Masa lalu tidak hanya sebatas kenangan. Ada juga dendam dari perbuatan yang merugikan, kejadian pahit tidak akan pernah terhapus sampai adanya pembalasan. Harus kah melawan? atau pasrah karna itu adalah hukuman.
*Ki Ageng Romo duduk di samping perempuan itu, lalu memutarkan asap dupa di atas wajahnya. Ki Ageng Romo mencelupkan telunjuknya pada wadah kecil berisi tinta yang terbuat dari racikan khusus. la mengusap kening perempuan itu dan membuat sebuah simbol di sana."Aku suka cara marahmu itu, Ayu. Luapkan lebih kasar lagi. Aku tidak suka sikap lembek yang ada padamu. Buang itu! Atau kau akan kesulitan ke depannya," ucap Ki Ageng Romo pada perempuan itu yang sebut saja namanya Ayu."Apa?""Saat kau datang membawa anakmu, tekadmu belum sempurna. Kau masih dibayangi hal-hal duniawi dalam otakmu itu. Berilah celah agar kekuatan gaib yang kau alami saat ini dapat tempat di sisi kepala dan batinmu.""Apa yang akan kau hadapi jauh lebih besar kedepannya, kamu tau? Kau harus menembus jagat semesta untuk membangkitkan iblis yang paling kuat. Adam termasuk golongan orang-orang yang sholeh, sekadar menggodanya dengan setan tidak akan membuat dirinya goyah. Lalu dengan apa kamu akan menghancurkannya Ayu?""Saya mau Adam menebus dosa-dosanya pada keluarga saya Ki. Jika iblis tidak bisa membuat Adam keluar dari keimanannya, Biar saya yang akan membuat Adam menyembah Anak saya sendiri," ucap Ayu berapi-apiKi Ageng Romo mendelik, tetapi bibirnya menyiratkan senyum penuh misteri. Ki Ageng Romo terdiam, malah jadi bersikap lebih tenang. Tak berapa lama, pria tua itu terkekeh kemudian terbahak-bahak menakutkan. Ayu sendiri sampai bingung dibuatnya."Tekadmu sangat kuat Ayu, konsekuensi dari dosa yang akan kamu perbuat juga besar, Bukan hanya dari tuhannya Adam saja. Tapi dari Iblis yang akan kamu bangkitkan nanti. Semua Akan berakhir pada Malam Penebusan.""Ingat Ayu, Alasanmu hanya untuk membalas dendam pada orang sholeh itu. Konsekuensinya sepadan dengan apa yang akan terjadi nanti, Malam Penebusan itu bukan sembarang malam,""Malam itu menjadi malam paling mengerikan dari sepanjang malam. Dimana pelaku dosa pertama menebus dosanya. Dan kamu Ayu, kamu juga akan turut terseret pada malam itu sebab kamu membangkitkan iblis yang paling kuat, kamu mengertikan mengapa bersekutu dengan Iblis dilarang?""Dendammu dengan Adam menjadi cikal bakal terjadinya Malam Penebusan.""Saya mengerti Ki Ageng, dan saya siap menerima resikonya, asalkan Adam juga kehilangan sesuatu yang paling berharga di hidupnya," sahut Ayu dengan tekad yang sudah bulat."Aku dengar, Adam telah kehilangan istrinya beberapa bulan yang lalu, ia baru saja kehilangan salah satu hal yang paling berharga dari hidupnya. Itu membuka peluang untukmu Ayu. Jiwa Adam tengah dalam keadaan rapuh namun keimanannya belum tentu bisa digoyangkan semudah itu,""Jadi apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ki Ageng Romo penasaran."Rencana selanjutnya, Adalah membuat salah satu hal lain yang paling berharga dari hidup Adam juga pergi meninggalkan dirinya," batin Ayu dengan emosi yang berkecamuk.Ayu berusaha meredam amarah yang merasuk ke dalam dadanya tanpa dikomando, Perempuan itu lalu tersenyum ke arah Ki Ageng Romo.Kerangka