Bu Hani yang sedang berbincang dengan suaminya dikagetkan dengan Zafar yang tiba-tiba saja datang dari belakang. Mereka yang kebetulan sedang membicarakan hal itu, kesempatan bagi mereka untuk mempertanyakan seuatu hal pada Zafar, mumpung gadis itu tidak ada di sana.
Sedangkan Zafar yang tadi ingin mengambil minum, mendadak diam karena tatapan kedua orang tuanya pada dia."Ibu tidak mau basa basi, Zafar. Setidaknya kamu bisa memutuskan dulu baik-baik sebelum mengambil sebuah keputusan. Bagaimana dengan orang tua gadis itu saat kamu bicara akan menikahinya. Sedangkan mereka kenal denganmu saja tidak.""Apa kata orang tua dia saat tau kalian akan dinikahkan?"Zafar yang terus mendapatkan pertanyaan secara bertubi-tubi malah diam. Dia bingung harus menjawab yang mana dulu. Sedangkan orang tua Hilma, pria itu tak begitu yakin hafal. Karena yang ada di sana hanya Bapaknya saja, bahkan saat ijab qobul pun tidak ada lagi selain dia.Pak Jaidi menatap dengan serius, hatinya masih ragu jika memang semua yang warga kampung itu bilang itu adalah fitnah. Karena tau sifat anaknya seperti apa. Dia berpikir Hilma telah dijebak dan sengaja dimanfaatkan oleh anaknya itu."Kamu tidak mengancam gadis itu untuk berkata jujur bukan?" Pertanyaan ayahnya itu membuat Zafar terkejut, apa maksudnya? Apa ayahnya itu masih menuduh jika Zafar memang melakukan apa yang warga tuduhkan."Jadi kalian tidak percaya pada ucapan gadis itu? Hanya karena aku nakal dan susah di atur, Ayah pikir aku tega melakukan itu pada gadis sepertinya? Jika memang ingin pun, tidak perlu memakainya, gadis kampung yang kumuh, dan tidak bisa berpenampilan baik, aku punya Sinta, kalau ingin kenapa aku tidak memakai dia sejak awal? Aku memang nakal, tapi aku tidak sebejat itu!"Zafar mendorong kursi makan sampai membuat bunyi yang nyarinya. Dia pergi kembali ke atas dengan napas yang memburu karena emosi. Sedangkan Ibu dan Ayahnya hanya diam saling pandang, belum pernah dia melihat sang anak marah sampai seperti itu."Terus bagaimana?" tanya Ayahnya Zafar pada sang istri, yang hanya dibalas helaan napas oleh Bu Hani. "Mungkin ini memanglah sebuah fitnah semata, Yah. Tak mungkin juga Zafar melakukan hal itu, terlebih lagi gadis itu sudah bicara pada kita.""Entahlah, Bu, aku masih kurang yakin. Takut jika Zafar mengancam gadis itu untuk tidak jujur perihal ini. Kamu tau kan sifat anakmu itu seperti apa?""Tapi....""Sudahlah, Bu. Nanti kita pikirkan lagi, Ayah mau istirahat dulu, sakit kepala mikirin anakmu itu.""Anakmu juga itu," jawab Bu Hani, yang tidak dihiraukan oleh suaminya.Sedangkan di kamar, Hilma was-was jika Zafar tiba-tiba saja masuk seperti tadi, dia baru saja lega karena pria itu pergi dari kamar setelah kesalahan berbicara pria itu tadi. Yang membuat Hilma pikirannya jadi ke mana-mana."Kalau sampai dia ke sini lagi, aku yang akan keluar," ucapnya sambil menengok ke arah pintu.Setengah jam berlalu ia berjaga-jaga, tapi Zafar tak ada masuk lagi ke kamar. Hilma lama kelamaan mengantuk dan kemudian tertidur.