Share

TERKUAK

Penulis: Marni Nayotamma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah menutup gerbang, aku mengajak mama menyusuri trotoar. Mama hanya mengekor langkahku tanpa keluar sepatah kata pun.

"Mar, kalian kenapa?" tanya mama membuka percakapan. 

Malas sebetulnya menjawab pertanyaan mama, tetapi kalau aku hanya diam di kiranya aku yang keterlaluan. 

"Mas Anjar, Ma. Dia memintaku untuk membelikan jajan buat Meri, tapi nggak ngasih uang," jelasku.

"Jangan di kasih, biar dia mencoba mandiri!" 

Wanita berkerudung cokelat itu terus melangkah, sementara aku terperangah dengan ucapannya barusan. 

"Jadi, Mama nggak marah?" Aku balik bertanya.

"Untuk apa marah, lagi pun memang Anjar pelitnya minta ampun. Jadi wajar kalau harus di kasih peringatan. Biar dia tau kalau perbuatannya itu keterlaluan." 

Aku mencoba menggandeng tangannya, beliau tersenyum ramah, lalu mengaitkan jemari dan membawaku dalam langkahnya. 

Andai Simbok masih ada, mungkin aku akan sangat senang mengajaknya walau sekedar jalan membeli bubur kacang ijo langganan. 

"Mar, kenapa dulu kamu mau sama Anjar?"

Pertanyaan yang sangat di luar nalar. Kenapa mama bertanya demikian?

"Maryuni termakan janji manis, Ma. Dia bilang setelah menikah akan menanggung semuanya. Ternyata hanya janji saja. Bukannya ingin membuka aib suami, Ma. Tapi aku sudah capek!"

Mama berbalik, manik mata hitam itu menatapku seperti meminta penjelasan.

"Semua berbanding terbalik, 'kan?" 

"Mama pasti tau." 

Belum juga mama menjawab pertanyaanku, aku sudah di kejutkan dengan kedatangan hewan yang paling aku takuti. 

Mama memintaku untuk tetap diam dan mengikuti instruksinya. Lah, dasar akunya yang bandel. 

Aku justru berlari tunggang langgang karena ketakutan, setelah berlari cukup jauh dan berbalik kebelakang aku justru di kejutkan dengan mama yang turut berlari mengejarku.

"Ya ampun, Mar." 

Napas mama tidak beraturan saat berhenti di hadapanku.

"Mama? An jing tadi ngejar mama juga?" Aku celingak-celinguk mencari keberadaan hewan itu, takutnya tiba-tiba dia datang dan menggigitku.

Mama sibuk mengatur napas karena mengejarku yang berlari kencang tanpa melihat situasi. 

"Anj ingnya di ikat, kenapa kamu lari? Tadi 'kan mama sudah menahan kamu?" tanya mama keheranan dengan tingkah konyol ini.

Yaa Allah, kenapa tadi aku main lari saja? Dasar o'on! Aku menepuk jidat. 

+++

Semenjak kejadian beberapa waktu lalu bersama mama, kami semakin akrab, ternyata mama tidak seperti dugaanku selama ini. Mungkin, aku hanya terpengaruh oleh pikiranku sendiri, sehingga terlalu berpikir jauh tentang perangai mama yang tidak terduga.

Sementara Mas Anjar belum juga memberikan aku izin untuk bekerja. Walaupun sebenarnya aku memantau kinerja karyawan dari rumah. Aku tidak ingin semuanya terendus oleh suami pelitku.

Genap dua bulan sudah aku menjadi istri mas Anjar, semakin hari kepelitannya semakin kentara. Hari ini adalah tanggal gajian. Sebagai karyawan biasa di sebuah kantor yang katanya bergelut di bidang properti. Aku kurang paham dengan semua itu jadi aku iyakan saja.

"Dek, ini jatah kamu sebulan." Mas Anjar mengangsurkan uang merah lebih dari sepuluh lembar, perkiraanku.

