamilin anak orang jug..”“Lo apa?” tanya Cinta saat Simon memotong kalimatnya sendiri dengan sebuah tamparan usai menyadari bahwa mulutnya sudah keceplosan.“Eng.. Enggak.”Cinta menyentak galak. “Nggak mata lo!” Jemari yang telah meninggalkan helaian rambut Simon pun kembali mampir, menjambak rambut sahabat jahanamnya, jauh lebih kuat dari sebelumnya.“Bocah sarap! Ngehamilin anak siapa lo, Sat?!”“Aaak! Mas, help! Bini lo kerasukan, Mas!” teriak Simon, meminta bantuan. Ia memegangi telapak tangan Cinta yang menarik rambutnya, mencoba meminimalisir rasa sakit yang disebabkan oleh jambakan sahabatnya.“Ampun, Cin. Semua bisa dibicarain. Nggak usah pake kekerasan ya..” Mohon Simon, memelas.Ia memang sempat kehilangan arah. Menilai jika arah orientasinya berbelok karena tak kunjung mendamba pada lawan jenis. Namun hanya sebatas itu— ia tidak berpikir akan mendalami ketidak-tertarikannya itu pada sesamanya.“Hem..”Melihat picingan taj
Merasakan keberadaan seseorang yang selalu mengikuti langkah kakinya, Cinta pun berpikir untuk membuktikan dugaannya itu— dengan cara mempermainkan langkahnya.Sebelum berhenti melangkah, Cinta terlebih dahulu menajamkan indera pendengarannya.‘Kena lo!’ pekiknya dalam hati, setelah tebakannya terbukti benar.Tak ingin meloloskan manusia yang menguntitnya, ia pun dengan cepat memutar tubuhnya ke belakang.“He?” kaget Cinta mendayu. Ia lalu bertanya pada si penguntit yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, Simon. “Ngapain lo ngikutin gue sama Mas Adnan?!”Dengan tampang tak enak dipandang berkat bogem mentah Adnan, Simon yang kacau itu menggerundel, berkata bahwa dirinya juga akan pulang.“Oh.. Yaudah, gih!” lontar Cinta mempersilahkan dengan sebelah lengannya yang terbuka.“Ya kalian duluan lah yang jalan. Gue kan nebeng kalian.”“Lah, apa hubungannya Mon?” tanya Cinta, sepolos anak yang baru dilahirkan ke muka bumi.“Kunci mobilnya kan di laki lo, Cintul. Gue gimana bisa masuk kala
Bak anak raja dari kerajaan paling makmur sejagat raya, Cinta menikmati siang harinya dengan berlayankan para dayang setianya. Dayang-dayang itu tak lain adalah suami, ibu mertua dan anggota termuda di rumah yang dirinya tinggali sekarang.“Tante, aaaakk..”Disaat Nathania bertugas sebagai pengawas isi mulut Cinta, dayang ke 2, Adnan, secara bergantian memijat kaki-kakinya yang masih terbebas dari pembengkakkan. Sedangkan dayang ke 3, dayang paling spesial yang Cinta miliki, memenuhi job desc-nya dengan menggeser layar iPad. Menawarkan serangkaian produk yang siapa tahu saja akan diminati oleh menantu kesayangannya.Ketiganya benar-benar mendedikasikan diri untuk kepuasan sang putri.“yang ini kayaknya bakalan cocok deh kalau dipake buat acara tiga bulanan nanti. Modelnya eye catching. Nggak norak even diamond-nya lumayan gede.” Ucap Diah sembari mengetukkan jari telunjuknya pada barang yang sedang dirinya pilih.Wanita itu melakukan cubitan pada permukaan layar untuk memperbesar tampi
“What the..”Cinta tercengang, begitu juga dengan Adnan. Keduanya kehilangan kata-kata kala tak hanya mendapati Simon seorang diri, melainkan bersama dengan dua buah koper yang pria itu letakkan di kedua sisi tubuhnya.“Gue diusir..” Ucap Simon, pelan, nyaris tidak terdengar andai si kecil tak membeo, menirukan kalimat yang pria itu ucapkan.“HEEEE?!!!”“Om temennya Tante Cinta ya?”Simon dengan sisa-sisa kekuatannya mengangguk.“Kok jelek sih?”Seketika saja pipi-pipi Cinta menggembung dengan ujung bibir saling terekat erat.“Ni bocah siapa sih? Rusuh amat dah! Nggak liat apa, orang lagi sengsara!”Nathania melengos. Gadis cilik itu melompat, menuruni sofa panjang yang ia naiki dengan tujuan mengobservasi tamu tantenya.“Mamiii! Thania diomelin om-om jelek, Maaam!!” teriaknya mengadu, meski belum berhadapan dengan maminya.“You!!”Cinta berlari menghampiri Simon. Perempuan itu menurunkan jari telunjuk yang Simon gunakan untuk menuding keponakan suaminya.“Gila ya, lo! Itu anak cucu k
