Mama tertegun dengan ucapanku, tetapi dia memilih mendekati Meri bukan mengambil pakaian kotor yang ada di tanganku.
"Tadi katanya sudah nyuci?" tanya Mama pada Meri.Meri hanya diam tidak menjawab pertanyaan Mama."Berikan pada Meri, Mar. Biar dia yang nyuci sendiri!" Yes, aku berhasil. "Siap, Ma." Aku berbalik menuju Meri yang menahan amarah memberikan pakaiannya lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Sebelum aku menutup pintu kamar ku lirik Meri yang berjalan sambil menghentakan kaki.Aku tidak peduli!Hari ini aku akan mengunjungi usahaku setelah beberapa hari tidak berangkat dan memilih menyuruh orang lain untuk mengurus lapak sayur yang aku rintis dari nol.Aku tidak mau para pelangan pergi karena saking lamanya aku tidak mengirim barang ke mereka. Meski jarak yang harus aku tempuh sekitaran satu jam perjalanan belum lagi baliknya, tetapi hari ini aku ingin memberi tangung jawab kepada dua orang yang membantu aku selama ini.[Mas, aku berangkat sekarang ya 😊 ]Segera aku kirim pesan lewat aplikasi berlogo gangang telepon berwarna hijau kepada Mas Anjar. Segera aku bergegas keluar kamar untuk berpamitan kepada mama."Ma, aku mau pergi sebentar, tadi sudah pamit sama mas Anjar." Aku menghampiri mama yang sedang mengaduk minuman entah apa. "Hati-hati, ya," pesannya sembari mengulurkan tangan untuk aku cium. Pikiranku terlalu jauh tentang mertuaku, ternyata dia tidak se-julid yang aku kira.Aku menghampiri kulkas untuk mengambil snack yang kemarin aku beli untuk bekal, tetapi ternyata sudah lenyap tanpa sisa. "Ma?" "Tadi Meri yang buka kulkas," kata mama seolah paham dengan gerakku.Aku berjalan menuju kamar Meri, membuka pintu yang ternyata tidak di kunci. Aku segera mengambil beberapa snack yang tersisa. "Mbak ini apa-apaan!" bentaknya. "Emang kamu yang beli seenaknya makan tanpa bilang dulu!" "Halah timbang makanan kek gitu doang marah, emang dasar ud ik!" "Yaa sudah beli dengan uang kamu sendiri, jangan asal nyomot!" Segera aku keluar kamar Meri, bisa-bisa aku terlambat bertemu dengan juragan cabe. +++Suasana pasar cukup ramai, setelah membayar Grab Car aku segera meluncur ke lapak milikku, rencananya kedatanganku kali ini aku akan membeli ruko tepat di belakang lapak yang aku dirikan, usaha memang tidak menghianati hasil. "Eh, Mbak Yuni. Sayur sebagian belum datang, Mbak," sambutnya ramah. Mbak Wati menemaniku sejak dua tahun terakhir, dia orang yang paling cekatan dalam melayani pembeli dan membersihkan sayur yang perlu di bersihkan."Iya, Mbak. Aku mau ke Pak Man dulu." Aku berjalan di samping ruko menyisir jalan setapak yang merupakan jalan pintas menuju rumah Pak Man pemilik ruko, setelah memberi arahan kepada mbak Wati untuk memenuhi permintaan para pelanggan dengan baik. Mau bilang pake peribahasa tapi lupa intinya kebetulan Pak Man sedang berada di teras rumahnya. Setelah basa-basi menyapa aku utarakan keinginanku untuk membeli ruko yang beberapa bulan yang lalu beliau tawarkan. Pak Man memanggil sang istri untuk membawakan berkas-berkas yang sudah di siapkan agar jual beli ini segera terlaksana. Toh, sebelumnya kami sempat membahasnya di telepon, bahwa transaksi kali ini, aku hanya ingin bertemu sekali dan langsung selesai. Menghemat waktu tentunya. Setelah menyebutkan nominal dan nomer rekening beliau memintaku untuk segera mengirimnya. Sembari