Aku meraihnya dengan malas, tetapi aku juga tidak ingin mengecewakannya. Setelah kuhitung, ternyata benar lebih dari sepuluh karena ternyata ada lima belas lembar. 

Peningkatan. Aku yang tidak tahu berapa sebenarnya gajinya tersenyum senang. 

"Terima kasih, Mas," ucapku sembari meletakan uang pemberiannya di laci meja yang terletak samping tepat aku berada sekarang.

"Sama-sama, kamu yang pinter ngelola dan jangan boros! Kamu kan nggak pernah pegang uang banyak, takutnya malah buat senang-senang!" ketusnya. 

Ya ampun, hanya uang satu juta lima ratus saja dia sudah berkata demikian. Dia tidak tahu uang segitu hanya laba dari penjualan sayuran sehari belum laba cabe selama tiga hari. 

Hitung saja. 15.000×500kg, kadang kalau harga lagi bagus lebih juga dari itu. 

"Ya sudah, Mas saja yang mengelolanya aku tau beres saja!" Kuambil uang yang sudah kusimpan tadi. 

"Oke! Kamu tulis saja apa yang perlu dibeli. Biar aku sama Meri yang belanja," sungutnya sembari menyambar uang yang masih berada ditanganku. 

"Siap, harus cukup selama satu bulan, ya, Mas. Oiya, Mas belum memberi jawaban tentang permintaanku dulu, aku mau kerja."

"Terserah, tapi pekerjaan rumah harus sudah rampung baru berangkat kerja. Jangan lupa tanggung jawab."

Aku hanya mengacungkan ibu jari tanda setuju, besok aku akan ke toko. Kangen rasanya bercanda ria bersama teman-teman di pasar. 

Keesokannya kulihat Mas Anjar dan Meri sudah siap untuk pergi belanja. Hari minggu Mas Anjar libur kerja jadi sesuai dengan kesepakatan kemarin, bahwa dia dan Meri yang akan pergi belanja kebutuhan selama sebulan ini.

Aku yang sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan bersiap untuk berangkat ke toko. Aku bilang kepada Mas Anjar kalau aku bekerja di toko kelontong milik teman, jadi hari minggu tetap berangkat.

"Mas aku berangkat dulu, ya?" pamitaku kepada Mas Anjar yang masih menikmati teh buatanku.

"Hari minggu, kok, kerja. Hari minggu, tu, enaknya jalan-jalan!" ejek Meri tiba-tiba.

"Emang situ kerja?" sindirku.

"Sialan!" bentak Meri.

"Sudah-sudah, sana berangkat!" perintah Mas Anjar menengahi. 

"Siap!" 

Aku pergi meninggalkan rumah pada pukul tujuh, setelah mencari-cari mama yang entah di mana. Kuputuskan untuk secepatnya berangkat ke toko.

+++

Sengaja aku tidak bilang sama mbak Wati. Saat aku turun dari motor tukang ojek, kuhampiri pegawai lain karena dia sedang sibuk membersihkan daun brokoli.

"Mbak, beli brokoli satu kwintal?" 

"Baru ada delapan puluh kilo, Mbak," ucap seseorang yang aku tahu dia adalah pegawai baruku. 

Sebelum berangkat, aku menanyakan kepada mbak Wati apa saja yang telah dia beli dan harga jualnya. Dan sekarang aku hanya ingin memastikan. 

"Oke, berapa satu kilo?" 

Wanita itu cukup cekatan saat mbak Wati berada di dekatnya, tetapi setelah pergi dia sibuk dengan hape di tangannya. 

Mbak Wati tidak mengenaliku karena aku menggunakan masker dan topi.

"Emm ... Dua puluh lima ribu," jawabnya pelan sambil melirik ke arah mbak Wati. 

"Di total saja, trus nanti di antar ke mobil itu," imbuhku, sembari mengeluarkan uang untuk pembayaran.

