Beranda / Romansa / MARI KITA BERPISAH / DIA BERNAMA KIMIKO

Share

DIA BERNAMA KIMIKO

Penulis: Mande Hanifah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-20 10:32:55

Aku tidak pernah berfikir untuk menceraikan Shabira. Dia adalah cinta pertamaku. Perempuan yang membuatku merasa hebat, tangguh dan dindalkan. Tapi Kimiko tidak  ingin menjadi yang kedua. Perempuan sendu itu ingin menjadi satu-satunya. Dengan adanya bayi itu, tentu ia bisa memiliki kehendak apapun. Dia paling tahu bahwa aku pasti lemah jika menyangkut anak. Apalagi dia bilang, pernikahan ini demi masa depan bayi kami. Dia tidak ingin Bayi kami tumbuh menjadi pribadi penyendiri seperti dirinya. Anak itu harus bahagia apapun caranya. Meskipun aku harus menancapkan belati tajam ke dalam dada Shabira. 

“Sha, maafkan aku.”  

Aku berusaha menggapai jemari Shabira. Perempuan itu menatapku sebentar, tapi ia tidak menangis. Lalu pandangan ia lempar jauh pada barisan awan tipis yang kelabu. Ini kali pertama aku melihat ia seterluka itu. Bahkan Shabira tidak senelangsa ini ketika Ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu. 

“Sha, aku minta maaf. Aku salah. Maki-maki aku, Sha. Luapkan kemarahanmu. Jangan diam seperti ini.” 

Aku mengguncang jemari Shabira. Ia menepisnya dengan kasar. Sungguh kali ini aku ingin sekali mendengarnya mengutuki kejahatanku. Memaki-maki atau sekalian saja menampar wajahku. Aku tahu itu akan jauh lebih baik untuknya. Aku hafal betul bagaimana rasanya memendam kemarahan. Sampai menit-menit berlalu, Shabira tidak melakukannya. Ia mendiamkanku. 

“Sha, aku ….” 

Shabira bangkit. Berdiri sebentar lalu menatapku lekat-lekat. Mungkin  ia akan mengamuk sekarang. Puluhan tamparan kurasa pantas ia labuhkan di pipiku. Dugaanku meleset, Shabira tidak melakukan apa-apa. Mulutnya terkunci sempurna. Aku bahkan tak dapat mendengar desis halus napasnya dari jarak yang sedekat ini. 

Perempuan itu berbalik kemudian. Ia berjalan, meninggalkanku degan langkah gontai. Detik ini aku merasa telah mencabut paksa semangat Shabira. Semakin jauh ia meninggalkanku. Bahkan wangi rambutnya ikut menghilang dari penciumanku. 

“Mau ke mana? Kita perlu menyelesaikan ini, Sha. Tolong jangan diam begini.”

Suara pintu ditutup dengan keras mendominasi kemudian. Aku melangkah menyusul Shabira. Ingin sekali aku memeluknya sekarang tapi wajah Kimiko membentuk gumpalan dalam kepalaku. Perempuan itu sedang mengandung bayiku, aku tidak mungkin membuatnya kecewa dengan terus menerus mencemaskan Shabira. Kimiko adalah masa depan, sedang Shabira serupa kenangan yang seharusnya kukubur dalam-dalam. 

Pintu ia kunci dari dalam. Entah apa yang dilakukannya di sana sekarang. Mungkin membenamkan wajahnya ke bantal, atau menangis di bawah shower atau bahkan ….. Oh tidak. Shabira bukan wanita lemah yang bodoh, ia tidak akan melakukan hal-hal yang Allah tidak suka. Shabira adalah perempuan cerdas yang memiliki prinsip. Salah dua dari banyak hal yang kusuka darinya. Tapi itu jauh sebelum Kimiko hadir dan berhasil membuatku menjadi seorang ayah. 

