Part 4
"Mbak sayang, tau gak persamaan kamu sama indomie?""Apa?""Sama-sama seleraku.""Hahaha ..."Pujian Abiyya disambut derai tawa ibu dan ayahnya. Sementara Safira hanya tersenyum malu. Sebenarnya dia masih kikuk tinggal bersama mertuanya.Dia terpaksa ikut sang suami. Walaupun sudah menolaknya berkali-kali. Masih terngiang dalam ingatannya kalau sang ayah menyuruhnya pergi bersama suami bocahnya."Safira, kamu sekarang adalah seorang istri. Jadi kau harus mengikuti kemanapun suamimu pergi.""Jadi ayah mengusirku?""Ayah tidak mengusirmu, Safira. Kamu bisa pulang ke rumah ini kapanpun juga. Tapi ini soal tanggung jawab, hak dan kewajibanmu sebagai seorang istri, jauh lebih mulia bila kamu ikut bersama suamimu, melayaninya dengan baik.""Tapi di sana kan ada Adit, Yah. Masa aku harus tinggal bersama dengan si pembohong besar itu?!""Safira, masa lalu hanya masa lalu, kuburlah dalam-dalam perasaanmu itu, sekarang waktunya kamu membuka lembaran baru bersama suamimu. Turuti semua perintah suamimu selagi itu masih dalam jalan kebenaran. Bukalah hatimu untuknya.""Aaarrrggh! Kenapa sih gak ada yang mau tahu perasaanku!" Safira benar-benar kesal. Ia merasa dibuang oleh keluarganya sendiri. Mana mungkin secepat itu dia melupakan Adit, hari-hari yang dia lalui dengannya penuh dengan kenangan indah.Abiyya menghampiri Safira dalam kamarnya. Malam itu ia dan keluarganya memang mengajak Safira tinggal bersama. Seorang wanita bila sudah menikah, maka menjadi tanggung jawab suaminya."Mbak sudah siap?" tanya Abiyya menghampiri.Safira berdecak kesal, tapi tangannya tetap membereskan baju-baju ke dalam koper. Baru saja menikah tadi pagi, dia harus ikut pergi bersama sang suami. Tanpa menunggu bermalam dulu di rumah keluarganya. Entahlah, Safira merasa terombang-ambing sendiri. Pernikahan yang digelar pagi tadi memang hanya akad nikah sederhana dan syukuran saja, tak ada pesta mewah maupun meriah seperti orang-orang."Mbak, aku janji bakalan jadi suami yang baik untuk Mbak.""Halah, gak usah banyak janji kalau ujung-ujungnya gak bisa ditepati. Basi tau!" tukas Safira ketus.Abiyya hanya nyengir. Tapi ia tak mau menyerah, pemuda itu akan berjuang dengan keras untuk mendapatkan hati Safira yang kini menjadi istrinya.***"Nak Safira, ibu dan ayah hari ini mau keluar kota. Kamu baik-baik ya di sini."Safira terperanjat kaget, melihat sang mertua sudah berpakaian rapi. Ia pun mengangguk pelan. Dia benar-benar tak mengerti dengan keluarga suaminya. Entah ada apa."Abi, jaga baik-baik istrimu. Kalian jangan sampai bertengkar.""Iya, Bu. Ayah sama ibu berapa hari keluar kota?""Paling tiga hari kami sudah kembali.""Ya sudah. Hati-hati di jalan."Mereka pergi mengendarai mobil Avanza-nya.Safira beranjak dari meja makan, semua mangkok kotor sudah tak ada di meja. Rupanya dia terlalu sibuk dengan lamunannya sendiri sampai tak sadar sudah ada seseorang yang membereskan bekas mereka makan.Suara gemericik air dari dapur dan terdengar denting piring beradu, membuatnya penasaran. Safira melangkah menuju dapur melihat bocah itu tengah mencuci piring.'Rajin juga itu bocah.' Diam-diam Safira memujinya.Tanpa berniat membantu, Safira berlalu ke kamar. Mengganti bajunya dengan tunik lengan panjang serta celana jeans warna hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke