"Kalau kamu menyuruh wanita ini untuk mengubah surat itu, kenapa tidak kamu lakukan sendiri untuk dirimu dulu waktu masih bersamanya! Jangan pernah mengusik rumah tangga orang lain! Sekalipun, kamu paham dengan seluk-beluknnya!" Suara bariton dari arah belakang mbak Naomi membuat dia menghentikan perkataannya.Siapa laki-laki ini? "Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?" tanya mbak Naomi kepada lelaki berperawakan tinggi tersebut. "Tidak perlu kamu tau, Naomi. Yang terpenting jangan pernah mengurusi rumah tangga mantan suami kamu!" bentaknya. Pria itu menarik paksa lengan mbak Naomi, ada ketakutan yang terpancar dari matanya. "Pak, maaf! Apa nggak bisa dengan cara baik-baik, tidak perlu menarik mbak Naomi. Dia pasti akan menurut, lagian apa nggak malu di lihat banyak orang?" tanyaku mencoba menahan langkahnya. "Mbak, lebih baik jauhi Naomi. Jangan pernah dengarkan apa yang dia katakan. Jadilah diri sendiri, Mbak. Pertahankan rumah tanggamu. Maaf permisi," pamitnya menggandeng tan
[Dek, terima kasih atas semuanya. Akhirnya aku akan menjadi seorang ayah😍😘😘😘]Maksud mas Anjar apa? Menjadi seorang ayah? Anaknya siapa? Pesan dari mas Anjar aku abaikan, tetapi aku berpikir keras maksud dari pesan itu. Apa dia mengira aku hamil? Bukankah selama ini diam-diam aku menggunakan alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan. Lalu kenapa mas Anjar bilang akan menjadi seorang ayah? Otakku terasa buntu. [Tadi aku menemukan ini di depan kamar kita😘]Lagi, mas Anjar mengirimkan sebuah foto, benda pipih yang mungkin bagi pengantin muda seperti kami sangat istimewa, tetapi itu bukan milikku. Lalu, milik siapa? Apa milik Meri? Bukankah Meri yang memiliki ciri-ciri hamil muda sekarang. Ahaa. Kenapa aku baru ingat, Meri bukan sakit biasa, tetapi dia sedang mengalami dampak dari hamil mudanya. Kehamilan di waktu muda memang berbeda-beda, tetapi setahu aku memang ciri-ciri itu ada pada Meri. Sebelum pikiranku melajang buana entah ke negeri mana, aku berkemas menuju toko mama. M
"Jadi kalau orang kampung seperti saya nggak bisa beli di sini, ya, Mbak? Takut nggak bisa bayar? Di sini mbak di gaji untuk melayani pembeli kan? Bukan untuk memamerkan harga agar pembeli kabur? Kalau nggak ada pembeli bagaimana dengan gajimu, apa kamu merasa aman masih bekerja di sini kalau sepi. Bisa jadi kamu yang di keluarkan karena menurut bosmu, kamu tidak bisa mencapai target!"Sudah cukup orang kampung di sepelekan. "Kalau begitu kenapa nggak mbak aja yang jadi pelayan?" serangnya. Oke, dia pikir Maryuni akan takut dengannya. "Wah, memangnya kamu kuat gaji dia!" bentak seorang wanita yang tiba-tiba hadir diantara perdebatan kami."Bos juga tidak akan mau memperkerjakan wanita kampungan seperti dia!" bentaknya tidak mau kalah. Aku melirik penampilanku dari pantulan cermin, ternyata memang benar aku se kampungan itu. Penampilanku yang hanya memakai celana training dan kaos oblong, membuat mereka menyepelekan isi dompetku. "Tidak apa-apa, karena saya memang tidak minat bek