mungil berbalut kain warna putih terlentang di antara hamparan lentera yang memberikan nyala jingga."Ki, bagaimana saya bisa menyusul Laras?" tanya Ayu sedikit ragu. la memang akan melakukan apa pun untuk membalas dendam. Namun, jika untuk meraga-sukma, Ayu tidak yakin bisa melakukannya. Terlebih, ia harus memasuki gerbang dunia gaib yang mana pastinya menyajikan berbagai kengerian."Kau akan tiba di sana dengan selamat. Satu pesanku, Yu. Jangan tergoda apa pun di sana. Jangan pula merasa takut. Tekadmu harus kuat dulu demi dendamu pada Adam, kamu harus bisa membangkitkan sang Iblis. Maka kau akan diarahkan," tutur Ki Ageng Romo.Ayu kembali berpikir. Semua memang demi membalaskan dendamnya pada Adam. Hanya saja, melepas sukma dan berkelana ke alam lain sama halnya memasuki hutan belantara saat malam tanpa perbekalan cahaya.Mungkin bukan jiwanya saja yang tersesat, dirinya pun sama. Apalagi ia harus pergi sendiri dan tidak ditemani Ki Ageng Romo. Pria berumur itu harus menjaga dua raga di alam fana untuk membimbing pulang nantinya."Ayu," panggil Ki Ageng Romo. Perempuan yang dipanggilnya sedikit terenyak dari kedalaman pikirannya."Iya, Ki. Saya mau berangkat apa pun yang terjadi. Saya harus membuat ustad itu menyesali dosa-dosanya meski harus bertarung dengan siluman sekali pun.""Baiklah. Kau duduk bersemadi di samping kerangka anakmu dengan posisi menghadapnya. Salah satu sukma dari kalian akan terperangkap di sana sebagai jaminan. Sukma anakmu akan menjadi pengganti sukmamu agar dapat kembali ke sini. Dan sebaliknya, jika kamu tidak dapat kembali ke sini dan terperangkap di jagad semesta. Maka sukma anakmu lah yang akan bergentayangan di dunia ini, dan menjadi Arwah buangan. Nanti, cahaya-cahaya lentera ini akan menuntun sukmamu untuk masuk ke dalam raga."Ayu pun memosisikan diri dan mulai duduk bersila. la menarik napas panjang bersamaan dengan kedua tangannya yang diposisikan di dekat perut. Jemari Ayu saling bertaut dengan posisi telapak tangan terbuka."Konsentrasilah. Jangan lupa ketika kamu membuat perjanjian dengan Iblis yang ada di sana. Kamu harus menyanggupi syarat yang Iblis itu minta. Atau kamu akan menjadi tawanannya. Aku akan membukakan gerbang dan mendorongmu ke alam sana," ucap Ki Ageng Romo dan diiyakan oleh Ayu dengan menutup mata dengan hela napas yang tenang."Ingat. Selagi kau bisa lari, jangan melawan makhluk itu atau makhluk-makhluk di sana. Jangan pula mengalihkan perhatian pada hal lain. Nanti, suaraku yang menuntunmu segera pulang, akan lenyap dan kehilangan koneksi. Jadi, pikiranmu pada satu titik dan jangan sampai buyar."Ritual penembusan jagat pun dilaksanakan. Ki Ageng Romo memulai membacakan mantra dengan fasih dan dilingkupi sumber energi dari dalam dirinya. Pria tua itu pun sama-sama bersemadi untuk membimbing sukma Ayu keluar dari badannya dan mengantarnya untuk mengenali gerbang yang terbuka.Dalam lintasan dimensi yang mengabur, kerangka Laras masih terbaring tak bergeming, Ayu dan Ki Ageng Romo duduk berhadapan di antara kerangka jasad Laras. Rumah sederhana dengan nuansa jingga dari cahaya lentera, tiba-tiba berubah dengan perlahan. Kini, ketiga tubuh itu berada di tengah-tengah belantara yang senyap. Suara-suara binatang