Share

Chat dari nomor baru

Penulis: Marni Nayotamma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-31 19:20:08

"Kamu siapa!" teriak seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

Sungguh aku kaget bukan main, tiba-tiba mas Anjar sudah ada di belakangku.

"Yuni?" Mas Anjar terlihat terkejut melihat kedatanganku.

"Iya, aku Yuni, Mas. Aku kesini hanya ingin mengambil pakaianku saja," jelasku, masih tetap membereskan pakaian dan perlengkapan miliku.

Dia kembali melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Kamu cantik sekali," gumamnya pelan, tetapi dapat tertangkap oleh indera pendengaranku.

Aku tersenyum sinis, mungkin selama ini dia tidak pernah melihatku secantik ini. Bukan aku tidak mampu melakukannya, tetapi aku sangat berharap bahwa lelaki yang akan menerimaku adalah orang yang akan berjuang membuatku semakin cantik.

Nyatanya, dia sangat perhitungan dalam segala hal, apa lagi mengeluarkan uang untuk membuatku semakin cantik.

"Aku permisi, Mas. Aku merasakan bahwa hubungan kita sudah tidak sehat. Mungkin selama ini aku hanya akan diam saat mas mengabaikanku dan pelit dalam mena
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Tak tau diri

    "Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Pindah ke kota

    Aku berlari sekuat tenaga, saat seekor an jing mengejarku secara tiba-tiba. Bagaimana aku tidak takut dengan hewan satu ini? Hewan yang akan menyalak apa bila ada orang baru yang dia lihat. Dikiranya aku orang jahat mungkin. "Bagaimana, Mar? Apa kamu bisa masak?" tanya Bu Sela--mertuaku.Aku yang baru saja masuk membawa barang belanjaan dan berpeluh-peluh karena di kejar hewan si alan itu tidak menjawab, sebab masih sibuk mengatur napas. "Kamu di tanya malah kayak orang habis kena asma!" sentaknya membuatku sedikit kaget dengan suaranya. "Maaf, Ma. Yuni habis di kejar an jing." Aku membela diri."Ya, sudah habis ini kamu masak, sesuai yang aku tulis di kertas yang tertempel di kulkas," perintahnya. Siap, Maryuni bisa masak apa saja, asal ada bahan-bahan yang tersedia.Mama mertua berlalu meninggalkan aku yang masih selonjoran di lantai dapur karena kelelahan. Aku masih belum paham dengan karakter mama, apa dia baik atau julid seperti mertua tetangga di kampung dulu, entahlah. Se

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   RUKO IMPIAN

    Mama tertegun dengan ucapanku, tetapi dia memilih mendekati Meri bukan mengambil pakaian kotor yang ada di tanganku."Tadi katanya sudah nyuci?" tanya Mama pada Meri.Meri hanya diam tidak menjawab pertanyaan Mama."Berikan pada Meri, Mar. Biar dia yang nyuci sendiri!" Yes, aku berhasil. "Siap, Ma." Aku berbalik menuju Meri yang menahan amarah memberikan pakaiannya lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Sebelum aku menutup pintu kamar ku lirik Meri yang berjalan sambil menghentakan kaki.Aku tidak peduli!Hari ini aku akan mengunjungi usahaku setelah beberapa hari tidak berangkat dan memilih menyuruh orang lain untuk mengurus lapak sayur yang aku rintis dari nol.Aku tidak mau para pelangan pergi karena saking lamanya aku tidak mengirim barang ke mereka. Meski jarak yang harus aku tempuh sekitaran satu jam perjalanan belum lagi baliknya, tetapi hari ini aku ingin memberi tangung jawab kepada dua orang yang membantu aku selama ini.[Mas, aku berangkat sekarang ya 😊 ]Segera aku kirim

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   PELIT YANG MENDARAH DAGING

    Mas Anjar tidak bertanya tentang toko yang di katakan oleh Meri. Mungkin karena Meri tidak bisa membuktikannya. "Mas, bagaimana permintaanku kemarin?" tanyaku pada Mas Anjar yang masih sibuk dengan lembar-lembar kertas yang berada di depannya."Untuk apa kita pindah, Yank? Bukankah di sini lebih asik? Banyak temen ngobrol, ada mama juga Meri yang selalu di rumah," jawabnya seperti tanpa beban. Dia tidak tahu bahwa kelakuan adik perempuannya layaknya bayi, mama masih mending tidak begitu mencampuri urusanku. "Justru karena Meri dan Mama di rumah, Mas." "Terus maksud kamu Mama dan Meri suruh pergi begitu?" tanyanya memicingkan mata. "Siapa yang bilang begitu? Justru karena mereka di rumah kita harus pindah, biar bisa mesra-mesraan setiap saat. Aku nggak nyaman begini," keluhku.Urat leher Mas Anjar sedikit mengendur setelah mendengar penjelasanku barusan. Aku kira dia akan memprioritaskan aku, tetapi semua hanya keinginanku saja. Drett!Drett!Drett!Hape yang sengaja aku letaka