***Pagi sekitar pukul tujuh, aroma masakan menusuk ke indera penciuman Hilma yang sedang menyapu di lantai atas. Meskipun lantai sudah bersih, tapi ia tetap sapu lagi karena bingung harus melakukan apa.Setelah selesai menyapu, gadis itu dengan ragu turun ke bawah, dilihatnya Bu Hani sedang sibuk di dapur, pelan dia pun menghampiri, berdehem sekali kemudian basa-basi. "Maaf, Bu, apa boleh saya bantu?" tanya Hilma."Boleh-boleh. Ayo sini. Eh, yakin mau bantu? Bau terasi loh ini, tuh sampe se rumah-rumah baunya.""Jangankan bau terasi, Bu, saya bau sampah juga biasa aja. Sayurnya biar saya yang cuci, ya?""Boleh." Bu Hani tersenyum padanya, kemudian kembali mengaduk sambal godok yang masih meletup-letup di atas kompor."Ibu mau bikin sayur lodeh, ya?""Kok tau?""Tau aja, Bu. Kebetulan saya juga di kampung kalau Bapak ada rezeki alhamdulillah suka jualan lauk nasi, kadang-kadang gorengan. Nih biasanya hari ini Minggu Bapak gajian dari Haji Burhan, sorenya saya suka jualan lauk nasi. Tapi sekarang...."Hilma mendadak diam. Ia kembali teringat pada Bapaknya. Teringat juga setiap minggu sore dia selalu keliling kampung untuk menjual makanan yang ia buat. Entah itu sayur, ikan dan juga gorengan. Makanan buatannya selalu habis, kadang tersisa itu pun hanya dua atau tiga kantung saja.Pulang keliling mereka biasa makan bersama dengan piring yang sudah usang warnanya, tak jarang pula beralasan daun pisang, karena mereka merasakan kenikmatan ketika makan berdua dalam satu lembar daun pisang. Saling tertawa bercerita kegiatan mereka masing-masing.Namun kini, hal itu menjadi kenangan yang indah untuk Hilma, sekaligus sedih karena harus pergi berjauhan dari sang Bapak. Hilma pikir, dulu ia akan selalu berada di dekat sang Bapak, menemani sehari-harinya. Tapi kini... entah takdir mengapa membawanya sampai ke titik ini."Kamu baik-baik aja?" tanya Bu Hani, yang menyadari isakan tangis Hilma di depan wastafel. Wanita itu merasa iba padanya, tangannya terulur mengusap pundak Hilma, membuat gadis itu berbalik menatapnya."Jangan sedih, jumat besok kan kamu ketemu lagi sama bapakmu. Nikmati dulu di sini, anggap saja liburan, ya? Bapak baik-baik aja kok di kampung. Oh iya, nanti kita telfon ke sana ya, kamu mau bicara kan sama Bapak?""Beneran, Bu?" tanya Hilma berbinar, ia sepontak mengusap air matanya."Beneran, dong, nanti selepas makan siang kita telfon, ya.""Makasih ya, Bu. Aku pikir kalian akan membenciku karena hal ini.""Hal yang tidak kamu lakukan?" tanya Bu Hani, kini ia mancing, karena dalam hatinya masih ragu. Takut jika anaknya itu memang mengancamnya untuk tidak berkata jujur.Hilma diam menatap wanita itu. "Semua yang mereka tuduhkan itu memang tidak benar, tapi aku juga tak berdaya untuk mengelak. Kami hanya orang rendahan yang tak mungkin bisa dipandang baik semua orang. Makasih sudah sangat baik pada aku, Bu. Dan di sini aku merasakan sosok hangat seorang Ibu setelah 19 tahun tidak merasakannya.""Maaf, memangnya Ibu kamu ke mana?""Sudah meninggal sejak melahirkan aku.""Inalilahi... Ibu minta maaf, ya. Udah kamu jangan sedih lagi, sekarang ada Ibu, anggap aja sebagai ibumu sendiri. Ibu juga senang akhirnya punya mantu sebaik kamu, dari dulu berharap dan sekarang terkabul. Punya anak laki bikin emosi mulu."Hilma tersenyum sambil mengusap air mata yang tak tertahan jatuh ke pipi. "Tapi... Kenapa dia begitu sangat kedinginan, dan aneh sekali keadaanya tidak seperti orang yang kedinginan pada umumnya?"Bu Hani menghela napas pelan. "Hmmm, saya ngerti. Karena memang kebetulan Zafar itu mempunyai penyakit yang....""Yang apa, Bu?" tanya Hilma penasaran. "Hipotermia." Bu Hani mematikan kompor lebih dulu, kemudian berbalik menghadapi Hilma yang sudah menunggu penjelasan darinya. "Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35oC. Akibatnya, jantung dan organ vital lainnya