Hari menjelang maghrib saat Alea tiba kembali di kost Dena dengan ojek online. Kelelahan tampak jelas di wajahnya kala sahabatnya itu menyapa di balik pintu kamarnya."Hai Sayang, udah pulang? Gimana, gimana hari ini?" Dena rupanya tak begitu sadar dengan wajah kuyu sahabatnya. Gadis yang sudah mengenakan piyama tidur warna silver dan toples cemilan super besarnya itu malah memberondongnya dengan pertanyaan. "Ditolak semua, Den. Hari ini aku udah ke dua tempat dan semuanya zonk," jawab Alea lemas sembari mendudukkan diri di karpet lantai kamar Dena yang super tebal dan empuk. Rasa nyaman berada di karpet mahal itu pun tak bisa dirasakannya lagi saat mengingat perjuangannya beberapa hari ini berkeliling ibukota untuk mengadu nasib mencari pekerjaan. Dena langsung meletakkan toples cemilannya. Raut mukanya ikut langsung prihatin dengan kesedihan sang sahabat. "Yang mana yang ditolak? Kemarin kamu dapet panggilan di sekolah favorit itu kan?" tanyanya dengan nada tak percaya. Seingatny
"Kenapa sih, Mas? Aku perhatikan dari tadi kok gelisah gitu?" Olivia menghentikan makannya. Dengan sedikit kesal ditaruhnya sendok dan garpu di atas piring yang masih penuh dengan makanan di depannya. Genta yang tak menyangka bahwa gerak geriknya diperhatikan oleh istrinya mendadak gugup. Lelaki itu pun kemudian melakukan hal yang sama, menghentikan kegiatan sarapannya padahal nasi di piringnya masih belum sesendok pun berkurang. Sudah hampir dua minggu dirinya resmi menyandang status sebagai suami dari Olivia Alexandra Winata dan selama itu pula hampir tak pernah dia keluar dari rumah besar nan megah itu. Olivia masih belum mengijinkannya pergi, apalagi jika itu sendirian. Sepertinya jika tak salah hitung, baru dua kali lelaki itu keluar dari rumah. Itupun hanya untuk mengantarkan istri cantiknya pergi bertemu dengan teman-temannya. "Hari ini aku minta ijin keluar ya?" ucapnya lirih usai terdiam beberapa saat di bawah tatap mata curiga sang istri. Mata lelaki itu pun mulai menatap
"Jadi ini yang namanya Alea?" Lelaki dengan postur tak terlalu tinggi itu mengusap dahinya dengan punggung tangan kanannya usai menyalami Alea. Beberapa saat yang lalu dirinya menerima kedatangan Dena di ruangannya, membawa seorang wanita yang menurutnya memiliki wajah lembut dan sangat manis itu. Rama mulai memindainya dari atas sampai bawah, membuat Alea sedikit risih dibuatnya. "Mas Rama!" Rama tampak gelagapan saat tangan Dena mencubit lengannya dengan keras. "Eh iya iya, maaf. Aku kok kayak nggak asing ya sama wajah temanmu ini, Den. Makanya tadi aku perhatikan lagi. Jangan-jangan aku kenal," kilahnya demi membuat cemberut di wajah kekasihnya itu hilang. Dena bukannya tak tahu kalau lelaki yang sedang dipacarinya itu adalah seorang playboy dan mata keranjang. Namun apa mau dikata, Rama bisa memanjakannya dengan uang gaji dan fasilitas yang dimilikinya. Hal itulah yang membuat Dena tak peduli dengan apapun kelakuan lelaki itu di luaran sana. "Jadi gimana, Alea bisa langsung