Gagang pintu kuguncang beberapa kali. Shabira bergeming. Mungkin sudah puluhan kali, aku masih terus mencobanya. Aku pun tidak mengerti apa tujuanku sebenarnya. Bukankah sudah cukup aku memadamkan binar di mata perempuan itu? Lalu apa lagi yang kutunggu sekarang? Bukankah meninggalkannya sendiri dengan luka-luka adalah hal terbaik untuk saat ini? Ia butuh sendiri, aku tahu itu. Bukankah Mama juga begitu ketika Ayah ketahuan berselingkuh?  Mama bahkan berhari-hari menolak makan dan hanya mengurung diri. Tidak berdandan dan menarik diri dari lingkungan. Aku juga tahu bahwa lambat laun luka Shabira akan mengering dan hilang. Mama bahkan jauh lebih kuat tanpa Ayah. Kuharap Shabira juga begitu. Dan nanti ia akan mendapatkan lelaki yang menerima keadaannya. Siap dengan kondisi Shabira yang mungkin tidak akan bisa melahirkan sampai selamanya. 

“Sha ….” Sesuatu di dalam diriku masih penasaran pada Shabira. Sampai beberapa kali aku memanggil namanya. Berharap ia keluar sebentar dan menemuiku dengan cara yang baik. Aku hanya ingin Shabira mengerti bahwa aku harus bertanggung jawab pada Kimiko. 

Lima, tujuh, mungkin sudah sepuluh menit aku menanti, menempelkan telingaku ke daun pintu. Sebelum akhirnya ponselku berdering. Nama Kimiko tertera di sana. Berbulan-bulan aku menyembunyikan kontak Kimiko dari ponsel ini. Namun beberapa hari yang lalu Kimiko berhasil meyakinkanku bahwa sekarang adalah saatnya. Aku harus berani mengambil keputusan. Demi bayi itu. Dan keputusanku adalah meninggalkan Shabira Altafunnisa, perempuan periang dan pendengar yang baik. Perempuan yang dapat kuandalkan dalam banyak hal. 

‘Kimi, aku di sini.’

Aku segera menjawab ketika mendengar suara rengekan Kimiko. Ia memang sedang demam. Kemarin ia bahkan tidak bisa keluar dari kamar karna meriang. Kehamilan itu membuatnya sedikit kewalahan. Ia bahkan tidak bisa jauh-jauh dariku. Orang bilang perangai wanita hamil itu memang beragam. Sebentar lagi mungkin Kimiko akan mengidam yang macam-macam. Aku sedikit cemas namun sangat antusias menunggu. Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. 

‘Aku tidak tahan lagi. Sekarang aku di rumah sakit. Perutku kram, Ayash. Datanglah segera setelah urusanmu selesai.’  Suara Kimiko bercampur tangis. Aku tak tega mendengarnya. 

‘Baik. Tenangkan dirimu, Kimi. Aku segera datang.”

Sambungan telepon lantas ditutup oleh Kimiko. Segera aku bergegas. Kimiko dan bayinya adalah hal yang paling penting sekarang. Aku belum sampai pada langkah yang kelima ketika Shabira setengah berteriak memanggilku. 

“Ayash ….!” 

Aku berbalik. Bersiap-siap pada ledakan amarah Shabira. Tak apa Sha. Marahlah. Kau berhak melakukannya. 

“Ayash, mari kita berpisah. Aku setuju untuk bercerai.”

 Hanya itu. Shabira tidak bicara lagi. Ia kembali menutup pintu kamar. Sedangkan aku baru saja akan mengatakan sesuatu padanya ketika Kimiko menelpon sekali lagi. Kuhela napas perlahan-lahan. Kimiko tidak perlu tahu ketegangan yang kurasakan. Aku harus menjaga mood perempuan itu. 

‘Ayash. Di mana sih?’

‘Iya. Aku baru saja akan berangkat. Sabar ya.’

‘Baiklah, bayimu menunggu.’ 

Lalu Kimiko mengakhiri pembicaraan. 

