Tiada hari tanpa pertengkaran. Itulah yang terjadi kepada pasangan muda yang telah menikah hampir dua tahun ini.
Yoga tidak memberikan hak yang seharusnya diterima oleh Diana--istrinya, sehingga perempuan itu merasa tidak dihargai sebagai seorang istri.Tidak hanya itu.Diana harus melakukan begitu banyak pekerjaan di rumah suaminya seorang diri. Padahal, penghuninya tidak hanya dirinya. Namun, dialah yang bertanggung jawab penuh. Menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya. Belum lagi, ibu mertua dan adik ipar perempuannya, selalu minta dimasakkan setiap saat, tanpa melihat kondisinya yang telah kelelahan--seperti saat ini."Lama sekali! Apa kamu tidak bisa lihat, kami sudah kelaparan dari tadi?" teriak bu Rossa marah.Suaranya menggelegar dari arah dapur, sangat memekikkan telinga. Wanita yang sibuk menatap makanan di meja, terkesiap mendengar teriakan ibu mertuanya."Maafkan Diana. Diana sudah berusaha memasak semuanya dengan cepat," ucap Diana pelan sambil menundukkan pandangan."Halah, tidak usah mengelak! Kamu pasti sengaja membiarkan kami kelaparan, biar kami cepat mati dan kamu bisa menguasai rumah ini sepenuhnya. Iya ‘kan? Ayo mengaku!" seru Divia lantang.Mendengar cacian, serta diperlakukan dengan sangat buruk oleh keluarga suaminya, tentu membuat nyalinya semakin ciut. Di satu sisi dia mencintai sang suami, yang nyatanya tidak peduli terhadapnya. Di sisi lain bentakan serta cacian yang terlontar dari mulut mertua dan adik iparnya, membuat perasaannya kian bertambah sakit. Namun, sekalipun dicaci dan dibentak dengan kata-kata yang menyakitkan, Diana tidak pernah melawan. Bahkan dia tidak punya keberanian sama sekali untuk membantah. Menatap saja dia tidak berani."Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut saja.”Pak Hans, sang ayah mertua, sampai datang dari biliknya. Dia berbicara dengan suara yang ditinggikan."Itu loh, Diana, diminta mama masak, lambat sekali. Padahal kami sudah kelaparan," adu Divia dengan pongahnya pada sang ayah.Namun, Pak Hans justru menggelengkan kepala jengah. "Sejak kapan kamu memanggil Diana dengan sebutan nama? Dia istri kakakmu, panggil kakak! Dan satu lagi, jangan suruh-suruh Diana! Dia bukan pembantu di rumah ini!" sahutnya tegas.Pria itu menoleh ke menantunya yang masih saja menunduk. "Diana makanlah! Setelah itu mandi dan beristirahatlah! Kamu terlihat lelah," tuturnya lembut.Bu Rossa mengentak-entakkan kakinya karena kesal. "Mama jadi tidak selera makan, bau sekali badanmu! Ayo Divia kita makan di restoran saja!" serunya sambil beranjak meninggalkan meja makan.Diana terdiam. Dia merasa tak enak hati pada ayah mertua yang selalu membelanya ini. "Diana mohon sama Ayah untuk tidak membela di depan ibu ataupun Divia. Bukannya Diana tak menghargai, tapi Diana merasa tidak enak," ujar perempuan itu lirih.Di sisi lain, Pak Hans menghembuskan napas berat. Dia mengerti maksud dari menantunya itu, tetapi Pak Hans tidak nyaman melihat perlakuan tidak adil dari istri dan anaknya sendiri. "Maaf Diana, Ayah tidak akan membiarkan kamu diperintah seenaknya di rumah ini. Kamu bukan pembantu. Asisten di rumah ini ada delapan orang. Semua perkerjaan dipegang kendali oleh mereka.""Diana tidak apa-apa