"Siapa bilang, Mbak?" tanya mbak Wati kebingungan.
"Teman kamu ini," ucapku menunjuk wanita yang kutahu bernama Desti tersebut. "Jangan menuduh, Mbak!" sentaknya. "Oh, ya! Lalu tadi siapa yang menjual brokoli seharga dua puluh lima ribu kepadaku tadi? Bukankah kamu yang melayaniku?" "Mbak itu siapa berani-beraninya memfitnah saya!" bentaknya tidak terima. "Wow! Ternyata ini karyawan baru yang beberapa hari yang lalu nangis-nangis minta di beri pekerjaan?" Suaraku tidak kalah lantang. Dia pikir aku akan takut dengan gertakkannya. Keributan kami mengundang para pengunjung pasar pagi itu penasaran. Akan tetapi, aku tidak peduli. Toh, orang ini sudah berbuat curang di tokoku. "Desti! Jangan kurang ajar kamu! Mulai sekarang kamu berhenti dari sini!" usir mbak Wati. "Mbak percaya sama dia! Tolong mbak jangan mudah percaya! Aku butuh pekerjaan ini," rengeknya seolah dia orang yang terdzolimi. "Iya, aku lebih percaya pada bos pemilik toko ini, di bandingkan dengan kamu. Orang yang tidak tau terimakasih!" "A ... Apa dia bos?" Desti tergagap dengan ucapan mbak Wati barusan. "Iya, saya pemilik toko sayur ini! Saya tidak suka dengan pekerja yang semena-mena dan berlaku curang dalam penjualan. Apa gaji yang kamu terima nggak layak, sehingga harus mencari keuntungan sendiri melalui daganganku?" Ya ampun, jelas dia tidak akan percaya dengan penampilanku yang amburadul seperti ini. "Maafkan saya, Mbak. Saya minta kesempatan sekali lagi. Ibu saya sedang sakit dan butuh penanganan segera." Wajahnya terlihat murung dan air mata menganak sungai di pipinya. Aku melunak mendengar penjelasannya. Andai Simbok masih ada, apa saja pasti akan aku lakukan untuknya. Aku merasa berada di posisi Desti saat ini. "Ya Allah," ucapku pelan sembari mengelus dada yang terasa sesak. Para pelanggan setiaku sudah datang, jadi aku harus menghentikan perdebatan ini. Desti dengan cekatan membantu mbak Wati yang kewalahan. Di jam-jam seperti ini para pelanggan akan datang untuk mengambil sayuran yang sebelumnya sudah mereka pesan melalui pesan Whatssap. Hati kecil ini iba dengan keadaan yang di ceritakan oleh Desti, tetapi sisi lain kesal terhadap sikapnya yang keterlaluan.Mungkin untuk beberapa hari aku akan membiarkannya bekerja di sini dulu. Akan tetapi, jika perangainya tidak berubah, terpaksa aku akan mengeluarkannya.+++Pukul empat sore aku sudah selesai berkemas untuk pulang. Masalah keuangan nanti pasti mbak Wati akan memberi kabar. Ponselku tidak berhenti berbunyi setelah kunyalakan mode data on. Ternyata mas Anjar yang memintaku untuk segera pulang. "Ada apa lagi dengan mereka?" gumamku pelan. Setelah aku berpamitan dengan mbak Wati, aku berjalan menuju pangkalan ojek. Perkerjaan yang cukup melelahkan untuk hari ini. Para pelanggan baru yang meminta di layani terlebih dulu dan tidak ingin mau mengalah menambah lelah yang sedari pagi kutahan. "Assalamualaikum," sapaku setelah memasuki rumah. "Waalaikumsalam. Kok, nggak bawa makanan, Dek? Biasanya kan kalau kamu keluar pasti bawa makanan?" tanya mas Anjar menyambut kepulanganku.Baru saja merasa lega dan ingin segera menuju kamar mandi untuk menguyur tubuh lelah ini dengan air dingin, sudah di cerca dengan pertanyaan konyol dari suami pelitku."Aku kan baru pertama kali kerja, Mas. Ya, belum gajian," sanggahku. "Oiya ... Kan cuma jadi kuli," ejek Meri yang masih asik dengan hape di tangannya."Jelas, yang penting bukan pengangguran," sindirku, lalu bergegas pergi meninggalkan mereka. "Dek, tunggu dulu. Tadi belanja cuma segitu kenapa banyak sekali uang yang harus