menunggu para saksi yang di hadirkan oleh Pak Man, seperti Rt dan para saksi yang lainya aku mengambil foto sertifikat, ku edit dan di tambahkan screenshot nominal transfer lalu aku buat story wa, tetapi sebelumya aku setting hanya Meri iparku yang melihatnya. *Alhamdullilah, meski tak berijasah Allah mempermudah langkah* Tulis statusku akhirnya. Semenit dua menit tidak ada respon, lalu aku letakan hape dalam tas agar transaksi ini cepat selesai dan bisa segera bertemu dengan juragan cabe yang sudah menunggu.Klik.Bunyi pesan masuk dalam hape, aku pikir juragan cabe yang mengirimi pesan ternyata ipar yang membalas story wa yang aku buat beberapa menit yang lalu.[Halah, nyomot di g****e aja bel gu! 🤣🤣🤣🤣]Dia pikir aku seperti kelakuannya, orangnya di rumah setatusnya dimana-mana. Haha[Iri bilang, Bos😎😎] Tidak ada jawaban darinya hanya centang dua biru yang terlihat. Transaksi berjalan dengan lancar, meski harus menunggu saksi yang lumayan lama, akhirnya sertifikat ruko sudah aku kantongi.+++Jam yang melingkar di pergelangan menunjukan angka enam sore setelah aku sampai di rumah mertua indah, katanya. "Assalamualaikum, Mas." Aku berjalan menghampiri Mas Anjar yang sudah menunggu kepulanganku."Waalaikumsalam, masuk yuk, Yank. Aku udah masak buat kamu," ajaknya. Aku menurut, mengikuti langkah lebarnya menuju meja makan, makanan favoritku sudah terhidang. Sambal beserta lalapan dan juga lele goreng. Alamak duniaku indah sekali rasanya, pulang dalam kelelahan di sambut makanan yang mengiurkan. Akan tetapi, aku belum paham betul dengan perangai suamiku ini, tentu aku harus waspada dong. Aku nggak mau kalau sampai dia tahu bahwa baru saja aku membeli ruko dengan tabunganku. Merasakan kepelitannya selama ini, membuatku yakin bahwa ada bakwan di balik udang. "Wah, dalam rangka apa ini, Mas?" tanyaku memulai pembicaraan. "Dalam rangka menyambut toko kamu yang baru," jawab Meri yang tiba-tiba sudah duduk saja di sampingku. "Toko apa? Jangan bercanda deh!" Sial, Meri sudah mengatakan semuanya pada Mas Anjar. Beruntungnya aku, Meri tidak membalas story wa, tetapi langsung chat. Jadi story yang aku buat segera aku hapus agar Mas Anjar tidak curiga."Tadi Mbak Mar sendiri yang buat status, ini lihat." Meri mencari-cari status yang aku buat, tetapi nihil karena sudah aku hapus. Jangan-jangan Meri dan Mas Anjar sama saja. Oke aku akan lebih hati-hati.Mas Anjar tidak bertanya tentang toko yang di katakan oleh Meri. Mungkin karena Meri tidak bisa membuktikannya. "Mas, bagaimana permintaanku kemarin?" tanyaku pada Mas Anjar yang masih sibuk dengan lembar-lembar kertas yang berada di depannya."Untuk apa kita pindah, Yank? Bukankah di sini lebih asik? Banyak temen ngobrol, ada mama juga Meri yang selalu di rumah," jawabnya seperti tanpa beban. Dia tidak tahu bahwa kelakuan adik perempuannya layaknya bayi, mama masih mending tidak begitu mencampuri urusanku. "Justru karena Meri dan Mama di rumah, Mas." "Terus maksud kamu Mama dan Meri suruh pergi begitu?" tanyanya memicingkan mata. "Siapa yang bilang begitu? Justru karena mereka di rumah kita harus pindah, biar bisa mesra-mesraan setiap saat. Aku nggak nyaman begini," keluhku.Urat leher Mas Anjar sedikit mengendur setelah mendengar penjelasanku barusan. Aku kira dia akan memprioritaskan aku, tetapi semua hanya keinginanku saja. Drett!Drett!Drett!Hape yang sengaja aku letaka
