Di balik sebuah petaka, ada luka yang tersembunyi dalam duka. Hidup yang semakin tidak di suka. Membuat orang lain jadi celaka. Ketidaknyamanan itu menjadi prasangka, menebak pelaku kejahatan dengan berbagai logika.
*"Jika aku mati nanti, apa kamu masih akan setia sama aku, mas?" tanya Jelita saat dia terbaring sakit di kamarnya.Adam yang saat itu menemani di samping ranjang sang istri, menepis pikiran buruk Jelita dengan cepat. "Kamu tidak boleh bicara seperti itu sayang, kamu tidak akan pergi secepat itu. Jika pun ajal datang, kita akan mati bersama-sama. Percayalah hanya maut yang memisahkan kita."Jelita mengalihkan pandangannya yang sayu ke arah jendela lebar yang tirainya hampir tertutup rapat, sebab petang akan segera datang. Wajah lelah wanita itu menampakan senyum tipis, seolah sedang menertawakan takdir. Ucapan Adam sama sekali tak membuat dirinya merasa lebih baik.Adam juga tau jika ucapannya terlampau mengada-ada. Akan tetapi jika ditanya soal kesetiaan, Adam tidak main-main. Lelaki itu bersungguh-sungguh, hanya Jelitalah yang akan menjadi pendamping pertama dan terakhir baginya.Bukan tanpa alasan mengapa perasaan lelaki itu begitu gundah sekaligus takut. Pasalnya sang istri tengah berbadan dua di tambah penyakit sang istri terbilang cukup misterius. Sakit Jelita sangat aneh dengan perut yang sedang mengandung istrinya merasakan reaksi ngilu yang berlebihan. Perempuan itu merasa seperti ada tangan-tangan kasar yang mengorek-orek isi perutnya hingga menjadi serpihan, namun di lain kesempatan perutnya membaik kembali dengan kondisi tubuh Jelita yang begitu lemah.Di beberapa kejadian pun, Jelita sering mengalami kepanasan, padahal suhu badannya dalam kondisi normal bahkan sangat dingin. Ia pun sering menjerit ketakutan seolah-olah ada sesuatu di sudut kamar, sedangkan tidak ada siapa-siapa di sana. Tak ayal hal-hal tersebut menambah rasa kekhawatir di benak Adam.Maka, selama kinanti sakit dan rutin berobat ke dokter. Adam juga banyak mendatangi para pemuka agama, walaupun dirinya adalah seorang ustad akan tetapi Adam sendiri tidak terlalu yakin dengan kemampuannya.Sudah cukup jelas bahwa sakitnya Jelita tidak bisa diuraikan secara medis. Bukti USG dan CT scan pun tak menunjukan tanda-tanda anomali di dalam tubuhnya. Hasil USG juga menunjukan bayi yang ada di dalam kandungan Jelita terlihat sehat dan baik-baik saja."Istirahatlah, Jangan terlalu banyak pikiran kasihan bayi yang ada di dalam kandunganmu. Kamu akan segera sembuh." satu kecupan ditinggalkan Adam di kening Jelita sebelum pergi. Tak lupa ia membereskan gelas dan piring dari atas meja.Lelaki itu keluar kamar dengan perasaan keruh, namun hal tersebut tak melemahkannya untuk tetap pergi sore itu. Sedikitnya Adam masih memiliki secercah semangat untuk kesembuhan Jelita istrinya.Entah sudah berapa kali perjalanan ke tempat pemuka agama bernama imam Hambali itu Adam tempuh, 2 bulan istrinya sakit, maka tak terhitung pula berapa waktu yang ia tebas untuk berikhtiar.Kadang ia chek up ke rumah sakit bersama Jelita atau ke rumah imam hambali untuk meminta didoakan. Fakta yang membuat Adam merasa sakit adalah kondisi jelita tak sedikit pun memperlihatkan sebuah kemajuan.Justru, sosok istrinya yang dulu bugar dan cantik, semakin hari semakin layu dan ringkih. Namun, Adam