"Ceraikan dia!" teriak Meri kesetanan. Terlihat mas Anjar berdiri di depan Meri yang terbakar emosi. Mama menarik lenganku untuk bersembunyi."Tunggu apa yang akan di katakan oleh Anjar," bisik mama.Meri meracau tidak karuan karena mas Anjar tidak menjawab permintaannya. "Yuni sedang hamil, Mer. Aku juga tidak mungkin menceraikanya," jawab mas Anjar. Aku dan mama bertatapan, tidak mengira jika mas Anjar akan berkata demikian. "Tidak mungkin kenapa? Aku juga bisa hamil, kalau kamu hanya ingin seorang anak!" teriak Meri. "Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa seorang ayah." "Kamu jahat, Mas!" teriak Meri sembari memukul dada mas Anjar. Cukup. Aku akan memergoki mereka!"Kenapa kamu meminta mas Anjar menceraikan aku?" tanyaku sembari berjalan mendekat ke arah mas Anjar dan juga Meri yang tampak tak karuan. "Yuni," gumam mas Anjar pelan, tetapi tertangkap oleh indera pendengaranku."Kenapa? Kenapa kalian diam saja? Jelaskan apa maksud dari ucapan Meri, Mas?" Mas Anjar bu
"Ma, Meri sakit," ucap mas Anjar setelah kami memasuki rumah. "Bukan urusanku!" bentak mama. Mungkin mama punya alasan tersendiri saat berucap demikian. "Dek, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Mas Anjar kepadaku, dan terlihat sangat khawatir. "Mas lihat sendiri bukan, aku baik-baik saja. Untuk apa kembali ke rumah?" Aku balik bertanya kepada mas Anjar. "Meri tiba-tiba pingsan, lalu aku membawanya ke rumah sakit." Aku dan mama berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuh yang lelah. "Lalu apa urusannya dengan kami?" tanya mama. "Kalian keluarga satu-satunya, jadi aku pikir kalian tentu harus tau." "Tidak perlu! Toh, kalian sendiri yang memilih jalan ini! Aku dan Maryuni tidak akan ikut campur, urus saja kebahagiaan kalian yang sangat tidak pantas itu!" ketus mama. Mama terlihat kesal dengan kedatangan mas Anjar."Aku pamit mau istirahat, capek!" pamitku meninggalkan mama dan mas Anjar di ruang tamu. Mas Anjar sedikit berlari mengejarku, tidak kupedulikan lagi kehadirannya. Seg
"Mama! Meri pingsan!" teriakkuTergopoh mama menyusulku ke kamar. Terpancar jelas kepanikan dalam wajahnya. "Meri ... Bangun Mer!"Mama histeris, melihat wajah Meri yang seputih kertas. Ada sesal yang tidak dapat di tampik. "Kita bawa ke rumah sakit, Ma," pintaku segera membopong tubuh Meri yang terlihat semakin kurus.Aku terbiasa mengangkat beban, lima puluh kilo pun aku kuat mengangkatnya, apa lagi tubuh Meri yang sangat kurus ini. "Mama keluarlah minta pertolongan!"Bergegas mama mencari pertolongan. Setelah salah satu tetangga Meri bersedia mengantar ke rumah sakit, aku meminta satpam untuk menutup pintu rumah yang di tinggali Meri. "Apa kakaknya tidak pulang?" tanya tetangga Meri. "Kakaknya masih kerja, Pak." Tidak ada obrolan yang berarti di antara kami, fokus kami hanya tentang keadaan Meri. Setelah sampai di rumah sakit, bergegas para perawat menghampiri mobil yang membawa Meri. Meri langsung di tangani di IGD. Tidak bisa kutampik, bahwa aku sangat khawatir dengan kea