Setelah menutup gerbang, aku mengajak mama menyusuri trotoar. Mama hanya mengekor langkahku tanpa keluar sepatah kata pun."Mar, kalian kenapa?" tanya mama membuka percakapan. Malas sebetulnya menjawab pertanyaan mama, tetapi kalau aku hanya diam di kiranya aku yang keterlaluan. "Mas Anjar, Ma. Dia memintaku untuk membelikan jajan buat Meri, tapi nggak ngasih uang," jelasku."Jangan di kasih, biar dia mencoba mandiri!" Wanita berkerudung cokelat itu terus melangkah, sementara aku terperangah dengan ucapannya barusan. "Jadi, Mama nggak marah?" Aku balik bertanya."Untuk apa marah, lagi pun memang Anjar pelitnya minta ampun. Jadi wajar kalau harus di kasih peringatan. Biar dia tau kalau perbuatannya itu keterlaluan." Aku mencoba menggandeng tangannya, beliau tersenyum ramah, lalu mengaitkan jemari dan membawaku dalam langkahnya. Andai Simbok masih ada, mungkin aku akan sangat senang mengajaknya walau sekedar jalan membeli bubur kacang ijo langganan. "Mar, kenapa dulu kamu mau sam
"Siapa bilang, Mbak?" tanya mbak Wati kebingungan. "Teman kamu ini," ucapku menunjuk wanita yang kutahu bernama Desti tersebut. "Jangan menuduh, Mbak!" sentaknya. "Oh, ya! Lalu tadi siapa yang menjual brokoli seharga dua puluh lima ribu kepadaku tadi? Bukankah kamu yang melayaniku?" "Mbak itu siapa berani-beraninya memfitnah saya!" bentaknya tidak terima. "Wow! Ternyata ini karyawan baru yang beberapa hari yang lalu nangis-nangis minta di beri pekerjaan?" Suaraku tidak kalah lantang. Dia pikir aku akan takut dengan gertakkannya. Keributan kami mengundang para pengunjung pasar pagi itu penasaran. Akan tetapi, aku tidak peduli. Toh, orang ini sudah berbuat curang di tokoku. "Desti! Jangan kurang ajar kamu! Mulai sekarang kamu berhenti dari sini!" usir mbak Wati. "Mbak percaya sama dia! Tolong mbak jangan mudah percaya! Aku butuh pekerjaan ini," rengeknya seolah dia orang yang terdzolimi. "Iya, aku lebih percaya pada bos pemilik toko ini, di bandingkan dengan kamu. Orang yang t
Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. "Sial!" Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama."Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. "Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. "Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahk
"Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" Yaa Allah, Mbak Wati. Aku melotot ke arah mbak Wati. Untungnya Meri menghadap ke arahnya, jadi ketika aku memberi kode, Meri tidak melihat. "Maksudnya apa? Siapa pemilik semua ini?" tanya Meri seperti penasaran. "Em ... Itu ... Dia pemilik semua barang sampah ini. Jadi dia bukan kuli. Dia mengambil semua itu untuk tambah-tambah pemasukan," sanggah mbak Wati."Oh ... Aku kira dia pemilik toko ini. Duit dari mana? Hasil ngepet!" sindir Meri sambil berlalu.Aku bernapas lega. Jika tadi mbak Wati sampai membocorkan semua ini, alamat Meri akan berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa, si, Mbak? Dia siapa?" tanya mbak Wati penasaran dengan kejadian barusan. "Dia iparku, Mbak. Pokoknya jangan sampai ada keluarga mas Anjar yang tau kalau toko ini milikku. Apa lagi perempuan tadi," jelasku.Kami kembali ke rutinitas semula, setelah menutup toko, Mbak Wati berpamitan untuk pulang. Sementara aku menuju warung nasi padang.
