Part 7
"Hahaha ..." Untuk pertama kalinya Safira tertawa lepas. "Dasar bocah, gombalanmu ini ada-ada aja.""Aku senang lihat Mbak Safira tertawa," sahut Abiyya. Ia tersenyum sambil menatap Safira dengan lekat.Safira duduk di atas rerumputan, menikmati indahnya pemandangan dari atas bukit. Sesekali ia melemparkan bebatuan kecil. Mereka mengeksplor bukit itu, berjalan-jalan kecil menikmati keindahan sang pencipta. Hingga tanpa terasa dua jam terlewati begitu cepat."Mbak, sholat dulu yuk, di bawah ada mushola kecil."Safira mengangguk. Mereka turun bersama, tangan Abiyya selalu menggandeng Safira, tak membiarkan wanita itu jatuh. Walaupun tempat wisata ini masih sepi pengunjung, tapi disediakan tempat salat, serta perlengkapannya. Hanya saja, tak ada pedagang yang berjualan karena sering merugi.Mereka melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, lalu berdoa dalam hatinya masing-masing.Kruyuuuuk ... Perut Safira berbunyi. Mereka saling berpandangan sejenak."Mbak laper?"Safira mengangguk malu-malu. Abiyya justru tertawa."Ya sudah, ayo kita cari makan!" ajak pemuda itu."Gak punya duit.""Ya elah mbak, tenang aja kalau cuma buat jajanin mbak bakso dua mangkok duitku masih cukup kok. Ayo!"Safira masih terdiam, ia enggan beranjak dari duduknya."Mbak mau ditinggal di sini? Apa gak takut kalau nanti ada ular?""Hah? Ular?" Safira terlonjak kaget.Abiyya mengangguk."Hiih, gak mau ah! Aku gak mau digigit ular!" tukas Safira langsung bangkit. Safira menerima uluran tangan sang suami menuju motornya yang masih jauh berada di bawah.Nafas Safira terengah-engah karena kelelahan. Dari tadi asyik menaiki bukit."Nih minum dulu! Masih muda naik turun segitu aja dah capek. Hmmm payah!" celetuk Abi.Safira melotot. "Capek tau! Aku kan gak terbiasa!""Ya, nanti bakalan terbiasa, Mbak. Mbak mau kan kalau aku ajak pergi-pergi lagi?""Beuh ternyata ada maunya!"Abiyya tertawa. "Ya sudah. Ayo naik, Mbak!"Abiyya melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Mencari warung pinggir jalan."Ayo turun, Mbak. Kita makan di sini."Safira memperhatikan warung sederhana. "Serius mau makan di sini?""Iyalah, ini satu-satunya warung yang kita jumpai. Jangan harap ada cafe kayak di kota-kota. Ini kan daerah pegunungan, jauh dari pusat kota."Abiyya langsung masuk dan memesan makanan di sana."Bu, ada menu apa aja?""Ada nasi rames, mie kuah, mie goreng juga ada.""Mbak mau pesan apa?" tanya Abiyya."Mie kuah aja sama telor.""Yakin mau pesan mie lagi? Tadi pagi kan udah mie? Nanti makin kriting lho ususnya.""Ya udah nasi rames aja."Abiyya mengangguk. "Bu, nasi rames plus rendang telornya dua ya. Minumnya teh manis aja.""Baik, Mas."Ibu penjual warung itu segera melayani pesanan Abi. Tak perlu menunggu lama, dua piring nasi rames dan dua gelas teh manis dihidangkan di atas meja."Silakan dinikmati, Mas, Mbak.""Makasih, Bu."Keduanya menikmati makan siang bersama. Safira tampak lahap memakannya, hingga habis tak bersisa. Tak ada rasa malu-malu lagi menghabiskan makanan di hadapan Abi."Alhamdulillah kenyang ..."Mereka duduk-duduk sejenak di warung, meski hati Safira tampak gundah, karena tas beserta isinya raib digondol jambret.Abiyya membayar makanannya, tak lupa membeli roti dan air mineral serta permen."Mbak, ayo jalan lagi, perjalanan kita masih panjang lho!"Safira mengangguk. Abiyya kembali memacu sepeda motornya."Kita mau kemana?""Dah