Sierra Cassandra Hadinata adalah teman dari kecil Aaron. Ibunya Sierra adalah sahabat dekat ibunda Aaron sejak di bangku sekolah. Saat kemudian keduanya menikah, hubungan pertemanan itu berlanjut ke ranah bisnis. Kedua wanita itu tak ubahnya seperti keluarga. Sampai sampai, Rendy pun ikut mengenal baik keluarga Sierra. Sementara itu, kedekatan Sierra dengan Aaron tak sebatas hanya karena pertemanan kedua orangtua mereka saja. Keduanya bahkan bersekolah di tempat yang sama hingga akhirnya lulus SMA. Sierra dan Aaron juga sempat sama-sama memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Aaron kembali ke Indonesia saat mendapat kabar meninggalnya kedua orang tuanya. Pemuda itu lalu berhenti kuliah dan lebih memilih menemani adiknya pindah ke kampung halaman sang ayah. Setahun setelah itu, Aaron baru melanjutkan kuliahnya di sebuah universitas swasta di kota kecil itu sambil mengurus kantor cabang perusahaan milik ayahnya yang ada di sana."Ini kan hari pelantikan kamu. Tapi tampangmu k
Sulit untuk bisa percaya, bahwa pamannya, satu-satunya keluarga yang masih dia punya, tega mengkhianati dengan cara yang begitu licik. Rasanya begitu menyakitkan dan dia benar-benar tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang. Aaron telah memarkirkan mobil di depan minimarket. Dia berniat untuk menyelidiki lebih jauh mengenai pamannya untuk bisa menemukan lebih banyak petunjuk. Namun, ketika dia sampai di sana, dia hanya membiarkan dirinya duduk saja di dalam mobil. Menatap ke gedung supermarket dan masih berpikir. Kenapa pamannya begitu tega? Apa salah dia dan adiknya?Sudah selama hampir sepuluh menit, pemuda itu hanya duduk terdiam di kursi pengemudi dengan tangan menggenggam setir. Seolah dengan memelototi pintu masuk supermarket itu, dia akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaannya. Namun tentu saja, itu tak memberinya apapun.Dia hanya tidak yakin, apa yang akan dilakukannya setelah dia masuk nanti. Bagaimana caranya mencari petunjuk itu? Kebingungan itu membuat
Dari begitu banyak tempat di Jakarta, kenapa dia harus bertemu dengan pria itu lagi sekarang. Itu membuat Alea mulai berpikir tentang nasib yang tidak berada di pihaknya. Bahkan mungkin Tuhan sedang membencinya karena perceraian yang pernah dilakukannya. Alea tak lagi bisa mengerti apakah saat ini dia sedang marah atau malu? Baru beberapa waktu berada di Jakarta, namun ketidakberuntungan terus saja mengikutinya. Dari mulai banyaknya lamaran di lembaga-lembaga pendidikan yang ditolak, lalu dirinya harus terima saat sahabatnya menawari bekerja di tempat dimana tatapan manajernya sering sangat kurang ajar padanya. Dan sekarang, kenapa dia harus juga dipertemukan dengan lelaki yang hanya membuka kembali luka lamanya?"Kamu kok cemberut gitu sih, Al. Kenapa?" Dena mencubit sisi perut Alea, membuat gadis itu memekik kesakitan dan balas mencubit lengan sahabatnya yang sekarang nyengir seolah tidak berdosa. Alea mengangkat bahunya, berharap itu cukup untuk menjawab pertanyaan Dena. Lagi pul
