"Hi—Hilma... namanya Hilma, Bu," kata Zafar, ia tau gadis itu sedang sangat ketakutan, terlihat dari tangannya yang saling bertautan dan sedikit gemetar.
"Oh... Hilma. Ya sudah, kalian istirahat dulu, sepertinya Hilma sangat lelah." Bu Hani tersenyum pada gadis itu."Ayo, kamar kita di atas. Bawa tehnya," ajak Zafar, pria itu membawa tas berisi baju Hilma kemudian menaiki tangga.Hilma meletakan teh manis kembali ke nampak, kemudian memngangkatnya. Ia mengangguk pada Bu Hani yang sedari tadi memperhatikannya, membuat Hilma berkeringat dingin dengan jantung yang sudah berdegup tak karuan.Saat kakinya ingin menaiki tangga, gadis itu lebih dulu menatap ke atas. Andai saja ada kamar kosong yang lain, kecil pun tak apa. Ia lebih baik tidur di sana daripada harus satu kamar dengan Zafar.Pada akhirnya dia hanya bisa menghela napas, kemudian menaiki anak tangga satu per satu. Sesampainya di atas, ia melihat pintu kamar terbuka, kemudian Hilma masuk ke sana."Taruh sini aja tehnya," ujar Zafar, saat melihat Hilma tengah berdiri di depan pintu."Saya mau mandi dulu. Kamu kalau mau tidur, tidur aja di kasur. Saya biar tidur di sofa, jangan lupa tutup pintunya."Hilma mengangguk. Ia meletakan teh itu di meja, kemudian menutup pintu. Matanya menyisir setiap sudut kamar itu, betapa rapi dan bersih. Berbanding terbalik dengan kamarnya di desa."Lebih baik aku tidur, sebentar lagi subuh. Jangan sampai aku kesiangan solat subuh," gumamnya, ia menatap ranjang yang berukuran 160×200 itu, lengkap dengan bad cover yang tertata di sana.Hilma ragu, ia memilih untuk tidur di sofa saja, biarkan Zafar yang tidur di ranjang. Ia mengambil satu bantal, menatanya di sofa kemudian berdoa, lalu memejamkan mata.Lima belas menit berlalu, Zafar merasakan tubuhnya yang segar setelah mandi menggunakan air hangat. Ia keluar sudah memakai baju dan berniat untuk tidur.Namun, pria itu menggeleng saat melihat Hilma sedang terlelap di sofa. Pelan ia mendekat, berdiri di menatap gadis itu."Apakah aku berdosa karena telah memanfaatkan dia dalam situasi ini? Karena aku, dia harus menanggung malu, dan yang parahnya lagi aku membuat Bapaknya kecewa."Zafar merasa bersalah untuk hal ini. Tapi di sisi lain ia juga merasa senang, karena akhirnya Sinta yang selalu mengancam akan bunuh diri dan menyakiti dirinya sendiri saat Zafar akan memutuskan hubungan dengannya, kini dia pergi.Pria itu mengambil selimut dari lemari, kemudian menyelimutkannya pada Hilma. Ia pun berbaring di kasur, dan mulai terlelap karena lelah.***Sayup-sayup suara adzan berkumandang, gadis itu yang biasanya bangun saat tarhim, tapi kini adzan sudah berkumandang saja ia masih terlelap.Lelah seharian menangis, di tambah perjalanan yang cukup jauh. Memang sangat menguras energi. Begitu juga dengan Zafar, pria itu masih sangat pulas sambil memeluk guling. .Sekitar jam lima lebih, Hilma menggeliat, matanya perlahan terbuka menatap sekeliling, gadis itu tak sengaja melihat jam, yang di mana adzan sudah terlewat."Astaghfirullahalazim!" Hilma sontak bangun, ia tersadar jika adzan tadi sama sekali tidak ia dengar. Buru-buru ia ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah memakai mukena yang ia bawa di tasnya, gadis itu bingung kiblat mengarah ke mana. Dibukanya gorden kamar olehnya, tapi sayang fajar belum terlihat.Mendengar suara cetekan kompor dari bawah, gadis itu tanpa pikir panjang turun. Awalnya ia ragu saat sudah sampai setengah tangga, tapi ia berpikir lagi, daripada tidak solat karena tak tau arah kiblat, lebih baik ia memberanikan diri bertanya pada orang di bawah.Ia melihat Bu Hani yang sedang