tak ingin menerima kenyataan buruk itu. Selagi mampu ia masih akan tetap berusaha.Perjalanan yang memakan waktu hampir satu setengah jam itu, akhirnya membawa Adam sampai ke tujuan. Lelaki itu tak ingin membuang lebih banyak waktu, ia segera bertandang ke dalam rumah sederhana yang sudah beberapa kali disinggahinya. Tak banyak yang Adam lakukan di sana, hanya menerima petuah terakhir yang imam Hambali sampaikan."Mendengar penjelasan ustad Adam, saran terakhir dari saya, tidak ada salahnya ustad Adam sendirilah yang harus mendoakan istri ustad. Sejauh ikhtiar yang sudah kita lakukan bersama belum ada hasil yang menunjukan kemajuan," Tutur imam Hambali angkat tangan."Saya sudah tidak yakin lagi dengan kemampuan saya imam, semenjak istri saya sakit 2 bulan ini saya sering merasa was-was. Hati pun rasa tak tenang macam dulu," sahut Adam"Kita ini pun juga manusia ustad, wajar saja bila mana kita rasa sedih jika menerima cobaan dari tuhan. Tapi jangan sampai cobaan ini menjauhkan kita dari tuhan, justru dengan adanya cobaan kita harus semakin dekat dengan yang di atas." Begitulah kalimat yang dipaparkan pria paruh baya di hadapan Adam dengan suara berat dan serak yang khas."Pulanglah, jangan sampai terlambat sampai di rumah.""Baik, imam," jawab Adam seperti orang yang linglung. rasa capai di badannya beradu dengan isi otaknya yang berjubel dengan kekhawatiran. Usai berpamitan, lelaki itu lekas mengendari mobilnya kembali.Dengan kecepatan yang hampir tinggi, Adam melajukan kendaraannya agar bisa segera tiba di kotanya. Petang baru saja lewat dan aura tak mengenakan langsung menyergap tubuhnya. Bias jingga di langit yang kemerahan sudah hampir tertelan seluruhnya oleh awan pekat.Bila kata orang dulu, tak sepatutnya manusia masih berada di luar rumah ketika magrib hampir usai. Sebab iblis yang menyukai malapekata sedang gencar-gencarnya menggerayangi permukaan tanah.Adam merasa, mungkin itulah alasan mengapa petang di hari tersebut ia merasakan takut. Hawa dan suasana jalanan yang ditempuhnya amat berbeda dengan hari-hari biasanya."Semoga bukan apa-apa, ini hanya perasaanku saja," gumamnya pelan, meyakinkan diri sendiri. Namun kabut pekat tiba-tiba menyeruak dari balik pepohonan di kedua sisi jalan.Pohon-pohon akasi tua yang menjulang tinggi bagai raksasa, menutupi dirinya dengan jubah kabut. Sementara bunga-bunga merah di atas sana sudah seperti ratusan pasang mata yang memperhatika satu-satunya mobil yang melaju di jalanan tersebut.Tak dipungkiri, Adam merasa jika tengkuknya mulai meremang. Laju mobil yang awalnya begitu cepat, kini sedikit melambat karena jarak pandangnya jadi terhalang. Ia takut jika tiba-tiba ada muncul kendaraan lain di depan, namun sejauh apa pun Adam melaju, tak ada satu pun mobil atau motor yang melintas. Lelaki itu seperti terjebak di dunia asing.Di saat mobil yang seakan-akan terbang di antara awan, Adam dikejutkan dengan sebuah gebrakan di kaca samping. Sontak saja lelaki itu menoleh dan menemukan sebuah tangan menempel di kaca sisi mobilnya. Penampakan tangan yang pucat, serta kain jaket berwarna hitam dan hijau yang membalut lengan itu membuat Adam syok.Bagaimana bisa seseorang menempa mobil yang melaju, layaknya kendaraan itu tengah terdiam? sementara sosok yang menggebrak mobilnya tak terlihat