atas hingga memperlihatkan leher jenjangnya."Wah mbak cantik sekali. Mbak mau kemana?" tanya Abi menghampirinya."Kepo.""Ya elah ditanya ketus gitu. Kemanapun Mbak pergi biar aku antar ya?"Safira terdiam, menatap pantulan Abiy di depan cermin riasnya. Dia tersenyum sambil memainkan matanya. Tak peduli, Safira kembali memoles wajahnya dengan bedak dan memoles bibirnya dengan lipbalm."Hei bocah, berhenti lihatin aku kayak gitu!" ujar Safira dengan nada setengah membentak."Gak mau, bisa rugi aku!"Safira memutar duduknya, wajahnya bertanya-tanya, meskipun memasang wajah sinis tapi ia tetap kepo. "Rugi apa?""Ya rugi aja gitu. Ada bidadari cantik di hadapan aku masa dianggurin gitu aja. Sayang banget kan?""Hiiih ... Nggombal teruuuuusss!""Tapi mbak suka kan?" ledeknya seraya menaik-turunkan alisnya.Safira mencebik kesal. Dia bangkit tapi langkahnya segera dihadang oleh Abiyya."Aku harus pergi nanti bisa terlambat!" ujar Safira."Biar aku antar, Mbak.""Tidak perlu, aku bisa naik taksi.""Mbak, tapi aku ini kan suami kamu, Mbak!""Jadi dewasa sama kerja dulu yang bener, nanti akan kupertimbangkan kamu jadi suamiku!""Terus kamu anggap aku ini apa?""Bocah.""Tapi aku yang udah menghalalkanmu di depan penghulu dan keluarga, Mbak!""Iya, memang. Tapi aku masih menganggapmu seorang bocah. Jadi dewasa dulu ya, bo-cah!" ujar Safira seraya menepuk pundak Abiy."Oke, akan kubuktikan Mbak Safira pasti akan jatuh cinta padaku!" ujar Abiyya setengah berteriak.Safira menyambar tasnya, dan pergi begitu saja. Bisa ikut gila dia lama-lama berada di sana.Tanpa sengaja saat di halaman, Safira bertemu dengan Aditya. Lelaki itu tengah memanaskan motornya. Yang membuatnya heran, kenapa perempuan hamil yang mengaku sebagai istrinya tak tinggal bersama dengan Aditya. Pria itu malah asyik-asyikan di rumah ini seperti tanpa beban.Dia menoleh, menatap Safira dan tersenyum. Senyuman yang menawan, sebuah senyuman yang mampu menarik perhatiannya. Ya, karena senyuman itupun ia jatuh cinta."Safira mau kemana? Bukannya masih cuti? Biar aku antar ya!" celetuk Adit menawarkan diri.Safira meliriknya sekilas lalu membuang muka dan kembali berjalan menuju jalan raya untuk menunggu taksi online pesanannya."Safira, tunggu! Aku bisa jelaskan semuanya padamu," cegah Adit. Dia menarik tangan Safira."Safira, please dengarkan aku. Aku ingin kembali padamu, cerailah dengan adikku.""Eh Mas, kamu pikir aku barang mainan yang harus dilempar sana-sini dan jadi rebutan kakak adik? Tidak, Mas!" Safira mengibaskan tangannya. Hatinya masih sakit bila mengingat kejadian kemarin. Walaupun Aditya, pria yang sangat ia cintai tapi ia tak rela bila harus mengalami kenyataan pahit ini.Safira langsung masuk ke dalam taksi yang berhenti di hadapannya. Sementara Abiyya memperhatikan mereka dari balik jendela. Gegas pergi mengambil motor, niatnya untuk mengejar Safira.Buuugggt ... Tiba-tiba Adit melayangkan pukulan pada adiknya sendiri. Abiyya meringis kesakitan. Tubuhnya terhuyung.Buuugggt ... Lagi, pukulan itu mendarat di wajah Abiyya."Gara-gara kamu, semuanya hancur! Kau sudah merebut Safira dariku! Harusnya kemarin adalah hari pernikahanku dengan Safira. Tapi kau mengacaukan semuanya!" Adit emosi, ia tak bisa menahan amarahnya lagi, memukuli