"Supermarket? Nggak salah, Om?" Mata pemuda itu sampai menyipit menatap pamannya. Pengembangan bisnis memang sempat diutarakan oleh pamannya itu padanya beberapa waktu yang lalu. Tapi rasanya mengherankan jika bisnis bidang property ayahnya akan merambah ke pertokoan seperti yang dikemukaan oleh lelaki itu barusan. Rendy baru saja kembali ke kantor dan langsung mengajak Aaron pulang ke rumahnya. Usai memerintahkan beberapa pembantunya untuk menghidangkan makanan spesial untuk keponakannya, lelaki yang sudah mengganti setelan jasnya dengan pakaian casual itu mulai berbicara dengan hati-hati tentang rencananya untuk menanamkan modal ke sebuah bisnis supermarket yang baru saja dikunjungi siang harinya. "Sebenarnya ini bukan keinginan Om, Ron. Dulu, semasa hidup, mamamu pernah punya keinginan untuk memiliki bisnis supermarket. Hal itu pernah diutarakan pada papamu dan aku. Sayangnya, sebelum sempat merealisasikan keinginan mamamu, mereka sudah pergi duluan." Tentu saja Rendy berkata boh
Bu Dharma menyambut kedatangan suaminya malam itu dengan secangkir teh hangat seperti biasa. "Apa anak itu pulang?" tanya pak Dharma usai istrinya meletakkan minumannya di atas meja. Sementara dirinya mulai melepas jaket dan sepatu yang rasanya sudah sangat lengket di badan lelaki itu tua. "Iya, Pak. Tadi siang dia datang. Katanya habis ketemu sama teman yang menawarkan pekerjaan untuknya.""Syukurlah, kalau akhirnya dia bekerja lagi. Apa jam segini mereka sudah tidur?" Pak Dharma melirik arloji di tangannya sekilas. Sebenarnya dia tak begitu yakin bahwa anak lelaki bungsunya itu pulang ke rumah bersama istrinya. Tapi rasa penasaran memaksanya untuk tetap bertanya."Mereka siapa?" Bu Dharma pura-pura tak paham dengan pertanyaan suaminya. Wanita paruh baya itu pun kemudian menyibukkan diri dengan majalah lama yang dia ambil dari laci bawah meja. "Jangan bilang dia pulang ke sini sendirian tanpa istrinya, Bu," ujar pak Dharma dengan nada tak suka. Lalu terlihat bu Dharma menatap suam
Teringat dengan perkataan ayahnya, rasanya tak mungkin Genta kembali lagi ke rumah orangtuanya. Jiwa kelaki-lakiannya tiba-tiba tertantang untuk menghadapi apa yang ada di depannya saat ini dan membuktikan pada mereka bahwa dia bisa berubah menjadi lebih baik. Perlahan Genta melangkah memasuki halaman rumah diiringi sorot tajam si satpam Joni yang terang-terangan menunjukkan tatap tidak suka padanya. Sesampainya di dalam, masih sempat dilihatnya Aaron memasuki kamarnya di lantai atas. Sementara dia sendiri pun melangkah menuju kamar Olivia. Diketuknya pintu itu tiga kali untuk memastikan bahwa istrinya masih terjaga di dalam. Namun rupanya tak ada suara apapun yang didengarnya. Hingga kemudian saat dia mengangkat tangannya untuk kembali mengetuk, Genta dikejutkan dengan suara dari arah belakangnya."Mas Genta!" Lalu pelukan erat sang istri yang ternyata baru saja naik ke lantai atas mendarat di tubuhnya yang masih berbalut jaket itu dengan sempurna. "Aku kira kamu nggak akan pula
Rendy memenuhi janjinya. Siang itu, Aaron pun resmi dilantik untuk menduduki jabatan tertinggi perusahaan milik mendiang papanya. Mungkin peristiwa itu akan menjadi hal yang paling mengecewakan bagi Rendy jika saja Aaron tak menyetujui keinginannya untuk bergabung menjadi pemilik bisnis supermarket yang telah diincarnya. Dengan kembalinya perusahaan yang selama ini dipimpinnya ke tangan anak pemilik perusahaan yang sesungguhnya, praktis dia pun tidak lagi bisa leluasa seperti sebelumnya untuk menguasai setiap jengkal perusahaan. Kini, meski telah kehilangan kekuasaan penuh atas perusahaan properti milik mendiang kakaknya tersebut, setidaknya dia akan tetap memiliki kuasa atas calon anak perusahaan yang akan segera direalisasikannya itu. "Masalah supermarket itu, silahkan Om urus. Cukup kasih tahu aku laporannya saja nanti," ucap Aaron siang itu usai Rendy mengajaknya berbincang di ruang direktur yang kini telah berpindah ke tangannya. Rendy tentu senang. Menurutnya, keponakannya it