menunggangi motor.Keterkejutan Adam berakhir ketika sebuah klakson dari arah depan, memekak keras dibarengi dengan sinar lampu yang menyilaukan. Adam membanting setir ke kanan dan memanuver kemudinya ke kiri demi menghindari tebing dan juga ekor truk.Mobil hitam itu nyaris melintang di tengah jalan, sebelum akhirnya terseret keras kw sisi kanan. Sebelum kepalanya terbentur dasboar, Adam harus menyaksikan bagaimana ganasnya roda truk tadi melindas tubuh seorang pengendara motor menjadi dua.Debar jantung yang berlebihan, serta efek benturan di kepala membuat Adam tak kuat menahan matanyai tetap terbuka. Malam terasa semakin gelap saat lelaki itu jatuh pingsan, tetapi raganya tertahan oleh sabuk pengaman.Di beberapa waktu yang terhitung lambat, Adam seperti dipercik oleh kesadaran. Ia yang merasa sangat pusing, berusaha membetulkan posisi tubuhnya, dalam kondisi badan yang pegal-pegal, Adam berusaha bangkit dan membuka mata.Lelaki itu terbatuk-batuk seraya membuka pintu mobil, lalu tubuhnya jatuh ke jalanan, ia baru sadar bahwa malam sudah bersih dari kabut, namun lokasinya saat ini, berbeda dengan rute yang ia lintasi sebelumnya. Bahkan kecelakaan yang melibatkan truk dan pengendara sepeda motor itu tidak ada."Apa aku sekarang mulai berhalusinasi?" tanya Adam bingung. Ia melangkah dengan agak linglung, tetapi dirinya merasa harus mencari pertolongan. Lelaki itu berjalan tertatih sambil mengedarkan pandangan.Ia mendapati sebuah telaga yang tak jauh dari jalan. Sejenak ia tertegun, tetapi bukan hamparan air itu yang membuat dirinya takjub. Melainkan ada sosok perempuan yang di kenalinya tengah berdiri di pinggiran telaga."Jelita?" Panggilnya."Mas, Jelita mau pergi. Jangan di cari, jaga anak kita mas. Dia yang akan mewarisi dosa-dosamu," ucap Jelita dengan wajah yang begitu datar sambil mengusap perutnya yang tengah mengandung."Pergi? pergi kemana?"Jelita tak menghiraukan ucapan suaminya, ia memilih untuk berjalan menuju telaga dan menenggelamkan dirinya di sana. Adam berusaha untuk mengejar tetapi tubuhnya malah kaku di tepi danau. Ia hanya bisa menyebut nama Jelita, namun semakin lama, sosoknya semakin tenggelam ke dasar air.TO BE CONTINUE....Indahnya langit biru, tak seindah hidup yang penuh haru. Tak banyak cerita seru dari kehidupan orang yang diburu, karena masa lalu yang keliru, tidak akan bisa membuat lembaran yang baru. Selamanya melekat dan tidak pantas untuk di tiru.* Tiga hari berlalu sejak Adam mengalami hal aneh ketika perjalanan pulang dari rumah seorang imam hambali. Lelaki itu tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, ia beranggapan jika semua yang dialaminya hanya mimpi. Siapa sangka jika sejak kabut datang malam itu. Adam terseret pada mimpi buruk. Begitu pun dengan mimpinya tentang Jelita istrinya yang lenyap di telaga. Fakta bahwa ia dibangunkan oleh orang-orang yang hendak pergi ke surau, membuat Adam sadar bahwa kondisi badan dan psikisnya yang lelah akan membawanya pada hal-hal menyeramkan, sekalipun itu hanya mimpi. Namun, Adam tak menyangka saja jika dirinya malah tertidur di jalan dekat perkampungan hingga shubuh menjelang. Harapan Adam untuk pulang sebelum tengah malam jadi gagal.Setelah sadar s