adiknya tanpa ampun.Abiyya memegangi pipinya, sudut bibirnya pun terasa asin dan nyeri."Ini bukan salahku, mas sendiri yang salah! Karena kelakuan playboy mas menjadi boomerang untuk dirimu sendiri!""Kau tahu apa bocah! Kau hanya anak kemarin sore! Tak pantas bersanding dengan Safira. Dia itu butuh sosok yang dewasa bukan anak ingusan seperti kamu, yang bisanya cuma main gitar gak jelas! Pernikahan itu bukan buat senang-senang saja, kamu juga harus memenuhi kebutuhan hidupnya, memberinya nafkah. Sementara kamu? Makan saja masih numpang orang tua!"Part 5Seketika Abi terdiam. Memang benar ucapan kakaknya, dia masih menumpang sama orang tua, lalu bagaimana caranya dia membahagiakan Safira?"Sudah sadar sekarang posisimu seperti apa? Sok-sokan janji mau bahagiakan Safira. Niiih ..." Adit mengacungkan jempol terbalik pada adiknya, mengejek serta menghina. "Ngimpiiii ...!" Aditya pun berlalu begitu saja meninggalkan adiknya yang masih termenung sendiri. Motornya sudah menjauh dari pelataran rumahnya dan berbelok ke jalan raya.Selama ini Abiyya memang hidup mengandalkan orang tua. Keluarganya bukan orang kaya, tapi masih dibilang mampu, dua orang anaknya punya motor sendiri-sendiri.Abiyya melajukan motornya usai mengunci pintu rumah. Motor melaju dengan kencang. Rasa nyeri yang berdenyut tak ia hiraukan lagi. Ia tak menyangka akan bersitegang dengan sang kakak gara-gara wanita. Wanita yang kini menjadi istrinya. Entah mulai kapan dia merasakan getaran cinta. Yang jelas awalnya ia merasa iba pada Safira, karena sudah dibohongi ment
Part 6"Toloooongg ...!"Mata Abiyya terbelalak kaget saat melihat Safira tengah berada dalam bahaya. "Lho, itu kan Mbak Safira?!"Gegas, ia melajukan motornya dengan kencang, menghampiri sang istri. "Woi, lepasin dia woi!" teriak Abiyya. Ia melajukan motornya hendak menabrak mereka. Kedua orang pria berpakaian preman itu menoleh dan dengan sigap langsung bergegas kabur membawa tas Safira. "Hei tunggu! Balikin tas gue!" teriak Safira.Bruuuuummm ....! Motor dua orang preman itu melaju dengan kencang. Abiyya berusaha mengejarnya tapi kalah cepat. Abiyya kehilangan jejak para penjambret itu. Ia pun kembali menghampiri Safira yang tengah bersungut-sungut kesal. Memarkirkan motornya di pinggir jalan."Dasar preman gak tahu diri!" ketus Safira."Mbak tidak apa-apa?" tanya Abiyya menghampirinya."Aku tidak apa-apa, tapi tasku hilang! Semua barang-barangku ada di sana, hape, dompet, atm, uang. Aaarrrggh ...!" teriak Safira kesal."Duduk dulu mbak!" Abiyya menuntun Safira untuk duduk. Dia m
Part 7"Hahaha ..." Untuk pertama kalinya Safira tertawa lepas. "Dasar bocah, gombalanmu ini ada-ada aja.""Aku senang lihat Mbak Safira tertawa," sahut Abiyya. Ia tersenyum sambil menatap Safira dengan lekat.Safira duduk di atas rerumputan, menikmati indahnya pemandangan dari atas bukit. Sesekali ia melemparkan bebatuan kecil. Mereka mengeksplor bukit itu, berjalan-jalan kecil menikmati keindahan sang pencipta. Hingga tanpa terasa dua jam terlewati begitu cepat."Mbak, sholat dulu yuk, di bawah ada mushola kecil."Safira mengangguk. Mereka turun bersama, tangan Abiyya selalu menggandeng Safira, tak membiarkan wanita itu jatuh. Walaupun tempat wisata ini masih sepi pengunjung, tapi disediakan tempat salat, serta perlengkapannya. Hanya saja, tak ada pedagang yang berjualan karena sering merugi.Mereka melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, lalu berdoa dalam hatinya masing-masing.Kruyuuuuk ... Perut Safira berbunyi. Mereka saling berpandangan sejenak. "Mbak laper?"Safira men