gagal berfungsi. Jika tidak segera ditangani, hipotermia dapat menyebabkan henti jantung, gangguan sistem pernapasan, bahkan kematian."Hilma mengingat bagaimna waktu itu Zafar seperti sesak bernapas, bahkan saat di arak oleh warga, dia seperti lemas tak berdaya. "Saya tidak tau kapan dan kenapa dia bisa memiliki penyakit itu. Semuanya karena dia karang ada di rumah, seringnya di luar, bahkan dalam seminggu belum tentu dia akan pulang ke rumah." Bu Hani menepuk pundak Hilma lembut. "Makasih ya, karena kamu sudah berusaha menyelamatkan anak saya, meskipun pada akhirnya kalian harus menghadapi hal ini. Tapi di sisi lain, saya bahagia Zafar menikau denganmu, karena hal ini Sinta pergi. Perempuan tak
Sayup-sayup suara adzan terdengar dari masjid, membuat gadis itu mencoba terbangun. Tapi ia merasakan tangannya berat, ia membuka mata perlahan, di sana, Zafar tertidur pulas di tangan istrinya itu. Hilma yang masih setengah sadar hanya diam sejenak. "Astaghfirullahalazim!" Kemudian dia langsung duduk menarik tangannya dari sang suami, membuat pria itu terbangun karena kaget mendengar jeritan Hilma."Kamu ngapain tidur di tangan aku! Katanya gak boleh melewati batas, ini malah kamu yang melanggar aturan itu gimana sih—""Suut!" Zafar dengan cepat membungkam mulut gadis itu, dia yang tadi duduk berbaring kembali karena Zafar mendorongnya. Hal itu membuat keduanya kini berdekatan, Zafar perlahan menurunkan tangan yang dipakai untuk membungkam Hilma, sedangkan gadis itu hanya diam tak berkutik karena terkejut. "Nah begitu diam! Masih pagi banget juga, nanti kalo Ibu denger apa kata dia. Berisik!""Ishh!" Sekuat tenaga Hilma mendorong pria itu agar menjauh darinya. Kemudian dia bangkit
"Maksudnya kamu udah punya pacar?" tanya Bu Hani bingung. Hilma yang keceplosan hanya diam berpikir, jika dibilang pacaran, tidak juga. Karena dia dengan Ajat tidak saling mengutarakan rasa cinta. "Bukan begitu, Bu. Maksud saya....""Oh... Kamu sudah ada pria yang dikagumin begitu? Tapi karena kejadian ini malah hilang harapan?"Gadis itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum kecil. "Begitu, Bu," jawabnya pelan. Bu Hani mengangguk paham. "Kamu mau nerusin pernikahan ini atau kalian minta banding, bawa kasus ini ke jalur hukum. Ibu siap membantu jika memang kalian tidak melakukan apa-apa.""Jalur hukum, maksudnya polisi begitu, Bu?" Bu Hani mengangguk. Sedangkan Hilma diam, bukan tidak mau. Tapi ia paham betul bagaimna sifat watak warga desa di sana. Jika sampai kejadian ini dibawa ke jalur hukum, bahkan sang Bapak pun tidak akan pernah menerima Hilma kembali. "Maaf, Bu. Bukan saya tidak mau. Tapi sulit berada di posisi sekarang. Daripada saya tidak dianggap anak oleh Bapak lagi,
Hampir saja aku menyebutkan siapa orang yang aku cintai selama ini padanya. Tapi meskipun dia tahu juga apa salahnya, toh dia tidak akan mungkin merasa sakit hati bukan? Selang bebrapa hari aku di sini, merasa sangat bosan dan suntuk. Kerjaan itu-itu saja, dan hanya begitu-begitu saja, lain seperti di desa, kalau suntuk bisa pergi ke sawah menikmati pemandangan alam yang Alloh ciptakan. Huff.... Semakin lama di sini aku pasti akan titingkuheun, kalau bahasa Indonesia apa ya, aku juga kurang tau. Yang pasti kaki akan terasa kaku karena hanya jalan ke atas, bawah, teras lagi, dapur lagi. Begitu saja terus.Mana di sini dihadapkan dengan seorang pria yang setiap hari ada saja ulahnya. Kalau aku yang jadi Bu Hani, sudah emosi jiwa dibuatnya. Sedang asik melamun malam-malam, Tiba-tiba pintu diketuk, tak lama Bu Hani muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lalu masuk. Aku membenarkan posisi duduk dan bergeser agar Ibu duduk di sebelahku. "Besok hari Kamis, kita siap-siap ke desa ya. Ibu