Saat Adam mengulurkan tangannya pada pundaknya, Adam terperanjat. Ia bisa menyentuhnya. Anggapan anak ini adalah hantu segera Adam tepiskan jauh-jauh. Kini Adam turut serta berjongkok, mengusahakan agar tingginya setentang dengannya. Adam bertanya santun."Nak, kenapa kamu di sini? Kamu dari kamar mana?"Ia tak menjawab. Alih-alih bersuara, ia menunjuk ke dalam mulutnya, seolah ada sesuatu yang menganggu tenggorokannya sehingga ia terbatuk-batuk. Adam picingkan matanya semampunya, memperhatikan isi mulut anak itu, tapi rasanya begitu sulit karena pancaran cahaya yang amat terbatas.Tiba-tiba, anak itu terbatuk hebat. Sempat ada hentakan rasa kaget yang nyaris mendorong tubuh Adam. Ia terlihat memasukkan tangannya sendiri ke dalam mulut. Tatkala ditarik, keluarlah seutas perban dari dalamnya.Nalarnya terguncang.Tanpa berpikir yang aneh-aneh, Adam justru terpicu untuk membantu mengeluarkan untaian perban itu. Kain basah berserat itu di tariknya perlahan dengan sangat hati-hati. Adam
Saat hidup yang nyaman mendapat ancaman. Dunia tak lagi teras aman, jika ada yang kian mengerikan harus ada keberanian. Pilihannya melawan dan bertahan atau pasrah dalam kematian*Teriakan Adam kian menggema, meraung, berkawin dengingan kardiogram, disertai isakan tangisnya sendiri. Rongga mulut Adam menjadi asin kala cucuran air matanya tak sengaja tertelan. Sementara itu, tubuh Adam terus terseret keluar, menyaksikan tubuh rapuh Jelita istrinya menghilang tertutup barisan perawat berseragam putih.Begitu Adam terlempar di koridor rumah sakit, pintu kamar Jelita tertutup rapat."Jelita, kenapa kamu tinggalin mas sendirian. Mas ngga bisa terima ini semua, kita sudah sejauh ini dan kamu malah meninggalkan aku sendiriannnn!!Suara Adam menggema di sepanjang koridor, memancing perhatian orang-orang di sana. Pasien, dokter, perawat, sampai para penjenguk memandangi Adam yang menangis tersedu.Dadanya kini terasa sesak. Napas Adam terlunta-lunta, terseok usai hujan tangis itu menggaung p
Segala masalah mencoba di tuntaskan sampai ke akar. Terduga yang bersalah berusaha di kejar, tapi entah mengapa rasanya konflik seperti berputar-putar.Ada dalang yang sulit di bongkar, sehingga konflik pun sulit di cecar. Siapa yang seharusnya perlu di hajar. ?*Perempuan itu refleks menutup mulut begitu bau kamboja menyengat hidung. Kegelapan memudar saat perempuan itu sudah berada di depan jembatan. Empat buah obor menyala di tiap sisi jembatan.Perempuan itu mengambil napas panjang, kemudian meneruskan perjalanan. Cahaya bulan kini terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Suara burung dan serangga tak terdengar lagi.Suasananya teramat hening. Perempuan itu bahkan bisa mendengar suara embusan napas sendiri. Kunang-kunang menyambut Perempuan itu saat dirinya sampai di sebuah gapura yang berdiri kokoh namun terlihat sangat usang, tertutupi oleh tumbuhan rambat yang memberi kesan betapa tak terurusnya tempat ini. bertuliskan desa Puncak Kharja.Lolongan anjing tiba-tiba terdengar entah