Part 8"Bulan madu. Iya kan, Mbak?"Safira hanya mengedikkan bahunya kemudian berlalu ke dalam, disusul oleh Abiyya. "Kalian tuh gak mgehargain aku sebagai kakak ya?! Aku disuruh jagain kalian sama ayah dan ibu, tapi kalian malah kayak gini?!""Mas, gak usah marah-marah begitu deh. Lebay banget sih. Kami sudah sama-sama dewasa, gak perlu dijagain lagi. Mending Mas urus perempuan hamil itu yang masih tak jelas statusnya, dah dinikahi apa belum?!""Dasar kamu adik kurang ajar ya! Kurang kerjaan jadi gini nih!""Stooopp! Bisa diam gak kalian?! Pusing aku dengarnya!" Safira kini yang berteriak, seketika kakak beradik itu terbungkam."Nah, gitu. Berisik tau dengar kalian debat terus! Memangnya cuma kalian yang punya telinga dan mulut?!" ketus Safira, ia berlalu ke dapur untuk mengambil air minum. Abiyya terdiam, dia hanya memandang Safira yang tengah emosi. Lalu masuk ke dalam kamarnya. Sementara Aditya berjalan menghampiri Safira di dapur."Safira kenapa dari kemarin kamu susah sekali
Part 9"Maaf aku membangunkan mbak, aku cuma mau pamit aja. Hari ini aku mau cari kerjaan. Doa'in lancar ya."Safira menoleh lagi, lalu mengangguk pelan. Dia melihat kesungguhan di mata Abiyya. Tanpa permisi lagi Abi langsung mengecup kening Safira. Mulut Safira ternganga, sedang Abiyya hanya tersenyum senang."Kecupan di kening artinya tanda sayang," ujar Abiyya mantap. kemudian dia bangkit meninggalkan istrinya yang masih tercengang. Langkah kakinya makin menjauh. Pintu kamarpun segera ditutup kembali.Sementara itu, Safira membenamkan wajahnya di bantal, merasa malu dengan sikap spontanitas Abiyya tadi. Ia merasakan hawa panas di pipi bahkan telinganya. "Aduhai, bisa-bisanya aku tergoda dengan bocah tengil itu!" seru Safira dalam hatinya sendiri."Yah, Bu, Abi pamit mau cari kerjaan dulu. Minta doa restunya biar cepat dapat kerja," pamit Abiyya menghampiri kedua orang tuanya itu."Iya, Nak. Yang semangat ya!" sahut ibunya sambil tersenyum.Abi mengangguk dan melesat menggunakan mot
Part 10Abiyya mengendarai motornya dengan kencang. Hatinya benar-benar kacau. Rasanya masih tak rela istrinya menerima ponsel pemberian sang kakak. Memang benar ucapan Adit, dia belum bisa membelikannya handphone baru untuk Safira.Dia menuju ke tempat tongkrongannya. Abi memarkirkan motor tak jauh dari sana. Sebuah bangunan mungil dari bilik bambu. Di depannya ada bekas empang ikan. Mereka biasa duduk dan nongkrong di sana. Eggy yang biasa berjaga di tempat itu. Bahkan tidur pun di tempat tongkrongan. "Lu kenapa, Bi? Gak dapat jatah dari istrimu?" tanya Eggy heran. Raut wajah Abiyya ditekuk sedemikian rupa. Ia masih jengkel dan kecewa. "Gitar, mana gitar?" tanya Abiyya. Ia langsung beranjak mengambil gitar itu dan langsung berlalu keluar. Duduk di rumput liar pinggir empang.Ia mulai memetik alat musik itu dan menyanyikan lagu. Lagu yang terdalam ia nyanyikan dari sudut hatinya.*"... Sumpah ku mencintaimu, sungguh ku gila karenamu, sumpah mati hatiku untukmu, tak ada yang lain ...