Setelah menerima uang, entah apa yang dia lakukan di laci kasir. Dia pergi mengantar brokoli pesananku. Sengaja aku memintanya untuk mengantar kemobil langgananku agar nanti dia tidak kecewa dengan kelakuan pegawaiku.

"Mbak Wati." 

Mbak Wati kaget dengan kedatanganku. Dia melempar buku yang berada di tangannya lalu menghampiriku. 

Sedang asik bersenda gurau, pegawai satu yang melayani aku tadi datang. 

"Mbak Wati. Tadi brokolinya sudah terjual, uangnya ada di laci," ucapnya.

"Itu kan pesanan, Des!" 

"Nanti kulakan lagi, to. Masih pagi, kok." Gadis berperawakan kurus itu memberi alasan. 

"Memang berapa harga brokoli, Mbak," tanyaku pura-pura tidak tahu. 

"Dua puluh ribu, Mbak. Kemarin turun sekarang naik lagi," jawab mbak Wati apa adanya.

"Bukanya dua puluh lima?" tanyaku yang sukses membuat gadis itu terperanjat. 

Jangan main-main dengan Maryuni!

Bab terkait

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   BELANJA BULANAN

    "Siapa bilang, Mbak?" tanya mbak Wati kebingungan. "Teman kamu ini," ucapku menunjuk wanita yang kutahu bernama Desti tersebut. "Jangan menuduh, Mbak!" sentaknya. "Oh, ya! Lalu tadi siapa yang menjual brokoli seharga dua puluh lima ribu kepadaku tadi? Bukankah kamu yang melayaniku?" "Mbak itu siapa berani-beraninya memfitnah saya!" bentaknya tidak terima. "Wow! Ternyata ini karyawan baru yang beberapa hari yang lalu nangis-nangis minta di beri pekerjaan?" Suaraku tidak kalah lantang. Dia pikir aku akan takut dengan gertakkannya. Keributan kami mengundang para pengunjung pasar pagi itu penasaran. Akan tetapi, aku tidak peduli. Toh, orang ini sudah berbuat curang di tokoku. "Desti! Jangan kurang ajar kamu! Mulai sekarang kamu berhenti dari sini!" usir mbak Wati. "Mbak percaya sama dia! Tolong mbak jangan mudah percaya! Aku butuh pekerjaan ini," rengeknya seolah dia orang yang terdzolimi. "Iya, aku lebih percaya pada bos pemilik toko ini, di bandingkan dengan kamu. Orang yang t

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   MERI BERULAH

    Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. "Sial!" Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama."Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. "Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. "Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahk

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Rahasia masa lalu

    "Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" Yaa Allah, Mbak Wati. Aku melotot ke arah mbak Wati. Untungnya Meri menghadap ke arahnya, jadi ketika aku memberi kode, Meri tidak melihat. "Maksudnya apa? Siapa pemilik semua ini?" tanya Meri seperti penasaran. "Em ... Itu ... Dia pemilik semua barang sampah ini. Jadi dia bukan kuli. Dia mengambil semua itu untuk tambah-tambah pemasukan," sanggah mbak Wati."Oh ... Aku kira dia pemilik toko ini. Duit dari mana? Hasil ngepet!" sindir Meri sambil berlalu.Aku bernapas lega. Jika tadi mbak Wati sampai membocorkan semua ini, alamat Meri akan berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa, si, Mbak? Dia siapa?" tanya mbak Wati penasaran dengan kejadian barusan. "Dia iparku, Mbak. Pokoknya jangan sampai ada keluarga mas Anjar yang tau kalau toko ini milikku. Apa lagi perempuan tadi," jelasku.Kami kembali ke rutinitas semula, setelah menutup toko, Mbak Wati berpamitan untuk pulang. Sementara aku menuju warung nasi padang.