Pola asuh membentuk pribadi seorang anak ketika tumbuh, didikan yang angkuh malah menciptakan pembunuh.Apa yang dibutuh harusnya di dapat dengan sungguh-sungguh. Tak peduli meski pun ricuh dan gemuruh.Ada masa kelam yang harus di telusuri lebih dalam, semakin paham makin jauh tenggelam. membentuk kebencian dan dendam yang seiring berjalannya waktu semakin tajam.*Di saat waktu kosong perempuan itu malah mendengar suara lain. Samar dan lemah."Ibuuu ...."Perempuan itu terkejut dan langsung membuka mata, lalu melihat-lihat keadaan sekitar yang masih menggelap. "Apa barusan aku tertidur dan bermimpi?" gumamnya bingung."Ibuu, Ibuu...."Sekali lagi perempuan itu dikagetkan oleh suara yang muncul dari hutan. Kali ini terdengar memelas dan manja. Ia sampai dibuatnya, membuat air kolam menyapu tepian hingga tumpah cukup banyak akibat gerak tubuhnya yang spontan.Ada yang membuat perempuan paruh baya itu penasaran, panggilan itu terasa familier di telinganya. Dengan saksama, ia memperhati
Masa lalu tidak hanya sebatas kenangan. Ada juga dendam dari perbuatan yang merugikan, kejadian pahit tidak akan pernah terhapus sampai adanya pembalasan. Harus kah melawan? atau pasrah karna itu adalah hukuman.*Ki Ageng Romo duduk di samping perempuan itu, lalu memutarkan asap dupa di atas wajahnya. Ki Ageng Romo mencelupkan telunjuknya pada wadah kecil berisi tinta yang terbuat dari racikan khusus. la mengusap kening perempuan itu dan membuat sebuah simbol di sana."Aku suka cara marahmu itu, Ayu. Luapkan lebih kasar lagi. Aku tidak suka sikap lembek yang ada padamu. Buang itu! Atau kau akan kesulitan ke depannya," ucap Ki Ageng Romo pada perempuan itu yang sebut saja namanya Ayu. "Apa?""Saat kau datang membawa anakmu, tekadmu belum sempurna. Kau masih dibayangi hal-hal duniawi dalam otakmu itu. Berilah celah agar kekuatan gaib yang kau alami saat ini dapat tempat di sisi kepala dan batinmu.""Apa yang akan kau hadapi jauh lebih besar kedepannya, kamu tau? Kau harus menembus jag
Di balik otak tersimpan berbagai peristiwa yang tidak nampak. Ingatan yang memiliki kesan akan terus meninggalkan jejak.Apa bila terus di telusuri rasa penasaran akan semakin memuncak. Yang terkadang malah menjebak, dari pikiran itulah perlahan - lahan gajal mulai terkuak. Tapi apa sebenarnya yang perlu di tebak?*Mata Ayu langsung menangkap sosok Ki Ageng Romo di hadapannya beserta Laras yang masih terbaring. Lelaki itu pun sempat terkejut karena kini ia sedang berada di lain tempat setelah sebelumnya berada di kediaman Ki Ageng Romo."Jangan terlalu lama mengulur waktu, aku akan menjaga anakmu dan menunggumu di sini," ucap Ki Ageng Romo. Namun, hanya suaranya saja yang terdengar, sebab bibir pria itu tetap terkatup rapat. Sama halnya dengan kedua matanya.Seolah-olah Ki Ageng Romo berkomunikasi dari tempat lain. Sementara yang ada di hadapan Ayu saat ini adalah refleksi khodam Ki Ageng Romo untuk menjaga Laras di batas gerbang gaib."Baik, Ki." Ayu lekas berdiri kemudian ada kunan
Yang hilang akan di temukan, yang pergi akan di kembalikan. Yang jauh akan di dekatkan, dan yang selama ini menjadi pertanyaan akan mendapatkan jawaban.*Di jarak yang cukup jauh, kunang-kunang berwarna biru itu melesat ke segala arah. Membuat Ayu kebingungan harus mengikuti yang mana. Namun, ia keburu sadar jika tugas pertama mereka telah usai. Sebab kini, di depan sana ada banyak orang yang seperti dirinya tengah berdiri tegak di tengah gelanggang terbuka.Namun yang Ayu saksikan di depan jauh lebih mengerikan. Sebuah ucapacara ritual berdarah tengah berlangsung. Dengan Mayat-mayat yang bergelimpangan ditumbalkan oleh orang-orang tanpa busana. Mereka bernyanyi, menari dan tertawa, berteriak riang sembari memenggali kepala anak-anak usia belia. Darah yang mengucur dari tubuh korban diminum bersama-sama. Mata Ayu, dan orang-orang itu kosong serta buas, seakan jiwanya telah sirna dari raganya.Para pemuja itu begitu buas melampiaskan segala hawa nafsu dunia agar mencapai titik kepuas