tenang aja, aku mau ajak Mbak Safira keliling lagi."Abiyya mengajak Safira berkeliling, mereka berhenti di mushola terdekat untuk kembali melaksanakan kewajiban umat muslim. Tanpa terasa waktu bergulir dengan cepat hingga masuk waktu isya. Tapi langit malam terlihat begitu gelap, terlebih suara gemuruh guntur mulai menggelegar. Suasana makin gelap, mendung kelabu menggelayut di atas langit. Angin pun semilir terasa dingin. Rintik hujan mulai menitik."Mbak, kita berteduh dulu ya, dah gerimis.""Berteduh dimana?""Itu di depan kayaknya ada warung lagi," sahut Abiyya saat melihat lampu penerangan di depan sana.Safira mengangguk. Abiyya menghentikan motornya tepat di bangunan yang menyerupai gubuk, terbuat dari anyaman bambu. Di samping warung amben-amben bambu di sampingnya, atapnya terbuat dari asbes. Lampu bohlam menjadi penerang tempat itu Namun warung itu tampak sepi, sang empunya udah pulang ke rumah.Mereka duduk di amben bambu itu. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hingga suasana terasa begitu dingin. Jalanan yang begitu sepi menambah suasana makin mencekam. Yang terdengar hanya derasnya air hujan yang turun membasahi bumi.Safira menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ia lihat pemandangan lain selain kaki-kaki hujan yang menitik."Hei bocah! Kok malah tidur sih?" tukas Safira saat melihat Abiyya dengan santainya justru berbaring di sana."Emangnya mau ngapain lagi, mending tidur lah, Mbak!" sahutnya santai."Ya tapi kan--""Udah tidur aja, Mbak. Hujannya juga masih lama. Noh liat, tambah deras aja kan?""Duh, kita terjebak di sini dong. Kalau hujannya sampai pagi gimana? Mana udah malam, hapeku ilang lagi. Aaarrrggh!""Dah tidur aja, Mbak. Mengeluh pun tak ada gunanya, tidak bisa memperbaiki keadaan."Abiyya berbaring lagi, memejamkan mata."Iiih, dasar bocah! Gak bisa diajak serius. Masa tidur di tempat ini sih? Kalau ada apa-apa gimana?" gerutu Safira kesal."Terus maunya gimana? Mau nerobos hujan?"Safira menggeleng pelan. "Kalau sampai tengah malam kita terjebak di sini gimana?""Ya gak apa-apa kan ama suami sendiri. Ngapain takut?""Nanti ada hantu gimana?""Merem aja gak usah dilihat.""Kalau ada hewan buas gimana?""Gak ada, Mbak.""Kalau ada orang jahat gimana?""Gak ada, Mbak. Berdoa aja mbak, minta perlindungan Allah. Udah deh, percaya aja, kita akan baik-baik saja."Safira terdiam. Malam semakin dingin terasa begitu menusuk kulit."Bocah, bangun dong! Aku tidur dimana?"Abiyya membuka matanya lagi lalu menepuk-nepuk amben di sampingnya."Ih ogah, nanti kamu malah curi-curi kesempatan.""Ya udah di situ aja tuh," tunjuk Abiyya."Gak mau ah, takut.""Ya udah, terserah mbak aja."Ck! Terpaksa Safira berbaring di samping sang suami."Bodohnya aku, kenapa tadi ngikutin kata-kata bocah tengil itu, mana perut laper lagi! Huh!" Safira bersungut-sungut kesal."Aku ada roti dan air minum, kalau mbak laper bisa makan ini!" Abiyya memang belum tidur, ia akhirnya terjaga kembali. Mengambil roti dan botol air minum dalam tasnya."Nih, dimakan dulu, bisa buat ganjel perut."Safira memang kelaparan, ia pun memakan roti itu. "Kamu gak makan?""Enggak buat mbak aja. Aku udah kenyang."Abiyya justru melepas jaket yang ia kenakan, lalu disampirkannya ke punggung sang istri."Pakai ini biar mbak gak kedinginan."Untuk sesaat Safira tertegun dengan perlakuan Abiyya. "Terima kasih."Setelah semalaman terjebak di warung akibat hujan, akhirnya keesokan paginya mereka bisa pulang kembali."Yeeaay akhirnya kita bisa pulang!" sorak Safira gembira.