"Mengandung? Anak-anak siapa? Siapa yang hamil?" Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Akhirnya, saat yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Mas Anjar sudah sampai di rumah sakit, tepatnya di ruangan di mana Meri di rawat. "Meri! Kamu sakit apa?" tanya Mas Anjar khawatir. "Bawaan hamil, Mas," jawab lelaki yang kini berada di samping Meri. Aku bingung sebenarnya dengan lelaki itu, apa dia tidak tahu kalau kami adalah keluarga Meri. "Hamil?"Sementara Meri hanya dia membisu, mas Anjar menatap Meri dengan tatapan tajam. "Apa maksud dari semua ini!" bentak mas Anjar tidak bisa mengontrol emosi. "Mas ini rumah sakit," bisikku agar dia sedikit merendahkan suaranya. "Apa Meri tidak bilang, Mas? Jujur saya sebenarnya heran, apa kalian keluarga jauhnya?" tanya lelaki yang belum diketahui namanya tersebut. "Bilang soal apa? Memangnya Meri bicara apa terhadap, Anda?" tanyaku."Kami sudah menikah siri, sudah lebih dari setengah tahun. Meri bilang dia tidak mempunyai keluarga satu pun,
Tawa itu terlihat tanpa beban, sedangkan perempuan di sebelahnya nampak begitu bahagia. Siapa dia kenapa mereka sedekat itu? Mataku berserobok dengan gadis itu, dia seperti gelagapan, tetapi bisa menguasai keadaan. Aku segera berpaling, fokus ke mbak Wati yang sedang bicara entah apa. "Malah melamun! Wow!" bentak mbak Wati mengagetkanku."Mbak jangan ngagetin, lah." Aku paling kesal kalau ada orang yang ngagetin secara sengaja. Apa lagi di depan umum. "Maaf, Mbak." Mbak Wati sedikit canggung. "Mbak Wat, lihat orang yang di sebelah sana, yang pake baju kotak-kotak warna abu-abu."Mbak Wati menoleh ke arah yang aku tunjuk, keningnya sedikit mengkerut, mungkin dia heran. "Kenapa, Mbak?" "Dia mas Anjar, orang yang sedang kita bicarakan," jelasku."Keren, banget." Mbak Wati kembali menoleh ke arah mas Anjar. "Kan, malah jadi merhatiin dia?" sungutku pura-pura kesal."Maaf, Mbak." Obrolan kami terjeda karena pesanan kami tiba, harum aroma sambal yang menguar membuatku seketika mel
"Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus
"Kamu siapa!" teriak seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Sungguh aku kaget bukan main, tiba-tiba mas Anjar sudah ada di belakangku. "Yuni?" Mas Anjar terlihat terkejut melihat kedatanganku. "Iya, aku Yuni, Mas. Aku kesini hanya ingin mengambil pakaianku saja," jelasku, masih tetap membereskan pakaian dan perlengkapan miliku. Dia kembali melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu cantik sekali," gumamnya pelan, tetapi dapat tertangkap oleh indera pendengaranku.Aku tersenyum sinis, mungkin selama ini dia tidak pernah melihatku secantik ini. Bukan aku tidak mampu melakukannya, tetapi aku sangat berharap bahwa lelaki yang akan menerimaku adalah orang yang akan berjuang membuatku semakin cantik. Nyatanya, dia sangat perhitungan dalam segala hal, apa lagi mengeluarkan uang untuk membuatku semakin cantik. "Aku permisi, Mas. Aku merasakan bahwa hubungan kita sudah tidak sehat. Mungkin selama ini aku hanya akan diam saat mas mengabaikanku dan pelit dalam mena
Apa benar ini Maryuni yang kampungan itu? Aku menatap cermin kembali, betulkah yang aku lihat? Benar kata mbak Wati, aku harus merubah penampilanku. Akan aku buat mas Anjar menyesal setelah bertemu denganku nanti. "Ada yang masih kurang, Mbak?" tanya pegawai yang berada tepat di sampingku. "Nggak, sudah cukup," jawabku, sembari takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan. "Belum, masih kurang, lihat ini." Dia menunjuk pakaian yang berada di tangannya. Aku mengerutkan kening, belum paham apa maksudnya. "Coba mbak kalau baju ini," perintahnya. Aku hanya menurut, berjalan menuju kamar pas. Di dalam kamar pas aku merasa sangat bahagia, tetapi kalau aku berpakaian seperti ini bagaimana kalau sedang jualan? Entahlah, itu urusan nanti, yang penting sekarang menikmati saat ini. "Cantiknya," sambut para pegawai salon.Sejujurnya aku pun takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan ini. Hari ini aku berubah, terlihat begitu sempurna, bahkan pesta pernikahan yang