Anjani bergerak cepat. Ia sahut kacamata tebal.Ia raih gagang pintu kamar.Anjani berlari sekuat tenaga seakan ada yang hendak memangsanya di sepanjang lorong gelap itu.Begitu sampai di muka kamar mandi, Anjani melompat. Ia sambar sakelar lampu yang tingginya jauh melebihi kepala itu dan berpijak pada permukaan keset. Sedetik kemudian, dalam satu gerakan gesit, tubuh Anjani lenyapke bilik kecil itu. Pintu di belakangnya ia banting hingga menutup.Jantung Anjani berpacu, napasnya memburu.Selamat...Tak ada yang mengejar.Kencingnya terpancur ke dalam lubang kloset bersama kelegaan yang menjalar. Di tengah prosesi itu, Anjani berpesta. Ada secuil perayaan karena Anjani telah berani melewati rintangan kegelapan. Anjani, gadis kecil yang tengah terserang demam tinggi ini mampu ke kamar mandi di tengah malam tanpa membangunkan siapa pun.Di penghabisan pancuran air kencing itu, Anjani terdiam. Kesunyian datang merajai semesta.Gawat.Anjani tersadar ada utang yang harus ia tebus. S
Senja telah menggulung teriknya siang dengan selimut kapas awan kelabu. Menjelang menutupnya mata siang hari, hujan pun turun. Suasana di sekitar rumah kecil Salamah perlahan menjadi gelap dan dingin.Rumah semi permanen itu memiliki hawa yang begitu dingin, apalagi bercak hijau di langit-langit rumah begitu menyiratkan kelembapan bangunan berisi tiga kamar itu. Jejak air hujan karena genteng yang bocor, kini menyisakan sekelumit lumut tipis di plafon berwarna putih. Terlihat sangat kontras.Tubuh mungil Anjani menggigil, terbungkus selimut tebal beraroma minyak angin milik neneknya. Matanya yang kala itu sudah minus dua-perkara yang tak lazim untuk anak balita pada umumnya- Anjani menatap ke langit-langit. Pikirannya kosong.Salamah duduk di tepi ranjang di samping kiri Anjani. Hasan berada di seberangnya, mengelus-elus tempurung kepala Anjani dengan mulut terkunci. Di ujung kasur, Salamah memijat-mijat kaki Anjani yang tersembunyi di balik tebalnya selimut. Anjani mencoba mengingat-
"Wis surop, wis surop! sudah Maghrib, ayo pulang!" Riuh suara ibu-ibu yang memanggil anak-anak mereka bermain di halaman rumah, membuat lamunan seorang Pria yang duduk di kursi teras, terbuyar.Jam dinding yang berdebu tebal itu, sudah menunjukkan pukul enam lewat enam belas sore hari. Sudah masuk waktu Maghrib.Pria itu segera melangkahkan kaki keluar, tetapi saat itu juga, tangan keriput milik Ibunya mencekal lengan putih milik Pria itu."Mau kemana? sudah Maghrib, jangan keluar!" serunya dengan mata yang tertutup sebelah. Matanya memang buta separuh, sejak dia dilahirkan."Anjani di luar Umi. Aku harus jemput dulu!" jawabnya, sembari menepis tangan Ibunya, hendak nekad keluar."Jangan, Adam! iki watune bangsa halus keluar. Ndak baik keluar waktu sekarang!" cegahnya lagi.Adam, Pria bertubuh tinggi itu membuang nafas kasar, kalau tidak sekarang, malam nanti pun jelas dia tetap tidak boleh keluar. "Kalau ngga sekarang, kapan?" tanyanya dengan alis mengkerut."Nanti selepas magrib."