***"Kalian dari mana saja semalaman tidak pulang?" tegur Aditya saat mereka sampai di rumah. Hatinya mulai panas kembali melihat kedekatan Safira dan Abiyya, apalagi saat melihat Safira mengenakan jaket sang adik."Bulan madu. Iya kan, Mbak?"Part 8"Bulan madu. Iya kan, Mbak?"Safira hanya mengedikkan bahunya kemudian berlalu ke dalam, disusul oleh Abiyya. "Kalian tuh gak mgehargain aku sebagai kakak ya?! Aku disuruh jagain kalian sama ayah dan ibu, tapi kalian malah kayak gini?!""Mas, gak usah marah-marah begitu deh. Lebay banget sih. Kami sudah sama-sama dewasa, gak perlu dijagain lagi. Mending Mas urus perempuan hamil itu yang masih tak jelas statusnya, dah dinikahi apa belum?!""Dasar kamu adik kurang ajar ya! Kurang kerjaan jadi gini nih!""Stooopp! Bisa diam gak kalian?! Pusing aku dengarnya!" Safira kini yang berteriak, seketika kakak beradik itu terbungkam."Nah, gitu. Berisik tau dengar kalian debat terus! Memangnya cuma kalian yang punya telinga dan mulut?!" ketus Safira, ia berlalu ke dapur untuk mengambil air minum. Abiyya terdiam, dia hanya memandang Safira yang tengah emosi. Lalu masuk ke dalam kamarnya. Sementara Aditya berjalan menghampiri Safira di dapur."Safira kenapa dari kemarin kamu susah sekali
Part 9"Maaf aku membangunkan mbak, aku cuma mau pamit aja. Hari ini aku mau cari kerjaan. Doa'in lancar ya."Safira menoleh lagi, lalu mengangguk pelan. Dia melihat kesungguhan di mata Abiyya. Tanpa permisi lagi Abi langsung mengecup kening Safira. Mulut Safira ternganga, sedang Abiyya hanya tersenyum senang."Kecupan di kening artinya tanda sayang," ujar Abiyya mantap. kemudian dia bangkit meninggalkan istrinya yang masih tercengang. Langkah kakinya makin menjauh. Pintu kamarpun segera ditutup kembali.Sementara itu, Safira membenamkan wajahnya di bantal, merasa malu dengan sikap spontanitas Abiyya tadi. Ia merasakan hawa panas di pipi bahkan telinganya. "Aduhai, bisa-bisanya aku tergoda dengan bocah tengil itu!" seru Safira dalam hatinya sendiri."Yah, Bu, Abi pamit mau cari kerjaan dulu. Minta doa restunya biar cepat dapat kerja," pamit Abiyya menghampiri kedua orang tuanya itu."Iya, Nak. Yang semangat ya!" sahut ibunya sambil tersenyum.Abi mengangguk dan melesat menggunakan mot
Part 10Abiyya mengendarai motornya dengan kencang. Hatinya benar-benar kacau. Rasanya masih tak rela istrinya menerima ponsel pemberian sang kakak. Memang benar ucapan Adit, dia belum bisa membelikannya handphone baru untuk Safira.Dia menuju ke tempat tongkrongannya. Abi memarkirkan motor tak jauh dari sana. Sebuah bangunan mungil dari bilik bambu. Di depannya ada bekas empang ikan. Mereka biasa duduk dan nongkrong di sana. Eggy yang biasa berjaga di tempat itu. Bahkan tidur pun di tempat tongkrongan. "Lu kenapa, Bi? Gak dapat jatah dari istrimu?" tanya Eggy heran. Raut wajah Abiyya ditekuk sedemikian rupa. Ia masih jengkel dan kecewa. "Gitar, mana gitar?" tanya Abiyya. Ia langsung beranjak mengambil gitar itu dan langsung berlalu keluar. Duduk di rumput liar pinggir empang.Ia mulai memetik alat musik itu dan menyanyikan lagu. Lagu yang terdalam ia nyanyikan dari sudut hatinya.*"... Sumpah ku mencintaimu, sungguh ku gila karenamu, sumpah mati hatiku untukmu, tak ada yang lain ...