"Apa yang bisa Bapak lakukan selain memberikan kalian restu dan doa. Nak, Bapak bukan orang yang punya, Bapak tidak punya apa-apa untuk diberikan pada kalian selain doa dan restu Bapak. Setelah di pikirkan bermalam-malam, Bapak sadar bahwa anak kesayanganku ini tidak mungkin melakukan hal yang di mana itu akan merusak dirinya dan juga menyakiti Bapak."Hilma menangis mendengar itu, keduanya dibawa ke dalam pelukan Pak Hasan. Di sela-sela tangis, gadis itu menatap Zafar yang juga tengah menatapnya sadari tadi. Keduanya saling melempar senyum dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Karena hari semakin larut, Hilma pulang ke rumah, sedangkan Zafar, menginap di rumah Haji Burhan. Hilma sangat bahagia ketika mereka menaiki sepeda tua berdua. Jalan di tengah-tengah sawah, rembulan yang menyinari malam itu. Ia memeluk erat sang Bapak, menikmati embusan angin malam yang terasa dingin. Wangi tanah basah yang Hilma rindukan ia menikmati wangi itu sepanjang jalan. Sampai di rumah, mereka m
"Neng, ayo dipakai dulu kebayanya!""Oh, iya!" Hilma segera menutup kembali surat yang baru saja ia baca. Gadis itu menyimpannya di atas lemari kecil, kemudian berdiri untuk dipakaikan kebaya dan juga singger Sunda. Tiga puluh menit berlalu, kini Hilma sudah siap. Ia nampak sangat anggun dengan kebaya putih menjuntai panjang, juga make-up yang membuat aura penyanyinya keluar. MUA itu sampai tersenyum takjup. Hilma yang selama ini terpoles lipstik saja belum pernah, sekalinya di makupin sangat manglingi sekali. "Masya Allah... Cantik banget, Neng," ujar MUA itu. Ia bergegas ke luar untuk memanggil Pak Hasan. Wanita beranak dua itu membawanya ke kamar, memperlihatkan betapa cantiknya sang anak. Pak Hasan diam sejenak menatap dari atas sampai bawah, matanya memerah menahan tangis. Terharu melihat sang anak yang sangat cantik sekali dengan riasan itu. "Nuhun, Des, sudah bikin anak Mamang cantik sekali begini," ujarnya. "Sama-sama, Mang. Ayo Desi foto dulu buat kenang-kenangan." Wani
"Asik ya, ditangkap mantan kekasih pas mau jatuh. Tatapan yang sangat mesra."Hilma berdiri ingin menjawab kata-kata suaminya itu, tapi urung karena Teh Desi kembali. Wanita itu bergegas memakaikan sabuk pada Zafar, kemudian merapikan Hilma kembali dengan gaun berwarna Navy itu. Keduanya kembali ke pelaminan, tidak ada tawa dan senyuman, mereka bahkan duduk berjauhan. Sedangkan Zafar sibuk bermain dengan ponselnya, pria itu sama sekali tidak berniat untuk membuat kenangan di ponselnya. "Foto lagi ya!" ucap fotografer. Salah satu asistennya mengatur sepasang pengantin itu dengan gaya yang romantis. Membuat Hilma tak nyaman, sedangkan Zafar datar-datar saja."Senyum atuh, jangan cemberut!" seru tukang foto. Mereka terpaksa tersenyum dengan gaya foto yang tukang foto itu berikan. Sampai pada akhirnya sesi foto selesai, mereka baru bisa menghela napas lega. Hilma meminta Teh Desi untuk segera mencopot konde yang dipakai karena berat sekali sampai-sampai kepalanya itu terasa puing seka