tak sedikit pun terdengar.Kemudian, tidak jauh dari mereka, dua buah pilar batu berdiri dengan gagah, ujung runcingnya seolah bisa mencakar angkasa. Berbeda dengan penampakan di sekitar belantara yang remang oleh cahaya bulan dan bintang-bintang, di tengah-tengah gerbang tersebut justru begitu gelap."Buka matamu dan masuklah ke gerbang sana!" gema suara Ki Ageng Romo mengetuk telinga Ayu. la yang baru sadar jika ritualnya sedang berjalan, ia segera membuka mata.TO BE CONTINUEDDi balik otak tersimpan berbagai peristiwa yang tidak nampak. Ingatan yang memiliki kesan akan terus meninggalkan jejak.Apa bila terus di telusuri rasa penasaran akan semakin memuncak. Yang terkadang malah menjebak, dari pikiran itulah perlahan - lahan gajal mulai terkuak. Tapi apa sebenarnya yang perlu di tebak?*Mata Ayu langsung menangkap sosok Ki Ageng Romo di hadapannya beserta Laras yang masih terbaring. Lelaki itu pun sempat terkejut karena kini ia sedang berada di lain tempat setelah sebelumnya berada di kediaman Ki Ageng Romo."Jangan terlalu lama mengulur waktu, aku akan menjaga anakmu dan menunggumu di sini," ucap Ki Ageng Romo. Namun, hanya suaranya saja yang terdengar, sebab bibir pria itu tetap terkatup rapat. Sama halnya dengan kedua matanya.Seolah-olah Ki Ageng Romo berkomunikasi dari tempat lain. Sementara yang ada di hadapan Ayu saat ini adalah refleksi khodam Ki Ageng Romo untuk menjaga Laras di batas gerbang gaib."Baik, Ki." Ayu lekas berdiri kemudian ada kunan
Yang hilang akan di temukan, yang pergi akan di kembalikan. Yang jauh akan di dekatkan, dan yang selama ini menjadi pertanyaan akan mendapatkan jawaban.*Di jarak yang cukup jauh, kunang-kunang berwarna biru itu melesat ke segala arah. Membuat Ayu kebingungan harus mengikuti yang mana. Namun, ia keburu sadar jika tugas pertama mereka telah usai. Sebab kini, di depan sana ada banyak orang yang seperti dirinya tengah berdiri tegak di tengah gelanggang terbuka.Namun yang Ayu saksikan di depan jauh lebih mengerikan. Sebuah ucapacara ritual berdarah tengah berlangsung. Dengan Mayat-mayat yang bergelimpangan ditumbalkan oleh orang-orang tanpa busana. Mereka bernyanyi, menari dan tertawa, berteriak riang sembari memenggali kepala anak-anak usia belia. Darah yang mengucur dari tubuh korban diminum bersama-sama. Mata Ayu, dan orang-orang itu kosong serta buas, seakan jiwanya telah sirna dari raganya.Para pemuja itu begitu buas melampiaskan segala hawa nafsu dunia agar mencapai titik kepuas
Dibalik sebuah petaka ada sebuah luka yang bersembunyi dalam duka. Hidup yang semakin tidak di suka, membuat orang lain menjadi celaka. Ketidaknyamanan itu menimbulkan prasangka, menebak pelaku kejahatan dengan berbagai logika*Mata Adam berkaca-kaca. la berlari masuk ke dalam rumah dan langkahnya memelan mendengar tangisan bayi dari dalam kamar. Sedangkan tatapannya fokus pada sosok jenazah yang diselimuti kain panjang dikelilingi oleh para ibu-ibu yang membaca yasiin.Semua pasang mata tertuju padanya. Tungkai kaki Adam lemas seketika. la jatuh terduduk di lantai. Menunduk dan membiarkan bulir-bulir bening itu jatuh. Segala penyesalan datang menuntut. Sayang, semua itu tak akan mengembalikan Jelita istrinya.Berita duka yang dikabarkan melalui masjid itu terdengar sampai ke desa sebelah.Imam Ahmad yang tengah berbelanja di sebuah warung itu pun mendengar beberapa orang sedang membahas tentang kematian seseorang di desa lain."Siapa sih yang meninggal?""Kalau tidak salah tadi nam