Part 11"Bi ...""Hmmm.""Baksonya masih ada.""Lho, Mbak belum makan? Kenapa gak dibuang aja?""Sayang kan udah kamu beli.""Terus kenapa belum dimakan?"Safira menggeleng. "Aku nungguin kamu pulang, kita makan sama-sama ya. Biar kuhangatkan dulu."Mendengar ucapannya seketika hati Abiyya menghangat. Sejenak, Abi merasa tertegun dengan sikap istrinya itu. Apalagi Safira menawarkan senyuman yang begitu manis, membuat jantungnya makin berdegup tak menentu. Abi mengangguk berusaha menetralkan gejolak hatinya yang tengah berbunga-bunga. Apakah ini artinya sang istri sudah mulai menerimanya?"Mbak, terima kasih," sahutnya sambil senyum. Matanya menatap sosok istri itu dengan lekat."Jangan panggil mbak dong, kesannya aku tua banget!" seloroh Safira. Ya, memang sih umurnya lebih tua dari sang suami.Abi hanya mengusap tengkuknya sambil nyengir. "Oke, sa-yang ..."Safira mengulum senyum. "Boleh aku memanggil sayang?"Safira terdiam sejenak lalu mengangguk malu-malu. Pipinya seketika meron
Part 12"Safira, tunggu!" panggil seseorang. Safira menoleh, melihat sosok lelaki itu berlari menyongsongnya.Ia hendak masuk, tapi tangannya segera ditarik."Fir, izinkan aku bicara sebentar denganmu," tukas lelaki itu penuh penekanan."Lepasin, Mas! Tak ada yang perlu dibicarakan lagi!" Tanpa sadar, suara Safira terdengar keras memenuhi ruangan, membuat beberapa orang staff yang lain memperhatikan mereka."Ssstt ... Lebih baik kalian selesaikan di luar kantor. Jangan buat keributan di sini," tegur salah seorang staff yang tak suka dengan keributan. Ia menegurnya karena ruangan jadi gaduh.Hal itu dimanfaatkan Safira untuk berlalu meninggalkan Adit dan menuju meja kerjanya.Ia mendengus, hari pertamanya bekerja lagi kenapa justru diganggu oleh sang mantan, membuat harinya begitu kesal dan badmood."Fir, lu sama Adit putus? Bukannya kemarin mau nikah ya?" tanya Dina yang duduk bersebelahan dengan Safira, hanya ada sekat di mejanya saja. Dina benar-benar penasaran, pasalnya, Adit dan S
Part 13"Ma-s, to-long lepasin aku!"Adit justru tersenyum melihat Safira. Sudut bibirnya tertarik ke atas dengan bentuk yang tidak simetris, seolah tengah mengejeknya.Butiran kaca di kedua mata Safira tampak mengembun tebal. Hampir saja bulir bening itu jatuh. Ia tak pernah menyangka kalau mantannya itu justru akan membuatnya merasa terhina seperti ini."Safira, tatap mataku!" pekik Adit. Safira bergeming, pikirannya terus berkecamuk, bagaimana caranya agar dia terlepas dari lelaki brengsek yang ada di hadapannya ini."Safira, aku takkan melakukan ini kalau kau menghargai perasaanku! Tapi dengan sengaja kau bermesraan dengan adikku. Aku tak bisa terima itu! Tidak bisa! Kau hanya milikku, Safira. Sampai kapanpun hanya milikku!" Aditya menjapit dagu Safira. Dilihatnya manik mata coklat itu tampak begitu ketakutan. "Mas, tolong lepaskan aku, Mas!" Safira memohon dengan pandangan berkaca-kaca."Tidak akan setelah aku puas denganmu. Kau yang membuatku jadi gila seperti ini!""Toloooongg