"Ke—kenapa memang?" tanya Hilma terbata, ia menggeser kembali tubuhnya agar sedikit lebih jauh dari suaminya itu. "Gak papa, cuma di sini dingin. Apa gak ada selimut atau apa gitu?" Gadis itu langsung duduk, ia kemudian mengambil selimut dari lemari yang sudah usang, kemudian memberikannya pada Zafar. "Maaf, ya. Aku lupa," katanya. "Gak papa. Kirain tadi satu selimut berdua."Mendengar itu Hilma menatap protes, Zafar tertawa kemudian kembali meringkuk karena dingin. "Astaghfirullah, harus banyak-banyak istighfar, Hilma," gumam gadis itu. Kemudian kembali berbaring. Malam semakin larut, bahkan sebentar lagi waktu subuh, Zafar tak kuat dingin, ia menggigil karena memang di sana tempat di bawah kaki gunung, udara jadi sangat dingin jika subuh. Pria itu menggigil semakin parah, kemudian ia memegang tangan Hilma yang hangat, tanpa sadar dia bergeser, menenggelamkan wajah di antara leher dan pundak istrinya itu. Sedangkan Hilma tak sadar saking pulang karena merasa capek seharian men
"Kamu tak perlu tau orang itu siapa. Yang jelas, Paman kecewa pada kalian berdua. Mulai sekarang, Paman tidak mau berurusan dengan kalian lagi.""Tapi aku akan cari tau siapa orang yang sudah memfitnah istriku!" tekan Zafar, ia menarik Hilma saat wanita itu hendak berbicara. Zafar pergi dengan emosi yang meluap-luap di dadanya. Ia yakin sekali, jika dalang dari semuanya adalah Santi. Karena tidak ada lagi orang yang tidak menyukai istrinya itu kecuali dia."Aa aku belum sempat bicara sama Pak Haji.""Ngapain. Biarin aja dia, lama-lama juga bakalan ketauan iblis apa yang ada di rumahnya itu. Memfitnah orang lain agar dia bisa menikmati semuanya!"Hilma diam. Ia berpikir ada benarnya juga apa yang Zafar katakan, jika memang bukan Santi siapa lagi, karena di desa hanya dia yang berurusan dengannya."Mungkin karena dia suka sama Aa, makanya menghalalkan segala cara agar kalian bisa dekat."Mendengar itu Zafar langsung ngerem mendadak. Ia melirik sang istri yang juga tengah menatapnya."J
Sebelum menuju ke rumah Haji Burhan, mereka makan siang lebih dulu karena merasa lapar setelah kehujanan. Zafar yang berusaha menenangkan istrinya itu dengan mencoba menyuapi makanan pada Hilma, tapi wanita itu seakan enggan untuk menerima.Belum pernah ia melihat Haji Burhan semarah itu padanya, tapi kenapa setelah ada anak perempuannya, Hilma rasa banyak yang berubah dari bos ayahnya itu.Padahal dulu ia orangnya sangat lembut dan penyayang. Bahkan orang yang salah di mata yang lain pun, ia selalu membela dan memilih untuk berdamai. Tapi sekarang, hal yang bahkan tidak Hilma ketahui hal buruk apa yang sudah ia lakukan, Haji Burhan nampak tidak menyukainya."Hilma...." Suara Zafar membuat wanita itu buyar dari lamunannya. Ia hanya bisa menarik napas pelan dengan wajah yang muram."Kamu tau paman, kan? Mungkin dia cuma mau mastiin aja.""Tapi... kata-kata dia tadi sangat tidak enak aku dengar, A. Kapan aku punya niat busuk padanya, sedangkan aku selalu berdoa agar dia hidupnya sejaht
Santi melirik dari ujung matanya, kemudian dia tersenyum miring melihat sang ayah yang nampak emosi sekali. Wanita itu berhasil membuat seorang Haji Burhan yang dulunya rendah hati dan baik pada semua orang, kini ia nampak menjadi orang yang perhitungan."Tenang, Ayah... aku akan bantu untuk bikin mereka menyesali semuanya."'Lihat aja, setelah ini Hilma pasti akan kena marah habis-habisan sama Ayah. Aku harus menyusun rencana baru agar Zafar membela Ayah dan hubungan dia dengan istrinya itu renggang,' batin Santi."Ternyata wanita selugu dia bermuka dua. Padahal dulu siapa yang sering menolongnya kalau bukan saya!" tekan Haji Burhan, membuat hati Santi semakin gembira mendengarnya."Minta aja modal yang pernah Ayah berikan pada Zafar. Biar mereka tau rasa!"Haji Burhan menatap anaknya itu, ia kemudian duduk kembali setelah tadi berdiri karena emosi."Ayah gak bisa kalau lakuin itu, karena modal yang diberikan pada Zafar, itu uang ibunya dulu yang Ayah pinjam.""Jadi....""Kalau soal