Part 11"Bi ...""Hmmm.""Baksonya masih ada.""Lho, Mbak belum makan? Kenapa gak dibuang aja?""Sayang kan udah kamu beli.""Terus kenapa belum dimakan?"Safira menggeleng. "Aku nungguin kamu pulang, kita makan sama-sama ya. Biar kuhangatkan dulu."Mendengar ucapannya seketika hati Abiyya menghangat. Sejenak, Abi merasa tertegun dengan sikap istrinya itu. Apalagi Safira menawarkan senyuman yang begitu manis, membuat jantungnya makin berdegup tak menentu. Abi mengangguk berusaha menetralkan gejolak hatinya yang tengah berbunga-bunga. Apakah ini artinya sang istri sudah mulai menerimanya?"Mbak, terima kasih," sahutnya sambil senyum. Matanya menatap sosok istri itu dengan lekat."Jangan panggil mbak dong, kesannya aku tua banget!" seloroh Safira. Ya, memang sih umurnya lebih tua dari sang suami.Abi hanya mengusap tengkuknya sambil nyengir. "Oke, sa-yang ..."Safira mengulum senyum. "Boleh aku memanggil sayang?"Safira terdiam sejenak lalu mengangguk malu-malu. Pipinya seketika meron
Part 12"Safira, tunggu!" panggil seseorang. Safira menoleh, melihat sosok lelaki itu berlari menyongsongnya.Ia hendak masuk, tapi tangannya segera ditarik."Fir, izinkan aku bicara sebentar denganmu," tukas lelaki itu penuh penekanan."Lepasin, Mas! Tak ada yang perlu dibicarakan lagi!" Tanpa sadar, suara Safira terdengar keras memenuhi ruangan, membuat beberapa orang staff yang lain memperhatikan mereka."Ssstt ... Lebih baik kalian selesaikan di luar kantor. Jangan buat keributan di sini," tegur salah seorang staff yang tak suka dengan keributan. Ia menegurnya karena ruangan jadi gaduh.Hal itu dimanfaatkan Safira untuk berlalu meninggalkan Adit dan menuju meja kerjanya.Ia mendengus, hari pertamanya bekerja lagi kenapa justru diganggu oleh sang mantan, membuat harinya begitu kesal dan badmood."Fir, lu sama Adit putus? Bukannya kemarin mau nikah ya?" tanya Dina yang duduk bersebelahan dengan Safira, hanya ada sekat di mejanya saja. Dina benar-benar penasaran, pasalnya, Adit dan S
Safira tersenyum, merasakan hangat pelukan Abiyya. “Aku senang kamu bisa menemukan jalan yang kamu cintai. Kita bisa menjalani ini bersama.” Abiyya melepaskan pelukannya, masih terlihat bersemangat. “Aku harus segera membalas pesan ini. Mereka ingin bertemu untuk membahas detailnya. Rasanya seperti mimpi, sayang!” Dengan semangat baru, Abiyya mulai mengetik balasan. Sementara itu, Safira mengamati suaminya, bangga dan penuh harapan. “Jangan lupa, kita juga harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelahiran si kecil. Tapi, aku yakin kamu bisa membagi waktu.” “Pasti! Kita akan atur semuanya,” jawab Abiyya. “Setelah kontrak ini, aku berencana untuk lebih fokus, sehingga bisa memberi yang terbaik untuk kita nanti.” Keesokan harinya, Abiyya bertemu dengan produser yang menghubunginya. Ketika produser itu tiba, Abiyya langsung menyapa. “Hai, Pak! Senang bertemu denganmu.” “Senang juga, Abiyya. Say
Ibu Safira tersenyum lebar, tetapi wajahnya tiba-tiba berubah khawatir saat melihat ekspresi Safira. "Kamu tidak enak badan ya, sayang?"Safira menggeleng, meski wajahnya sedikit pucat. "Iya, Bu. Sebenarnya aku ingin ngomong sesuatu.""Ngomong saja, Nak," jawab ibunya sambil memimpin mereka ke ruang tamu.Setelah duduk, Safira menarik napas dalam-dalam. "Bu, ada kabar baik. Sekarang, aku sedang hamil." "Hamil? Serius, Nak? Alhamdulillah!" Ia segera memeluk Safira dengan erat.Abiyya juga ikut tersenyum, merasa lega melihat reaksi positif dari ibu Safira. "Iya, Bu. Jadi Safira resign dari kerjaan. Kami ingin fokus pada kesehatanku dan si kecil."Ibu Safira melepaskan pelukan dan menatap mereka dengan penuh kasih. "Kalian sudah mengambil langkah yang tepat. Kesehatanmu dan bayimu lebih penting. Kami akan mendukung kalian sepenuhnya.""Iya Bu, sudah beberapa hari ini aku mual-mual terus, rasanya pengin muntah."