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Pulang kampung

    Maksudnya seperti mantan istrinya yang bagimana?Menajamkan pendengaran dan menjernihkan pikiran yang aku lakukan saat ini. Aku ingin mendengar apa saja yang ingin mereka bicarakan, bisa jadi di luar pikiranku."Kamu sabar dulu, jangan gegabah," lanjut mas Anjar."Makasih buat semuanya, ya, Mas." Meri beranjak lalu mencium pipi suamiku.Astagfirullah. Aku bersandar di dinding agar Meri tidak melihat keberadaanku. Kini jarak antara Meri dan mas Anjar sangat dekat, bahkan mas Anjar balik mencium kening Meri. Apa seperti ini yang mereka lakukan setiap kali aku tidak ada. Bukankah mereka saudara kandung? Yaa Allah, nyeri sekali dadaku. Kuputuskan untuk kembali ke kamar, sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Kenapa mereka melakukan hal yang sangat menjijikan. Bahkan mereka melakukan selayaknya orang pacaran? Apakah hal ini yang membuat mas Anjar bercerai dengan istrinya? Kepalaku berdenyut nyeri memikirkan kemungkinan-kemungkinan di luar nalar. Tidak terasa tanggul yang sengaja da

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Bertemu Mantan

    "Maryuni, kamu dari mana?" Suara lembut itu membuatku menoleh ke sumber suara. Belum pernah aku bertemu dengan orang ini, tetapi dia bisa tahu namaku."Dia siapa?" batinku bermonolog.Perempuan berjilbab lebar itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya menyapaku. "Hai, perkenalkan aku Naomi mantan istri Anjar," sapanya ramah.Sejenak aku tertegun dengan ucapannya barusan, dia adalah mantan istri mas Anjar? Apa tidak salah mas Anjar menceraikannya? Wanita ini sungguh terlihat luar biasa. Bukan hanya parasnya, tetapi tuturnya pun lembut tidak di buat-buat. "Kok, malah bengong," imbuhnya sambil tersenyum renyah. "Em ... Saya Maryuni, Mbak. Dari mana mbak tau kalau saya istri mas Anjar? 'Kan kita belum pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku penasaran. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di sana," ajaknya menuju sebuah warung kopi.Aku menurut saja, mengikuti langkahnya sedangkan aku menyalakan motor menuju warung itu. "Kopi guday karebian satu pake es, ya, Pak. Kamu mau minum apa,

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Permintaan Meri

    Setelah menyerahkan tas, mas Anjar bergegas memasuki kamar kami, tetapi dia berpapasan dengan Meri. "Kamu sudah jadi masak, Mer?" Meri gelagapan mendapat pertanyaan dari mas Anjar. "Belum, Mas. Meri capek banget rasanya hari ini, jadi seharian hanya tiduran saja di kamar," jawab Meri. Aku tahu ucapannya itu hanya alibi saja, toh, tadi siang dia sedang bermain dengan sangat liar, jadi mungkin kelelahan. "Trus aku makan apa? Aku belum makan dari siang, kamu yang aku titipi malah nggak masak!" sungutnya."Aku bawa ayam goreng, apa mau?" tanyaku."Yang penting bisa segera makan, tolong siapkan, ya, Dek. Aku mau mandi dulu," pamitnya. Setelah mas Anjar masuk ke dalam kamar, aku membalas tatapan tajam Meri. "Kenapa kelelahan, ya? Berapa kali?" sindirku."Apa maksudmu!" bentak Meri seolah tidak terima. Aku menyusul mas Anjar memasuki kamar, lauk dan nasi yang aku bungkus sengaja kubawa sekalian ke kamar, agar Meri tidak ikut serta menikmatinya.Sembari menunggu mas Anjar selesai de