Permasalahan yang menyeret peran Cinta masuk ke dalamnya pun, akhirnya dapat terselesaikan setelah Cinta menghubungi ayahnya.Perempuan itu meminta agar sang ayah mendatangkan orang tua Simon ke rumah mertuanya. Setelahnya, nama baik yang dijadikan kambing hitam atas kesalahan anak itu pun, pulih dalam hitungan menit.“Pak Samuel, Bu Diah, sekali lagi, kami meminta maaf untuk ulah tidak tahu malu anak ini.”“Biar kami angkut anak ini ke Bantar Gebang, Pak.” Imbuh papa Simon, menimpali permintaan maaf yang entah sudah berapa kali diucapkan oleh istrinya.Mendengarnya, Simon pun merajuk. “Mah, Pah! Simon bukan sampah ya!” Anak itu sama sekali tak memperlihatkan kesan laki-laki dewasa pada umumnya. Persis seperti Cinta yang tak mau repot untuk menyembunyikan keaslian dirinya dihadapan orang lain.“Yailah, pake lupa jati diri lo, Mon. Lo kan sampah. Sampah Masyarakat!”“Bacot lo, Cin! Kalau nggak ngikutin nasehat lo, hidup gue nggak bakalan begini ya!”Perang mulut pun terjadi dengan Simo
Mengurusi masalah sendiri saja sudah melelahkan, eh, ini, mereka malah harus mengurusi masalah orang lain, yang orangnya saja tak merasa jika dirinya bermasalah! Sungguh terlalu kalau kata Bang Haji Oma.Terima atau tidak, keputusan pun telah dibuat oleh orang tua Simon. Posisi sebagai pewaris anak itu kini terancam dengan kandidat lain yang dirinya buat secara tidak sengaja.Rasakan! Memangnya enak. Sedari awal jika anak itu tidak berdrama dan mempertanggung jawabkan perbuatannya, kisah malang tentang terampasnya hak waris anak itu pasti tidak akan tercipta.Gara-gara Simon, hari-nya menjadi sangat sibuk. Ia tidak hanya dipaksa ber-cosplay untuk jadi penasehat dadakan, tapi juga detektif swasta tanpa bayaran yang harus mencari data-data seorang wanita, yang sosoknya dihamili oleh sahabatnya.“Capek banget, capek.” Racau Cinta sembari menggeleparkan tubuhnya keatas ranjang.Dari arah belakang dengan langkai zombie-nya, Adnan pun menyusul pergerakan sang istri. Namun, sebelum pria itu
“Engh.” Cinta mengerang. Wanita itu menengadahkan kepala, menarik napas dalam-dalam untuk ia hembuskan lagi keluar. “Mau kemana, Sayang?!” Dibelakang meja kerjanya, Adnan memperhatikan pergerakan sang istri. Sedari tadi ia melihat Cinta yang bergerak gelisah seolah tak mau duduk tenang di atas ranjang mereka. Selama masa kehamilan akhir Cinta, Adnan telah memindahkan meja dari ruang kerjanya ke dalam kamar. Maminya yang sangat khawatir dengan menantu perempuannya, meminta Adnan untuk tak berada jauh dari sisi sang istri. Sebentar lagi, meja yang ia gunakan ini juga akan diturunkan ke kamar baru mereka di lantai satu. “Ke bawah.” “Loh, ngapain?” “Feelingku bilang, bentar lagi orang Korea itu balik.” Plak! Adnan memukul kening— ini toh yang membuat istrinya tak tenang sedari tadi. “Mereka nggak akan pulang, Sayang. Kan tadi Mbak Grace telepon, bilang kalau bakalan nginep sana.” “Pulang, Mas. Mas nggak percaya sama feelingnya aku?” Adnan mau tak mau bangkit dari kursinya.