membuat kopi di dapur, gadis itu perlahan mendekat, yang disadari oleh Bu Hani jika ada Hilma di sana."Ehh, udah bangun... Udah solat?" tanya Bu Hani, yang melihat Hilma mengenakan mukena dengan sajadah di tangannya."Maaf, Bu. Sa—saya... Tidak tau arah kiblatnya. Jadi...." Hilma merasa lututnya itu sangat lemas di hadapkan dengan sang mertua di pagi buta begini."Ohh, kamu tau di kamar ada rak buku? Nah, itu arah kiblatnya. Gih solat dulu, nanti keburu siang.""Makasih, Bu. Kalau begitu saya solat dulu. Permisi...." Hilma menunduk padanya, kemudian kembali ke atas.Bu Hani menggeleng melihat tingkah menantu barunya itu. Kemudian mimik wajahnya berubah saat menyadari sesuatu, kenapa Hilma bertanya sampai turun ke bawah sedangkan di atas ada Zafar?Wanita itu yakin, jika anaknya itu masih tertidur pulas.Hilma yang baru selesai melaksanakan solat subuh, ia menatap Zafar yang masih tidur. Ingin sekali membangunkan, tapi ia urung. Kemudian Hilma memilih kembali ke bawah setelah merapikan alat solat.Ia melihat Bu Hani yang sedang memotong sosis dan bakso. Sepertinya dia akan membuat nasi goreng."Maaf, Bu. Bisa saya bantu?" tanya Hilma memberanikan diri. Ia sebelumnya sudah mengatur napas agar lebih tenang."Boleh dong, sini-sini. Udah solatnya?"Hilma mengangguk dan tersenyum.Setelah itu hening terjadi. Hilma masih takut ibunya Zafar tidak menyukainya. Jadi, dia hanya diam di dapur sambil mencari-cari apa yang bisa dibantu."Bisa ngulek?" tanya Bu Hani."Bisa, Bu."Ia memberikan ulekan yang sudah berisi bawang dan juga cabe. Meminta tolong untuk Hilma menguleknya.Hilma mengulek dalam diam. Ia sebenarnya ingin bertanya, tapi takut. Apa ibunya Zafar ini tidak masalah kalau anaknya tiba-tiba menikah dengan gadis desa?"Pasti Zafar belum bangun, kan? Ibu itu sudah pusing tau ngedidik dia itu, entah harus dengan cara apalagi biar dia sadar, dan keluar dari pergaulannya yang ishh, begitu lah pokonya." Bu Hani memulai percakapan.Hilma yang sedang mengulek, mendengarkan dengan baik."Beruntung akhirnya dia dinikahkan sama kamu, Neng, yang sopan santun dan juga lugu. Ibu itu senang dia bisa lepas dari pacarnya yang, ih... kamu tau, Neng, dia pakai rok aja selebar kain sebret Ibu! Tuh dis tuh, si Sinta namanya."Hilma sedikit tersenyum saat Bu Hani bercerita layaknya mereka sudah kenal lama."Terus ya, si Zafar itu jarang banget pulang ke rumah, seminggu paling cuma dua kali dia pulang, eh sekalinya pulang dalam keadaan mabuk berat. Ya Alloh, Neng... Ibu itu udah stres banget ngadepin dia sumpah. Padahal dalam keluarga Ibu dan Ayahnya, gak ada yang begitu. Cuma dia doang sendiri. Kadang Ibu malu, makanya kemarin sengaja dia di kirim ke kampung biar ngelanjutin usaha konveksi ayahnya di sana."Bu Hani yang sedang mengupasi wortel kemudian menatap serius pada Hilma. "Memang bener ya, kalian dinikahkan karena di fitnah? Kok bisa, Neng?" tanya Bu Hani.Hilma yang sudah selesai mengulek, ia kemudian menggeser ulekan itu. "Mmm, sebenarnya... waktu itu dia dan saya satu saung saat hujan. Entah kenapa dia jadi menggigil dan saya liat, dia seperti sulit bernapas. Karena tak tega dan saja juga panik, akhirnya bantuin dia, nyelimutin setengah tangannya agar sedikit lebih hangat. Tapi tak lama warga datang dan...."Mata gadis itu sudah memanas, ia tak mampu untuk melanjutkan kejadian yang di mana itu adalah kejadian terburuk di dalam hidupnya.Bu Hani yang melihat Hilma hanya diam, ia mengusap pundak gadis itu lembut. "Sudah, tak apa. Maaf ya, karena ibu bertanya hal itu jadi bikin kamu sedih.""Tak apa, Bu. Ibu... Gak ngebenci Hilma, kan?"Bu Hani tersenyum