Tawa itu terlihat tanpa beban, sedangkan perempuan di sebelahnya nampak begitu bahagia. Siapa dia kenapa mereka sedekat itu? Mataku berserobok dengan gadis itu, dia seperti gelagapan, tetapi bisa menguasai keadaan. Aku segera berpaling, fokus ke mbak Wati yang sedang bicara entah apa. "Malah melamun! Wow!" bentak mbak Wati mengagetkanku."Mbak jangan ngagetin, lah." Aku paling kesal kalau ada orang yang ngagetin secara sengaja. Apa lagi di depan umum. "Maaf, Mbak." Mbak Wati sedikit canggung. "Mbak Wat, lihat orang yang di sebelah sana, yang pake baju kotak-kotak warna abu-abu."Mbak Wati menoleh ke arah yang aku tunjuk, keningnya sedikit mengkerut, mungkin dia heran. "Kenapa, Mbak?" "Dia mas Anjar, orang yang sedang kita bicarakan," jelasku."Keren, banget." Mbak Wati kembali menoleh ke arah mas Anjar. "Kan, malah jadi merhatiin dia?" sungutku pura-pura kesal."Maaf, Mbak." Obrolan kami terjeda karena pesanan kami tiba, harum aroma sambal yang menguar membuatku seketika mel
"Mengandung? Anak-anak siapa? Siapa yang hamil?" Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Akhirnya, saat yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Mas Anjar sudah sampai di rumah sakit, tepatnya di ruangan di mana Meri di rawat. "Meri! Kamu sakit apa?" tanya Mas Anjar khawatir. "Bawaan hamil, Mas," jawab lelaki yang kini berada di samping Meri. Aku bingung sebenarnya dengan lelaki itu, apa dia tidak tahu kalau kami adalah keluarga Meri. "Hamil?"Sementara Meri hanya dia membisu, mas Anjar menatap Meri dengan tatapan tajam. "Apa maksud dari semua ini!" bentak mas Anjar tidak bisa mengontrol emosi. "Mas ini rumah sakit," bisikku agar dia sedikit merendahkan suaranya. "Apa Meri tidak bilang, Mas? Jujur saya sebenarnya heran, apa kalian keluarga jauhnya?" tanya lelaki yang belum diketahui namanya tersebut. "Bilang soal apa? Memangnya Meri bicara apa terhadap, Anda?" tanyaku."Kami sudah menikah siri, sudah lebih dari setengah tahun. Meri bilang dia tidak mempunyai keluarga satu pun,
"Mama! Meri pingsan!" teriakkuTergopoh mama menyusulku ke kamar. Terpancar jelas kepanikan dalam wajahnya. "Meri ... Bangun Mer!"Mama histeris, melihat wajah Meri yang seputih kertas. Ada sesal yang tidak dapat di tampik. "Kita bawa ke rumah sakit, Ma," pintaku segera membopong tubuh Meri yang terlihat semakin kurus.Aku terbiasa mengangkat beban, lima puluh kilo pun aku kuat mengangkatnya, apa lagi tubuh Meri yang sangat kurus ini. "Mama keluarlah minta pertolongan!"Bergegas mama mencari pertolongan. Setelah salah satu tetangga Meri bersedia mengantar ke rumah sakit, aku meminta satpam untuk menutup pintu rumah yang di tinggali Meri. "Apa kakaknya tidak pulang?" tanya tetangga Meri. "Kakaknya masih kerja, Pak." Tidak ada obrolan yang berarti di antara kami, fokus kami hanya tentang keadaan Meri. Setelah sampai di rumah sakit, bergegas para perawat menghampiri mobil yang membawa Meri. Meri langsung di tangani di IGD. Tidak bisa kutampik, bahwa aku sangat khawatir dengan kea