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Bukan Tuyul

    "Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Dek!" teriak mbak Naomi seraya melambaikan tangan. "Oke!" Sebenarnya ada hal penting apa? Apakah mbak Naomi ingin menceritakan masa lalunya? Apakah menyangkut mas Anjar dengan Meri? Entahlah, Aku tidak mau menduga-duga dan membuat kepalaku nyeri karena kebanyakan mikir. Beberapa saat aku termenung, tetapi mengingat chat yang mencurigakan milik mas Anjar segera aku bangkit dan meneruskan langkah. Perumahan ini tidak terlalu jauh dari pasar, jadi aku tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat itu. Dengan mengendarai motor maticku sampailah aku di perumahan yang cukup mewah, bagiku tentunya, tetapi mungkin akan murah bagi kalangan orang berada. Setelah bertemu dengan salah satu satpam, aku bertanya perihal berapa saja harga perumahan yang ada di sini. Ternyata berbeda-beda, tetapi kisaran di atas empat ratus juta. Wow!Harga yang lumayan bagi kalangan sepertiku. Lalu aku bertanya tentang rumah bernomor dua belas, dengan sistem ap

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Mama syok

    "Dek, pulanglah! Tolong mama!" teriaknya mengagetkanku. "Mama kenapa, Mas?" Dadaku berdebar dan terasa nyeri. Takut terjadi sesuatu dengan mama. "Tolong pulang, sekarang," ucap mas Anjar lalu menutup sambungan telepon sepihak.Jelas aku sangat khawatir dengan keadaan mama saat ini, meski bagaimanapun aku pernah kehilangan seorang ibu, bahkan aku tahu rasanya jadi mas Anjar saat ini. "Pak, sebelumnya saya minta maaf, saya harus segera pulang. Mertua saya dalam keadaan tidak baik-baik saja," ucapku sembari mempersiapkan tas kecil serta ponselku agar tidak tertinggal. "Tidak apa-apa, Mbak. Lalu bagaimana dengan pencuri ini," tanyanya sembari menoleh ke arah Desti, sementara Desti layaknya pesakitan, terdiam membisu gerakknya terkunci oleh tatapan-tatapan intimidasi. "Mbak Wati, datang kerumahnya, lalu katakan semua kelakuan dia kepada keluarga tanpa ada satu apa pun yang di tutup-tutupi. Kalau dia menolak, saya akan meminta teman saya yang seorang polisi untuk mengunci pergerakannya

Bab terbaru

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Tak tau diri

    "Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Chat dari nomor baru

    "Kamu siapa!" teriak seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Sungguh aku kaget bukan main, tiba-tiba mas Anjar sudah ada di belakangku. "Yuni?" Mas Anjar terlihat terkejut melihat kedatanganku. "Iya, aku Yuni, Mas. Aku kesini hanya ingin mengambil pakaianku saja," jelasku, masih tetap membereskan pakaian dan perlengkapan miliku. Dia kembali melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu cantik sekali," gumamnya pelan, tetapi dapat tertangkap oleh indera pendengaranku.Aku tersenyum sinis, mungkin selama ini dia tidak pernah melihatku secantik ini. Bukan aku tidak mampu melakukannya, tetapi aku sangat berharap bahwa lelaki yang akan menerimaku adalah orang yang akan berjuang membuatku semakin cantik. Nyatanya, dia sangat perhitungan dalam segala hal, apa lagi mengeluarkan uang untuk membuatku semakin cantik. "Aku permisi, Mas. Aku merasakan bahwa hubungan kita sudah tidak sehat. Mungkin selama ini aku hanya akan diam saat mas mengabaikanku dan pelit dalam mena

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Awal perubahan

    Apa benar ini Maryuni yang kampungan itu? Aku menatap cermin kembali, betulkah yang aku lihat? Benar kata mbak Wati, aku harus merubah penampilanku. Akan aku buat mas Anjar menyesal setelah bertemu denganku nanti. "Ada yang masih kurang, Mbak?" tanya pegawai yang berada tepat di sampingku. "Nggak, sudah cukup," jawabku, sembari takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan. "Belum, masih kurang, lihat ini." Dia menunjuk pakaian yang berada di tangannya. Aku mengerutkan kening, belum paham apa maksudnya. "Coba mbak kalau baju ini," perintahnya. Aku hanya menurut, berjalan menuju kamar pas. Di dalam kamar pas aku merasa sangat bahagia, tetapi kalau aku berpakaian seperti ini bagaimana kalau sedang jualan? Entahlah, itu urusan nanti, yang penting sekarang menikmati saat ini. "Cantiknya," sambut para pegawai salon.Sejujurnya aku pun takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan ini. Hari ini aku berubah, terlihat begitu sempurna, bahkan pesta pernikahan yang