Pemuda berparas rupawan itu, baru saja masuk ke dalam apartemennya. Ruangan itu terlihat sama persis seperti saat dia meninggalkannya. Dia berjalan melalui ruang tamu tanpa repot-repot menyalakan lampu utama, sehingga ruangan itu kini hanya diterangi oleh cahaya redup yang menggambarkan bayang-bayang benda di dalamnya.Keadaan itu rupanya sama seperti suasana hatinya saat ini yang muram. Alih-alih pergi ke kamar dan tidur, pemuda itu malah menghempaskan tubuh ke sofa sembari memijat pelipisnya. Kepalanya terasa sangat berat. Tubuhnya mungkin tidak terlalu lelah, tapi pikirannya serasa bekerja tanpa henti. Kepergiannya ke Jakarta yang sejatinya untuk menghindari Genta, suami adiknya, sekaligus mengambil alih perusahaan setelah sekian lama dipegang oleh sang paman, ternyata justru memberinya masalah tak disangka-sangka.Tak hanya itu, dia pun harus segera mencarikan Olivia tempat tinggal agar adik dan suaminya itu tak terlalu lama timggal di apartemennya nanti. Semua masalah yang membua
Sejak meninggalkan ruangan keponakannya, suasana hati Rendy jadi berubah sangat buruk. Rencana yang sebelumnya dia kira akan berjalan dengan sempurna, tiba-tiba kini sepertinya akan menjadi berantakan. Dia sama sekali tak pernah mengantisipasi jika keponakannya itu akan ikut campur dengan urusan supermarket. Terlebih lagi, hal itu dilakukannya begitu mendadak. Padahal sebelumnya, keponakannya itu terlihat tak tertarik saat dirinya mencetuskan ide pertama kali tentang pembelian bisnis itu. Rendy mulai berpikir jika anak itu memiliki tujuan lain.Rendy bukan jenis orang yang percaya dengan sesuatu yang disebut 'kebetulan'. Itulah kenapa dia juga tidak percaya dengan alasan Aaron yang tiba-tiba mengatasnamakan mendiang mamanya untuk mengambil alih pengelolaan supermarket yang baru saja dibelinya.Anak itu pasti telah mengetahui sesuatu tentang dirinya dan dia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Jika tidak, semua rencana yang telah disusun selama bertahun-tahun bisa hancur berantaka
Rama terlihat duduk di salah satu bangku sebuah restoran yang sebelumnya telah disepakati untuk bertemu dengan Rendy. Pemuda itu tengah menyesap secangkir espresso yang telah dipesannya beberapa menit yang lalu. Beberapa detik kemudian dia mengangkat tangannya, melirik arloji yang melingkar di pergelangan kirinya. Sudah lima belas menit berlalu, tapi pria yang meminta untuk bertemu dengannya itu tak kunjung menampakkan diri.Padahal sebelumnya, Rendy sedikit memaksa saat ingin menemuinya pada jam makan siang. Jika bukan karena prospek uang yang menjanjikan, Rama pasti sudah pergi dari tempat itu sejak tadi.'Lima menit lagi, jika tak muncul juga, aku tinggal saja,' batinnya. Dua kakinya mulai bergerak-gerak tak tenang di bawah meja. Kepalanya sesekali menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Entah sudah berapa kali dia pandangi arloji di tangan kirinya itu sambil berdecak. "Sudah lama nunggu ya, Ram?" tanya suara bariton dari balik punggung Rama. Rama yan
Pagi itu, Aaron berada satu meja bersama Olivia dan Genta di ruang makan. Meski dia senang adiknya akhirnya menyusulnya ke Jakarta, perasaannya pada iparnya itu masih tetap sama.Aaron sepertinya belum bisa menerima fakta bahwa pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu kini menjadi adik iparnya."Kakak nggak berangkat ke kantor hari ini?" celetuk Olivia di tengah aktivitasnya mengunyah nasi goreng buatan kakaknya.Kedua pria di meja makan itu langsung menghentikan kunyahannya. Genta yang sedari tiba di apartemen Aaron terlihat makin pendiam, hanya melirik istrinya sekilas. Kemudian dia kembali berpura-pura sibuk dengan makanan di piringnya. Sejujurnya dia pun merasa sangat tak nyaman berada di dalam satu rumah dengan kakak iparnya itu. "Makanannya dihabisin dulu, baru ngomong," ucap Aaron yang beberapa detik kemudian telah selesai dengan sarapannya.Ditegur kakaknya seperti itu, Olivia hanya merengut. Lalu mengikuti suaminya untuk fokus pada makanannya. Sejenak kemudian, dia pu