Keheningan menyelimuti Desa kayu arum. Kepergian Jelita seolah ditangisi oleh alam, sebab langit menurunkan gemercik hujan dari selesai tahlilan sampai hampir tengah malam. Yang biasanya akan ada peronda, mereka mendadak meliburkan diri.Jam saat itu telah menunjukkan pukul 10 malam. la menutup semua pintu dan berniat menilik bayinya di dalam kamar.la mendapati Salamah tengah mengganti popok bayi perempuan tersebut. Salamah terlihat bahagia mengurus cucunya.Setelah semua selesai, ia mengangkat bayi itu dan ditimang. Kecupan lembut mendarat di kening cucunya sebagai bentuk rasa kasih sayang."Heem... heemm..." Salamah bersenandung sambil berdiri menggedong bayi itu. la seakan tak peduli dengan kehadiran Adam yang menatap di ambang pintu.Ingin sekali rasanya Adam menimang buah hatinya. Namun rasa itu ia urungkan.Adam menghembuskan napas kasar berharap suatu saat ia bisa bersikap layaknya seorang ayah terhadap anaknya. Digendong, bermain bersama, bercanda bersama. la tak sabar akan h
Salamah kembali ke depan dengan susu di tangannya. Susu itu telah diukur suhunya sesuai dengan yang dianjurkan. Tidak panas karena Salamah telah mencampurnya dengan air biasa.Seharusnya ia sediakan air panas di dalam termos jadi sewaktu-waktu ingin membuat susu tak perlu memanaskan air lagi. Karena sibuk mengurus cucunya seorang diri ia jadi lupa."Sini cucu nenek." Salamah mengambil alih menggedong cucunya tersebut, lalu diberikan SUSU.Sayang, bayi itu tak mau menyusu."Badannya panas, Umi." Adam berucap.Salamah menyentuh dahi, dan pipi cucunya."Astaghfirullahaladzim badanmu panas, Nak," ujar Ibu Adam.la meletakkan susu tersebut ke atas meja."Kau buka bajumu!" titah Salamah"Untuk apa, Bu?" tanya Adam tak mengerti."Buka saja bajumu!" bentak Salamah.la lebih tahu apa yang harus dilakukan karena sudah berpengalaman. Adam membuka kancing bajunya satu persatu. Salamah pun melepaskan kain bedong hingga menyisakan popok, sarung tangan dan kaki pada bayi itu.Salamah menyerahkan cuc
"Wis surop, wis surop! sudah Maghrib, ayo pulang!" Riuh suara ibu-ibu yang memanggil anak-anak mereka bermain di halaman rumah, membuat lamunan seorang Pria yang duduk di kursi teras, terbuyar.Jam dinding yang berdebu tebal itu, sudah menunjukkan pukul enam lewat enam belas sore hari. Sudah masuk waktu Maghrib.Pria itu segera melangkahkan kaki keluar, tetapi saat itu juga, tangan keriput milik Ibunya mencekal lengan putih milik Pria itu."Mau kemana? sudah Maghrib, jangan keluar!" serunya dengan mata yang tertutup sebelah. Matanya memang buta separuh, sejak dia dilahirkan."Anjani di luar Umi. Aku harus jemput dulu!" jawabnya, sembari menepis tangan Ibunya, hendak nekad keluar."Jangan, Adam! iki watune bangsa halus keluar. Ndak baik keluar waktu sekarang!" cegahnya lagi.Adam, Pria bertubuh tinggi itu membuang nafas kasar, kalau tidak sekarang, malam nanti pun jelas dia tetap tidak boleh keluar. "Kalau ngga sekarang, kapan?" tanyanya dengan alis mengkerut."Nanti selepas magrib."