Aku mengemudi dengan kepala yang bising. Semua kenangan dengan Shabira berputar dalam kepalaku. Kenangan selama kami menjadi sepasang suami istri. Banyak hal telah kami lalui berdua. Aku mungkin tampak baik-baik saja ketika bersamanya. Tidak pernah kuutarakan bahwa aku menginginkan keturunan. Pun dengan Shabira. Menurutnya berdua saja sudah cukup yang penting bisa saling setia. Namun melihat teman-teman kantor memamerkan foto putra putri mereka, tidak dapat kupungkiri bahwa aku mengingkan hal serupa. Terlebih hasil tes kesuburan itu telah membuktikan bahwa aku bisa memiliki anak berapa pun jumlahnya. Tapi mungkin memang bukan dengan Shabira. Kimikolah orangnya. 

Kemudian wajah Kimiko memenuhi ceruk memori. Lalu berganti dengan mata sipit dan senyum khas milik perempuan itu. Tidak ada darah Indonesia yang mengalir di tubuh Kimiko. Ia adalah perempuan keturunan Jepang yang diadopsi oleh sepasang suami istri dari Bali. Sejak berusia enam bulan Kimiko telah diboyong ke Indonesia oleh orang tua angkatnya. Kimiko ingin sekali mengetahui siapa orang tua aslinya. Hal itu menjadi keinginan terbesarnya. Barangkali suatu saat nanti aku bisa mewujudkan keinginannya itu. 

Aku bertemu dengan Kimiko secara tidak sengaja. Tepat beberapa bulan setelah Kimiko memeluk agama islam. Perempuan itu dulunya adalah calon istri Zein__ temanku kantorku__. Namun entah mengapa mereka gagal menikah setelah Zein memperkenalkan Kimi kepada kedua orang tuanya. Tidak butuh lama untukku menjadi dekat dengan Kimiko. Lalu perempuan itu berhasil menyingkirkan Shabira dari dalam hatiku. Kimiko yang polos, unik dan menggemaskan. Keinginannya belajar agama islam sangat kuat. Dan aku merasakan getaran aneh yang tidak pernah kurasakan selama bersama dengan Shabira. Kata orang perempuan Jepang memang memiliki daya tarik tersendiri. 

Gerimis baru saja mulai turun ketika aku sampai di parkiran rumah sakit. Bergegas, aku sudah tidak sabar melihat keadaan Kimi dan mengetahui apakah janin yang ia kandung baik-baik saja. Pikiranku kacau seketika. Takut kalau bayi kami kenapa-napa. Tadi Kimi bilang bahwa ia masih menunggu giliran periksa di dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Ia juga mengaku bahwa sakitnya sedikit mereda. Berbekal petunjuk arah yang terdapat di lobby rumah sakit, aku menjadi tahu bahwa ruangan itu terletak di lantai dua. 

Aku melirik jam dan tahu bahwa sudah hampir magrib sekarang. Wajah Shabira melintas begitu saja di pelupuk mataku. Sedang apa perempuan itu sekarang? Sedang menangiskah ia? Segera kualihkan perhatian pada lantai rumah sakit yang putih. Sebelum akhirnya pandanganku tertumbuk pada seorang perempuan yang duduk di atas kursi roda. Dia Kimi.  Lelaki berjas putih tampak sedang berjongkok di depannya. Tangan lelaki itu sedang memegangi pergelangan kaki Kimiko. Kimiko meringis tapi setelahnya ia tersenyum. Mereka tampak dekat. 

“Ayash.” Suara Kimi penuh semangat. Ia kegirangan melihat kedatanganku. Aku mendekat dan berdiri tepat di hadapannya. Dokter yang tadi berjongkok kini telah berdiri. Kami sejajar sekarang. Tidak butuh bermenit-menit untukku mengetahui siapa lelaki itu. Aku sangat mengenalnya. 

“Ayash. Kau harus berkenalan dengannya. Dia Arav. Dokter Arav. Dokter favorit semua pasien di rumah sakit ini.” Ujar Kimi dengan luapan kebahagiaan. 