"Dah laper belum, Al?" tanya Dena, menarik perhatian sahabatnya yang sebelumnya masih sibuk melayani pelanggan. Seolah diberi aba-aba, perut Alea pun langsung berbunyi. Itu tak mengherankan, mengingat dia dan Dena tidak sempat sarapan pagi ini dan beberapa menit lagi memang sudah jam makan siang. "Lapar sih. Memangnya mau makan sekarang?" Alea mengernyit. Matanya segera saja celingukan, takut kalau-kalau ada yang mendengar percakapan mereka. "Iya, yuk." Dena langsung meraih lengan sahabatnya, tapi Alea masih juga tak bergerak. "Masih lima belas menit lagi jam istirahatnya, Den. Nggak enak sama yang lain," sergah Alea dengan wajah bingung. Bukan apa-apa, dia tak ingin saja terlihat dispesialkan di tempat kerjanya itu karena Dena sering mengajaknya keluar sebelum jam istirahat. Meskipun tak pernah mendapat teguran dari atasan mereka, Alea tetap merasa bersalah. "Rama nggak akan marah cuma gara-gara masalah sepele kayak gini, Al. Ayolah, aku udah lapar nih. Pagi tadi kan kita nggak
Dua kabar yang diterima Aaron malam itu benar-benar mengaduk-aduk perasaannya. Genta yang mengabari lewat pesan bahwa Olivia sudah reda dari amarahnya, membuat lelaki itu sangat lega. Tapi kejadian itu tak berlangsung lama, karena kemudian Dena mengirimkan chat dan melaporkan bahwa Alea benar benar memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Seharusnya, redanya amarah adiknya membuat dia akan bisa lebih fokus menjalankan misinya dengan Alea. Penerimaan Olivia dengan kehadiran Alea dalam kehidupan mereka seharusnya menjadi hal baik yang akan melancarkan pula proyek barunya, tapi ternyata Alea justru terlanjur memutuskan hal lain. Alhasil, semalaman Aaron tak bisa memejamkan mata. Kegundahannya itu pun terbawa olehnya hingga sampai di kantor. Bahkan di tengah-tengah meeting dengan para bawahannya, Aaron tak lepas dari ponselnya untuk menghubungi Dena dan memantau soal Alea. Dalam hati dia berharap Dena memiliki ide cemerlang lagi untuk bisa mencegah Alea pergi.Sore itu juga saat
Setelah membisu semalaman, Alea pun akhirnya memutuskan untuk menceritakan pada Dena apa yang terjadi saat dirinya sedang bersama dengan Aaron hari sebelumnya. Dena yang melihat sahabatnya begitu murung sejak kepulangannya itu, mencoba mendengarkan Alea dengan serius. Tentu saja masih dengan terus berpura-pura rebahan di atas tempat tidurnya dalam rangka melanjutkan sandiwara kecelakaan sebelumnya. “Jadi pas Aaron mengajakku ke panti asuhan milik keluarganya, adiknya datang, Den,” kata Alea mengawali ceritanya. “Si Olivia itu?” tanya Dena, lupa lupa ingat dengan nama adik Aaron. Alea pun mengangguk. “Lalu apa yang terjadi?” lanjutnya dengan rasa penasaran. “Dia marah-marah sama kakaknya. Aku juga kena imbas kemarahannya. Lucu kan, Den? Aku pikir kemarin waktu Aaron berulang kali minta maaf sama aku itu, adiknya juga sudah tahu. Ternyata cuma dia sendiri aslinya yang ingin minta maaf. Adiknya sama sekali nggak tahu apa-apa.” Alea tersenyum getir mengakhiri kalimatnya. “Loh, bukanny