Part 14"Abi?"Safira beranjak dan membuka pintu. Dilihatnya sang suami tengah berdiri lalu tersenyum ke arahnya."Yang, kenapa kamu menangis?" tanya Abiyya saat melihat wajah istrinya sembab.Safira langsung memeluk tubuh Abiyya dengan erat, menumpahkan kesedihannya di sana. Pemuda itupun mendekapnya, membelai rambut Safira dengan lembut seraya mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Ia membiarkan Safira menumpahkan kesedihannya, walau hatinya diselimuti oleh pertanyaan. Jantung Abiyya berdebar-debar dengan kencang seperti gendang bertalu. Ia tak menyangka, sang istri akan memeluknya tiba-tiba seperti ini."Yang, duduk dulu yuk. Lalu ceritakan padaku apa yang terjadi."Safira mengangguk pelan. Pipinya sudah basah oleh air mata. "Yang, ada apa?" tanya Abiyya. Mereka berdua duduk berdampingan."Bi, tadi Mas Adit hampir melecehkanku di kantor."Bagaikan disambar petir saat mendengar pengakuan istrinya.'Melecehkan Safira? Benarkah Mas Adit sebejat itu?'Untuk beberapa jeda, emosinya mu
Part 15Seperti ditampar oleh sandal, Abiyya terbungkam mendengar keputusan ayah mertuanya. Ia hanya mampu menunduk dengan pandangan berkaca-kaca."Tapi, Yah--""Ini demi kebaikan kalian. Ayah juga ingin lihat kesungguhanmu menjadi seorang suami yang baik dan bertanggung jawab. Semoga kamu mengerti dengan keputusan ayah," lanjut ayah mertuanya lagi.Abiyya terpaksa mengangguk. Gara-gara ulah sang kakak, dia yang kena getahnya. Pemuda itu mengambil nafas dalam-dalam, mulai sekarang dia harus bekerja keras dan membuktikan pada mertuanya itu bahwa ia mampu menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untuk istrinya.Abiyya juga yakin, suatu saat, dia pasti bisa membahagiakan Safira."Ayah akan memberimu waktu tiga bulan, minimal kamu dapat pekerjaan yang tetap, setelah itu kamu boleh membawa Safira pergi bersamamu. Tapi harus diingat, jangan serumah lagi dengan Adit.""Baik, Yah. Aku akan berusaha dengan keras.""Bagus. Sekarang, kamu pulang dulu. Biarkan Safira tinggal dengan tenang di
Safira tersenyum, merasakan hangat pelukan Abiyya. “Aku senang kamu bisa menemukan jalan yang kamu cintai. Kita bisa menjalani ini bersama.” Abiyya melepaskan pelukannya, masih terlihat bersemangat. “Aku harus segera membalas pesan ini. Mereka ingin bertemu untuk membahas detailnya. Rasanya seperti mimpi, sayang!” Dengan semangat baru, Abiyya mulai mengetik balasan. Sementara itu, Safira mengamati suaminya, bangga dan penuh harapan. “Jangan lupa, kita juga harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelahiran si kecil. Tapi, aku yakin kamu bisa membagi waktu.” “Pasti! Kita akan atur semuanya,” jawab Abiyya. “Setelah kontrak ini, aku berencana untuk lebih fokus, sehingga bisa memberi yang terbaik untuk kita nanti.” Keesokan harinya, Abiyya bertemu dengan produser yang menghubunginya. Ketika produser itu tiba, Abiyya langsung menyapa. “Hai, Pak! Senang bertemu denganmu.” “Senang juga, Abiyya. Say
Ibu Safira tersenyum lebar, tetapi wajahnya tiba-tiba berubah khawatir saat melihat ekspresi Safira. "Kamu tidak enak badan ya, sayang?"Safira menggeleng, meski wajahnya sedikit pucat. "Iya, Bu. Sebenarnya aku ingin ngomong sesuatu.""Ngomong saja, Nak," jawab ibunya sambil memimpin mereka ke ruang tamu.Setelah duduk, Safira menarik napas dalam-dalam. "Bu, ada kabar baik. Sekarang, aku sedang hamil." "Hamil? Serius, Nak? Alhamdulillah!" Ia segera memeluk Safira dengan erat.Abiyya juga ikut tersenyum, merasa lega melihat reaksi positif dari ibu Safira. "Iya, Bu. Jadi Safira resign dari kerjaan. Kami ingin fokus pada kesehatanku dan si kecil."Ibu Safira melepaskan pelukan dan menatap mereka dengan penuh kasih. "Kalian sudah mengambil langkah yang tepat. Kesehatanmu dan bayimu lebih penting. Kami akan mendukung kalian sepenuhnya.""Iya Bu, sudah beberapa hari ini aku mual-mual terus, rasanya pengin muntah."