“Arav. Tentu aku mengenalnya. Dia ….” 

“Bro. Kau mengenal Kimiko?” Aku belum menyelesaikan kalimatku ketika Arav bertanya dengan wajah penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan. 

“Dia suamiku, Arav,” Kimi tidak menyiakan kesempatan. Entah apa yang dipikirkan Arav sekarang.

Bab terkait

  • MARI KITA BERPISAH   ES KRIM COKLAT

    Sudah dua hari Ayash tidak pulang. Dia belum mengambil barang-barang. Atau bicara lebih lanjut tentang perpisahan kami. Tentang rumah ini atau tentang apa saja. Oh bukankah semua itu tidak penting lagi sekarang. Kami telah bercerai, dia tidak lagi memiliki tanggung jawab atasku. Lalu apa yang kuharapkan darinya? Apakah aku rindu? Tentu saja. Aku tidak memungkiri hal itu. Rumah ini terasa sepi tanpanya. Tapi kebencianku padanya juga meluap-luap. Aku benci mengenang segala hal yang pernah kami lalui berdua. Aku juga tidak ingin tahu wanita mana yang merebut hatinya. Atau mengapa ia begitu jatuh cinta kepada perempuan itu. Rasanya menyakitkan tapi semua ini pasti akan terlewatkan. Aku hanya butuh waktu untuk sembuh lalu memulai semuanya dari awal. Aku mengedarkan pandangan ke sekililing. Rumah ini tampak sangat berantakan. Netflix menayangkan serial kerajaan Inggris terkenal itu, entah sudah berapa jam lamanya. Aku lupa kapan terakhir kali mematikan televisi. Gelas bekas susu kosong te

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-20
  • MARI KITA BERPISAH   SEBUAH FOLDER MASA KECIL

    Gadis cilik itu bernama Takiya. Dia lahir lebih awal dari perkiraan dokter. Mungkin sekitar tiga atau empat minggu dari tanggal yang seharusnya. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Yang penting putri kami sehat dan tidak kurang satu apapun. Melihat Kimiko berjuang melahirkan secara normal membuatku iba. Perjuangan perempuan itu tidak akan kulupakan. Muka Kimiko tercetak di setiap inci wajah Kiya. Mereka begitu mirip. Berambut keriting dengan warna coklat kehitaman. Mata sipit itu tampak serupa bulan sabit ketika tertawa. Satu-satunya hal yang Takiya warisi dariku adalah gampang tertawa. Kami memang begitu, kadang ada saja hal kecil yang membuat kami terpingkal-pingkal.Aku membangun sebuah rumah yang tidak terlampau besar untuk Kimiko dan Kiya. Bangunan bergaya Jepang itu memiliki taman kecil di sampingnya. Ditumbuhi rumput gajah yang selalu dipangkas rapi, sebuah ayunan anak-anak menjadi ciri khasnya. Rumah ini aku yang merancangnya sesuai dengan keinginan Kimiko. Ia ingin merasak

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-20
  • MARI KITA BERPISAH   TENTANG ARAV

    Beberapa hari yang lalu, Bunda Arav datang dari Surabaya. Dia memaksaku untuk menginap di rumah Arav. Kami tidur sekamar. Semalaman kami melakukan pillow talk. Aku dan Bunda berbicara tentang berbagai hal. Tentang persahabatan beliau dengan Ibuku, tentang Arav yang belum berkeinginan menikah sampai saat ini, tentang dia yang mulai hobi menekuni wajan dan panci di masa tua, juga tentang gosip artis yang sedang hangat. Kami menjadi kurang tidur karenanya. Paginya, aku sering menguap karna masih mengantuk. Dulu, pillow talk adalah kebiasaan yang aku dan Ayash rutinkan. Kami ngobrol banyak hal. Dari topik maha penting sampai tema receh yang tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap rumah tangga kami. Seringnya kami berkhayal tentang hidup di masa tua. Tentang bagaimana kami tetap kokoh meski badai datang bergulung-gulung. Kami sepakat, akan saling menjaga satu sama lain bagaimanapun kondisinya. Kukira hal itu akan berlangsung selamanya. Tapi kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan.