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   TERKUAK

    Setelah menutup gerbang, aku mengajak mama menyusuri trotoar. Mama hanya mengekor langkahku tanpa keluar sepatah kata pun."Mar, kalian kenapa?" tanya mama membuka percakapan. Malas sebetulnya menjawab pertanyaan mama, tetapi kalau aku hanya diam di kiranya aku yang keterlaluan. "Mas Anjar, Ma. Dia memintaku untuk membelikan jajan buat Meri, tapi nggak ngasih uang," jelasku."Jangan di kasih, biar dia mencoba mandiri!" Wanita berkerudung cokelat itu terus melangkah, sementara aku terperangah dengan ucapannya barusan. "Jadi, Mama nggak marah?" Aku balik bertanya."Untuk apa marah, lagi pun memang Anjar pelitnya minta ampun. Jadi wajar kalau harus di kasih peringatan. Biar dia tau kalau perbuatannya itu keterlaluan." Aku mencoba menggandeng tangannya, beliau tersenyum ramah, lalu mengaitkan jemari dan membawaku dalam langkahnya. Andai Simbok masih ada, mungkin aku akan sangat senang mengajaknya walau sekedar jalan membeli bubur kacang ijo langganan. "Mar, kenapa dulu kamu mau sam

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   BELANJA BULANAN

    "Siapa bilang, Mbak?" tanya mbak Wati kebingungan. "Teman kamu ini," ucapku menunjuk wanita yang kutahu bernama Desti tersebut. "Jangan menuduh, Mbak!" sentaknya. "Oh, ya! Lalu tadi siapa yang menjual brokoli seharga dua puluh lima ribu kepadaku tadi? Bukankah kamu yang melayaniku?" "Mbak itu siapa berani-beraninya memfitnah saya!" bentaknya tidak terima. "Wow! Ternyata ini karyawan baru yang beberapa hari yang lalu nangis-nangis minta di beri pekerjaan?" Suaraku tidak kalah lantang. Dia pikir aku akan takut dengan gertakkannya. Keributan kami mengundang para pengunjung pasar pagi itu penasaran. Akan tetapi, aku tidak peduli. Toh, orang ini sudah berbuat curang di tokoku. "Desti! Jangan kurang ajar kamu! Mulai sekarang kamu berhenti dari sini!" usir mbak Wati. "Mbak percaya sama dia! Tolong mbak jangan mudah percaya! Aku butuh pekerjaan ini," rengeknya seolah dia orang yang terdzolimi. "Iya, aku lebih percaya pada bos pemilik toko ini, di bandingkan dengan kamu. Orang yang t

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   MERI BERULAH

    Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. "Sial!" Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama."Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. "Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. "Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahk

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Rahasia masa lalu

    "Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" Yaa Allah, Mbak Wati. Aku melotot ke arah mbak Wati. Untungnya Meri menghadap ke arahnya, jadi ketika aku memberi kode, Meri tidak melihat. "Maksudnya apa? Siapa pemilik semua ini?" tanya Meri seperti penasaran. "Em ... Itu ... Dia pemilik semua barang sampah ini. Jadi dia bukan kuli. Dia mengambil semua itu untuk tambah-tambah pemasukan," sanggah mbak Wati."Oh ... Aku kira dia pemilik toko ini. Duit dari mana? Hasil ngepet!" sindir Meri sambil berlalu.Aku bernapas lega. Jika tadi mbak Wati sampai membocorkan semua ini, alamat Meri akan berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa, si, Mbak? Dia siapa?" tanya mbak Wati penasaran dengan kejadian barusan. "Dia iparku, Mbak. Pokoknya jangan sampai ada keluarga mas Anjar yang tau kalau toko ini milikku. Apa lagi perempuan tadi," jelasku.Kami kembali ke rutinitas semula, setelah menutup toko, Mbak Wati berpamitan untuk pulang. Sementara aku menuju warung nasi padang.