Part 46Pagi itu, Abiyya dan Safira berdiri di depan pintu kafe tempat mereka bekerja. Cafe itu sudah ramai dengan rekan-rekan kerja Safira yang sedang memulai aktivitas pagi. Abiyya menggenggam tangan Safira erat, memberinya senyuman penyemangat.“Siap?” tanya Abiyya pelan.Safira mengangguk, meski ada sedikit kegugupan di wajahnya. “Siap, Abii.”Mereka melangkah masuk, dan suasana kafe yang semarak langsung berubah saat rekan-rekan kerja melihat Safira. Beberapa dari mereka melambai dan menyapa.“Hai, Safira! Dari mana saja kamu, baru berangkat sekarang? Kamu sakit ya?” sapa Lita, rekan kerjanya yang ceria.Safira tersenyum tipis. “Iya, Lita. Hari ini ada sesuatu yang mau aku omongin sama Bos Elang.”"Seperti biasa Mas Bos ada di ruangannya."Safira dan Abiyya mengangguk mereka langsung menuju ruangan Bos.“Safira, Abiyya, ada apa? Tumben pagi-pagi sudah barengan ke sini?"Safira menarik napa
“Kamu gimana, sayang? Masih mual?” tanya Abiyya, tangannya memegang tangan Safira erat. Safira mengangguk kecil, senyumnya masih mengembang. “Iya, masih mual, tapi rasanya beda. Ada perasaan senang yang nggak bisa dijelasin.” Abiyya terkekeh pelan. “Aku masih kayak mimpi, tahu nggak? Aku bakal jadi ayah dan kamu akan jadi ibu. Aku janji, aku bakal jadi suami yang lebih perhatian dan ayah yang paling keren buat anak kita.” Safira tertawa, matanya berkaca-kaca lagi. “Kamu udah cukup keren, Bi. Cuma, nanti kalau aku ngidam yang aneh-aneh, jangan protes ya,” candanya sambil menahan senyum. “Waduh, siap-siap deh aku! Makan mangga muda jam tiga pagi? Beli es krim di tengah hujan? Apa aja, aku siap!” Abiyya berlagak dramatis, membuat Safira tergelak. Matahari mulai mengintip di balik jendela, menandakan pagi sudah mulai menyapa. Keduanya saling pandang, merasakan detik-detik perubahan besar dalam hidup mereka. Pagi
Part 45Safira terbangun di pagi buta dengan perasaan mual yang tiba-tiba menyerang. Ia bergegas menuju kamar mandi, mencoba menenangkan perutnya yang bergejolak. "Hueeek .... hueeekk ...."Abiyya, yang masih tertidur lelap di sampingnya, tersentak bangun mendengar suara lirih istrinya.“Sayang? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, setengah mengantuk dan khawatir.Safira keluar dari kamar mandi, wajahnya pucat namun matanya berbinar aneh. “Aku nggak tahu, Bi. Perutku mual banget, rasanya pengen muntah.""Semalam kamu makan apa? Jangan makan terlalu pedas lho!""Enggak kok, aku gak makan yang aneh-aneh. Mungkin aku masuk angin doang.""Kamu jangan kecapekan ya kerjanya. Aku gak tega kalau kamu sakit kayak gini."Safira mengangguk pelan. "Ayo kita sholat dulu, Bi. Kamu mandi dulu gih!""Okey, Sayang ...."Sembari menunggu sang suami selesai mandi, Safira memasak nasi di magiccom. Se
***Hari-hari berlalu .... Pagi itu tampak cerah, sinar matahari menyinari bumi dengan lembut, menciptakan suasana hangat yang menyenangkan. Burung-burung berkicau riang di pepohonan, seolah merayakan hari baru. Safira membuka jendela rumah kontrakannya, menghirup udara segar yang penuh aroma bunga dari taman di seberang jalan. Hari ini adalah hari liburnya, dan dia merasa bersemangat."Sayang, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini? Cuacanya enak banget!” Tiba-tiba