mengusap tangan gadis itu. "Enggak, dong, memang apa yang kamu lakukan sampai ibu bisa membenci kamu?"Hilma yang semula menatap ibu mertuanya itu, kini ia kembali menunduk. "Hilma takut jika Ibu tak suka, karena aku hanyalah gadis desa yang bahkan tidak berpendidikan.""Kamu pikir Ibu dari kota? Ibu juga dari desa, Neng, justru bagi ibu, gadis desa sepertimu ini lah yang selama ini ibu harapkan untuk Zafar.""Ada rasa lega di dalam hati gadis itu, ia bersyukur karena Bu Hani ternyata sangat baik padanya. Bayang-bayang mendapatkan caci maki, kini musnah sudah. Keduanya kembali ngobrol ngalor-ngidul, lebih tepatnya Bu Hani yang terus berbicara. Hilma hanya diam sesekali tersenyum saat ada hal yang lucu, yang diceritakan oleh mertuanya itu. ***"Mudah-mudahan aku betah di sini, dan tidak ketakutan lagi," ujar Hilma, menatap diri di cermin, gadis itu baru selesai mengenakan pakaian selepas mandi tadi. "Biasa saja.""Hah!" Hilma yang terkejut medengar Zafar yang tiba-tiba mendekat. Sekilas ia melihat suaminya itu tersenyum, kemudian kembali datar. "Sampai kapan takut terus. Kamu kan udah liat Ibu sebaiknya apa sama kamu. Sampai aku aja anaknya, malah kena omel," kata Zafar ngedumel. "Ayo turun!" Pria itu sedikit berteriak dari luar lamar. "Iya," jawab Hilma, sambil mengekor pria itu turun. Matanya melotot saat Zafar menunggu dan kemudian menggenggam tangan Hilma. Gadis itu merasa tak nyam
Bu Hani yang sedang berbincang dengan suaminya dikagetkan dengan Zafar yang tiba-tiba saja datang dari belakang. Mereka yang kebetulan sedang membicarakan hal itu, kesempatan bagi mereka untuk mempertanyakan seuatu hal pada Zafar, mumpung gadis itu tidak ada di sana. Sedangkan Zafar yang tadi ingin mengambil minum, mendadak diam karena tatapan kedua orang tuanya pada dia. "Ibu tidak mau basa basi, Zafar. Setidaknya kamu bisa memutuskan dulu baik-baik sebelum mengambil sebuah keputusan. Bagaimana dengan orang tua gadis itu saat kamu bicara akan menikahinya. Sedangkan mereka kenal denganmu saja tidak.""Apa kata orang tua dia saat tau kalian akan dinikahkan?"Zafar yang terus mendapatkan pertanyaan secara bertubi-tubi malah diam. Dia bingung harus menjawab yang mana dulu. Sedangkan orang tua Hilma, pria itu tak begitu yakin hafal. Karena yang ada di sana hanya Bapaknya saja, bahkan saat ijab qobul pun tidak ada lagi selain dia. Pak Jaidi menatap dengan serius, hatinya masih ragu jika
"Yang apa, Bu?" tanya Hilma penasaran. "Hipotermia." Bu Hani mematikan kompor lebih dulu, kemudian berbalik menghadapi Hilma yang sudah menunggu penjelasan darinya. "Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35oC. Akibatnya, jantung dan organ vital lainnya gagal berfungsi. Jika tidak segera ditangani, hipotermia dapat menyebabkan henti jantung, gangguan sistem pernapasan, bahkan kematian."Hilma mengingat bagaimna waktu itu Zafar seperti sesak bernapas, bahkan saat di arak oleh warga, dia seperti lemas tak berdaya. "Saya tidak tau kapan dan kenapa dia bisa memiliki penyakit itu. Semuanya karena dia karang ada di rumah, seringnya di luar, bahkan dalam seminggu belum tentu dia akan pulang ke rumah." Bu Hani menepuk pundak Hilma lembut. "Makasih ya, karena kamu sudah berusaha menyelamatkan anak saya, meskipun pada akhirnya kalian harus menghadapi hal ini. Tapi di sisi lain, saya bahagia Zafar menikau denganmu, karena hal ini Sinta pergi. Perempuan tak