"Kamu kemana aja sih, Sayang? Habis ketemu klien tadi kok nggak balik ke kantor?" Suara lembut kekasihnya membuat pria yang sedang bersantai merebahkan diri di bangku pinggir kolam renang rumahnya sore itu mengembangkan senyum."Sebenarnya tadi aku mau balik ke kantor. Tapi rasanya malas aja karena ada anak itu di sana," ujar lelaki yang sedang bertelanjang dada itu dengan nada sedikit kesal. Kemudian terdengar suara desahan panjang dari seberang. "Kamu jadi nggak tahu kan kalau Faisal mengundurkan diri hari ini?" "Faisal? Kamu serius, Sheil?" Mata Rendy membulat. Sebenarnya berita pengunduran diri lelaki tua itu tak akan membuatnya terkejut jika saja tak terjadi di hari pelantikan keponakannya menjadi direkturm"Mana pernah sih aku bercanda? Dia pamitan setelah keponakanmu itu memanggilnya ke ruangannya." Terdengar nada lebih kesal dari wanita di seberang telepon. Lalu untuk beberapa saat lamanya tak terdengar suara apapun lagi. Sepertinya baik Rendy maupun Sheila sedang larut da
Dua kabar yang diterima Aaron malam itu benar-benar mengaduk-aduk perasaannya. Genta yang mengabari lewat pesan bahwa Olivia sudah reda dari amarahnya, membuat lelaki itu sangat lega. Tapi kejadian itu tak berlangsung lama, karena kemudian Dena mengirimkan chat dan melaporkan bahwa Alea benar benar memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Seharusnya, redanya amarah adiknya membuat dia akan bisa lebih fokus menjalankan misinya dengan Alea. Penerimaan Olivia dengan kehadiran Alea dalam kehidupan mereka seharusnya menjadi hal baik yang akan melancarkan pula proyek barunya, tapi ternyata Alea justru terlanjur memutuskan hal lain. Alhasil, semalaman Aaron tak bisa memejamkan mata. Kegundahannya itu pun terbawa olehnya hingga sampai di kantor. Bahkan di tengah-tengah meeting dengan para bawahannya, Aaron tak lepas dari ponselnya untuk menghubungi Dena dan memantau soal Alea. Dalam hati dia berharap Dena memiliki ide cemerlang lagi untuk bisa mencegah Alea pergi.Sore itu juga saat
Setelah membisu semalaman, Alea pun akhirnya memutuskan untuk menceritakan pada Dena apa yang terjadi saat dirinya sedang bersama dengan Aaron hari sebelumnya. Dena yang melihat sahabatnya begitu murung sejak kepulangannya itu, mencoba mendengarkan Alea dengan serius. Tentu saja masih dengan terus berpura-pura rebahan di atas tempat tidurnya dalam rangka melanjutkan sandiwara kecelakaan sebelumnya. “Jadi pas Aaron mengajakku ke panti asuhan milik keluarganya, adiknya datang, Den,” kata Alea mengawali ceritanya. “Si Olivia itu?” tanya Dena, lupa lupa ingat dengan nama adik Aaron. Alea pun mengangguk. “Lalu apa yang terjadi?” lanjutnya dengan rasa penasaran. “Dia marah-marah sama kakaknya. Aku juga kena imbas kemarahannya. Lucu kan, Den? Aku pikir kemarin waktu Aaron berulang kali minta maaf sama aku itu, adiknya juga sudah tahu. Ternyata cuma dia sendiri aslinya yang ingin minta maaf. Adiknya sama sekali nggak tahu apa-apa.” Alea tersenyum getir mengakhiri kalimatnya. “Loh, bukanny