aku keluarkan?" tanya Mas Anjar yang membuatku mengurungkan langkah. Mas Anjar berjalan menuju dapur dan aku mengekornya. Aku ingin melihat bagaimana reaksinya setelah tahu bahwa belanja sebulan dengan uang yang dia berikan tidak pernah cukup di jaman sekarang. "Lihat, ini saja aku belum beli semua," ungkapnya sembari mengangsurkan selembar nota bukti pembayaran. Kubaca dengan seksama tulisan-tulisan itu. Bahkan ada beberapa bahan pokok yang tidak terbeli."Yaa Allah. Kenapa beli beras yang ini. ini harganya mahal, kalau buat beli yang biasa sudah dapat dua puluh lima kilo! Ini kenapa ada skincare M* G**w. Harganya tiga ratus lima puluh keatas?" tunjukku kesal. "Itu tadi Meri yang minta. Katanya harganya cuma tiga puluh lima doang," kilahnya. "Baca saja notanya, aku tidak mah tahu. Yang penting urusan kebutuhan rumah selama sebulan itu tanggung jawabmu!" geram rasanya dengan kelakuannya. Adik dan kakak sama saja!Aku tinggalkan mas Anjar yang sedang memarahi adiknya. Gemas rasanya, Meri juga keterlaluan membodohi kakaknya sendiri. Membasuh tubuh yang lengket dengan keringat ini, dengan air dingin rasanya membuat sedikit kepenatan yang aku rasakan memudar. Ingin segera merebahkan tubuh lelah ini. +++"Kenapa kamu nggak kerja kalau pengen bisa beli skincare dengan harga segitu? Bagi orang yang sudah berkeluarga, uang segitu cukup untuk penghidupan beberapa hari kedepan!" Suara mama pelan tapi penuh penekanan. "Mama tau kan aku nggak bisa kerja sembarangan? Papa yang melarang aku melakukannya," sanggah Meri tetap kukuh dengan pendiriannya. "Itu dulu waktu papamu masih ada, seharusnya sekarang kamu busa berpikir jangan mau enaknya terus tanpa mau berjuang! Sudah sana beresin kamar kamu!" "Semenjak perempuan kampungan itu dateng kesini, mama jadi berubah!" bentak Meri sambil berlalu.Sukurin! Hidup itu nggak selamanya enak, harus nyobain juga yang nggak enak biar kayak permen nano-nano.Ramai rasanya!Suasana pagi yang seharusnya sejuk harus sedikit memanas oleh pertengkaran anak dan ibu. Aku memilih pura-pura tidak tahu dengan kejadian barusan. "Ma, Yuni berangkat dulu, ya," pamitku kepada mama yang masih sibuk dengan menyiram tanaman kesayangannya. "Hati-hati, ya." Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. "Sial!"Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. "Sial!" Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama."Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. "Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. "Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahk
"Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" Yaa Allah, Mbak Wati. Aku melotot ke arah mbak Wati. Untungnya Meri menghadap ke arahnya, jadi ketika aku memberi kode, Meri tidak melihat. "Maksudnya apa? Siapa pemilik semua ini?" tanya Meri seperti penasaran. "Em ... Itu ... Dia pemilik semua barang sampah ini. Jadi dia bukan kuli. Dia mengambil semua itu untuk tambah-tambah pemasukan," sanggah mbak Wati."Oh ... Aku kira dia pemilik toko ini. Duit dari mana? Hasil ngepet!" sindir Meri sambil berlalu.Aku bernapas lega. Jika tadi mbak Wati sampai membocorkan semua ini, alamat Meri akan berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa, si, Mbak? Dia siapa?" tanya mbak Wati penasaran dengan kejadian barusan. "Dia iparku, Mbak. Pokoknya jangan sampai ada keluarga mas Anjar yang tau kalau toko ini milikku. Apa lagi perempuan tadi," jelasku.Kami kembali ke rutinitas semula, setelah menutup toko, Mbak Wati berpamitan untuk pulang. Sementara aku menuju warung nasi padang.