Maksudnya seperti mantan istrinya yang bagimana?Menajamkan pendengaran dan menjernihkan pikiran yang aku lakukan saat ini. Aku ingin mendengar apa saja yang ingin mereka bicarakan, bisa jadi di luar pikiranku."Kamu sabar dulu, jangan gegabah," lanjut mas Anjar."Makasih buat semuanya, ya, Mas." Meri beranjak lalu mencium pipi suamiku.Astagfirullah. Aku bersandar di dinding agar Meri tidak melihat keberadaanku. Kini jarak antara Meri dan mas Anjar sangat dekat, bahkan mas Anjar balik mencium kening Meri. Apa seperti ini yang mereka lakukan setiap kali aku tidak ada. Bukankah mereka saudara kandung? Yaa Allah, nyeri sekali dadaku. Kuputuskan untuk kembali ke kamar, sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Kenapa mereka melakukan hal yang sangat menjijikan. Bahkan mereka melakukan selayaknya orang pacaran? Apakah hal ini yang membuat mas Anjar bercerai dengan istrinya? Kepalaku berdenyut nyeri memikirkan kemungkinan-kemungkinan di luar nalar. Tidak terasa tanggul yang sengaja da
"Maryuni, kamu dari mana?" Suara lembut itu membuatku menoleh ke sumber suara. Belum pernah aku bertemu dengan orang ini, tetapi dia bisa tahu namaku."Dia siapa?" batinku bermonolog.Perempuan berjilbab lebar itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya menyapaku. "Hai, perkenalkan aku Naomi mantan istri Anjar," sapanya ramah.Sejenak aku tertegun dengan ucapannya barusan, dia adalah mantan istri mas Anjar? Apa tidak salah mas Anjar menceraikannya? Wanita ini sungguh terlihat luar biasa. Bukan hanya parasnya, tetapi tuturnya pun lembut tidak di buat-buat. "Kok, malah bengong," imbuhnya sambil tersenyum renyah. "Em ... Saya Maryuni, Mbak. Dari mana mbak tau kalau saya istri mas Anjar? 'Kan kita belum pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku penasaran. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di sana," ajaknya menuju sebuah warung kopi.Aku menurut saja, mengikuti langkahnya sedangkan aku menyalakan motor menuju warung itu. "Kopi guday karebian satu pake es, ya, Pak. Kamu mau minum apa,
Setelah menyerahkan tas, mas Anjar bergegas memasuki kamar kami, tetapi dia berpapasan dengan Meri. "Kamu sudah jadi masak, Mer?" Meri gelagapan mendapat pertanyaan dari mas Anjar. "Belum, Mas. Meri capek banget rasanya hari ini, jadi seharian hanya tiduran saja di kamar," jawab Meri. Aku tahu ucapannya itu hanya alibi saja, toh, tadi siang dia sedang bermain dengan sangat liar, jadi mungkin kelelahan. "Trus aku makan apa? Aku belum makan dari siang, kamu yang aku titipi malah nggak masak!" sungutnya."Aku bawa ayam goreng, apa mau?" tanyaku."Yang penting bisa segera makan, tolong siapkan, ya, Dek. Aku mau mandi dulu," pamitnya. Setelah mas Anjar masuk ke dalam kamar, aku membalas tatapan tajam Meri. "Kenapa kelelahan, ya? Berapa kali?" sindirku."Apa maksudmu!" bentak Meri seolah tidak terima. Aku menyusul mas Anjar memasuki kamar, lauk dan nasi yang aku bungkus sengaja kubawa sekalian ke kamar, agar Meri tidak ikut serta menikmatinya.Sembari menunggu mas Anjar selesai de
"Yuni, aku kesini mau minta biaya rumah sakit untuk mas Anjar!" teriaknya tidak tahu malu.Dari mana perempuan ini tahu kalau aku berada di sini?"Ha!" Suara kami berempat hampir bersamaan. "Kenapa malah bengong? Sudah sini uangnya?" pintanya semakin kasar. Yaa Allah, kenapa Engkau pertemukan hamba dengan orang-orang seperti mereka? Hamba lelah Yaa Allah. Kuhembuskan napas kesal, jujur ingin rasanya menampar mu lut itu. Dia pikir aku ini mesin ATM yang sewaktu-waktu butuh tinggal ambil? Dasar E dan!"Saya tidak pernah di kasih uang sama calon suami, Anda, jadi jangan minta kepada saya. Karena Anda yang selalu di beri uang dan apa saja yang Anda butuhkan selalu di turuti, kenapa nggak Anda sendiri yang membayarnya? Apa Anda terlalu miskin?" ejekku.Wajah santi merah padam, mendengar omonganku. Aku sengaja membuatnya marah dan meninggalkan tempat ini. "Heh! Dasar perempuan udik! Nggak tahu diri! Seharusnya kamu itu sadar diri kenapa sampai Anjar tidak mau sama kamu? Lihat wajahmu
