"Aku pulang karena keluarga tante Priska datang jadi karena aku juga sungkan bergaul dengan orang asing Jadi kuputuskan untuk kembali saja ke rumah," ujarku pada Bunda."Apa orang tua Priska ada di sana?""Iya, orang tuanya datang, kami berbincang-bincang sebentar lalu aku memutuskan pulang.""Apakah kau menjaga sikapmu dengan baik anakku?""Iya," jawabku sambil mendecak kecil."Bunda yakin kau marah marah.""Ya, aku memprotes tentang ketidak jujuran ayah dan Tante juga tentang keluarga mereka yang santai santai saja mengetahui fakta bahwa ayah punya anak dan adikku meninggal.""Untuk apa diceritakan Nak, siapa yang akan peduli ...." Bunda mendesah sambil terlihat bersedih, dibawah temaram lampu baca dengan kursi santai kesayangannya bunda terlihat sangat sedih tapi di atas kesedihan itu dia punya kepasrahan yang tulus."Setidaknya aku ingin tahu, apakah mereka punya empati atau tidak," jawabku dengan penuh keresahan dalam hati."Kalau dari awal seseorang memang tidak punya perasaan m
Entah apa yang membawa suasana pagi-pagi yang damai ini tiba-tiba dipenuhi dengan keriuhan. Aku yang sedang sarapan bersama Bunda dengan ketenangan hati kami setelah salat Subuh dan mandi tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan di pintu utama.Tok tok."Permisi, assalamualaikum ...." Aku dan Bunda saling memandang saat mendengar suara wanita dewasa yang memanggil dari depan sana. Nenek dari ibuku tidak mungkin datang karena posisi beliau yang beda pulau dari kami. Aku yakin yang datang sekarang adalah orang lain yang belum pernah datang ke rumah ini."Sebentar ya Bunda bukakan," ucap Ibuku sambil bangkit dari meja makan dan segera bergegas menuju ke pintu utama.Aku Yang penasaran juga akhirnya meninggalkan sarapan dan pergi ke depan untuk melihat Siapa yang datang. Saat daun pintu terbuka bertambah terkejutnya aku karena ternyata yang datang adalah keluarga Ibu tiriku. Ada adiknya dan suaminya serta Ayah dan ibunya. Herannya, Tante tidak terlihat sama sekali."Assalamualaikum...." ucap Ay
Usai mengatakan itu keluarga Tante Riska mengeluarkan sejumlah uang untuk kami, mereka meletakkan amplop coklat yang begitu tebalnya entah untuk apa tujuannya."Kalian juga bisa mendapatkan penawaran lebih Kalau tidak mau tinggal dengan Priska, kami akan membayar kalian berapapun kalian inginkan.""Bagaimana kalau aku minta uang miliaran Apa kalian bisa?""Maka pertanyaan harus dikembalikan padamu, Apakah setelah menjual suamimu miliaran rupiah, apakah kau akan merasa puas dan ikhlas melupakannya?" tanya ayah Tante Priska.".... Jika di dalam hati kalian masih tersisa cinta maka janganlah bersikap munafik dan menahan perasaan. Kenapa tidak hidup berdampingan dan mencoba menjadi saudara lalu saling berbagi dalam suka dan duka. Apa susahnya semua itu?" tanya Kakek Hamid."Jika demikian aturlah caranya," ujar Bunda sambil menutup percakapan."Kalau begitu terimalah uang ini dari kami sebagai bentuk permintaan maaf dan bela sungkawa. Kami tidak bermaksud membeli harga diri kalian, tapi ka
"Ada apa lagi Rindi?" ibunda tante Priska bertanya kepada tante Rindi perihal Mengapa Tante Riri terlihat begitu panik dan tante Priska terdengar menangis dari seberang sana."Ini ... Kakak nggak sengaja nabrak orang dan orangnya lagi gawat di rumah sakit, dia lagi ditahan di pos pengamanan, karena warga sekitar sedang mengamuk.""Apa?! Ayo bergegas ke sana dan hubungi polisi jangan sampai ada terjadi sesuatu kepada Priska," jawab ayahnya sambil mengajak anggota keluarganya.Tanpa mengatakan apapun kepada ayah mereka berempat langsung pergi bergegas begitu saja meninggalkan aku dan Bunda serta Ayah yang terkapar dengan wajah bingung.Melihat kepergian mereka Ayah hanya bisa menghalalkan nafas sambil menggelengkan kepala dan berdecak kecil."Ayah nggak mau ikut?" kepada ayah yang terlihat ingin bangun tapi tidak sanggup."Pertanyaanmu rasanya tidak perlu Ayah jawab.""Baguslah, sekarang hanya tersisa kami berdua yang akan menjaga dan mengurusi ayah. Faktanya keluarga kedua tidak akan l