Salamah kembali ke depan dengan susu di tangannya. Susu itu telah diukur suhunya sesuai dengan yang dianjurkan. Tidak panas karena Salamah telah mencampurnya dengan air biasa.Seharusnya ia sediakan air panas di dalam termos jadi sewaktu-waktu ingin membuat susu tak perlu memanaskan air lagi. Karena sibuk mengurus cucunya seorang diri ia jadi lupa."Sini cucu nenek." Salamah mengambil alih menggedong cucunya tersebut, lalu diberikan SUSU.Sayang, bayi itu tak mau menyusu."Badannya panas, Umi." Adam berucap.Salamah menyentuh dahi, dan pipi cucunya."Astaghfirullahaladzim badanmu panas, Nak," ujar Ibu Adam.la meletakkan susu tersebut ke atas meja."Kau buka bajumu!" titah Salamah"Untuk apa, Bu?" tanya Adam tak mengerti."Buka saja bajumu!" bentak Salamah.la lebih tahu apa yang harus dilakukan karena sudah berpengalaman. Adam membuka kancing bajunya satu persatu. Salamah pun melepaskan kain bedong hingga menyisakan popok, sarung tangan dan kaki pada bayi itu.Salamah menyerahkan cuc
Keheningan menyelimuti Desa kayu arum. Kepergian Jelita seolah ditangisi oleh alam, sebab langit menurunkan gemercik hujan dari selesai tahlilan sampai hampir tengah malam. Yang biasanya akan ada peronda, mereka mendadak meliburkan diri.Jam saat itu telah menunjukkan pukul 10 malam. la menutup semua pintu dan berniat menilik bayinya di dalam kamar.la mendapati Salamah tengah mengganti popok bayi perempuan tersebut. Salamah terlihat bahagia mengurus cucunya.Setelah semua selesai, ia mengangkat bayi itu dan ditimang. Kecupan lembut mendarat di kening cucunya sebagai bentuk rasa kasih sayang."Heem... heemm..." Salamah bersenandung sambil berdiri menggedong bayi itu. la seakan tak peduli dengan kehadiran Adam yang menatap di ambang pintu.Ingin sekali rasanya Adam menimang buah hatinya. Namun rasa itu ia urungkan.Adam menghembuskan napas kasar berharap suatu saat ia bisa bersikap layaknya seorang ayah terhadap anaknya. Digendong, bermain bersama, bercanda bersama. la tak sabar akan h
Dibalik sebuah petaka ada sebuah luka yang bersembunyi dalam duka. Hidup yang semakin tidak di suka, membuat orang lain menjadi celaka. Ketidaknyamanan itu menimbulkan prasangka, menebak pelaku kejahatan dengan berbagai logika*Mata Adam berkaca-kaca. la berlari masuk ke dalam rumah dan langkahnya memelan mendengar tangisan bayi dari dalam kamar. Sedangkan tatapannya fokus pada sosok jenazah yang diselimuti kain panjang dikelilingi oleh para ibu-ibu yang membaca yasiin.Semua pasang mata tertuju padanya. Tungkai kaki Adam lemas seketika. la jatuh terduduk di lantai. Menunduk dan membiarkan bulir-bulir bening itu jatuh. Segala penyesalan datang menuntut. Sayang, semua itu tak akan mengembalikan Jelita istrinya.Berita duka yang dikabarkan melalui masjid itu terdengar sampai ke desa sebelah.Imam Ahmad yang tengah berbelanja di sebuah warung itu pun mendengar beberapa orang sedang membahas tentang kematian seseorang di desa lain."Siapa sih yang meninggal?""Kalau tidak salah tadi nam