"Akhirnya selesai, sekarang aku tinggal mandi dan ngasih bekal ini buat Aa." Hilma tersenyum melihat menu-menu makanan yang sudah tersaji di meja. Ia sudah memisahkan mana yang akan di bawa dan untuk sarapan sang ayah di rumah.Wanita itu naik ke kamar untuk mandi gan berganti baju, kemudian sedikit memoles wajahnya dan memakai lipstik agar lebih segar.Setelah rapi ia turun lagi dengan suasana hati yang gembira. Pokoknya nanti ia harus meminta maaf atas perilakunya yang semalam. Hanya karena cemburu ia jadi mengacuhkan sang suami. Yang padahal Zafar sama sekali tidak ada niat untuk berdekatan dengan Santi.Sepeda ia goes menuju ke Konveksi setelah berpamitan dengan sang ayah yang sedang menikmati hidangannya. Semilir angin menabrak wajah membuat wanita itu tersenyum. Menarik napas dalam menghirup udara desa yang masih sangat segar.Dari kejauhan matanya menatap sang suami yang sedang membantu menurunkan bahan-bahan kain yang sangat besar itu. Membuat suaminya sampai membungkuk memba
"A, yakin beli sebanyak itu?" Komar yang tadi hanya melongo kini bertanya saat melihat penjual dodol itu mulai menimbang dan memasukan dodol ke dalam kresek hitam yang cukup besar."Yakin dong... hanya dengan cara ini aku bisa meluluhkannya!""Meluluhkan siapa, A?"Zafar yang keceplosan langsung tutup mulut, kemudian meminta Komar untuk diam. Berisik sekali dia sedari tadi terus bertanya.Wajah Zafar berbinar dan dia membayangkan raut wajah sang istri saat mendapatkan dodol-dodol ini. Pria itu bergegas membayar dan mengajak Komar untuk pulang. Sepanjang jalan ia berharap semoga Kanjeng Putri itu tidak merajuk lagi.Malam semakin larut, mereka berdua kini sudah sampai di depan rumah, Zafar memberikan satu kilo dodol itu untuk Komar, dan juga uang sebagai tanda terima kasih untuknya."Kok, pake segala ngasih uang, A. Kan saya jadi enak," kata Koma r sambil nyengir. "Makasih ya, Mar. Udah kamu sekarang pulang, kasian istri kamu nungguin.""Iya, A. Makasih, ya. Kalau butuh bantuan lagi,
Hujan kembali deras lagi setelah tadi agak sedikit reda. Zafar menembusnya karena sang paman berbicara dengan sangat panik di telfon tadi. Dia terpaksa datang karena sang paman memohon, sedangkan hatinya merasa berat untuk meninggalkan Hilma yang masih belum mau bicara dengannya. Pria itu bergegas turun dari motor dan mengetuk pintu dengan tubuh yang kedinginan. Haji Burhan datang, ia melihat Zafar basah kuyup, kemudian meminta Santi untuk mengambilkan anduk. Santi tersenyum saat mengalungkan handuk itu padanya, sedangkan Zafar langsung menepis tangan wanita itu yang sangat tidak sopan. "Apa yang bunyi, Paman?" tanya Zafar, sambil masuk ke dapur, karena tadi sang paman bicara bahwa gasnya bocor karena mengeluarkan bunyi dan bau. "Gak tau, tadi bau sama ada bunyi, ya kan, Santi?""I–iya, Aa, tadi bunyi gitu. Aku jadi takut...." Santi memanfaatkan situasi sambil memegangi tangan Zafar, membuat pria itu menatapnya tajam. "Kamu cek deh, paman mau ke atas dulu, sakit pinggang rasanya.