Senja telah menggulung teriknya siang dengan selimut kapas awan kelabu. Menjelang menutupnya mata siang hari, hujan pun turun. Suasana di sekitar rumah kecil Salamah perlahan menjadi gelap dan dingin.Rumah semi permanen itu memiliki hawa yang begitu dingin, apalagi bercak hijau di langit-langit rumah begitu menyiratkan kelembapan bangunan berisi tiga kamar itu. Jejak air hujan karena genteng yang bocor, kini menyisakan sekelumit lumut tipis di plafon berwarna putih. Terlihat sangat kontras.Tubuh mungil Anjani menggigil, terbungkus selimut tebal beraroma minyak angin milik neneknya. Matanya yang kala itu sudah minus dua-perkara yang tak lazim untuk anak balita pada umumnya- Anjani menatap ke langit-langit. Pikirannya kosong.Salamah duduk di tepi ranjang di samping kiri Anjani. Hasan berada di seberangnya, mengelus-elus tempurung kepala Anjani dengan mulut terkunci. Di ujung kasur, Salamah memijat-mijat kaki Anjani yang tersembunyi di balik tebalnya selimut. Anjani mencoba mengingat-
Anjani bergerak cepat. Ia sahut kacamata tebal.Ia raih gagang pintu kamar.Anjani berlari sekuat tenaga seakan ada yang hendak memangsanya di sepanjang lorong gelap itu.Begitu sampai di muka kamar mandi, Anjani melompat. Ia sambar sakelar lampu yang tingginya jauh melebihi kepala itu dan berpijak pada permukaan keset. Sedetik kemudian, dalam satu gerakan gesit, tubuh Anjani lenyapke bilik kecil itu. Pintu di belakangnya ia banting hingga menutup.Jantung Anjani berpacu, napasnya memburu.Selamat...Tak ada yang mengejar.Kencingnya terpancur ke dalam lubang kloset bersama kelegaan yang menjalar. Di tengah prosesi itu, Anjani berpesta. Ada secuil perayaan karena Anjani telah berani melewati rintangan kegelapan. Anjani, gadis kecil yang tengah terserang demam tinggi ini mampu ke kamar mandi di tengah malam tanpa membangunkan siapa pun.Di penghabisan pancuran air kencing itu, Anjani terdiam. Kesunyian datang merajai semesta.Gawat.Anjani tersadar ada utang yang harus ia tebus. S
Anjani bergerak cepat. Ia sahut kacamata tebal.Ia raih gagang pintu kamar.Anjani berlari sekuat tenaga seakan ada yang hendak memangsanya di sepanjang lorong gelap itu.Begitu sampai di muka kamar mandi, Anjani melompat. Ia sambar sakelar lampu yang tingginya jauh melebihi kepala itu dan berpijak pada permukaan keset. Sedetik kemudian, dalam satu gerakan gesit, tubuh Anjani lenyapke bilik kecil itu. Pintu di belakangnya ia banting hingga menutup.Jantung Anjani berpacu, napasnya memburu.Selamat...Tak ada yang mengejar.Kencingnya terpancur ke dalam lubang kloset bersama kelegaan yang menjalar. Di tengah prosesi itu, Anjani berpesta. Ada secuil perayaan karena Anjani telah berani melewati rintangan kegelapan. Anjani, gadis kecil yang tengah terserang demam tinggi ini mampu ke kamar mandi di tengah malam tanpa membangunkan siapa pun.Di penghabisan pancuran air kencing itu, Anjani terdiam. Kesunyian datang merajai semesta.Gawat.Anjani tersadar ada utang yang harus ia tebus. S
Senja telah menggulung teriknya siang dengan selimut kapas awan kelabu. Menjelang menutupnya mata siang hari, hujan pun turun. Suasana di sekitar rumah kecil Salamah perlahan menjadi gelap dan dingin.Rumah semi permanen itu memiliki hawa yang begitu dingin, apalagi bercak hijau di langit-langit rumah begitu menyiratkan kelembapan bangunan berisi tiga kamar itu. Jejak air hujan karena genteng yang bocor, kini menyisakan sekelumit lumut tipis di plafon berwarna putih. Terlihat sangat kontras.Tubuh mungil Anjani menggigil, terbungkus selimut tebal beraroma minyak angin milik neneknya. Matanya yang kala itu sudah minus dua-perkara yang tak lazim untuk anak balita pada umumnya- Anjani menatap ke langit-langit. Pikirannya kosong.Salamah duduk di tepi ranjang di samping kiri Anjani. Hasan berada di seberangnya, mengelus-elus tempurung kepala Anjani dengan mulut terkunci. Di ujung kasur, Salamah memijat-mijat kaki Anjani yang tersembunyi di balik tebalnya selimut. Anjani mencoba mengingat-
"Wis surop, wis surop! sudah Maghrib, ayo pulang!" Riuh suara ibu-ibu yang memanggil anak-anak mereka bermain di halaman rumah, membuat lamunan seorang Pria yang duduk di kursi teras, terbuyar.Jam dinding yang berdebu tebal itu, sudah menunjukkan pukul enam lewat enam belas sore hari. Sudah masuk waktu Maghrib.Pria itu segera melangkahkan kaki keluar, tetapi saat itu juga, tangan keriput milik Ibunya mencekal lengan putih milik Pria itu."Mau kemana? sudah Maghrib, jangan keluar!" serunya dengan mata yang tertutup sebelah. Matanya memang buta separuh, sejak dia dilahirkan."Anjani di luar Umi. Aku harus jemput dulu!" jawabnya, sembari menepis tangan Ibunya, hendak nekad keluar."Jangan, Adam! iki watune bangsa halus keluar. Ndak baik keluar waktu sekarang!" cegahnya lagi.Adam, Pria bertubuh tinggi itu membuang nafas kasar, kalau tidak sekarang, malam nanti pun jelas dia tetap tidak boleh keluar. "Kalau ngga sekarang, kapan?" tanyanya dengan alis mengkerut."Nanti selepas magrib."