Sayup-sayup suara adzan terdengar dari masjid, membuat gadis itu mencoba terbangun. Tapi ia merasakan tangannya berat, ia membuka mata perlahan, di sana, Zafar tertidur pulas di tangan istrinya itu. Hilma yang masih setengah sadar hanya diam sejenak. "Astaghfirullahalazim!" Kemudian dia langsung duduk menarik tangannya dari sang suami, membuat pria itu terbangun karena kaget mendengar jeritan Hilma."Kamu ngapain tidur di tangan aku! Katanya gak boleh melewati batas, ini malah kamu yang melanggar aturan itu gimana sih—""Suut!" Zafar dengan cepat membungkam mulut gadis itu, dia yang tadi duduk berbaring kembali karena Zafar mendorongnya. Hal itu membuat keduanya kini berdekatan, Zafar perlahan menurunkan tangan yang dipakai untuk membungkam Hilma, sedangkan gadis itu hanya diam tak berkutik karena terkejut. "Nah begitu diam! Masih pagi banget juga, nanti kalo Ibu denger apa kata dia. Berisik!""Ishh!" Sekuat tenaga Hilma mendorong pria itu agar menjauh darinya. Kemudian dia bangkit
"Maksudnya kamu udah punya pacar?" tanya Bu Hani bingung. Hilma yang keceplosan hanya diam berpikir, jika dibilang pacaran, tidak juga. Karena dia dengan Ajat tidak saling mengutarakan rasa cinta. "Bukan begitu, Bu. Maksud saya....""Oh... Kamu sudah ada pria yang dikagumin begitu? Tapi karena kejadian ini malah hilang harapan?"Gadis itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum kecil. "Begitu, Bu," jawabnya pelan. Bu Hani mengangguk paham. "Kamu mau nerusin pernikahan ini atau kalian minta banding, bawa kasus ini ke jalur hukum. Ibu siap membantu jika memang kalian tidak melakukan apa-apa.""Jalur hukum, maksudnya polisi begitu, Bu?" Bu Hani mengangguk. Sedangkan Hilma diam, bukan tidak mau. Tapi ia paham betul bagaimna sifat watak warga desa di sana. Jika sampai kejadian ini dibawa ke jalur hukum, bahkan sang Bapak pun tidak akan pernah menerima Hilma kembali. "Maaf, Bu. Bukan saya tidak mau. Tapi sulit berada di posisi sekarang. Daripada saya tidak dianggap anak oleh Bapak lagi,
Hampir saja aku menyebutkan siapa orang yang aku cintai selama ini padanya. Tapi meskipun dia tahu juga apa salahnya, toh dia tidak akan mungkin merasa sakit hati bukan? Selang bebrapa hari aku di sini, merasa sangat bosan dan suntuk. Kerjaan itu-itu saja, dan hanya begitu-begitu saja, lain seperti di desa, kalau suntuk bisa pergi ke sawah menikmati pemandangan alam yang Alloh ciptakan. Huff.... Semakin lama di sini aku pasti akan titingkuheun, kalau bahasa Indonesia apa ya, aku juga kurang tau. Yang pasti kaki akan terasa kaku karena hanya jalan ke atas, bawah, teras lagi, dapur lagi. Begitu saja terus.Mana di sini dihadapkan dengan seorang pria yang setiap hari ada saja ulahnya. Kalau aku yang jadi Bu Hani, sudah emosi jiwa dibuatnya. Sedang asik melamun malam-malam, Tiba-tiba pintu diketuk, tak lama Bu Hani muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lalu masuk. Aku membenarkan posisi duduk dan bergeser agar Ibu duduk di sebelahku. "Besok hari Kamis, kita siap-siap ke desa ya. Ibu
"Apa yang bisa Bapak lakukan selain memberikan kalian restu dan doa. Nak, Bapak bukan orang yang punya, Bapak tidak punya apa-apa untuk diberikan pada kalian selain doa dan restu Bapak. Setelah di pikirkan bermalam-malam, Bapak sadar bahwa anak kesayanganku ini tidak mungkin melakukan hal yang di mana itu akan merusak dirinya dan juga menyakiti Bapak."Hilma menangis mendengar itu, keduanya dibawa ke dalam pelukan Pak Hasan. Di sela-sela tangis, gadis itu menatap Zafar yang juga tengah menatapnya sadari tadi. Keduanya saling melempar senyum dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Karena hari semakin larut, Hilma pulang ke rumah, sedangkan Zafar, menginap di rumah Haji Burhan. Hilma sangat bahagia ketika mereka menaiki sepeda tua berdua. Jalan di tengah-tengah sawah, rembulan yang menyinari malam itu. Ia memeluk erat sang Bapak, menikmati embusan angin malam yang terasa dingin. Wangi tanah basah yang Hilma rindukan ia menikmati wangi itu sepanjang jalan. Sampai di rumah, mereka m