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Wanita lain

    Tawa itu terlihat tanpa beban, sedangkan perempuan di sebelahnya nampak begitu bahagia. Siapa dia kenapa mereka sedekat itu? Mataku berserobok dengan gadis itu, dia seperti gelagapan, tetapi bisa menguasai keadaan. Aku segera berpaling, fokus ke mbak Wati yang sedang bicara entah apa. "Malah melamun! Wow!" bentak mbak Wati mengagetkanku."Mbak jangan ngagetin, lah." Aku paling kesal kalau ada orang yang ngagetin secara sengaja. Apa lagi di depan umum. "Maaf, Mbak." Mbak Wati sedikit canggung. "Mbak Wat, lihat orang yang di sebelah sana, yang pake baju kotak-kotak warna abu-abu."Mbak Wati menoleh ke arah yang aku tunjuk, keningnya sedikit mengkerut, mungkin dia heran. "Kenapa, Mbak?" "Dia mas Anjar, orang yang sedang kita bicarakan," jelasku."Keren, banget." Mbak Wati kembali menoleh ke arah mas Anjar. "Kan, malah jadi merhatiin dia?" sungutku pura-pura kesal."Maaf, Mbak." Obrolan kami terjeda karena pesanan kami tiba, harum aroma sambal yang menguar membuatku seketika mel

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Meri hamil

    "Mengandung? Anak-anak siapa? Siapa yang hamil?" Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Akhirnya, saat yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Mas Anjar sudah sampai di rumah sakit, tepatnya di ruangan di mana Meri di rawat. "Meri! Kamu sakit apa?" tanya Mas Anjar khawatir. "Bawaan hamil, Mas," jawab lelaki yang kini berada di samping Meri. Aku bingung sebenarnya dengan lelaki itu, apa dia tidak tahu kalau kami adalah keluarga Meri. "Hamil?"Sementara Meri hanya dia membisu, mas Anjar menatap Meri dengan tatapan tajam. "Apa maksud dari semua ini!" bentak mas Anjar tidak bisa mengontrol emosi. "Mas ini rumah sakit," bisikku agar dia sedikit merendahkan suaranya. "Apa Meri tidak bilang, Mas? Jujur saya sebenarnya heran, apa kalian keluarga jauhnya?" tanya lelaki yang belum diketahui namanya tersebut. "Bilang soal apa? Memangnya Meri bicara apa terhadap, Anda?" tanyaku."Kami sudah menikah siri, sudah lebih dari setengah tahun. Meri bilang dia tidak mempunyai keluarga satu pun,

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Di rujuk ke RS

    "Mama! Meri pingsan!" teriakkuTergopoh mama menyusulku ke kamar. Terpancar jelas kepanikan dalam wajahnya. "Meri ... Bangun Mer!"Mama histeris, melihat wajah Meri yang seputih kertas. Ada sesal yang tidak dapat di tampik. "Kita bawa ke rumah sakit, Ma," pintaku segera membopong tubuh Meri yang terlihat semakin kurus.Aku terbiasa mengangkat beban, lima puluh kilo pun aku kuat mengangkatnya, apa lagi tubuh Meri yang sangat kurus ini. "Mama keluarlah minta pertolongan!"Bergegas mama mencari pertolongan. Setelah salah satu tetangga Meri bersedia mengantar ke rumah sakit, aku meminta satpam untuk menutup pintu rumah yang di tinggali Meri. "Apa kakaknya tidak pulang?" tanya tetangga Meri. "Kakaknya masih kerja, Pak." Tidak ada obrolan yang berarti di antara kami, fokus kami hanya tentang keadaan Meri. Setelah sampai di rumah sakit, bergegas para perawat menghampiri mobil yang membawa Meri. Meri langsung di tangani di IGD. Tidak bisa kutampik, bahwa aku sangat khawatir dengan kea

