Wanita bertubuh ramping dengan balutan blazer dan celana panjang bahan itu mengayunkan langkah lelahnya menuju ruang guru usai mengajar di kelas XII 5. Ruangan itu sudah nampak sepi, hanya tersisa beberapa guru saja yang masih tinggal dan sedang bersiap-siap untuk pulang. Di belakang meja kerjanya, seperti biasa Geng Trio Rumpi, bu Lukman, bu Setya, dan bu Rika terlihat masih asik berbisik-bisik serius. "Pada lagi ngegosip apa hayoo?" goda wanita berwajah manis itu sambil mendudukkan diri di kursi depan mereka. "Itu lho bu Lea, denger-denger nih ada siswa yang lagi hamil. Bu Lea udah tau belum?" tanya bu Lukman penuh semangat melihat kedatangan Alea. "Hah? Serius, Bu? Jangan-jangan cuma gosip?" Wanita itu seperti biasa, tak mudah termakan dengan berita yang belum pasti kebenarannya. "Sebenarnya baru tebakan sih," ucap bu Lukman disertai dengan cengirannya. "Tapi kayaknya bener deh. Soalnya sudah santer beritanya diantara anak-anak kelas XII. Kayak tadi tuh ya, pas saya ngajar di
Kaget bercampur kecewa membuat Alea bahkan tak sempat menitikkan air mata. Dengan getir dia pun melangkah kembali turun, melupakan niat awalnya mengambil kacamata yang tertinggal di dalam kelas. "Ketemu nggak bu kacamatanya? Lhoh ... lhoh ... bu Lea kok wajahnya pucat gitu, kenapa Bu?" Bu Lukman langsung menghujaninya dengan pertanyaan melihat wanita itu menuruni tangga dengan lesu. Alea tahu dia tidak mungkin menceritakan kejadian yang dilihatnya di lantai atas tadi pada temen-temannya itu. Apa jadinya jika mereka tahu? Pernikahan yang baru seumur jagung itu pastilah akan hancur dalam sekejap. Terlebih aib yang akan ditanggungnya setelah semua orang mengetahui hal itu. "Eh iya bu, ketemu kok," bohong Alea. "Oh ya Bu Rika, suami saya kayaknya ada kerjaan lemburan mendadak dari pak kepala sekolah. Saya boleh nebeng sampai rumah nggak?" "Oo ya tentu boleh dong. Ayo deh kita pulang sekarang. Udah mau sore juga ini, bu ibu." Bu Rika pun segera menggandeng lengan Alea menuju ke motorny
Alea yakin orang-orang pasti akan bertanya-tanya jika hari ini sikapnya berubah drastis pada suaminya saat di sekolah. Sejujurnya Alea belum sanggup menjadi bahan gunjingan seisi penghuni sekolah itu. Jadi Alea pun memutuskan untuk tetap berangkat ke tempat kerja bersama Genta. Walau pada kenyataan, perasaannya sudah tak lagi sama terhadap suaminya. Sebenarnya, Alea bisa melihat raut tertekan di wajah Genta. Apalagi setelah pembicaraan mereka sore sebelumnya Alea tak lagi mengajak lelaki itu untuk bertegur sapa. Saat keduanya sampai di sekolah pun, kebiasaan Genta yang suka beramah tamah dengan teman-teman kantornya hari ini sedikit berkurang. Lelaki itu lebih banyak berdiam diri di meja kerjanya. Alea sendiri, nyatanya juga tak mudah untuk bersikap biasa saja. Apalagi saat hari ini dia mau tak mau harus memasuki kelas XII 2. Kelas dimana Olivia Alexandra Winata belajar. Jantung Alea berdegup sangat kencang hingga sampai di ruangan itu. Alea sama sekali tak tahu apakah Olivia menya