Maksudnya seperti mantan istrinya yang bagimana?Menajamkan pendengaran dan menjernihkan pikiran yang aku lakukan saat ini. Aku ingin mendengar apa saja yang ingin mereka bicarakan, bisa jadi di luar pikiranku."Kamu sabar dulu, jangan gegabah," lanjut mas Anjar."Makasih buat semuanya, ya, Mas." Meri beranjak lalu mencium pipi suamiku.Astagfirullah. Aku bersandar di dinding agar Meri tidak melihat keberadaanku. Kini jarak antara Meri dan mas Anjar sangat dekat, bahkan mas Anjar balik mencium kening Meri. Apa seperti ini yang mereka lakukan setiap kali aku tidak ada. Bukankah mereka saudara kandung? Yaa Allah, nyeri sekali dadaku. Kuputuskan untuk kembali ke kamar, sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Kenapa mereka melakukan hal yang sangat menjijikan. Bahkan mereka melakukan selayaknya orang pacaran? Apakah hal ini yang membuat mas Anjar bercerai dengan istrinya? Kepalaku berdenyut nyeri memikirkan kemungkinan-kemungkinan di luar nalar. Tidak terasa tanggul yang sengaja da
"Maryuni, kamu dari mana?" Suara lembut itu membuatku menoleh ke sumber suara. Belum pernah aku bertemu dengan orang ini, tetapi dia bisa tahu namaku."Dia siapa?" batinku bermonolog.Perempuan berjilbab lebar itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya menyapaku. "Hai, perkenalkan aku Naomi mantan istri Anjar," sapanya ramah.Sejenak aku tertegun dengan ucapannya barusan, dia adalah mantan istri mas Anjar? Apa tidak salah mas Anjar menceraikannya? Wanita ini sungguh terlihat luar biasa. Bukan hanya parasnya, tetapi tuturnya pun lembut tidak di buat-buat. "Kok, malah bengong," imbuhnya sambil tersenyum renyah. "Em ... Saya Maryuni, Mbak. Dari mana mbak tau kalau saya istri mas Anjar? 'Kan kita belum pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku penasaran. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di sana," ajaknya menuju sebuah warung kopi.Aku menurut saja, mengikuti langkahnya sedangkan aku menyalakan motor menuju warung itu. "Kopi guday karebian satu pake es, ya, Pak. Kamu mau minum apa,
Setelah menyerahkan tas, mas Anjar bergegas memasuki kamar kami, tetapi dia berpapasan dengan Meri. "Kamu sudah jadi masak, Mer?" Meri gelagapan mendapat pertanyaan dari mas Anjar. "Belum, Mas. Meri capek banget rasanya hari ini, jadi seharian hanya tiduran saja di kamar," jawab Meri. Aku tahu ucapannya itu hanya alibi saja, toh, tadi siang dia sedang bermain dengan sangat liar, jadi mungkin kelelahan. "Trus aku makan apa? Aku belum makan dari siang, kamu yang aku titipi malah nggak masak!" sungutnya."Aku bawa ayam goreng, apa mau?" tanyaku."Yang penting bisa segera makan, tolong siapkan, ya, Dek. Aku mau mandi dulu," pamitnya. Setelah mas Anjar masuk ke dalam kamar, aku membalas tatapan tajam Meri. "Kenapa kelelahan, ya? Berapa kali?" sindirku."Apa maksudmu!" bentak Meri seolah tidak terima. Aku menyusul mas Anjar memasuki kamar, lauk dan nasi yang aku bungkus sengaja kubawa sekalian ke kamar, agar Meri tidak ikut serta menikmatinya.Sembari menunggu mas Anjar selesai de
"Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Dek!" teriak mbak Naomi seraya melambaikan tangan. "Oke!" Sebenarnya ada hal penting apa? Apakah mbak Naomi ingin menceritakan masa lalunya? Apakah menyangkut mas Anjar dengan Meri? Entahlah, Aku tidak mau menduga-duga dan membuat kepalaku nyeri karena kebanyakan mikir. Beberapa saat aku termenung, tetapi mengingat chat yang mencurigakan milik mas Anjar segera aku bangkit dan meneruskan langkah. Perumahan ini tidak terlalu jauh dari pasar, jadi aku tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat itu. Dengan mengendarai motor maticku sampailah aku di perumahan yang cukup mewah, bagiku tentunya, tetapi mungkin akan murah bagi kalangan orang berada. Setelah bertemu dengan salah satu satpam, aku bertanya perihal berapa saja harga perumahan yang ada di sini. Ternyata berbeda-beda, tetapi kisaran di atas empat ratus juta. Wow!Harga yang lumayan bagi kalangan sepertiku. Lalu aku bertanya tentang rumah bernomor dua belas, dengan sistem ap
"Dek, pulanglah! Tolong mama!" teriaknya mengagetkanku. "Mama kenapa, Mas?" Dadaku berdebar dan terasa nyeri. Takut terjadi sesuatu dengan mama. "Tolong pulang, sekarang," ucap mas Anjar lalu menutup sambungan telepon sepihak.Jelas aku sangat khawatir dengan keadaan mama saat ini, meski bagaimanapun aku pernah kehilangan seorang ibu, bahkan aku tahu rasanya jadi mas Anjar saat ini. "Pak, sebelumnya saya minta maaf, saya harus segera pulang. Mertua saya dalam keadaan tidak baik-baik saja," ucapku sembari mempersiapkan tas kecil serta ponselku agar tidak tertinggal. "Tidak apa-apa, Mbak. Lalu bagaimana dengan pencuri ini," tanyanya sembari menoleh ke arah Desti, sementara Desti layaknya pesakitan, terdiam membisu gerakknya terkunci oleh tatapan-tatapan intimidasi. "Mbak Wati, datang kerumahnya, lalu katakan semua kelakuan dia kepada keluarga tanpa ada satu apa pun yang di tutup-tutupi. Kalau dia menolak, saya akan meminta teman saya yang seorang polisi untuk mengunci pergerakannya
"Bukan itu. Dia ... Dia melakukannya ...!" jerit mama tertahan. "Maksud mama apa?" Aku pura-pura bingung dan tidak tahu bagaimana kelakuan Meri selama ini. "Mama memergoki Meri dengan seorang laki-laki di dalam kamarnya dan mereka tidak mengenakan pakaian," jelasnya pilu.Mama semakin terisak, mungkin mama tidak mengira jika anak gadis kesayangannya bisa melakukan hal tidak senonoh. Melakukan hal yang sepatutnya hanya di lakukan oleh sepasang suami istri. "Apa Meri tau kalau mama memergokinya?" tanyaku penasaran. "Meri tidak tau, sebelum mereka sadar dengan keberadaan mama, mama langsung keluar dan tiba-tiba kepala mama nyeri sekali dan napas terasa sesak, hingga mama tidak sadarkan diri," papar mama dengan berurai air mata. Aku memeluk dan mengusap punggungnya, hatiku pun ikut merasa nyeri, siapa yang tidak merasa kecewa dengan kelakuan salah satu keluarga yang mencoreng nama baik yang selama ini selalu di jaga."Kenapa mama tidak menegurnya? Atau bertanya langsung tentang kebe
"Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus
"Kamu siapa!" teriak seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Sungguh aku kaget bukan main, tiba-tiba mas Anjar sudah ada di belakangku. "Yuni?" Mas Anjar terlihat terkejut melihat kedatanganku. "Iya, aku Yuni, Mas. Aku kesini hanya ingin mengambil pakaianku saja," jelasku, masih tetap membereskan pakaian dan perlengkapan miliku. Dia kembali melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu cantik sekali," gumamnya pelan, tetapi dapat tertangkap oleh indera pendengaranku.Aku tersenyum sinis, mungkin selama ini dia tidak pernah melihatku secantik ini. Bukan aku tidak mampu melakukannya, tetapi aku sangat berharap bahwa lelaki yang akan menerimaku adalah orang yang akan berjuang membuatku semakin cantik. Nyatanya, dia sangat perhitungan dalam segala hal, apa lagi mengeluarkan uang untuk membuatku semakin cantik. "Aku permisi, Mas. Aku merasakan bahwa hubungan kita sudah tidak sehat. Mungkin selama ini aku hanya akan diam saat mas mengabaikanku dan pelit dalam mena