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Mengunjungi Meri

    "Ma, Meri sakit," ucap mas Anjar setelah kami memasuki rumah. "Bukan urusanku!" bentak mama. Mungkin mama punya alasan tersendiri saat berucap demikian. "Dek, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Mas Anjar kepadaku, dan terlihat sangat khawatir. "Mas lihat sendiri bukan, aku baik-baik saja. Untuk apa kembali ke rumah?" Aku balik bertanya kepada mas Anjar. "Meri tiba-tiba pingsan, lalu aku membawanya ke rumah sakit." Aku dan mama berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuh yang lelah. "Lalu apa urusannya dengan kami?" tanya mama. "Kalian keluarga satu-satunya, jadi aku pikir kalian tentu harus tau." "Tidak perlu! Toh, kalian sendiri yang memilih jalan ini! Aku dan Maryuni tidak akan ikut campur, urus saja kebahagiaan kalian yang sangat tidak pantas itu!" ketus mama. Mama terlihat kesal dengan kedatangan mas Anjar."Aku pamit mau istirahat, capek!" pamitku meninggalkan mama dan mas Anjar di ruang tamu. Mas Anjar sedikit berlari mengejarku, tidak kupedulikan lagi kehadirannya. Seg

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Terungkap

    "Ceraikan dia!" teriak Meri kesetanan. Terlihat mas Anjar berdiri di depan Meri yang terbakar emosi. Mama menarik lenganku untuk bersembunyi."Tunggu apa yang akan di katakan oleh Anjar," bisik mama.Meri meracau tidak karuan karena mas Anjar tidak menjawab permintaannya. "Yuni sedang hamil, Mer. Aku juga tidak mungkin menceraikanya," jawab mas Anjar. Aku dan mama bertatapan, tidak mengira jika mas Anjar akan berkata demikian. "Tidak mungkin kenapa? Aku juga bisa hamil, kalau kamu hanya ingin seorang anak!" teriak Meri. "Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa seorang ayah." "Kamu jahat, Mas!" teriak Meri sembari memukul dada mas Anjar. Cukup. Aku akan memergoki mereka!"Kenapa kamu meminta mas Anjar menceraikan aku?" tanyaku sembari berjalan mendekat ke arah mas Anjar dan juga Meri yang tampak tak karuan. "Yuni," gumam mas Anjar pelan, tetapi tertangkap oleh indera pendengaranku."Kenapa? Kenapa kalian diam saja? Jelaskan apa maksud dari ucapan Meri, Mas?" Mas Anjar bu

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   MEMBERI PELAJARAN PEGAWAI SOMBONG

    "Jadi kalau orang kampung seperti saya nggak bisa beli di sini, ya, Mbak? Takut nggak bisa bayar? Di sini mbak di gaji untuk melayani pembeli kan? Bukan untuk memamerkan harga agar pembeli kabur? Kalau nggak ada pembeli bagaimana dengan gajimu, apa kamu merasa aman masih bekerja di sini kalau sepi. Bisa jadi kamu yang di keluarkan karena menurut bosmu, kamu tidak bisa mencapai target!"Sudah cukup orang kampung di sepelekan. "Kalau begitu kenapa nggak mbak aja yang jadi pelayan?" serangnya. Oke, dia pikir Maryuni akan takut dengannya. "Wah, memangnya kamu kuat gaji dia!" bentak seorang wanita yang tiba-tiba hadir diantara perdebatan kami."Bos juga tidak akan mau memperkerjakan wanita kampungan seperti dia!" bentaknya tidak mau kalah. Aku melirik penampilanku dari pantulan cermin, ternyata memang benar aku se kampungan itu. Penampilanku yang hanya memakai celana training dan kaos oblong, membuat mereka menyepelekan isi dompetku. "Tidak apa-apa, karena saya memang tidak minat bek

DMCA.com Protection Status