Samuel— ayah mertua Cinta, pria paruh baya itu hanya bisa menunduk lesu sembari mendengarkan omelan istrinya. Ia juga tidak tahu kalau putri dan menantunya yang lain tidak akan pulang ke rumah malam ini. “Lagian Papi ngapain pake janji-janji ke Cinta? Ngambek kan anaknya.” Sungguh terlalu! Jika sebelumnya ia dihadapkan pada kebingungan untuk mengusir Nathan, sekarang perasaan itu kembali ia rasakan setelah sempat merasakan kelegaan. Sebelumnya ia sangat gembira mendengar kabar bahwa Nathan tak akan pulang. Pria berdarah campuran Korea-Indonesia itu memboyong anak dan cucunya pulang ke rumah maminya. Memang setelah anak-anak mereka menikah, besannya itu memutuskan untuk pindah meninggalkan kota kelahirannya. Semarang dirasa cukup jauh meski dapat ditempuh secara singkat menggunakan pesawat. Setidaknya dengan begitu, besannya berharap jika Nathan dan keluarga kecilnya dapat lebih sering berkunjung menjenguknya. “Kayaknya Nathan tuh punya kekuatan deh, Mi. Masa iya dia tiba-tiba
“Kok bisa?! Kamu tau dari mana?” “Anaknya, Mbak. Dia di rumah sekarang.” “Jadi Simon pulang bawa kabar kalau dia sakit parah?!” tanya Nirmala yang anehnya justru dibalas dengan gelengan oleh mami Simon. “Loh, ah! Terus kamu tau kalau dia sakit dari mana?” “Itu— Dia bilang, dia setuju buat nikahin Louise. Gila kan?! Anakku pasti sakit parah. Kalau enggak, nggak mungkin dia tiba-tiba mau tanggung jawab.” “...” Fix! Gelar ibu durhaka abad ini pastilah dimenangkan oleh mami Simon. Wanita itu memiliki kriteria unik yang tidak dimiliki oleh para nominator lain, yaitu pemikiran yang secara tidak langsung menjadikan kata-katanya sebagai doa untuk memendekkan umur putranya. “Kok kamu diem aja sih, Mbak? Aku lagi panik loh ini.” Sama seperti bundanya yang langsung terdiam, Cinta yang diam-diam menguping pun ikut kehilangan kata-kata. Ia jadi kasihan pada Simon. Kalau saja Simon melihat kedurhakaan maminya, Cinta jamin sahabatnya itu pasti akan tantrum dua hari dua malam. “Ekstrim ju
Tidak! Dari sekian banyak ide sesat sang istri, mengapa harus kawin kontrak yang terlintas dikepala cantik wanita itu? Anehnya lagi, Simon justru menganggap ide sesat sahabatnya sebagai langkah jitu untuk menyelesaikan masalah. Tampaknya, Simon mengira jika Cinta benar-benar memikirkan dirinya. Padahal mana mungkin Cinta berbuat sebaik apa yang dipikirkan otak dungunya. Simon seharusnya belajar dari pengalaman. Istrinya kan suka sekali menyengsarakan orang. Berbaik sangka pada Cinta hanya akan mendatangkan malapetaka. Setidaknya itu berlaku untuk orang lain, selain keluarga mereka. Khususnya orang-orang yang mengganggu kedamaian hidupnya. Seperti Simon contohnya. “Sayang, masalah Simon. Mas pikir kamu udah kelewatan deh ngasih sarannya.” Adnan hanya takut jika di kemudian hari akan datang masanya sang istri harus mempertanggung jawabkan usulannya. Dilihat dari segi manapun, Simon sepertinya memang enggan menikahi korbannya. Jika pernikahan kontrak itu diakhiri oleh Simon, nama
Andai saja tombol CTRL + Z dapat digunakan untuk membatalkan tindakannya, Simon akan menekannya dan mengembalikan situasi sampai pada titik dimana otaknya berpikir untuk meminta bantuan kepada Cinta.Ya! Dari sana!Ia akan langsung menekan tombol delete ketika ide sesat itu mulai terlintas. Kemudian membuka recycle bin, menghapus kembali data yang telah ia hapus agar hilang permanen dari otak kecilnya.Masalahnya, nasi sudah menjadi bubur sekarang. Ia pun bukan perangkat lunak yang dapat dioperasikan dengan menggunakan rumus-rumus di atas. Ia manusia biasa dan bukan Nabi, Boy!Eh, eh. Bercandya!Ck!Nahas memang. Kebodohannya dalam mengambil tindakan, tidak dapat dibatalkan apalagi dikembalikan seolah semuanya tidak pernah terjadi. Sekali lagi, ia manusia bukan mesin rakitan berteknologi mutakhir.Namun sebagai manusia, situasi seperti sekarang ini tidak akan menumbangkannya. Mengapa tidak? Ia bukanlah alat yang kemutakhirannya dikendalikan oleh makhluk bernyawa. Ia jauh lebih mutakhir