Salamah kembali ke depan dengan susu di tangannya. Susu itu telah diukur suhunya sesuai dengan yang dianjurkan. Tidak panas karena Salamah telah mencampurnya dengan air biasa.Seharusnya ia sediakan air panas di dalam termos jadi sewaktu-waktu ingin membuat susu tak perlu memanaskan air lagi. Karena sibuk mengurus cucunya seorang diri ia jadi lupa."Sini cucu nenek." Salamah mengambil alih menggedong cucunya tersebut, lalu diberikan SUSU.Sayang, bayi itu tak mau menyusu."Badannya panas, Umi." Adam berucap.Salamah menyentuh dahi, dan pipi cucunya."Astaghfirullahaladzim badanmu panas, Nak," ujar Ibu Adam.la meletakkan susu tersebut ke atas meja."Kau buka bajumu!" titah Salamah"Untuk apa, Bu?" tanya Adam tak mengerti."Buka saja bajumu!" bentak Salamah.la lebih tahu apa yang harus dilakukan karena sudah berpengalaman. Adam membuka kancing bajunya satu persatu. Salamah pun melepaskan kain bedong hingga menyisakan popok, sarung tangan dan kaki pada bayi itu.Salamah menyerahkan cuc
Keheningan menyelimuti Desa kayu arum. Kepergian Jelita seolah ditangisi oleh alam, sebab langit menurunkan gemercik hujan dari selesai tahlilan sampai hampir tengah malam. Yang biasanya akan ada peronda, mereka mendadak meliburkan diri.Jam saat itu telah menunjukkan pukul 10 malam. la menutup semua pintu dan berniat menilik bayinya di dalam kamar.la mendapati Salamah tengah mengganti popok bayi perempuan tersebut. Salamah terlihat bahagia mengurus cucunya.Setelah semua selesai, ia mengangkat bayi itu dan ditimang. Kecupan lembut mendarat di kening cucunya sebagai bentuk rasa kasih sayang."Heem... heemm..." Salamah bersenandung sambil berdiri menggedong bayi itu. la seakan tak peduli dengan kehadiran Adam yang menatap di ambang pintu.Ingin sekali rasanya Adam menimang buah hatinya. Namun rasa itu ia urungkan.Adam menghembuskan napas kasar berharap suatu saat ia bisa bersikap layaknya seorang ayah terhadap anaknya. Digendong, bermain bersama, bercanda bersama. la tak sabar akan h
Dibalik sebuah petaka ada sebuah luka yang bersembunyi dalam duka. Hidup yang semakin tidak di suka, membuat orang lain menjadi celaka. Ketidaknyamanan itu menimbulkan prasangka, menebak pelaku kejahatan dengan berbagai logika*Mata Adam berkaca-kaca. la berlari masuk ke dalam rumah dan langkahnya memelan mendengar tangisan bayi dari dalam kamar. Sedangkan tatapannya fokus pada sosok jenazah yang diselimuti kain panjang dikelilingi oleh para ibu-ibu yang membaca yasiin.Semua pasang mata tertuju padanya. Tungkai kaki Adam lemas seketika. la jatuh terduduk di lantai. Menunduk dan membiarkan bulir-bulir bening itu jatuh. Segala penyesalan datang menuntut. Sayang, semua itu tak akan mengembalikan Jelita istrinya.Berita duka yang dikabarkan melalui masjid itu terdengar sampai ke desa sebelah.Imam Ahmad yang tengah berbelanja di sebuah warung itu pun mendengar beberapa orang sedang membahas tentang kematian seseorang di desa lain."Siapa sih yang meninggal?""Kalau tidak salah tadi nam