Part 46Pagi itu, Abiyya dan Safira berdiri di depan pintu kafe tempat mereka bekerja. Cafe itu sudah ramai dengan rekan-rekan kerja Safira yang sedang memulai aktivitas pagi. Abiyya menggenggam tangan Safira erat, memberinya senyuman penyemangat.“Siap?” tanya Abiyya pelan.Safira mengangguk, meski ada sedikit kegugupan di wajahnya. “Siap, Abii.”Mereka melangkah masuk, dan suasana kafe yang semarak langsung berubah saat rekan-rekan kerja melihat Safira. Beberapa dari mereka melambai dan menyapa.“Hai, Safira! Dari mana saja kamu, baru berangkat sekarang? Kamu sakit ya?” sapa Lita, rekan kerjanya yang ceria.Safira tersenyum tipis. “Iya, Lita. Hari ini ada sesuatu yang mau aku omongin sama Bos Elang.”"Seperti biasa Mas Bos ada di ruangannya."Safira dan Abiyya mengangguk mereka langsung menuju ruangan Bos.“Safira, Abiyya, ada apa? Tumben pagi-pagi sudah barengan ke sini?"Safira menarik napa
“Kamu gimana, sayang? Masih mual?” tanya Abiyya, tangannya memegang tangan Safira erat. Safira mengangguk kecil, senyumnya masih mengembang. “Iya, masih mual, tapi rasanya beda. Ada perasaan senang yang nggak bisa dijelasin.” Abiyya terkekeh pelan. “Aku masih kayak mimpi, tahu nggak? Aku bakal jadi ayah dan kamu akan jadi ibu. Aku janji, aku bakal jadi suami yang lebih perhatian dan ayah yang paling keren buat anak kita.” Safira tertawa, matanya berkaca-kaca lagi. “Kamu udah cukup keren, Bi. Cuma, nanti kalau aku ngidam yang aneh-aneh, jangan protes ya,” candanya sambil menahan senyum. “Waduh, siap-siap deh aku! Makan mangga muda jam tiga pagi? Beli es krim di tengah hujan? Apa aja, aku siap!” Abiyya berlagak dramatis, membuat Safira tergelak. Matahari mulai mengintip di balik jendela, menandakan pagi sudah mulai menyapa. Keduanya saling pandang, merasakan detik-detik perubahan besar dalam hidup mereka. Pagi
Part 45Safira terbangun di pagi buta dengan perasaan mual yang tiba-tiba menyerang. Ia bergegas menuju kamar mandi, mencoba menenangkan perutnya yang bergejolak. "Hueeek .... hueeekk ...."Abiyya, yang masih tertidur lelap di sampingnya, tersentak bangun mendengar suara lirih istrinya.“Sayang? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, setengah mengantuk dan khawatir.Safira keluar dari kamar mandi, wajahnya pucat namun matanya berbinar aneh. “Aku nggak tahu, Bi. Perutku mual banget, rasanya pengen muntah.""Semalam kamu makan apa? Jangan makan terlalu pedas lho!""Enggak kok, aku gak makan yang aneh-aneh. Mungkin aku masuk angin doang.""Kamu jangan kecapekan ya kerjanya. Aku gak tega kalau kamu sakit kayak gini."Safira mengangguk pelan. "Ayo kita sholat dulu, Bi. Kamu mandi dulu gih!""Okey, Sayang ...."Sembari menunggu sang suami selesai mandi, Safira memasak nasi di magiccom. Se
***Hari-hari berlalu .... Pagi itu tampak cerah, sinar matahari menyinari bumi dengan lembut, menciptakan suasana hangat yang menyenangkan. Burung-burung berkicau riang di pepohonan, seolah merayakan hari baru. Safira membuka jendela rumah kontrakannya, menghirup udara segar yang penuh aroma bunga dari taman di seberang jalan. Hari ini adalah hari liburnya, dan dia merasa bersemangat."Sayang, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini? Cuacanya enak banget!” Tiba-tiba