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-20
  • MARI KITA BERPISAH   MARI BERCERAI, SHA

    Bukan rumah tangga yang sepi. Ranjang kami selalu hangat. Dua kursi di taman kecil kami adalah saksi bahwa tiada sore yang terlewat tanpa obrolan ringan yang menenangkan. Kecuali ketika suamiku sedang menjalankan tugas ke luar kota. Menatap lagit jingga dengan segelas teh kamomil, kudapan manis atau beberapa potong tahu goreng saja cukup membuat kami merasa semuanya baik-baik saja. Bahkan sampai di tujuh tahun pernikahan tanpa kehadiran seorang anak. Di depan cermin, aku mematut diri lagi. Mengagumi potongan rambut model terbaru yang masih lembap. Beberapa jam yang lalu aku baru saja kembali dari pusat perawatan perempuan paling terkenal di pinggir kota kami. Tempat yang selalu kukunjungi di akhir pekan. Sekadar menghabiskan waktu untuk mengikir kuku jempol kaki atau keramas dengan krim favoritku. Hari ini Ayash—suamiku—pulang. Sudah tiga hari dia keluar kota. Waktu yang terasa sangat lama bagiku. Mungkin baginya juga. Setidaknya begitu yang kutangkap dari pesan mesra atau panggilan

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-20

Bab terbaru

  • MARI KITA BERPISAH   TENTANG ARAV

    Beberapa hari yang lalu, Bunda Arav datang dari Surabaya. Dia memaksaku untuk menginap di rumah Arav. Kami tidur sekamar. Semalaman kami melakukan pillow talk. Aku dan Bunda berbicara tentang berbagai hal. Tentang persahabatan beliau dengan Ibuku, tentang Arav yang belum berkeinginan menikah sampai saat ini, tentang dia yang mulai hobi menekuni wajan dan panci di masa tua, juga tentang gosip artis yang sedang hangat. Kami menjadi kurang tidur karenanya. Paginya, aku sering menguap karna masih mengantuk. Dulu, pillow talk adalah kebiasaan yang aku dan Ayash rutinkan. Kami ngobrol banyak hal. Dari topik maha penting sampai tema receh yang tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap rumah tangga kami. Seringnya kami berkhayal tentang hidup di masa tua. Tentang bagaimana kami tetap kokoh meski badai datang bergulung-gulung. Kami sepakat, akan saling menjaga satu sama lain bagaimanapun kondisinya. Kukira hal itu akan berlangsung selamanya. Tapi kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan.

  • MARI KITA BERPISAH   SEBUAH FOLDER MASA KECIL

    Gadis cilik itu bernama Takiya. Dia lahir lebih awal dari perkiraan dokter. Mungkin sekitar tiga atau empat minggu dari tanggal yang seharusnya. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Yang penting putri kami sehat dan tidak kurang satu apapun. Melihat Kimiko berjuang melahirkan secara normal membuatku iba. Perjuangan perempuan itu tidak akan kulupakan. Muka Kimiko tercetak di setiap inci wajah Kiya. Mereka begitu mirip. Berambut keriting dengan warna coklat kehitaman. Mata sipit itu tampak serupa bulan sabit ketika tertawa. Satu-satunya hal yang Takiya warisi dariku adalah gampang tertawa. Kami memang begitu, kadang ada saja hal kecil yang membuat kami terpingkal-pingkal.Aku membangun sebuah rumah yang tidak terlampau besar untuk Kimiko dan Kiya. Bangunan bergaya Jepang itu memiliki taman kecil di sampingnya. Ditumbuhi rumput gajah yang selalu dipangkas rapi, sebuah ayunan anak-anak menjadi ciri khasnya. Rumah ini aku yang merancangnya sesuai dengan keinginan Kimiko. Ia ingin merasak