Abiyya muncul dari belakang sembari tersenyum.Senyum merekah di wajah Safira. Dia membalas dengan cepat, “Tentu! Mau kemana?”Abiyya menjawab, “Bagaimana kalau ke taman? Kita bisa refreshing sambil menikmati suasana pagi.”"Iya, Bi. Aku siap-siap dulu."Abiyya tertawa kecil melihat istrinya yang tampak begitu antusias ketika diajak jalan.Safira cepat-cepat bersiap, memilih pakaian yang nyaman dan menyenangkan. Ia juga memoles wajahnya tipis-tipis
Part 44Regina terlihat terpojok, wajahnya memucat. “Aku… Aku hanya ......"Regina terdiam, kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. Semua mata tertuju padanya, menanti penjelasan. "Aku hanya ingin memastikan gelangku aman!” jawabnya, berusaha membela diri."Aman? Dengan memasukkannya ke tas orang lain? Semua itu kamu lakukan agar Safira terlihat buruk di mata orang lain bukan?" Abiyya ikut menambahkan.Regina menggeleng pelan. "Ti-tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku, aku hanya--""Ini tidak bisa dibenarkan! kamu mengambil gelangmu sendiri dan menaruhnya di tas Safira, merekayasa keadaan agar kami menuduh Safira melakukan pencurian? Setelah dipikir berulang kali, kamu juga ingin menjatuhkan Safira. Apakah kamu punya maslaah pribadi dengannya hingga melampiaskannya di tempat kerja?” tanya Elang, nada suaranya datar, tetapi matanya penuh kekecewaan.Regina tertunduk malu. Gadis itu menggeleng pelan."S
Keesokan harinya .... jam pergantian shift Regina memeriksa tasnya. "Astaga! Kok gelangku hilang?" pekiknya terkejut membuat rekan yang lain menoleh."Gelang? Gelang apaan, Gin?" tanya salah satu rekannya. "Gelangku. Gelang pemberian ibu!""Lho, emangnya gak kamu pake?""Enggak selama ini aku selalu taruh di tas. Biasanya aman-aman saja, kok sekarang hilang. Siapa yang ngambil ini?" Regina mulai bersandiwara, menangis dan mengatakan hal itu dengan nada getir.Rekan-rekannya mulai khawatir. "Tenang, Regina. Kita bisa cari sama-sama," kata Rina, salah satu temannya, berusaha menenangkan.Regina menggelengkan kepala. "Tapi ini penting! Ibu memberikannya saat aku lulus sekolah. Aku tidak bisa kehilangan ini.""Kalau begitu, coba ingat-ingat terakhir kali kamu lihat," saran Dimas, yang dikenal sebagai orang yang jeli.Regina merenung. "Aku ingat betul, gelang itu ada di tas.""Mungkin aja jatuh di
Part 43 “Dasar licik kamu!” Wanita itu menjawab, setengah terkejut tetapi juga terkesan dengan sikap sahabatnya. “Begitulah dunia kerja, sayang. Kita harus menggunakan cara apapun untuk mendapatkan yang kita inginkan. Safira sudah terlanjur jadi targetku, dan semua yang aku lakukan hanya untuk memastikan dia terlihat jelek di mata orang lain.” Regina menjelaskan dengan senyum licik. “Bagaimana kalau rencanamu terbongkar?” tanya wanita itu, sedikit khawatir. “Tidak mungkin! Tidak ada yang akan percaya Safira setelah semua ini. Lagipula, aku sudah merencanakannya dengan baik. Mungkin aku bisa menjebak dia sekali lagi untuk memastikan semua orang menganggap dia tidak bisa dipercaya,” jawab Regina penuh percaya diri. Namun, wanita itu mengingatkan, “Tapi, kalau Bosmu mulai menyelidiki lebih dalam, bisa-bisa semua ini terkuak.” Regina melambaikan tangannya, “Elang tidak akan mencari tahu lebih dalam