Hilma kembali menikmati makanan yang sudah tidak mengunggah selera, tapi karena sayang jika di buang, maka ia harus menghabiskannya. Dengan wajah yang ditekuk, matanya melirik Zafar yang kembali turun mengenakan jaket. Karena posisi baru jam sembilan, bahkan matahari belum sepenuhnya muncul di langit. Membuat udara menjadi dingin. "Aku pergi dulu, ya." Zafar menghampiri kemudian mengecup kepala istrinya itu. Saat mengulurkan tangan, ia melihat istrinya itu berubah, tidak seperti tadi yang nampak segar sekali wajahnya. "Boleh kan aku pergi?""Kalau pun di larang, kamu bakalan tetap pergi, kan?"Zafat tersenyum, ia tau kenapa istrinya itu menjadi seperti ini. "Sayang... Aku ke rumah paman cuma mau membicarakan pembuatan alat untuk menarik air sungai ke sawah. Gak aneh-aneh, kok.""Hmm, ya udah pergilah kalau begitu. Nanti telat."Zafar menghela napas pelan melihat istrinya yang berbicara tanpa menatap dirinya. Karena waktu sudah semakin lambat, akhirnya ia kembali mengecup kening Hil
"Ayah tau punya ponakan modelan Zafar kenapa gak dinikahkan dengan Santi? Kenapa harus memilih perempuan kampungan itu? Kan aku juga bisa menikah sama dia, Ayah.""Mereka juga menikah karena tak sengaja, bukan murni saling suka.""Maksudnya gak sengaja?"Haji Burhan menaruh sendok yang sedang ia pegang, kemudian menceritakan awal mula Zafar dan Hilma menikah karena apa."Gitu, mana bisa ayah larang mereka. Ini sudah menjadi tradisi di sini."Santi mengangguk paham. Dia tersenyum miring memikirkan suatu hal gila apa yang akan wanita licik itu lakukan. "Sayang sekali, ya. Padahal aku lihat-lihat Zafar tertarik sama aku. Kemarin aja dia lihat aku sampai segitunya. Cuma ya... Istrinya aja itu, si Hilma yang suka tiba-tiba muncul kayak kunti!""Kamu jangan berharap apa pun sama dia. Zafar sudah bisa menerima Hilma, bahkan mereka sedang bahagia ini, karena telah mengandung anak pertama.""Apa!" Santi melotot tak percaya mendengar penuturan sang ayah, karena Haji Burhan kemarin tiga hari se
Zafar memancing untuk istrinya itu berbicara, padahal dia sudah tau pasti yang sedang Hilma pikirkan adalah Haji Burhan. Pria itu menggenggam tangan sang istri lembut, kemudian menciumnya. "Aku tau, kamu mikirin ucapan Paman, kan? Sudah aku bilang, gak usah dimasukin ke hati, jangan terlalu dipikirkan. Dia begitu pasti karena hasutan Santi.""Tapi kenapa dia jahat banget, A. Santi itu dari awal datang seperti tak suka sama aku. Apalagi kalau kita lagi berdua, terlihat jelas raut wajah sinisnya.""Maklumin aja, mungkin karena dia baru menikmati hidupnya sebagai anak dari Paman, dulu kan dia sembunyi-sembunyi dari warga, ya sekarang mungkin dia sudah bebas berperilaku. Dan itu lah sifat aslinya.""Apa mungkin juga dia suka sama kamu, A?"Mendengar penuturan sang istri, Zafar terdiam memandangnya. Ia mengingat kejadian saat pulang dari masjid tadi, seseorang menghadangnya saat di jalan, yang ternyata dia adalah Santi. Karena kebetulan wanita itu ada di sana, Zafar turun dengan niat ing