Yang hilang akan di temukan, yang pergi akan di kembalikan. Yang jauh akan di dekatkan, dan yang selama ini menjadi pertanyaan akan mendapatkan jawaban.*Di jarak yang cukup jauh, kunang-kunang berwarna biru itu melesat ke segala arah. Membuat Ayu kebingungan harus mengikuti yang mana. Namun, ia keburu sadar jika tugas pertama mereka telah usai. Sebab kini, di depan sana ada banyak orang yang seperti dirinya tengah berdiri tegak di tengah gelanggang terbuka.Namun yang Ayu saksikan di depan jauh lebih mengerikan. Sebuah ucapacara ritual berdarah tengah berlangsung. Dengan Mayat-mayat yang bergelimpangan ditumbalkan oleh orang-orang tanpa busana. Mereka bernyanyi, menari dan tertawa, berteriak riang sembari memenggali kepala anak-anak usia belia. Darah yang mengucur dari tubuh korban diminum bersama-sama. Mata Ayu, dan orang-orang itu kosong serta buas, seakan jiwanya telah sirna dari raganya.Para pemuja itu begitu buas melampiaskan segala hawa nafsu dunia agar mencapai titik kepuas
Di balik otak tersimpan berbagai peristiwa yang tidak nampak. Ingatan yang memiliki kesan akan terus meninggalkan jejak.Apa bila terus di telusuri rasa penasaran akan semakin memuncak. Yang terkadang malah menjebak, dari pikiran itulah perlahan - lahan gajal mulai terkuak. Tapi apa sebenarnya yang perlu di tebak?*Mata Ayu langsung menangkap sosok Ki Ageng Romo di hadapannya beserta Laras yang masih terbaring. Lelaki itu pun sempat terkejut karena kini ia sedang berada di lain tempat setelah sebelumnya berada di kediaman Ki Ageng Romo."Jangan terlalu lama mengulur waktu, aku akan menjaga anakmu dan menunggumu di sini," ucap Ki Ageng Romo. Namun, hanya suaranya saja yang terdengar, sebab bibir pria itu tetap terkatup rapat. Sama halnya dengan kedua matanya.Seolah-olah Ki Ageng Romo berkomunikasi dari tempat lain. Sementara yang ada di hadapan Ayu saat ini adalah refleksi khodam Ki Ageng Romo untuk menjaga Laras di batas gerbang gaib."Baik, Ki." Ayu lekas berdiri kemudian ada kunan
Masa lalu tidak hanya sebatas kenangan. Ada juga dendam dari perbuatan yang merugikan, kejadian pahit tidak akan pernah terhapus sampai adanya pembalasan. Harus kah melawan? atau pasrah karna itu adalah hukuman.*Ki Ageng Romo duduk di samping perempuan itu, lalu memutarkan asap dupa di atas wajahnya. Ki Ageng Romo mencelupkan telunjuknya pada wadah kecil berisi tinta yang terbuat dari racikan khusus. la mengusap kening perempuan itu dan membuat sebuah simbol di sana."Aku suka cara marahmu itu, Ayu. Luapkan lebih kasar lagi. Aku tidak suka sikap lembek yang ada padamu. Buang itu! Atau kau akan kesulitan ke depannya," ucap Ki Ageng Romo pada perempuan itu yang sebut saja namanya Ayu. "Apa?""Saat kau datang membawa anakmu, tekadmu belum sempurna. Kau masih dibayangi hal-hal duniawi dalam otakmu itu. Berilah celah agar kekuatan gaib yang kau alami saat ini dapat tempat di sisi kepala dan batinmu.""Apa yang akan kau hadapi jauh lebih besar kedepannya, kamu tau? Kau harus menembus jag