Bab terbaru

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Tak tau diri

    "Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Chat dari nomor baru

    "Kamu siapa!" teriak seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Sungguh aku kaget bukan main, tiba-tiba mas Anjar sudah ada di belakangku. "Yuni?" Mas Anjar terlihat terkejut melihat kedatanganku. "Iya, aku Yuni, Mas. Aku kesini hanya ingin mengambil pakaianku saja," jelasku, masih tetap membereskan pakaian dan perlengkapan miliku. Dia kembali melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu cantik sekali," gumamnya pelan, tetapi dapat tertangkap oleh indera pendengaranku.Aku tersenyum sinis, mungkin selama ini dia tidak pernah melihatku secantik ini. Bukan aku tidak mampu melakukannya, tetapi aku sangat berharap bahwa lelaki yang akan menerimaku adalah orang yang akan berjuang membuatku semakin cantik. Nyatanya, dia sangat perhitungan dalam segala hal, apa lagi mengeluarkan uang untuk membuatku semakin cantik. "Aku permisi, Mas. Aku merasakan bahwa hubungan kita sudah tidak sehat. Mungkin selama ini aku hanya akan diam saat mas mengabaikanku dan pelit dalam mena

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Awal perubahan

    Apa benar ini Maryuni yang kampungan itu? Aku menatap cermin kembali, betulkah yang aku lihat? Benar kata mbak Wati, aku harus merubah penampilanku. Akan aku buat mas Anjar menyesal setelah bertemu denganku nanti. "Ada yang masih kurang, Mbak?" tanya pegawai yang berada tepat di sampingku. "Nggak, sudah cukup," jawabku, sembari takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan. "Belum, masih kurang, lihat ini." Dia menunjuk pakaian yang berada di tangannya. Aku mengerutkan kening, belum paham apa maksudnya. "Coba mbak kalau baju ini," perintahnya. Aku hanya menurut, berjalan menuju kamar pas. Di dalam kamar pas aku merasa sangat bahagia, tetapi kalau aku berpakaian seperti ini bagaimana kalau sedang jualan? Entahlah, itu urusan nanti, yang penting sekarang menikmati saat ini. "Cantiknya," sambut para pegawai salon.Sejujurnya aku pun takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan ini. Hari ini aku berubah, terlihat begitu sempurna, bahkan pesta pernikahan yang

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Wanita lain

    Tawa itu terlihat tanpa beban, sedangkan perempuan di sebelahnya nampak begitu bahagia. Siapa dia kenapa mereka sedekat itu? Mataku berserobok dengan gadis itu, dia seperti gelagapan, tetapi bisa menguasai keadaan. Aku segera berpaling, fokus ke mbak Wati yang sedang bicara entah apa. "Malah melamun! Wow!" bentak mbak Wati mengagetkanku."Mbak jangan ngagetin, lah." Aku paling kesal kalau ada orang yang ngagetin secara sengaja. Apa lagi di depan umum. "Maaf, Mbak." Mbak Wati sedikit canggung. "Mbak Wat, lihat orang yang di sebelah sana, yang pake baju kotak-kotak warna abu-abu."Mbak Wati menoleh ke arah yang aku tunjuk, keningnya sedikit mengkerut, mungkin dia heran. "Kenapa, Mbak?" "Dia mas Anjar, orang yang sedang kita bicarakan," jelasku."Keren, banget." Mbak Wati kembali menoleh ke arah mas Anjar. "Kan, malah jadi merhatiin dia?" sungutku pura-pura kesal."Maaf, Mbak." Obrolan kami terjeda karena pesanan kami tiba, harum aroma sambal yang menguar membuatku seketika mel

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Meri hamil

    "Mengandung? Anak-anak siapa? Siapa yang hamil?" Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Akhirnya, saat yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Mas Anjar sudah sampai di rumah sakit, tepatnya di ruangan di mana Meri di rawat. "Meri! Kamu sakit apa?" tanya Mas Anjar khawatir. "Bawaan hamil, Mas," jawab lelaki yang kini berada di samping Meri. Aku bingung sebenarnya dengan lelaki itu, apa dia tidak tahu kalau kami adalah keluarga Meri. "Hamil?"Sementara Meri hanya dia membisu, mas Anjar menatap Meri dengan tatapan tajam. "Apa maksud dari semua ini!" bentak mas Anjar tidak bisa mengontrol emosi. "Mas ini rumah sakit," bisikku agar dia sedikit merendahkan suaranya. "Apa Meri tidak bilang, Mas? Jujur saya sebenarnya heran, apa kalian keluarga jauhnya?" tanya lelaki yang belum diketahui namanya tersebut. "Bilang soal apa? Memangnya Meri bicara apa terhadap, Anda?" tanyaku."Kami sudah menikah siri, sudah lebih dari setengah tahun. Meri bilang dia tidak mempunyai keluarga satu pun,