"Neng, ayo dipakai dulu kebayanya!""Oh, iya!" Hilma segera menutup kembali surat yang baru saja ia baca. Gadis itu menyimpannya di atas lemari kecil, kemudian berdiri untuk dipakaikan kebaya dan juga singger Sunda. Tiga puluh menit berlalu, kini Hilma sudah siap. Ia nampak sangat anggun dengan kebaya putih menjuntai panjang, juga make-up yang membuat aura penyanyinya keluar. MUA itu sampai tersenyum takjup. Hilma yang selama ini terpoles lipstik saja belum pernah, sekalinya di makupin sangat manglingi sekali. "Masya Allah... Cantik banget, Neng," ujar MUA itu. Ia bergegas ke luar untuk memanggil Pak Hasan. Wanita beranak dua itu membawanya ke kamar, memperlihatkan betapa cantiknya sang anak. Pak Hasan diam sejenak menatap dari atas sampai bawah, matanya memerah menahan tangis. Terharu melihat sang anak yang sangat cantik sekali dengan riasan itu. "Nuhun, Des, sudah bikin anak Mamang cantik sekali begini," ujarnya. "Sama-sama, Mang. Ayo Desi foto dulu buat kenang-kenangan." Wani
"Kamu tak perlu tau orang itu siapa. Yang jelas, Paman kecewa pada kalian berdua. Mulai sekarang, Paman tidak mau berurusan dengan kalian lagi.""Tapi aku akan cari tau siapa orang yang sudah memfitnah istriku!" tekan Zafar, ia menarik Hilma saat wanita itu hendak berbicara. Zafar pergi dengan emosi yang meluap-luap di dadanya. Ia yakin sekali, jika dalang dari semuanya adalah Santi. Karena tidak ada lagi orang yang tidak menyukai istrinya itu kecuali dia."Aa aku belum sempat bicara sama Pak Haji.""Ngapain. Biarin aja dia, lama-lama juga bakalan ketauan iblis apa yang ada di rumahnya itu. Memfitnah orang lain agar dia bisa menikmati semuanya!"Hilma diam. Ia berpikir ada benarnya juga apa yang Zafar katakan, jika memang bukan Santi siapa lagi, karena di desa hanya dia yang berurusan dengannya."Mungkin karena dia suka sama Aa, makanya menghalalkan segala cara agar kalian bisa dekat."Mendengar itu Zafar langsung ngerem mendadak. Ia melirik sang istri yang juga tengah menatapnya."J
Sebelum menuju ke rumah Haji Burhan, mereka makan siang lebih dulu karena merasa lapar setelah kehujanan. Zafar yang berusaha menenangkan istrinya itu dengan mencoba menyuapi makanan pada Hilma, tapi wanita itu seakan enggan untuk menerima.Belum pernah ia melihat Haji Burhan semarah itu padanya, tapi kenapa setelah ada anak perempuannya, Hilma rasa banyak yang berubah dari bos ayahnya itu.Padahal dulu ia orangnya sangat lembut dan penyayang. Bahkan orang yang salah di mata yang lain pun, ia selalu membela dan memilih untuk berdamai. Tapi sekarang, hal yang bahkan tidak Hilma ketahui hal buruk apa yang sudah ia lakukan, Haji Burhan nampak tidak menyukainya."Hilma...." Suara Zafar membuat wanita itu buyar dari lamunannya. Ia hanya bisa menarik napas pelan dengan wajah yang muram."Kamu tau paman, kan? Mungkin dia cuma mau mastiin aja.""Tapi... kata-kata dia tadi sangat tidak enak aku dengar, A. Kapan aku punya niat busuk padanya, sedangkan aku selalu berdoa agar dia hidupnya sejaht