"Permisi, apa benar ini toko Ibu Anjar?" tanya seorang berseragam kepolisian."Benar, ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya bapak sembari berjalan mendekati lelaki berseragam dinas tersebut. "Pak Anjar mengalami kecelakan sekarang sudah di bawa ke rumah sakit, mohon untuk segera datang ke sana," tambahnya."Baik, Pak. Kami akan segera datang," jawab bapak mewakili. Aku hanya terdiam, bukan aku tidak khawatir dengan keadaan mas Anjar sekarang, tetapi kenapa polisi ini bisa tahu kalau aku istrinya mas Anjar? "Kalau begitu kami permisi," pamitnya undur diri. "Silahkan, Pak." Bapak menatapku sebentar, kemudian membuang napas kesal. Aku tahu perasaan bapak saat ini, mungkin heran kenapa mas Anjar bisa kecelakaan di daerah sini. Bukankah jarak antara rumah dan tempat ini lumayan jauh? Entahlah aku tidak ingin menduga-duga. "Sebaiknya kamu segera datang, Yun. Tunjukkan bahwa kamu bukan wanita biasa. Tapi bapak sarankan agar kamu hati-hati dalam bersikap, terlebih Anjar sudah tahu kalau
"Tidak berlagak, untuk membayar barang belanjaan wanita di sampingmu itu saja dia mampu!" tantangnya. Yaa Allah, dia datang. Lelaki cinta pertamaku itu sedikit menegang urat lehernya, setahu dia aku selalu baik-baik saja dengan pernikahan ini, nyatanya di depan mata kepalanya sendiri anak gadis yang sangat istimewa untuknya di permalukan. "Bapak!" Suaraku dan mas Anjar hampir bersamaan. "Siapa lelaki tua itu, Mas?" Gun dik mas Anjar terlihat tidak suka dengan kedatangan bapak. Sebab dia tidak tahu kalau mas Anjar begitu hormat dengan beliau, entah kalau sekarang. "Saya mertua lelaki yang saat ini sedang berada di samping mu!" Bapak menekan suaranya.Tidak ada takut-takutnya perempuan itu, aku lihat dia justru tersenyum sinis. "Anjar, apa yang sedang kau lakukan dengannya? Kenapa kau membiarkan istrimu persegi seorang diri? Di mana tanggung jawabmu?" tanya bapak menelisik.Aku tidak bergeming, tetap berdiri di depan kasir di sebelah gun dik dan suamiku. Kubiarkan bapak mengeluar
"Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus
"Kamu siapa!" teriak seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Sungguh aku kaget bukan main, tiba-tiba mas Anjar sudah ada di belakangku. "Yuni?" Mas Anjar terlihat terkejut melihat kedatanganku. "Iya, aku Yuni, Mas. Aku kesini hanya ingin mengambil pakaianku saja," jelasku, masih tetap membereskan pakaian dan perlengkapan miliku. Dia kembali melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu cantik sekali," gumamnya pelan, tetapi dapat tertangkap oleh indera pendengaranku.Aku tersenyum sinis, mungkin selama ini dia tidak pernah melihatku secantik ini. Bukan aku tidak mampu melakukannya, tetapi aku sangat berharap bahwa lelaki yang akan menerimaku adalah orang yang akan berjuang membuatku semakin cantik. Nyatanya, dia sangat perhitungan dalam segala hal, apa lagi mengeluarkan uang untuk membuatku semakin cantik. "Aku permisi, Mas. Aku merasakan bahwa hubungan kita sudah tidak sehat. Mungkin selama ini aku hanya akan diam saat mas mengabaikanku dan pelit dalam mena