Dan benar saja, beberapa menit kemudian staf Tata Usaha yang naik ke lantai atas memberitahu bahwa ada seorang wali murid yang ingin menemuinya. Alea pun bergegas ke meja piket, menitipkan tugas untuk kelas berikutnya. ...Di ruang tamu, ruang yang biasa digunakan para guru menemui para orang tua atau wali murid untuk membicarakan masalah yang agak privasi, pemuda tadi telah duduk menunggunya. Dengan sedikit canggung Alea menjabat tangan, bersikap seolah dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya. Pemuda itu pun menyambut uluran tangan Alea sembari bangkit dari duduknya. Beberapa detik di ruangan itu, barulah Alea memperhatikan dengan seksama sosok tamunya. Seorang pemuda yang ditaksirnya berusia sekitar 25 tahun, atau mungkin kurang. Dengan postur tinggi tegap, bahkan sepertinya lebih tinggi dari suaminya. Penampilannya yang kekinian dengan wajah tak kalah dengan artis-artis jaman sekarang. Dari garis wajahnya memang sangat mirip dengan Olivia. Mungkin memang benar pe
"Apa semua itu benar, Genta?" Lelaki baya yang rambutnya sudah memutih semua itu terlihat sangat gusar. Wajahnya seketika memerah sesaat setelah Alea menyudahi penjelasannya yang panjang lebar. Malam itu, Alea memang sengaja memaksa Genta untuk segera berbicara dengan orangtua mereka. Alea sudah tidak sanggup lagi menahan perasaan itu sendirian. "Aku masih belum sanggup bicara pada mereka, Al. Mereka pasti akan marah besar." Begitu ucap suaminya saat Alea mengemukakan pendapatnya untuk segera membicarakan masalah itu dengan orangtua mereka. "Kamu takut orangtua kita marah, Mas? Lalu kenapa waktu itu kamu menikahiku sedangkan kamu telah berbuat tidak senonoh dengan wanita lain? Apakah itu adil buat aku?" "Seharusnya kamu tidak menjebakku dalam masalahmu. Aku sekarang benar-benar merasa telah kamu jebak, Mas. Kamu jahat, sungguh jahat!" "Al, jangan begitu. Aku sama sekali tidak tahu kalau dia ham ..." "Itu bukan alasan! Seharusnya dengan siapa kamu tidur, dengan dia lah kamu menika
"Kamu benar-benar mau ninggalin aku, Al?" Genta menghampiri istrinya yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam tas besarnya. "Apa lagi yang kamu harapkan dariku, Mas? Pernikahan ini sudah tak mungkin bisa dipertahankan lagi. Apa kamu masih nggak ngerti juga?" Alya menghentikan sejenak kesibukannya, menatap wajah suaminya dengan malas. "Aku akan memperbaiki semuanya, Al. Kasih aku kesempatan." Alea makin jengah menatapnya. Masih saja lelaki itu seolah tak paham dengan apa yang telah terjadi dalam rumah tangganya. Wanita itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tanda frustasi. "Apanya yang bisa kamu perbaiki, Mas? Coba beritahu aku, apanya? Apa kamu bisa mengembalikan keadaan kita seperti sebelum ini? Sebelum aku melihat kalian berdua berpelukan di tempat sepi itu? Sebelum kamu menikahi aku? Bisa kamu, Mas? Bisa tidak?" Kali ini Alea sedikit berteriak. Tak mampu lagi dibendungnya air bening yang sedari tadi sudah sesak di kelopak matanya. Suaminya ini benar-benar keterlaluan
Suasana di ruang guru siang itu terlihat haru. Raut kesedihan nampak di wajah-wajah para rekan kerja Alea. Bu Lukman, Bu Setya, dan bu Rika tentu jadi yang paling terpukul dengan pamitnya Alea pada hari itu. Ketiganya yang selama ini duduk di belakang bangku kerja Alea dan seringkali menghabiskan waktu makan siang bersama mendadak hanya jadi terdiam, sesekali saling pandang. "Kenapa jadi bu Lea yang harus memutuskan untuk pergi dari sekolah ini ya? Kan pak Genta yang salah," celoteh bu Rika yang terlihat paling terpukul diantara ketiganya. "Lhoh bu Rik ini gimana. Pak Genta kan memang sudah dipecat." "Iya kah? Gosip dari mana, Bu Set?" "Gimana sih? Bu Rika tuh sukanya gitu deh, nggak dengerin kalau orang lagi cerita. Jadi, kemarin itu pak Giyono memanggil bu Lea dan pak Genta. Pak Giyono sudah mengeluarkan surat pemecatan untuk pak Genta dan juga surat pengeluaran untuk si Olivia. Tapi sebenarnya pak Giyono tetap ingin bu Lea ngajar di sini kok, karena kan bu Lea memang tidak bersa