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Di rujuk ke RS

    "Mama! Meri pingsan!" teriakkuTergopoh mama menyusulku ke kamar. Terpancar jelas kepanikan dalam wajahnya. "Meri ... Bangun Mer!"Mama histeris, melihat wajah Meri yang seputih kertas. Ada sesal yang tidak dapat di tampik. "Kita bawa ke rumah sakit, Ma," pintaku segera membopong tubuh Meri yang terlihat semakin kurus.Aku terbiasa mengangkat beban, lima puluh kilo pun aku kuat mengangkatnya, apa lagi tubuh Meri yang sangat kurus ini. "Mama keluarlah minta pertolongan!"Bergegas mama mencari pertolongan. Setelah salah satu tetangga Meri bersedia mengantar ke rumah sakit, aku meminta satpam untuk menutup pintu rumah yang di tinggali Meri. "Apa kakaknya tidak pulang?" tanya tetangga Meri. "Kakaknya masih kerja, Pak." Tidak ada obrolan yang berarti di antara kami, fokus kami hanya tentang keadaan Meri. Setelah sampai di rumah sakit, bergegas para perawat menghampiri mobil yang membawa Meri. Meri langsung di tangani di IGD. Tidak bisa kutampik, bahwa aku sangat khawatir dengan kea

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Mengunjungi Meri

    "Ma, Meri sakit," ucap mas Anjar setelah kami memasuki rumah. "Bukan urusanku!" bentak mama. Mungkin mama punya alasan tersendiri saat berucap demikian. "Dek, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Mas Anjar kepadaku, dan terlihat sangat khawatir. "Mas lihat sendiri bukan, aku baik-baik saja. Untuk apa kembali ke rumah?" Aku balik bertanya kepada mas Anjar. "Meri tiba-tiba pingsan, lalu aku membawanya ke rumah sakit." Aku dan mama berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuh yang lelah. "Lalu apa urusannya dengan kami?" tanya mama. "Kalian keluarga satu-satunya, jadi aku pikir kalian tentu harus tau." "Tidak perlu! Toh, kalian sendiri yang memilih jalan ini! Aku dan Maryuni tidak akan ikut campur, urus saja kebahagiaan kalian yang sangat tidak pantas itu!" ketus mama. Mama terlihat kesal dengan kedatangan mas Anjar."Aku pamit mau istirahat, capek!" pamitku meninggalkan mama dan mas Anjar di ruang tamu. Mas Anjar sedikit berlari mengejarku, tidak kupedulikan lagi kehadirannya. Seg

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Terungkap

    "Ceraikan dia!" teriak Meri kesetanan. Terlihat mas Anjar berdiri di depan Meri yang terbakar emosi. Mama menarik lenganku untuk bersembunyi."Tunggu apa yang akan di katakan oleh Anjar," bisik mama.Meri meracau tidak karuan karena mas Anjar tidak menjawab permintaannya. "Yuni sedang hamil, Mer. Aku juga tidak mungkin menceraikanya," jawab mas Anjar. Aku dan mama bertatapan, tidak mengira jika mas Anjar akan berkata demikian. "Tidak mungkin kenapa? Aku juga bisa hamil, kalau kamu hanya ingin seorang anak!" teriak Meri. "Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa seorang ayah." "Kamu jahat, Mas!" teriak Meri sembari memukul dada mas Anjar. Cukup. Aku akan memergoki mereka!"Kenapa kamu meminta mas Anjar menceraikan aku?" tanyaku sembari berjalan mendekat ke arah mas Anjar dan juga Meri yang tampak tak karuan. "Yuni," gumam mas Anjar pelan, tetapi tertangkap oleh indera pendengaranku."Kenapa? Kenapa kalian diam saja? Jelaskan apa maksud dari ucapan Meri, Mas?" Mas Anjar bu

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   MEMBERI PELAJARAN PEGAWAI SOMBONG

    "Jadi kalau orang kampung seperti saya nggak bisa beli di sini, ya, Mbak? Takut nggak bisa bayar? Di sini mbak di gaji untuk melayani pembeli kan? Bukan untuk memamerkan harga agar pembeli kabur? Kalau nggak ada pembeli bagaimana dengan gajimu, apa kamu merasa aman masih bekerja di sini kalau sepi. Bisa jadi kamu yang di keluarkan karena menurut bosmu, kamu tidak bisa mencapai target!"Sudah cukup orang kampung di sepelekan. "Kalau begitu kenapa nggak mbak aja yang jadi pelayan?" serangnya. Oke, dia pikir Maryuni akan takut dengannya. "Wah, memangnya kamu kuat gaji dia!" bentak seorang wanita yang tiba-tiba hadir diantara perdebatan kami."Bos juga tidak akan mau memperkerjakan wanita kampungan seperti dia!" bentaknya tidak mau kalah. Aku melirik penampilanku dari pantulan cermin, ternyata memang benar aku se kampungan itu. Penampilanku yang hanya memakai celana training dan kaos oblong, membuat mereka menyepelekan isi dompetku. "Tidak apa-apa, karena saya memang tidak minat bek

DMCA.com Protection Status