Seharian itu, Olivia tampak hanya berbaring saja di di kamarnya. Situasi yang terjadi antara dirinya dengan sang kakak rupanya telah sangat benar-benar mempengaruhi moodnya. Hal itu tentu tak mengherankan, mengingat selama ini Aaron selalu menjadi garda terdepan dalam setiap masalahnya. Kakaknya itulah yang setiap saat selalu ada untuk menyelesaikan semua masalah yang sedang dihadapinya. Jadi, jika saat ini justru Aaron yang menjadi penyebab kekecewaannya, tentu Olivia merasa sangat terpuruk. Kemarahannya pada sang kakak bahkan membuatnya sampai tak mau menemui saat Aaron mengunjunginya malam sebelumnya untuk mengajaknya bicara. Genta, tentu tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Demi agar sang kakak ipar melihat kesungguhannya untuk berubah, dia harus memutar otak untuk membuat istrinya kembali berbaikan dan memaafkan Aaron. “Sayang, mau ikut aku nggak?” tanyanya saat memasuki kamar. Dilihatnya Olivia masih tidur membelakangi pintu dan bergelung selimut tebal. Tak seperti biasanya, Oli
Mengikhlaskan adiknya untuk Genta memang bukan perkara yang mudah untuk Aaron selama ini. Tapi sifat pemaaf yang banyak diturunkan oleh ibunya, membuatnya harus menerima keberadaan Genta dalam kehidupan Olivia. Meski tak pernah bisa berkomunikasi dengan baik dengan adik iparnya, nyatanya Aaron juga tetap memberikan fasilitas terbaik untuk suami Olivia itu. Terbukti, setelah waktu itu membelikan sebuah rumah untuk keduanya, Aaron pun membiarkan Genta menempati posisi yang lumayan penting di perusahaannya. Bagi Genta sendiri, sikap acuh kakak iparnya padanya terkadang memang menyesakkan, tapi tetap masih bisa dimakluminya. Apalagi, Aaron bukan tipe kakak ipar yang sering mencampuri urusan rumah tangganya dengan Olivia, selain hanya untuk mengatur dimana mereka harus tinggal dan apa pekerjaan yang pantas untuknya sebagai seseorang yang telah menyandang marga Winata. Hal lainnya lagi tentang Aaron, sepertinya tak terlalu mengganggu Genta. Apalagi setelah dia berniat untuk memperbaiki keh
Alea benar-benar tak mengerti dengan semua yang terjadi dengannya saat itu. Aaron mempercayainya untuk membantu membangun sebuah Sekolah Gratis? Tapi kenapa harus dia? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan keikhlasannya berdamai dengan masa lalu?“Jangan bercanda, Aaron. Kamu pasti salah orang.” Akhirnya tawa adalah jalan yang dipilihnya, karena merasa lelaki di depannya itu terlalu konyol menurutnya. “Tidak Alea, aku tidak salah. Aku justru akan merasa bersyukur kalau kamu mau membantuku.”“Tapi aku ini siapa? Aku bahkan belum punya banyak pengalaman dalam mengajar.”“Jangan khawatir soal itu. Nanti aku akan mencarikan beberapa orang lagi yang juga akan membantuku. Yang jelas, aku ingin kamu menjadi bagian dari proyek ini. Please, aku mohon bantuanmu sekarang.” Sifat Alea yang aslinya sangat lembut itu tentu tersentuh dengan permintaan tulus dari Aaron. Apalagi, dunia pendidikan memang lah passion-nya dari kecil. Sekarang justru dia lah yang merasa mendapatkan anugerah dari keikhla
Dua hari setelah itu, Dena memutuskan untuk menyudahi sandiwaranya di rumah sakit. Hari itu juga, salah seorang perawat mengatakan pada mereka bahwa Dena sudah bisa dibawa pulang. Tak berapa lama, wanita itu terlihat menghubungi Rama untuk menjemputnya dan berpura-pura meminta lelaki itu untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit. Namun yang muncul satu jam setelah itu bukan hanya Rama saja, melainkan juga Aaron. “Kok Bapak ikut ke sini?” Dena pun keheranan. Dua hari sebelumnya dia sudah melihat Aaron dan Alea banyak mengobrol. Bahkan malam sebelumnya, Dena memergoki Alea sedang mendapat panggilan dari Aaron walau dengan alasan menanyakan kabarnya. Hal itu tentu membuatnya yakin bahwa masalah di antara keduanya kini sudah selesai, hingga kemudian Dena pun memutuskan untuk pulang saja ke kostnya. Namun rupanya, dugaan bahwa ada sesuatu yang spesial dengan perasaan Aaron ke Alea pun terjawab. Lelaki itu ternyata masih ingin berdekatan dengan Alea meski sudah mendapatkan maaf dariny