  • MARI KITA BERPISAH   ES KRIM COKLAT

    Sudah dua hari Ayash tidak pulang. Dia belum mengambil barang-barang. Atau bicara lebih lanjut tentang perpisahan kami. Tentang rumah ini atau tentang apa saja. Oh bukankah semua itu tidak penting lagi sekarang. Kami telah bercerai, dia tidak lagi memiliki tanggung jawab atasku. Lalu apa yang kuharapkan darinya? Apakah aku rindu? Tentu saja. Aku tidak memungkiri hal itu. Rumah ini terasa sepi tanpanya. Tapi kebencianku padanya juga meluap-luap. Aku benci mengenang segala hal yang pernah kami lalui berdua. Aku juga tidak ingin tahu wanita mana yang merebut hatinya. Atau mengapa ia begitu jatuh cinta kepada perempuan itu. Rasanya menyakitkan tapi semua ini pasti akan terlewatkan. Aku hanya butuh waktu untuk sembuh lalu memulai semuanya dari awal. Aku mengedarkan pandangan ke sekililing. Rumah ini tampak sangat berantakan. Netflix menayangkan serial kerajaan Inggris terkenal itu, entah sudah berapa jam lamanya. Aku lupa kapan terakhir kali mematikan televisi. Gelas bekas susu kosong te

  • MARI KITA BERPISAH   DIA BERNAMA KIMIKO

    Aku tidak pernah berfikir untuk menceraikan Shabira. Dia adalah cinta pertamaku. Perempuan yang membuatku merasa hebat, tangguh dan dindalkan. Tapi Kimiko tidak ingin menjadi yang kedua. Perempuan sendu itu ingin menjadi satu-satunya. Dengan adanya bayi itu, tentu ia bisa memiliki kehendak apapun. Dia paling tahu bahwa aku pasti lemah jika menyangkut anak. Apalagi dia bilang, pernikahan ini demi masa depan bayi kami. Dia tidak ingin Bayi kami tumbuh menjadi pribadi penyendiri seperti dirinya. Anak itu harus bahagia apapun caranya. Meskipun aku harus menancapkan belati tajam ke dalam dada Shabira. “Sha, maafkan aku.” Aku berusaha menggapai jemari Shabira. Perempuan itu menatapku sebentar, tapi ia tidak menangis. Lalu pandangan ia lempar jauh pada barisan awan tipis yang kelabu. Ini kali pertama aku melihat ia seterluka itu. Bahkan Shabira tidak senelangsa ini ketika Ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu. “Sha, aku minta maaf. Aku salah. Maki-maki aku, Sha. Luapkan kemarahanmu.

  • MARI KITA BERPISAH   MARI BERCERAI, SHA

    Bukan rumah tangga yang sepi. Ranjang kami selalu hangat. Dua kursi di taman kecil kami adalah saksi bahwa tiada sore yang terlewat tanpa obrolan ringan yang menenangkan. Kecuali ketika suamiku sedang menjalankan tugas ke luar kota. Menatap lagit jingga dengan segelas teh kamomil, kudapan manis atau beberapa potong tahu goreng saja cukup membuat kami merasa semuanya baik-baik saja. Bahkan sampai di tujuh tahun pernikahan tanpa kehadiran seorang anak. Di depan cermin, aku mematut diri lagi. Mengagumi potongan rambut model terbaru yang masih lembap. Beberapa jam yang lalu aku baru saja kembali dari pusat perawatan perempuan paling terkenal di pinggir kota kami. Tempat yang selalu kukunjungi di akhir pekan. Sekadar menghabiskan waktu untuk mengikir kuku jempol kaki atau keramas dengan krim favoritku. Hari ini Ayash—suamiku—pulang. Sudah tiga hari dia keluar kota. Waktu yang terasa sangat lama bagiku. Mungkin baginya juga. Setidaknya begitu yang kutangkap dari pesan mesra atau panggilan

DMCA.com Protection Status