Seharian itu, Olivia tampak hanya berbaring saja di di kamarnya. Situasi yang terjadi antara dirinya dengan sang kakak rupanya telah sangat benar-benar mempengaruhi moodnya. Hal itu tentu tak mengherankan, mengingat selama ini Aaron selalu menjadi garda terdepan dalam setiap masalahnya. Kakaknya itulah yang setiap saat selalu ada untuk menyelesaikan semua masalah yang sedang dihadapinya. Jadi, jika saat ini justru Aaron yang menjadi penyebab kekecewaannya, tentu Olivia merasa sangat terpuruk. Kemarahannya pada sang kakak bahkan membuatnya sampai tak mau menemui saat Aaron mengunjunginya malam sebelumnya untuk mengajaknya bicara. Genta, tentu tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Demi agar sang kakak ipar melihat kesungguhannya untuk berubah, dia harus memutar otak untuk membuat istrinya kembali berbaikan dan memaafkan Aaron. “Sayang, mau ikut aku nggak?” tanyanya saat memasuki kamar. Dilihatnya Olivia masih tidur membelakangi pintu dan bergelung selimut tebal. Tak seperti biasanya, Oli
Mengikhlaskan adiknya untuk Genta memang bukan perkara yang mudah untuk Aaron selama ini. Tapi sifat pemaaf yang banyak diturunkan oleh ibunya, membuatnya harus menerima keberadaan Genta dalam kehidupan Olivia. Meski tak pernah bisa berkomunikasi dengan baik dengan adik iparnya, nyatanya Aaron juga tetap memberikan fasilitas terbaik untuk suami Olivia itu. Terbukti, setelah waktu itu membelikan sebuah rumah untuk keduanya, Aaron pun membiarkan Genta menempati posisi yang lumayan penting di perusahaannya. Bagi Genta sendiri, sikap acuh kakak iparnya padanya terkadang memang menyesakkan, tapi tetap masih bisa dimakluminya. Apalagi, Aaron bukan tipe kakak ipar yang sering mencampuri urusan rumah tangganya dengan Olivia, selain hanya untuk mengatur dimana mereka harus tinggal dan apa pekerjaan yang pantas untuknya sebagai seseorang yang telah menyandang marga Winata. Hal lainnya lagi tentang Aaron, sepertinya tak terlalu mengganggu Genta. Apalagi setelah dia berniat untuk memperbaiki keh
Alea benar-benar tak mengerti dengan semua yang terjadi dengannya saat itu. Aaron mempercayainya untuk membantu membangun sebuah Sekolah Gratis? Tapi kenapa harus dia? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan keikhlasannya berdamai dengan masa lalu?“Jangan bercanda, Aaron. Kamu pasti salah orang.” Akhirnya tawa adalah jalan yang dipilihnya, karena merasa lelaki di depannya itu terlalu konyol menurutnya. “Tidak Alea, aku tidak salah. Aku justru akan merasa bersyukur kalau kamu mau membantuku.”“Tapi aku ini siapa? Aku bahkan belum punya banyak pengalaman dalam mengajar.”“Jangan khawatir soal itu. Nanti aku akan mencarikan beberapa orang lagi yang juga akan membantuku. Yang jelas, aku ingin kamu menjadi bagian dari proyek ini. Please, aku mohon bantuanmu sekarang.” Sifat Alea yang aslinya sangat lembut itu tentu tersentuh dengan permintaan tulus dari Aaron. Apalagi, dunia pendidikan memang lah passion-nya dari kecil. Sekarang justru dia lah yang merasa mendapatkan anugerah dari keikhla
Dua hari setelah itu, Dena memutuskan untuk menyudahi sandiwaranya di rumah sakit. Hari itu juga, salah seorang perawat mengatakan pada mereka bahwa Dena sudah bisa dibawa pulang. Tak berapa lama, wanita itu terlihat menghubungi Rama untuk menjemputnya dan berpura-pura meminta lelaki itu untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit. Namun yang muncul satu jam setelah itu bukan hanya Rama saja, melainkan juga Aaron. “Kok Bapak ikut ke sini?” Dena pun keheranan. Dua hari sebelumnya dia sudah melihat Aaron dan Alea banyak mengobrol. Bahkan malam sebelumnya, Dena memergoki Alea sedang mendapat panggilan dari Aaron walau dengan alasan menanyakan kabarnya. Hal itu tentu membuatnya yakin bahwa masalah di antara keduanya kini sudah selesai, hingga kemudian Dena pun memutuskan untuk pulang saja ke kostnya. Namun rupanya, dugaan bahwa ada sesuatu yang spesial dengan perasaan Aaron ke Alea pun terjawab. Lelaki itu ternyata masih ingin berdekatan dengan Alea meski sudah mendapatkan maaf dariny