Apa benar ini Maryuni yang kampungan itu? Aku menatap cermin kembali, betulkah yang aku lihat? Benar kata mbak Wati, aku harus merubah penampilanku. Akan aku buat mas Anjar menyesal setelah bertemu denganku nanti. "Ada yang masih kurang, Mbak?" tanya pegawai yang berada tepat di sampingku. "Nggak, sudah cukup," jawabku, sembari takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan. "Belum, masih kurang, lihat ini." Dia menunjuk pakaian yang berada di tangannya. Aku mengerutkan kening, belum paham apa maksudnya. "Coba mbak kalau baju ini," perintahnya. Aku hanya menurut, berjalan menuju kamar pas. Di dalam kamar pas aku merasa sangat bahagia, tetapi kalau aku berpakaian seperti ini bagaimana kalau sedang jualan? Entahlah, itu urusan nanti, yang penting sekarang menikmati saat ini. "Cantiknya," sambut para pegawai salon.Sejujurnya aku pun takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan ini. Hari ini aku berubah, terlihat begitu sempurna, bahkan pesta pernikahan yang
Tawa itu terlihat tanpa beban, sedangkan perempuan di sebelahnya nampak begitu bahagia. Siapa dia kenapa mereka sedekat itu? Mataku berserobok dengan gadis itu, dia seperti gelagapan, tetapi bisa menguasai keadaan. Aku segera berpaling, fokus ke mbak Wati yang sedang bicara entah apa. "Malah melamun! Wow!" bentak mbak Wati mengagetkanku."Mbak jangan ngagetin, lah." Aku paling kesal kalau ada orang yang ngagetin secara sengaja. Apa lagi di depan umum. "Maaf, Mbak." Mbak Wati sedikit canggung. "Mbak Wat, lihat orang yang di sebelah sana, yang pake baju kotak-kotak warna abu-abu."Mbak Wati menoleh ke arah yang aku tunjuk, keningnya sedikit mengkerut, mungkin dia heran. "Kenapa, Mbak?" "Dia mas Anjar, orang yang sedang kita bicarakan," jelasku."Keren, banget." Mbak Wati kembali menoleh ke arah mas Anjar. "Kan, malah jadi merhatiin dia?" sungutku pura-pura kesal."Maaf, Mbak." Obrolan kami terjeda karena pesanan kami tiba, harum aroma sambal yang menguar membuatku seketika mel
"Mengandung? Anak-anak siapa? Siapa yang hamil?" Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Akhirnya, saat yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Mas Anjar sudah sampai di rumah sakit, tepatnya di ruangan di mana Meri di rawat. "Meri! Kamu sakit apa?" tanya Mas Anjar khawatir. "Bawaan hamil, Mas," jawab lelaki yang kini berada di samping Meri. Aku bingung sebenarnya dengan lelaki itu, apa dia tidak tahu kalau kami adalah keluarga Meri. "Hamil?"Sementara Meri hanya dia membisu, mas Anjar menatap Meri dengan tatapan tajam. "Apa maksud dari semua ini!" bentak mas Anjar tidak bisa mengontrol emosi. "Mas ini rumah sakit," bisikku agar dia sedikit merendahkan suaranya. "Apa Meri tidak bilang, Mas? Jujur saya sebenarnya heran, apa kalian keluarga jauhnya?" tanya lelaki yang belum diketahui namanya tersebut. "Bilang soal apa? Memangnya Meri bicara apa terhadap, Anda?" tanyaku."Kami sudah menikah siri, sudah lebih dari setengah tahun. Meri bilang dia tidak mempunyai keluarga satu pun,
"Mama! Meri pingsan!" teriakkuTergopoh mama menyusulku ke kamar. Terpancar jelas kepanikan dalam wajahnya. "Meri ... Bangun Mer!"Mama histeris, melihat wajah Meri yang seputih kertas. Ada sesal yang tidak dapat di tampik. "Kita bawa ke rumah sakit, Ma," pintaku segera membopong tubuh Meri yang terlihat semakin kurus.Aku terbiasa mengangkat beban, lima puluh kilo pun aku kuat mengangkatnya, apa lagi tubuh Meri yang sangat kurus ini. "Mama keluarlah minta pertolongan!"Bergegas mama mencari pertolongan. Setelah salah satu tetangga Meri bersedia mengantar ke rumah sakit, aku meminta satpam untuk menutup pintu rumah yang di tinggali Meri. "Apa kakaknya tidak pulang?" tanya tetangga Meri. "Kakaknya masih kerja, Pak." Tidak ada obrolan yang berarti di antara kami, fokus kami hanya tentang keadaan Meri. Setelah sampai di rumah sakit, bergegas para perawat menghampiri mobil yang membawa Meri. Meri langsung di tangani di IGD. Tidak bisa kutampik, bahwa aku sangat khawatir dengan kea