Alea sangat lega saat akhirnya bisa melihat kondisi sahabatnya yang tak separah dugaannya. Menurut perawat yang menemuinya, Dena hanya mengalami luka ringan saja. Hal itu membuat raut pucat di wajahnya pun berangsur menghilang. Apalagi kala sang perawat sudah mengijinkannya masuk ke ruangan dimana Dena berada. Kelegaan hati Alea melihat kondisi Dena yang tak parah membuatnya tak sempat memikirkan hal hal janggal yang sebenarnya ada dalam kejadian itu. Alea bahkan tak memperhatikan gerak mata Dena dan Aaron yang sesekali bertemu untuk mengisyaratkan sesuatu. Alea tentu saja tak pernah tahu bahwa peristiwa kecelakaan yang terjadi pada sore hari itu hanyalah sebuah rekayasa yang idenya muncul dari sahabatnya itu saat sedang mengobrol bersama Aaron siang harinya di kantor. Aaron yang biasanya sangat serius dalam menghadapi sesuatu, entah kenapa menurut saja saat Dena mengutarakan tentang rencananya untuk membuat Alea tetap tinggal. Atau setidaknya menunda kepulangannya ke kampung. “Kam
Setelah berbincang panjang lebar dengan Dena di kantor hari itu, akhirnya Aaron tahu bagaimana penilaian Alea padanya. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, tentu saja Alea tidak menganggapnya sebagai orang yang baik. Dirinya dan adiknya, di mata Alea, hanyalah orang-orang yang telah merusak kebahagiaannya.Namun mengetahui hal itu, bukannya membuat Aaron mengurungkan niatnya untuk meminta maaf pada Alea. Hal itu justru membulatkan tekad untuk mendapatkan maaf darinya. Aaron sendiri tidak mengerti kenapa sampai memiliki rasa yang seperti itu pada seseorang. Mungkin apa yang dikatakan Dena benar, bahwa dirinya hanya merasa bersalah karena merasa telah menjadi penyebab hancurnya rumah tangga Alea. Bahkan juga membuat wanita itu kehilangan pekerjaannya, Bahkan Dena sempat mengatakan padanya untuk melupakan saja masalah itu karena dia yakin Alea pasti akan memaafkannya suatu hari nanti tanpa harus dimintai maaf. Tapi hal itu justru semakin membuat Aaron penasaran. Apalagi banyak hal mena
Rupanya Aaron tak salah memilih Dena menjadi informannya tentang Alea. Selain karena keduanya adalah sahabat, ternyata Dena juga sangat cepat memberikan informasi yang dibutuhkannya. Hari itu juga, sebelum Aaron sampai di apartemennya, Dena sudah menelponnya untuk melaporkan sesuatu. Padahal dia sendiri bahkan belum memberikan instruksi apapun pada sahabat Alea itu.“Pak Aaron, ini saya Dena.” Suara wanita di seberang membuat hati lelaki itu berdebar karena tak sabar ingin tahu kabar dari Alea. “Iya, aku sudah simpan nomor kamu. Ada apa?” Suaranya masih terdengar tenang meski hatinya sangat lah penasaran. “Maaf kalau saya ganggu ya, Pak? Saya mau cerita soal Alea,” kata suara dari seberang, terdengar sedikit ragu.“Cerita saja, ada apa?” tanya Aaron.“Saya tidak berhasil membujuknya untuk kembali masuk kerja, Pak. Dia malah memutuskan untuk balik ke kampung. Gimana, Pak?” Kali ini nada bicara Dena terdengar mulai panik dan berbisik. Aaron yang sedang ingin fokus mendengarkan kabar