Menurut Cinta, Simon adalah satu-satunya manusia yang banyak tingkah. Dia layak mengantongi label sebagai manusia terbobrok sepanjang masa. Jika ada nominasi pun, pemuda itu akan menang dalam perebutan nominasi ‘Manusia dengan Rasa Syukur Terminim,’ sejagad raya.Ya, dialah pemenangnya untuk urusan persyukuran duniawi.Jangan salah kaprah. Simon menang bukan karena dia pandai bersyukur. Nominasinya kan sudah jelas. Terminim! It means, kadar syukurlah berada di tingkat terbawah dibandingkan dengan peserta lainnya.Kasarnya, Simon itu manusia yang patut untuk segera diambil nyawanya.“Fucek! Nggak pernah ya aku se-emosi ini sama human.”‘Mana adaaaaa!!’ jerit dewi batin Adnan. Hoaks itu. Istrinya every day, every time tidak pernah, tidak emosian.Tolong ampuni istrinya yang lupa diri. Di kamus wanitanya itu, hanya tertulis satu kalimat. Yaitu, Cinta tidak pernah salah. Kalau Cinta salah, maka kembali lagi ke kalimat pertama.“Mas, habis ini kamu harus mandi air kembang tujuh rupa ya. Ta
“Pi, Pi! Jangan lupa sama kesepakatan kita tadi ya.” Ucap Cinta setengah berteriak dengan kepala yang melongok melewati kaca mobil Adnan. “Bye-Bye, Papi. Ketemu lagi abis sarapan ya. Love you, muaaach!” Suaranya terdengar ceria, lengkap bersama lambaian tangan untuk berpamitan kepada papi mertuanya.“Ya Tuhan, Mami. Kamu tuh sebenernya ngedapetin mantu apa malaikat maut sih? Tiap hari loh Papi berasa mau tutup usianya.” celoteh Samuel setelah mobil putranya kembali melaju, meninggalkan dirinya yang enggan ikut sarapan bubur bersama keduanya.Menantu mereka memang selalu ada saja gebrakannya. Iya juga heran kenapa bisa begitu. Cinta seakan tak bisa hidup anteng, menikmati kehidupannya dengan duduk manis tanpa membuat huru-hara.“Ck! Gimana caranya ngusir Nathan?” monolog Samuel, kebingungan.Kalau saja Nathan bukan suami putrinya, pengusiran itu akan sangat mudah untuk dilakukan. Masalahnya, Nathan sekarang bukan lagi orang luar di keluarga mereka. Statusnya setara dengan Cinta— sama-sa
“Sayang..” Cinta memalingkan wajah, menatap Adnan yang kini menghampiri dirinya. “Sarapannya Mas bawa kesini ya?” tawar Adnan agar istrinya tak melewatkan sang istri tak melewatkan makan paginya. Setelah mengetahui jika perempuan yang tertawa bersama Adnan ternyata mempunyai seorang suami, Cinta yang kepalang malu pun memutuskan untuk kabur ke ruang keluarga. Ia kehilangan muka karena terhasut oleh sepotong video yang diberikan Nathan kepadanya. “Nggak laper. Mas aja yang sarapan.” Mendengar jawaban sang istri, Adnan yang berjarak beberapa centi dari Cinta, ikut mendudukkan dirinya pada kursi yang sama dengan istrinya. “Kok gitu, Mami? Dedek dari semalem nggak dikasih maem loh. Dia pasti laper.” Semalam setelah memarahi Adnan, Cinta memilih mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak menampakkan batang hidungnya meski Adnan memohon agar sang istri menyudahi kemarahannya. Ada satu hal yang lebih mengejutkan untuk Adnan. Dibandingkan kemarahan tiba-tiba sang istri tadi malam, kabar m
Ya Tuhan, beginikah penampakan perempuan ketika hamil besar?!— Cinta merasa dirinya sangatlah seksi. Dari seluruh penampilannya, penampilan kali ini benar-benar spektakuler. Perutnya yang membesar dengan lubang pusar menonjol membuatnya merasakan perasaan bangga sebagai seorang wanita. “Seksoy bet gue. Aaaak! Kek gitar Spanyol. Menonjol dimana-mana.” Adnan hanya bisa menganga. Istrinya ini sedang kerasukan setan apa ya? Sejak keluar dari kamar mandi, wanita itu hanya mematut dirinya di cermin sembari berlenggok memamerkan kesintalan tubuh hamilnya.Adnan sih bukannya tidak suka. Suami mana yang tidak suka dengan tingkah seduktif istrinya. Hanya saja, pagi ini ia memiliki rapat yang keberadaannya tak bisa untuk dibatalkan dan istri cantiknya tahu akan hal itu.“Mas, Mas!” Seru Cinta, memutar tubuhnya menghadap Adnan. “Liat Mas, tete aku. Tumpeh-tumpeh.”“Sa-Sayang..” Ucap Adnan, terbata.“Anjrot muncrat!”Seketika saja kepala Adnan dilanda pening yang begitu hebat.Tak kuat melihat a