Abiyya muncul dari belakang sembari tersenyum.Senyum merekah di wajah Safira. Dia membalas dengan cepat, “Tentu! Mau kemana?”Abiyya menjawab, “Bagaimana kalau ke taman? Kita bisa refreshing sambil menikmati suasana pagi.”"Iya, Bi. Aku siap-siap dulu."Abiyya tertawa kecil melihat istrinya yang tampak begitu antusias ketika diajak jalan.Safira cepat-cepat bersiap, memilih pakaian yang nyaman dan menyenangkan. Ia juga memoles wajahnya tipis-tipis
Part 44Regina terlihat terpojok, wajahnya memucat. “Aku… Aku hanya ......"Regina terdiam, kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. Semua mata tertuju padanya, menanti penjelasan. "Aku hanya ingin memastikan gelangku aman!” jawabnya, berusaha membela diri."Aman? Dengan memasukkannya ke tas orang lain? Semua itu kamu lakukan agar Safira terlihat buruk di mata orang lain bukan?" Abiyya ikut menambahkan.Regina menggeleng pelan. "Ti-tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku, aku hanya--""Ini tidak bisa dibenarkan! kamu mengambil gelangmu sendiri dan menaruhnya di tas Safira, merekayasa keadaan agar kami menuduh Safira melakukan pencurian? Setelah dipikir berulang kali, kamu juga ingin menjatuhkan Safira. Apakah kamu punya maslaah pribadi dengannya hingga melampiaskannya di tempat kerja?” tanya Elang, nada suaranya datar, tetapi matanya penuh kekecewaan.Regina tertunduk malu. Gadis itu menggeleng pelan."S
Keesokan harinya .... jam pergantian shift Regina memeriksa tasnya. "Astaga! Kok gelangku hilang?" pekiknya terkejut membuat rekan yang lain menoleh."Gelang? Gelang apaan, Gin?" tanya salah satu rekannya. "Gelangku. Gelang pemberian ibu!""Lho, emangnya gak kamu pake?""Enggak selama ini aku selalu taruh di tas. Biasanya aman-aman saja, kok sekarang hilang. Siapa yang ngambil ini?" Regina mulai bersandiwara, menangis dan mengatakan hal itu dengan nada getir.Rekan-rekannya mulai khawatir. "Tenang, Regina. Kita bisa cari sama-sama," kata Rina, salah satu temannya, berusaha menenangkan.Regina menggelengkan kepala. "Tapi ini penting! Ibu memberikannya saat aku lulus sekolah. Aku tidak bisa kehilangan ini.""Kalau begitu, coba ingat-ingat terakhir kali kamu lihat," saran Dimas, yang dikenal sebagai orang yang jeli.Regina merenung. "Aku ingat betul, gelang itu ada di tas.""Mungkin aja jatuh di
Part 43 “Dasar licik kamu!” Wanita itu menjawab, setengah terkejut tetapi juga terkesan dengan sikap sahabatnya. “Begitulah dunia kerja, sayang. Kita harus menggunakan cara apapun untuk mendapatkan yang kita inginkan. Safira sudah terlanjur jadi targetku, dan semua yang aku lakukan hanya untuk memastikan dia terlihat jelek di mata orang lain.” Regina menjelaskan dengan senyum licik. “Bagaimana kalau rencanamu terbongkar?” tanya wanita itu, sedikit khawatir. “Tidak mungkin! Tidak ada yang akan percaya Safira setelah semua ini. Lagipula, aku sudah merencanakannya dengan baik. Mungkin aku bisa menjebak dia sekali lagi untuk memastikan semua orang menganggap dia tidak bisa dipercaya,” jawab Regina penuh percaya diri. Namun, wanita itu mengingatkan, “Tapi, kalau Bosmu mulai menyelidiki lebih dalam, bisa-bisa semua ini terkuak.” Regina melambaikan tangannya, “Elang tidak akan mencari tahu lebih dalam