Olivia membanting tas selempangnya sembarangan ke lantai kala dirinya memasuki rumah besar dan megah dengan pagar tinggi menjulang peninggalan orangtunya itu. Aaron yang berjalan di belakangnya sampai kaget dengan tingkah adiknya. "Bik, bikinin es kopi!" teriaknya kemudian pada salah seorang pembantu di rumah itu. Dihempaskannya tubuh ke sofa, seolah anak itu lupa bahwa saat ini ada janin yang tengah bersemayam di rahimnya. Muka manyunnya membuat Aaron sedikit kesal dengan adiknya itu. "Kamu kenapa sih, Liv?" tanya pemuda itu sembari mendudukkan dirinya di sebelah sang adik. "Kenapa sih kakak cegah aku tadi buat ngomong sama dia?" Aaron menggeser sedikit posisi duduknya lebih mendekat pada Olivia. Kemudian dengan lembut memegang bahu adiknya dan menghadapkan tubuh ramping itu ke arahnya. "Memangnya apa yang mau kamu bicarakan dengannya?" tanya Aaron. "Aku yakin sekali Kak, pasti dia yang telah membuat Genta tidak segera menemuiku untuk minta maaf dan bertanggung jawab," gerutu ga
Dua kabar yang diterima Aaron malam itu benar-benar mengaduk-aduk perasaannya. Genta yang mengabari lewat pesan bahwa Olivia sudah reda dari amarahnya, membuat lelaki itu sangat lega. Tapi kejadian itu tak berlangsung lama, karena kemudian Dena mengirimkan chat dan melaporkan bahwa Alea benar benar memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Seharusnya, redanya amarah adiknya membuat dia akan bisa lebih fokus menjalankan misinya dengan Alea. Penerimaan Olivia dengan kehadiran Alea dalam kehidupan mereka seharusnya menjadi hal baik yang akan melancarkan pula proyek barunya, tapi ternyata Alea justru terlanjur memutuskan hal lain. Alhasil, semalaman Aaron tak bisa memejamkan mata. Kegundahannya itu pun terbawa olehnya hingga sampai di kantor. Bahkan di tengah-tengah meeting dengan para bawahannya, Aaron tak lepas dari ponselnya untuk menghubungi Dena dan memantau soal Alea. Dalam hati dia berharap Dena memiliki ide cemerlang lagi untuk bisa mencegah Alea pergi.Sore itu juga saat
Setelah membisu semalaman, Alea pun akhirnya memutuskan untuk menceritakan pada Dena apa yang terjadi saat dirinya sedang bersama dengan Aaron hari sebelumnya. Dena yang melihat sahabatnya begitu murung sejak kepulangannya itu, mencoba mendengarkan Alea dengan serius. Tentu saja masih dengan terus berpura-pura rebahan di atas tempat tidurnya dalam rangka melanjutkan sandiwara kecelakaan sebelumnya. “Jadi pas Aaron mengajakku ke panti asuhan milik keluarganya, adiknya datang, Den,” kata Alea mengawali ceritanya. “Si Olivia itu?” tanya Dena, lupa lupa ingat dengan nama adik Aaron. Alea pun mengangguk. “Lalu apa yang terjadi?” lanjutnya dengan rasa penasaran. “Dia marah-marah sama kakaknya. Aku juga kena imbas kemarahannya. Lucu kan, Den? Aku pikir kemarin waktu Aaron berulang kali minta maaf sama aku itu, adiknya juga sudah tahu. Ternyata cuma dia sendiri aslinya yang ingin minta maaf. Adiknya sama sekali nggak tahu apa-apa.” Alea tersenyum getir mengakhiri kalimatnya. “Loh, bukanny