Santi melirik dari ujung matanya, kemudian dia tersenyum miring melihat sang ayah yang nampak emosi sekali. Wanita itu berhasil membuat seorang Haji Burhan yang dulunya rendah hati dan baik pada semua orang, kini ia nampak menjadi orang yang perhitungan."Tenang, Ayah... aku akan bantu untuk bikin mereka menyesali semuanya."'Lihat aja, setelah ini Hilma pasti akan kena marah habis-habisan sama Ayah. Aku harus menyusun rencana baru agar Zafar membela Ayah dan hubungan dia dengan istrinya itu renggang,' batin Santi."Ternyata wanita selugu dia bermuka dua. Padahal dulu siapa yang sering menolongnya kalau bukan saya!" tekan Haji Burhan, membuat hati Santi semakin gembira mendengarnya."Minta aja modal yang pernah Ayah berikan pada Zafar. Biar mereka tau rasa!"Haji Burhan menatap anaknya itu, ia kemudian duduk kembali setelah tadi berdiri karena emosi."Ayah gak bisa kalau lakuin itu, karena modal yang diberikan pada Zafar, itu uang ibunya dulu yang Ayah pinjam.""Jadi....""Kalau soal
"Akhirnya selesai, sekarang aku tinggal mandi dan ngasih bekal ini buat Aa." Hilma tersenyum melihat menu-menu makanan yang sudah tersaji di meja. Ia sudah memisahkan mana yang akan di bawa dan untuk sarapan sang ayah di rumah.Wanita itu naik ke kamar untuk mandi gan berganti baju, kemudian sedikit memoles wajahnya dan memakai lipstik agar lebih segar.Setelah rapi ia turun lagi dengan suasana hati yang gembira. Pokoknya nanti ia harus meminta maaf atas perilakunya yang semalam. Hanya karena cemburu ia jadi mengacuhkan sang suami. Yang padahal Zafar sama sekali tidak ada niat untuk berdekatan dengan Santi.Sepeda ia goes menuju ke Konveksi setelah berpamitan dengan sang ayah yang sedang menikmati hidangannya. Semilir angin menabrak wajah membuat wanita itu tersenyum. Menarik napas dalam menghirup udara desa yang masih sangat segar.Dari kejauhan matanya menatap sang suami yang sedang membantu menurunkan bahan-bahan kain yang sangat besar itu. Membuat suaminya sampai membungkuk memba
"A, yakin beli sebanyak itu?" Komar yang tadi hanya melongo kini bertanya saat melihat penjual dodol itu mulai menimbang dan memasukan dodol ke dalam kresek hitam yang cukup besar."Yakin dong... hanya dengan cara ini aku bisa meluluhkannya!""Meluluhkan siapa, A?"Zafar yang keceplosan langsung tutup mulut, kemudian meminta Komar untuk diam. Berisik sekali dia sedari tadi terus bertanya.Wajah Zafar berbinar dan dia membayangkan raut wajah sang istri saat mendapatkan dodol-dodol ini. Pria itu bergegas membayar dan mengajak Komar untuk pulang. Sepanjang jalan ia berharap semoga Kanjeng Putri itu tidak merajuk lagi.Malam semakin larut, mereka berdua kini sudah sampai di depan rumah, Zafar memberikan satu kilo dodol itu untuk Komar, dan juga uang sebagai tanda terima kasih untuknya."Kok, pake segala ngasih uang, A. Kan saya jadi enak," kata Koma r sambil nyengir. "Makasih ya, Mar. Udah kamu sekarang pulang, kasian istri kamu nungguin.""Iya, A. Makasih, ya. Kalau butuh bantuan lagi,
Hujan kembali deras lagi setelah tadi agak sedikit reda. Zafar menembusnya karena sang paman berbicara dengan sangat panik di telfon tadi. Dia terpaksa datang karena sang paman memohon, sedangkan hatinya merasa berat untuk meninggalkan Hilma yang masih belum mau bicara dengannya. Pria itu bergegas turun dari motor dan mengetuk pintu dengan tubuh yang kedinginan. Haji Burhan datang, ia melihat Zafar basah kuyup, kemudian meminta Santi untuk mengambilkan anduk. Santi tersenyum saat mengalungkan handuk itu padanya, sedangkan Zafar langsung menepis tangan wanita itu yang sangat tidak sopan. "Apa yang bunyi, Paman?" tanya Zafar, sambil masuk ke dapur, karena tadi sang paman bicara bahwa gasnya bocor karena mengeluarkan bunyi dan bau. "Gak tau, tadi bau sama ada bunyi, ya kan, Santi?""I–iya, Aa, tadi bunyi gitu. Aku jadi takut...." Santi memanfaatkan situasi sambil memegangi tangan Zafar, membuat pria itu menatapnya tajam. "Kamu cek deh, paman mau ke atas dulu, sakit pinggang rasanya.