Apa benar ini Maryuni yang kampungan itu? Aku menatap cermin kembali, betulkah yang aku lihat? Benar kata mbak Wati, aku harus merubah penampilanku. Akan aku buat mas Anjar menyesal setelah bertemu denganku nanti. "Ada yang masih kurang, Mbak?" tanya pegawai yang berada tepat di sampingku. "Nggak, sudah cukup," jawabku, sembari takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan. "Belum, masih kurang, lihat ini." Dia menunjuk pakaian yang berada di tangannya. Aku mengerutkan kening, belum paham apa maksudnya. "Coba mbak kalau baju ini," perintahnya. Aku hanya menurut, berjalan menuju kamar pas. Di dalam kamar pas aku merasa sangat bahagia, tetapi kalau aku berpakaian seperti ini bagaimana kalau sedang jualan? Entahlah, itu urusan nanti, yang penting sekarang menikmati saat ini. "Cantiknya," sambut para pegawai salon.Sejujurnya aku pun takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan ini. Hari ini aku berubah, terlihat begitu sempurna, bahkan pesta pernikahan yang
Tawa itu terlihat tanpa beban, sedangkan perempuan di sebelahnya nampak begitu bahagia. Siapa dia kenapa mereka sedekat itu? Mataku berserobok dengan gadis itu, dia seperti gelagapan, tetapi bisa menguasai keadaan. Aku segera berpaling, fokus ke mbak Wati yang sedang bicara entah apa. "Malah melamun! Wow!" bentak mbak Wati mengagetkanku."Mbak jangan ngagetin, lah." Aku paling kesal kalau ada orang yang ngagetin secara sengaja. Apa lagi di depan umum. "Maaf, Mbak." Mbak Wati sedikit canggung. "Mbak Wat, lihat orang yang di sebelah sana, yang pake baju kotak-kotak warna abu-abu."Mbak Wati menoleh ke arah yang aku tunjuk, keningnya sedikit mengkerut, mungkin dia heran. "Kenapa, Mbak?" "Dia mas Anjar, orang yang sedang kita bicarakan," jelasku."Keren, banget." Mbak Wati kembali menoleh ke arah mas Anjar. "Kan, malah jadi merhatiin dia?" sungutku pura-pura kesal."Maaf, Mbak." Obrolan kami terjeda karena pesanan kami tiba, harum aroma sambal yang menguar membuatku seketika mel
"Mengandung? Anak-anak siapa? Siapa yang hamil?" Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Akhirnya, saat yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Mas Anjar sudah sampai di rumah sakit, tepatnya di ruangan di mana Meri di rawat. "Meri! Kamu sakit apa?" tanya Mas Anjar khawatir. "Bawaan hamil, Mas," jawab lelaki yang kini berada di samping Meri. Aku bingung sebenarnya dengan lelaki itu, apa dia tidak tahu kalau kami adalah keluarga Meri. "Hamil?"Sementara Meri hanya dia membisu, mas Anjar menatap Meri dengan tatapan tajam. "Apa maksud dari semua ini!" bentak mas Anjar tidak bisa mengontrol emosi. "Mas ini rumah sakit," bisikku agar dia sedikit merendahkan suaranya. "Apa Meri tidak bilang, Mas? Jujur saya sebenarnya heran, apa kalian keluarga jauhnya?" tanya lelaki yang belum diketahui namanya tersebut. "Bilang soal apa? Memangnya Meri bicara apa terhadap, Anda?" tanyaku."Kami sudah menikah siri, sudah lebih dari setengah tahun. Meri bilang dia tidak mempunyai keluarga satu pun,