Seharian itu, Olivia tampak hanya berbaring saja di di kamarnya. Situasi yang terjadi antara dirinya dengan sang kakak rupanya telah sangat benar-benar mempengaruhi moodnya. Hal itu tentu tak mengherankan, mengingat selama ini Aaron selalu menjadi garda terdepan dalam setiap masalahnya. Kakaknya itulah yang setiap saat selalu ada untuk menyelesaikan semua masalah yang sedang dihadapinya. Jadi, jika saat ini justru Aaron yang menjadi penyebab kekecewaannya, tentu Olivia merasa sangat terpuruk. Kemarahannya pada sang kakak bahkan membuatnya sampai tak mau menemui saat Aaron mengunjunginya malam sebelumnya untuk mengajaknya bicara. Genta, tentu tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Demi agar sang kakak ipar melihat kesungguhannya untuk berubah, dia harus memutar otak untuk membuat istrinya kembali berbaikan dan memaafkan Aaron. “Sayang, mau ikut aku nggak?” tanyanya saat memasuki kamar. Dilihatnya Olivia masih tidur membelakangi pintu dan bergelung selimut tebal. Tak seperti biasanya, Oli
Mengikhlaskan adiknya untuk Genta memang bukan perkara yang mudah untuk Aaron selama ini. Tapi sifat pemaaf yang banyak diturunkan oleh ibunya, membuatnya harus menerima keberadaan Genta dalam kehidupan Olivia. Meski tak pernah bisa berkomunikasi dengan baik dengan adik iparnya, nyatanya Aaron juga tetap memberikan fasilitas terbaik untuk suami Olivia itu. Terbukti, setelah waktu itu membelikan sebuah rumah untuk keduanya, Aaron pun membiarkan Genta menempati posisi yang lumayan penting di perusahaannya. Bagi Genta sendiri, sikap acuh kakak iparnya padanya terkadang memang menyesakkan, tapi tetap masih bisa dimakluminya. Apalagi, Aaron bukan tipe kakak ipar yang sering mencampuri urusan rumah tangganya dengan Olivia, selain hanya untuk mengatur dimana mereka harus tinggal dan apa pekerjaan yang pantas untuknya sebagai seseorang yang telah menyandang marga Winata. Hal lainnya lagi tentang Aaron, sepertinya tak terlalu mengganggu Genta. Apalagi setelah dia berniat untuk memperbaiki keh
Alea benar-benar tak mengerti dengan semua yang terjadi dengannya saat itu. Aaron mempercayainya untuk membantu membangun sebuah Sekolah Gratis? Tapi kenapa harus dia? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan keikhlasannya berdamai dengan masa lalu?“Jangan bercanda, Aaron. Kamu pasti salah orang.” Akhirnya tawa adalah jalan yang dipilihnya, karena merasa lelaki di depannya itu terlalu konyol menurutnya. “Tidak Alea, aku tidak salah. Aku justru akan merasa bersyukur kalau kamu mau membantuku.”“Tapi aku ini siapa? Aku bahkan belum punya banyak pengalaman dalam mengajar.”“Jangan khawatir soal itu. Nanti aku akan mencarikan beberapa orang lagi yang juga akan membantuku. Yang jelas, aku ingin kamu menjadi bagian dari proyek ini. Please, aku mohon bantuanmu sekarang.” Sifat Alea yang aslinya sangat lembut itu tentu tersentuh dengan permintaan tulus dari Aaron. Apalagi, dunia pendidikan memang lah passion-nya dari kecil. Sekarang justru dia lah yang merasa mendapatkan anugerah dari keikhla
Dua hari setelah itu, Dena memutuskan untuk menyudahi sandiwaranya di rumah sakit. Hari itu juga, salah seorang perawat mengatakan pada mereka bahwa Dena sudah bisa dibawa pulang. Tak berapa lama, wanita itu terlihat menghubungi Rama untuk menjemputnya dan berpura-pura meminta lelaki itu untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit. Namun yang muncul satu jam setelah itu bukan hanya Rama saja, melainkan juga Aaron. “Kok Bapak ikut ke sini?” Dena pun keheranan. Dua hari sebelumnya dia sudah melihat Aaron dan Alea banyak mengobrol. Bahkan malam sebelumnya, Dena memergoki Alea sedang mendapat panggilan dari Aaron walau dengan alasan menanyakan kabarnya. Hal itu tentu membuatnya yakin bahwa masalah di antara keduanya kini sudah selesai, hingga kemudian Dena pun memutuskan untuk pulang saja ke kostnya. Namun rupanya, dugaan bahwa ada sesuatu yang spesial dengan perasaan Aaron ke Alea pun terjawab. Lelaki itu ternyata masih ingin berdekatan dengan Alea meski sudah mendapatkan maaf dariny