Hilma kembali menikmati makanan yang sudah tidak mengunggah selera, tapi karena sayang jika di buang, maka ia harus menghabiskannya. Dengan wajah yang ditekuk, matanya melirik Zafar yang kembali turun mengenakan jaket. Karena posisi baru jam sembilan, bahkan matahari belum sepenuhnya muncul di langit. Membuat udara menjadi dingin. "Aku pergi dulu, ya." Zafar menghampiri kemudian mengecup kepala istrinya itu. Saat mengulurkan tangan, ia melihat istrinya itu berubah, tidak seperti tadi yang nampak segar sekali wajahnya. "Boleh kan aku pergi?""Kalau pun di larang, kamu bakalan tetap pergi, kan?"Zafat tersenyum, ia tau kenapa istrinya itu menjadi seperti ini. "Sayang... Aku ke rumah paman cuma mau membicarakan pembuatan alat untuk menarik air sungai ke sawah. Gak aneh-aneh, kok.""Hmm, ya udah pergilah kalau begitu. Nanti telat."Zafar menghela napas pelan melihat istrinya yang berbicara tanpa menatap dirinya. Karena waktu sudah semakin lambat, akhirnya ia kembali mengecup kening Hil
"Ayah tau punya ponakan modelan Zafar kenapa gak dinikahkan dengan Santi? Kenapa harus memilih perempuan kampungan itu? Kan aku juga bisa menikah sama dia, Ayah.""Mereka juga menikah karena tak sengaja, bukan murni saling suka.""Maksudnya gak sengaja?"Haji Burhan menaruh sendok yang sedang ia pegang, kemudian menceritakan awal mula Zafar dan Hilma menikah karena apa."Gitu, mana bisa ayah larang mereka. Ini sudah menjadi tradisi di sini."Santi mengangguk paham. Dia tersenyum miring memikirkan suatu hal gila apa yang akan wanita licik itu lakukan. "Sayang sekali, ya. Padahal aku lihat-lihat Zafar tertarik sama aku. Kemarin aja dia lihat aku sampai segitunya. Cuma ya... Istrinya aja itu, si Hilma yang suka tiba-tiba muncul kayak kunti!""Kamu jangan berharap apa pun sama dia. Zafar sudah bisa menerima Hilma, bahkan mereka sedang bahagia ini, karena telah mengandung anak pertama.""Apa!" Santi melotot tak percaya mendengar penuturan sang ayah, karena Haji Burhan kemarin tiga hari se
Zafar memancing untuk istrinya itu berbicara, padahal dia sudah tau pasti yang sedang Hilma pikirkan adalah Haji Burhan. Pria itu menggenggam tangan sang istri lembut, kemudian menciumnya. "Aku tau, kamu mikirin ucapan Paman, kan? Sudah aku bilang, gak usah dimasukin ke hati, jangan terlalu dipikirkan. Dia begitu pasti karena hasutan Santi.""Tapi kenapa dia jahat banget, A. Santi itu dari awal datang seperti tak suka sama aku. Apalagi kalau kita lagi berdua, terlihat jelas raut wajah sinisnya.""Maklumin aja, mungkin karena dia baru menikmati hidupnya sebagai anak dari Paman, dulu kan dia sembunyi-sembunyi dari warga, ya sekarang mungkin dia sudah bebas berperilaku. Dan itu lah sifat aslinya.""Apa mungkin juga dia suka sama kamu, A?"Mendengar penuturan sang istri, Zafar terdiam memandangnya. Ia mengingat kejadian saat pulang dari masjid tadi, seseorang menghadangnya saat di jalan, yang ternyata dia adalah Santi. Karena kebetulan wanita itu ada di sana, Zafar turun dengan niat ing