Alea sangat lega saat akhirnya bisa melihat kondisi sahabatnya yang tak separah dugaannya. Menurut perawat yang menemuinya, Dena hanya mengalami luka ringan saja. Hal itu membuat raut pucat di wajahnya pun berangsur menghilang. Apalagi kala sang perawat sudah mengijinkannya masuk ke ruangan dimana Dena berada. Kelegaan hati Alea melihat kondisi Dena yang tak parah membuatnya tak sempat memikirkan hal hal janggal yang sebenarnya ada dalam kejadian itu. Alea bahkan tak memperhatikan gerak mata Dena dan Aaron yang sesekali bertemu untuk mengisyaratkan sesuatu. Alea tentu saja tak pernah tahu bahwa peristiwa kecelakaan yang terjadi pada sore hari itu hanyalah sebuah rekayasa yang idenya muncul dari sahabatnya itu saat sedang mengobrol bersama Aaron siang harinya di kantor. Aaron yang biasanya sangat serius dalam menghadapi sesuatu, entah kenapa menurut saja saat Dena mengutarakan tentang rencananya untuk membuat Alea tetap tinggal. Atau setidaknya menunda kepulangannya ke kampung. “Kam
Setelah berbincang panjang lebar dengan Dena di kantor hari itu, akhirnya Aaron tahu bagaimana penilaian Alea padanya. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, tentu saja Alea tidak menganggapnya sebagai orang yang baik. Dirinya dan adiknya, di mata Alea, hanyalah orang-orang yang telah merusak kebahagiaannya.Namun mengetahui hal itu, bukannya membuat Aaron mengurungkan niatnya untuk meminta maaf pada Alea. Hal itu justru membulatkan tekad untuk mendapatkan maaf darinya. Aaron sendiri tidak mengerti kenapa sampai memiliki rasa yang seperti itu pada seseorang. Mungkin apa yang dikatakan Dena benar, bahwa dirinya hanya merasa bersalah karena merasa telah menjadi penyebab hancurnya rumah tangga Alea. Bahkan juga membuat wanita itu kehilangan pekerjaannya, Bahkan Dena sempat mengatakan padanya untuk melupakan saja masalah itu karena dia yakin Alea pasti akan memaafkannya suatu hari nanti tanpa harus dimintai maaf. Tapi hal itu justru semakin membuat Aaron penasaran. Apalagi banyak hal mena
Rupanya Aaron tak salah memilih Dena menjadi informannya tentang Alea. Selain karena keduanya adalah sahabat, ternyata Dena juga sangat cepat memberikan informasi yang dibutuhkannya. Hari itu juga, sebelum Aaron sampai di apartemennya, Dena sudah menelponnya untuk melaporkan sesuatu. Padahal dia sendiri bahkan belum memberikan instruksi apapun pada sahabat Alea itu.“Pak Aaron, ini saya Dena.” Suara wanita di seberang membuat hati lelaki itu berdebar karena tak sabar ingin tahu kabar dari Alea. “Iya, aku sudah simpan nomor kamu. Ada apa?” Suaranya masih terdengar tenang meski hatinya sangat lah penasaran. “Maaf kalau saya ganggu ya, Pak? Saya mau cerita soal Alea,” kata suara dari seberang, terdengar sedikit ragu.“Cerita saja, ada apa?” tanya Aaron.“Saya tidak berhasil membujuknya untuk kembali masuk kerja, Pak. Dia malah memutuskan untuk balik ke kampung. Gimana, Pak?” Kali ini nada bicara Dena terdengar mulai panik dan berbisik. Aaron yang sedang ingin fokus mendengarkan kabar