Alea sangat lega saat akhirnya bisa melihat kondisi sahabatnya yang tak separah dugaannya. Menurut perawat yang menemuinya, Dena hanya mengalami luka ringan saja. Hal itu membuat raut pucat di wajahnya pun berangsur menghilang. Apalagi kala sang perawat sudah mengijinkannya masuk ke ruangan dimana Dena berada. Kelegaan hati Alea melihat kondisi Dena yang tak parah membuatnya tak sempat memikirkan hal hal janggal yang sebenarnya ada dalam kejadian itu. Alea bahkan tak memperhatikan gerak mata Dena dan Aaron yang sesekali bertemu untuk mengisyaratkan sesuatu. Alea tentu saja tak pernah tahu bahwa peristiwa kecelakaan yang terjadi pada sore hari itu hanyalah sebuah rekayasa yang idenya muncul dari sahabatnya itu saat sedang mengobrol bersama Aaron siang harinya di kantor. Aaron yang biasanya sangat serius dalam menghadapi sesuatu, entah kenapa menurut saja saat Dena mengutarakan tentang rencananya untuk membuat Alea tetap tinggal. Atau setidaknya menunda kepulangannya ke kampung. “Kam
Setelah berbincang panjang lebar dengan Dena di kantor hari itu, akhirnya Aaron tahu bagaimana penilaian Alea padanya. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, tentu saja Alea tidak menganggapnya sebagai orang yang baik. Dirinya dan adiknya, di mata Alea, hanyalah orang-orang yang telah merusak kebahagiaannya.Namun mengetahui hal itu, bukannya membuat Aaron mengurungkan niatnya untuk meminta maaf pada Alea. Hal itu justru membulatkan tekad untuk mendapatkan maaf darinya. Aaron sendiri tidak mengerti kenapa sampai memiliki rasa yang seperti itu pada seseorang. Mungkin apa yang dikatakan Dena benar, bahwa dirinya hanya merasa bersalah karena merasa telah menjadi penyebab hancurnya rumah tangga Alea. Bahkan juga membuat wanita itu kehilangan pekerjaannya, Bahkan Dena sempat mengatakan padanya untuk melupakan saja masalah itu karena dia yakin Alea pasti akan memaafkannya suatu hari nanti tanpa harus dimintai maaf. Tapi hal itu justru semakin membuat Aaron penasaran. Apalagi banyak hal mena
Rupanya Aaron tak salah memilih Dena menjadi informannya tentang Alea. Selain karena keduanya adalah sahabat, ternyata Dena juga sangat cepat memberikan informasi yang dibutuhkannya. Hari itu juga, sebelum Aaron sampai di apartemennya, Dena sudah menelponnya untuk melaporkan sesuatu. Padahal dia sendiri bahkan belum memberikan instruksi apapun pada sahabat Alea itu.“Pak Aaron, ini saya Dena.” Suara wanita di seberang membuat hati lelaki itu berdebar karena tak sabar ingin tahu kabar dari Alea. “Iya, aku sudah simpan nomor kamu. Ada apa?” Suaranya masih terdengar tenang meski hatinya sangat lah penasaran. “Maaf kalau saya ganggu ya, Pak? Saya mau cerita soal Alea,” kata suara dari seberang, terdengar sedikit ragu.“Cerita saja, ada apa?” tanya Aaron.“Saya tidak berhasil membujuknya untuk kembali masuk kerja, Pak. Dia malah memutuskan untuk balik ke kampung. Gimana, Pak?” Kali ini nada bicara Dena terdengar mulai panik dan berbisik. Aaron yang sedang ingin fokus mendengarkan kabar