"Mama! Meri pingsan!" teriakkuTergopoh mama menyusulku ke kamar. Terpancar jelas kepanikan dalam wajahnya. "Meri ... Bangun Mer!"Mama histeris, melihat wajah Meri yang seputih kertas. Ada sesal yang tidak dapat di tampik. "Kita bawa ke rumah sakit, Ma," pintaku segera membopong tubuh Meri yang terlihat semakin kurus.Aku terbiasa mengangkat beban, lima puluh kilo pun aku kuat mengangkatnya, apa lagi tubuh Meri yang sangat kurus ini. "Mama keluarlah minta pertolongan!"Bergegas mama mencari pertolongan. Setelah salah satu tetangga Meri bersedia mengantar ke rumah sakit, aku meminta satpam untuk menutup pintu rumah yang di tinggali Meri. "Apa kakaknya tidak pulang?" tanya tetangga Meri. "Kakaknya masih kerja, Pak." Tidak ada obrolan yang berarti di antara kami, fokus kami hanya tentang keadaan Meri. Setelah sampai di rumah sakit, bergegas para perawat menghampiri mobil yang membawa Meri. Meri langsung di tangani di IGD. Tidak bisa kutampik, bahwa aku sangat khawatir dengan kea
"Ma, Meri sakit," ucap mas Anjar setelah kami memasuki rumah. "Bukan urusanku!" bentak mama. Mungkin mama punya alasan tersendiri saat berucap demikian. "Dek, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Mas Anjar kepadaku, dan terlihat sangat khawatir. "Mas lihat sendiri bukan, aku baik-baik saja. Untuk apa kembali ke rumah?" Aku balik bertanya kepada mas Anjar. "Meri tiba-tiba pingsan, lalu aku membawanya ke rumah sakit." Aku dan mama berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuh yang lelah. "Lalu apa urusannya dengan kami?" tanya mama. "Kalian keluarga satu-satunya, jadi aku pikir kalian tentu harus tau." "Tidak perlu! Toh, kalian sendiri yang memilih jalan ini! Aku dan Maryuni tidak akan ikut campur, urus saja kebahagiaan kalian yang sangat tidak pantas itu!" ketus mama. Mama terlihat kesal dengan kedatangan mas Anjar."Aku pamit mau istirahat, capek!" pamitku meninggalkan mama dan mas Anjar di ruang tamu. Mas Anjar sedikit berlari mengejarku, tidak kupedulikan lagi kehadirannya. Seg
"Ceraikan dia!" teriak Meri kesetanan. Terlihat mas Anjar berdiri di depan Meri yang terbakar emosi. Mama menarik lenganku untuk bersembunyi."Tunggu apa yang akan di katakan oleh Anjar," bisik mama.Meri meracau tidak karuan karena mas Anjar tidak menjawab permintaannya. "Yuni sedang hamil, Mer. Aku juga tidak mungkin menceraikanya," jawab mas Anjar. Aku dan mama bertatapan, tidak mengira jika mas Anjar akan berkata demikian. "Tidak mungkin kenapa? Aku juga bisa hamil, kalau kamu hanya ingin seorang anak!" teriak Meri. "Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa seorang ayah." "Kamu jahat, Mas!" teriak Meri sembari memukul dada mas Anjar. Cukup. Aku akan memergoki mereka!"Kenapa kamu meminta mas Anjar menceraikan aku?" tanyaku sembari berjalan mendekat ke arah mas Anjar dan juga Meri yang tampak tak karuan. "Yuni," gumam mas Anjar pelan, tetapi tertangkap oleh indera pendengaranku."Kenapa? Kenapa kalian diam saja? Jelaskan apa maksud dari ucapan Meri, Mas?" Mas Anjar bu
"Jadi kalau orang kampung seperti saya nggak bisa beli di sini, ya, Mbak? Takut nggak bisa bayar? Di sini mbak di gaji untuk melayani pembeli kan? Bukan untuk memamerkan harga agar pembeli kabur? Kalau nggak ada pembeli bagaimana dengan gajimu, apa kamu merasa aman masih bekerja di sini kalau sepi. Bisa jadi kamu yang di keluarkan karena menurut bosmu, kamu tidak bisa mencapai target!"Sudah cukup orang kampung di sepelekan. "Kalau begitu kenapa nggak mbak aja yang jadi pelayan?" serangnya. Oke, dia pikir Maryuni akan takut dengannya. "Wah, memangnya kamu kuat gaji dia!" bentak seorang wanita yang tiba-tiba hadir diantara perdebatan kami."Bos juga tidak akan mau memperkerjakan wanita kampungan seperti dia!" bentaknya tidak mau kalah. Aku melirik penampilanku dari pantulan cermin, ternyata memang benar aku se kampungan itu. Penampilanku yang hanya memakai celana training dan kaos oblong, membuat mereka menyepelekan isi dompetku. "Tidak apa-apa, karena saya memang tidak minat bek