"Ma, Meri sakit," ucap mas Anjar setelah kami memasuki rumah. "Bukan urusanku!" bentak mama. Mungkin mama punya alasan tersendiri saat berucap demikian. "Dek, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Mas Anjar kepadaku, dan terlihat sangat khawatir. "Mas lihat sendiri bukan, aku baik-baik saja. Untuk apa kembali ke rumah?" Aku balik bertanya kepada mas Anjar. "Meri tiba-tiba pingsan, lalu aku membawanya ke rumah sakit." Aku dan mama berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuh yang lelah. "Lalu apa urusannya dengan kami?" tanya mama. "Kalian keluarga satu-satunya, jadi aku pikir kalian tentu harus tau." "Tidak perlu! Toh, kalian sendiri yang memilih jalan ini! Aku dan Maryuni tidak akan ikut campur, urus saja kebahagiaan kalian yang sangat tidak pantas itu!" ketus mama. Mama terlihat kesal dengan kedatangan mas Anjar."Aku pamit mau istirahat, capek!" pamitku meninggalkan mama dan mas Anjar di ruang tamu. Mas Anjar sedikit berlari mengejarku, tidak kupedulikan lagi kehadirannya. Seg
"Ceraikan dia!" teriak Meri kesetanan. Terlihat mas Anjar berdiri di depan Meri yang terbakar emosi. Mama menarik lenganku untuk bersembunyi."Tunggu apa yang akan di katakan oleh Anjar," bisik mama.Meri meracau tidak karuan karena mas Anjar tidak menjawab permintaannya. "Yuni sedang hamil, Mer. Aku juga tidak mungkin menceraikanya," jawab mas Anjar. Aku dan mama bertatapan, tidak mengira jika mas Anjar akan berkata demikian. "Tidak mungkin kenapa? Aku juga bisa hamil, kalau kamu hanya ingin seorang anak!" teriak Meri. "Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa seorang ayah." "Kamu jahat, Mas!" teriak Meri sembari memukul dada mas Anjar. Cukup. Aku akan memergoki mereka!"Kenapa kamu meminta mas Anjar menceraikan aku?" tanyaku sembari berjalan mendekat ke arah mas Anjar dan juga Meri yang tampak tak karuan. "Yuni," gumam mas Anjar pelan, tetapi tertangkap oleh indera pendengaranku."Kenapa? Kenapa kalian diam saja? Jelaskan apa maksud dari ucapan Meri, Mas?" Mas Anjar bu
"Jadi kalau orang kampung seperti saya nggak bisa beli di sini, ya, Mbak? Takut nggak bisa bayar? Di sini mbak di gaji untuk melayani pembeli kan? Bukan untuk memamerkan harga agar pembeli kabur? Kalau nggak ada pembeli bagaimana dengan gajimu, apa kamu merasa aman masih bekerja di sini kalau sepi. Bisa jadi kamu yang di keluarkan karena menurut bosmu, kamu tidak bisa mencapai target!"Sudah cukup orang kampung di sepelekan. "Kalau begitu kenapa nggak mbak aja yang jadi pelayan?" serangnya. Oke, dia pikir Maryuni akan takut dengannya. "Wah, memangnya kamu kuat gaji dia!" bentak seorang wanita yang tiba-tiba hadir diantara perdebatan kami."Bos juga tidak akan mau memperkerjakan wanita kampungan seperti dia!" bentaknya tidak mau kalah. Aku melirik penampilanku dari pantulan cermin, ternyata memang benar aku se kampungan itu. Penampilanku yang hanya memakai celana training dan kaos oblong, membuat mereka menyepelekan isi dompetku. "Tidak apa-apa, karena saya memang tidak minat bek