*Pukul 08.00 malam mereka tidak kunjung kembali juga bahkan tidak menelpon sama sekali. Ayah yang mulai gelisah di tempat pembaringannya terlihat terus-menerus menatap ponsel dan menghubungi tapi tidak dijawab.Beliau terlihat sangat khawatir bahkan lebih khawatir dibanding ketika Bunda atau salah satu dari anggota keluarga kami sakit. Aku ingin sekali menyindirnya tapi kali ini Bunda tidak membiarkanku. Mungkin karena itu akan membuatku semakin berdosa jadi sebagai ibu bunda melarangku untuk bersikap melampaui batas."Daripada duduk saja mari siapkan makan malam," ujar Bunda sambil mengajakku beranjak ke dapur."Untuk apa kita siapkan makan malam di rumah orang Apakah mereka dijamin mau memakan masakan Bunda?" tanyaku."Uhm, setidaknya kita masak untuk ayah.""Ah, baiklah," jawabku sambil menghela napas.Aku dan bunda ke dapur, membuka kulkas dan mengambil sosis dan ayam, aku mengoreng sosis sementara, bunda masak ayam saus asam manis kesukaan ayah. Usai masak kami bawakan nasi han
Aku melenggang melewati mereka semua, naik menyusuri tangga dengan langkah elegan, dengan dagu yang terangkat, dan hati yang puas karena telah berhasil mengucapkan apa yang aku inginkan.Benar aku telah menghinakan semua orang dan yang paling parah aku telah menghinakan Ayahku sendiri. Ya, dia pantas mendapatkannya atas semua perbuatannya. Fakta itu adalah hal yang tidak mampu dia pungkiri karena kalau kondisinya sebagai pria miskin yang tidak begitu tinggi jabatannya, ketika menikahi seorang wanita kaya yang punya banyak warisan dan berasal dari keluarga terhormat, maka mau tidak mau ayah akan selalu menundukkan diri dan mengalah. Itu artinya Ayah tidak akan punya hak untuk berpendapat atau mengambil keputusan. Sungguh Ayah telah menukar harga dirinya dengan uang. Sungguh dia telah menggadaikan marwah dirinya hanya demi kenikmatan sesaat yang belum tentu dia benar-benar akan bahagia dengan itu.*"Kau puas mengatakan itu di hadapan mereka?" tanya bunda ketika kami berbaring di temp
"betul sekali, jangankan mendidik diriku mendidik dirinya dan mentalnya saja dia tidak bisa," jawabku sambil mengambil tas selalu melenggang pergi.Ayah terkejut, ibu dan Tante Priska juga, aku tak peduli, aku hanya tertawa lalu menjauh."Lihat anak itu, aku tak yakin kalau dia adalah anak dan keturunan Hafiz yang sopan santun dan bijaksana," ujar Tante Priska. Aku yang sedang berjalan langsung menghentikan langkah dan tersinggung sekali langsung saja aku balikan badan dan berlari sekencang mungkin lalu menarik rambutnya yang panjang.Kujambak dia sampai tiba-tiba terjatuh dan tersungkur ke lantai.Brak!Ah!Semua orang terkejut mendengar jeritan tante Priska begitu pula Ayah yang ingin membela istrinya tapi tidak kuasa karena masih sakit."Beraninya kau meragukan keabsahan aku keturunan siapa!""Kurang ajar!" Ujar Ayah tante Priska yang tiba-tiba mendekat dan berusaha menamparku tapi aku segera mundur menjauh darinya sehingga tamparan itu tidak kena."Kakek Hamid, aku juga meragukan
*Sore yang damai dengan angin berembus sepoi-sepoi mengundang diri ini untuk duduk di sofa santai dekat taman mini yang ada di samping rumah. Kunikmati udara yang berembus sambil melihat daun tanaman hias yang ikut bergoyang oleh terpaan angin.Pikiranku menerawang, perasaanku hampa meski ayah dan bunda masih ada, pandanganku terarah pada foto keluarga saat lebaran tahun lalu, ada nenek dan kami duduk dengan pose senyum penuh bahagia. Saat itu semuanya terasa sempurna, hidup kami selaras dan harmonis seperti air yang mengalir dalam sejuknya sungai yang Bayangi pohon rindang. Kehadiran Tante Priska seperti badai yang menggulung, seperti erupsi gunung berapi yang memporak-porandakan semuanya."Ah, ayah, semua ini karena ayah, Tuhan mengapa ini terjadi." Aku menggumam sendiri sambil menahan air mata yang bergulir di pipi."Apa yang kau pikirkan?" tiba tiba Bunda hadir dari belakangku."Tidak ada," jawabku lirih, kuhapus segera air mata agar bunda tak melihatnya. Wanita berhati lembut i