Yang hilang akan di temukan, yang pergi akan di kembalikan. Yang jauh akan di dekatkan, dan yang selama ini menjadi pertanyaan akan mendapatkan jawaban.*Di jarak yang cukup jauh, kunang-kunang berwarna biru itu melesat ke segala arah. Membuat Ayu kebingungan harus mengikuti yang mana. Namun, ia keburu sadar jika tugas pertama mereka telah usai. Sebab kini, di depan sana ada banyak orang yang seperti dirinya tengah berdiri tegak di tengah gelanggang terbuka.Namun yang Ayu saksikan di depan jauh lebih mengerikan. Sebuah ucapacara ritual berdarah tengah berlangsung. Dengan Mayat-mayat yang bergelimpangan ditumbalkan oleh orang-orang tanpa busana. Mereka bernyanyi, menari dan tertawa, berteriak riang sembari memenggali kepala anak-anak usia belia. Darah yang mengucur dari tubuh korban diminum bersama-sama. Mata Ayu, dan orang-orang itu kosong serta buas, seakan jiwanya telah sirna dari raganya.Para pemuja itu begitu buas melampiaskan segala hawa nafsu dunia agar mencapai titik kepuas
Di balik otak tersimpan berbagai peristiwa yang tidak nampak. Ingatan yang memiliki kesan akan terus meninggalkan jejak.Apa bila terus di telusuri rasa penasaran akan semakin memuncak. Yang terkadang malah menjebak, dari pikiran itulah perlahan - lahan gajal mulai terkuak. Tapi apa sebenarnya yang perlu di tebak?*Mata Ayu langsung menangkap sosok Ki Ageng Romo di hadapannya beserta Laras yang masih terbaring. Lelaki itu pun sempat terkejut karena kini ia sedang berada di lain tempat setelah sebelumnya berada di kediaman Ki Ageng Romo."Jangan terlalu lama mengulur waktu, aku akan menjaga anakmu dan menunggumu di sini," ucap Ki Ageng Romo. Namun, hanya suaranya saja yang terdengar, sebab bibir pria itu tetap terkatup rapat. Sama halnya dengan kedua matanya.Seolah-olah Ki Ageng Romo berkomunikasi dari tempat lain. Sementara yang ada di hadapan Ayu saat ini adalah refleksi khodam Ki Ageng Romo untuk menjaga Laras di batas gerbang gaib."Baik, Ki." Ayu lekas berdiri kemudian ada kunan
Masa lalu tidak hanya sebatas kenangan. Ada juga dendam dari perbuatan yang merugikan, kejadian pahit tidak akan pernah terhapus sampai adanya pembalasan. Harus kah melawan? atau pasrah karna itu adalah hukuman.*Ki Ageng Romo duduk di samping perempuan itu, lalu memutarkan asap dupa di atas wajahnya. Ki Ageng Romo mencelupkan telunjuknya pada wadah kecil berisi tinta yang terbuat dari racikan khusus. la mengusap kening perempuan itu dan membuat sebuah simbol di sana."Aku suka cara marahmu itu, Ayu. Luapkan lebih kasar lagi. Aku tidak suka sikap lembek yang ada padamu. Buang itu! Atau kau akan kesulitan ke depannya," ucap Ki Ageng Romo pada perempuan itu yang sebut saja namanya Ayu. "Apa?""Saat kau datang membawa anakmu, tekadmu belum sempurna. Kau masih dibayangi hal-hal duniawi dalam otakmu itu. Berilah celah agar kekuatan gaib yang kau alami saat ini dapat tempat di sisi kepala dan batinmu.""Apa yang akan kau hadapi jauh lebih besar kedepannya, kamu tau? Kau harus menembus jag