Ayah. Justru Diana sangat senang memasak untuk ibu dan Divia," balasnya diakhiri senyum tipis, walau hatinya tengah terluka."Sudah, kamu makan dulu! Ayah mau pergi sebentar. Jangan pikirkan lagi ibu dan Divia!" ucap Pak Hans, seraya berlalu meninggalkan meja makan.Diana mengamati punggung Ayah mertuanya yang semakin menjauh. ‘Aku beruntung memiliki ayah yang sangat baik padaku. Jika tidak, tentu saja aku tidak akan sanggup menjalani ini semua,’ gumamnya dalam hati.Tak lama, Diana menangkap sosok suami yang keluar dari kamar. Meski mendengar pertengkaran, pria itu tidak akan menghiburnya.Dua kali awalnya terasa perih, tetapi kini sudah sering, hingga ia mati rasa. Yoga bahkan tanpa malu langsung meminta Diana melayaninya.Namun, anehnya pria itu terus saja berjalan melewatinya begitu saja.Diana jelas tampak bingung."Mau ke mana mas? Ayo sarapan dulu! Aku sudah masak," serunya pada sang suami."Aku makan di luar, kamu makan saja masakanmu. Aku tidak menyukai masakan kamu," ketus Yoga dengan angkuhnya.Deg!Wanita itu menunduk sedih. "Tapi mas, aku sudah memasak masakan kesukaan ka--""Sudah, jangan memaksaku! Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah memakan masakanmu, walaupun itu makanan kesukaanku. Hanya masakan dari ibu yang akan aku makan," seru Yoga dengan sinis.Diana hanya diam. Dia tak lagi mendebat suaminya yang angkuh itu. Namun, perempuan itu mengepalkan tangannya---menahan emosi."Sampai kapan aku harus menahan ini?" lirih Diana pada diri sendiri.*****"Sayang! Maaf ya, mas telat?" ucap Yoga dengan lembut kepada seorang wanita yang telah menunggunya untuk makan.Wajahnya tampak bahagia--berbanding jauh saat melihat istrinya sendiri."Tidak apa-apa, Mas. Ayo kita makan! Aku masak menu spesial buat kamu," sahut Rista seraya mengambilkan piring untuk Yoga.Yoga lantas duduk di kursi dengan nyaman. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. "Kamu pintar sekali sayang! Masakan kamu selalu enak," tutur Yoga memuji.Perempuan itu hanya tersenyum.‘Siapa juga yang masak? Itu tadi aku beli di warung,’ gumam Rista dalam hati dan tentunya tidak akan memberitahukan itu ke Yoga."Tentu saja, Mas. Sebentar lagi kita menikah. Aku harus belajar masak untuk kamu," celetuk Rista sambil menyunggingkan senyum di bibirnya yang ranum itu."Benar-benar calon istri yang baik. Terima kasih sayang," ucap Yoga sambil terus menyendokkan nasi ke mulutnya.Selesai makan, Yoga tidak langsung pulang.Dia terus saja menikmati waktu bersama kekasih gelapnya itu. Tentu, saja kekasih gelap. Dia sudah memiliki istri, tetapi masih berhubungan dengan wanita lain. Tentu saja Diana tidak mengetahuinya.Sementara Yoga menikmati waktu bersama Rista, Diana hanya duduk terpaku di dalam kamar, yang diperuntukkan untuk pembantu.Selama ini, dia tidak lagi tidur di kamar suaminya. Dia pernah memprotes, tetapi justru diancam akan diceraikan.Meski Diana yakin keluarganya akan menerima dirinya, tetapi dia tak enak membuat keluarganya jadi perbincangan tetangga.Wanita itu menghembuskan napas berat. Kini, rasa lelah sudah menguasai dirinya. "Dulu, kamu memintaku pada ayah dengan sangat hormat, tetapi mengapa kamu memperlakukan aku sedemikian hina? Jika tidak lagi mencintaiku, kamu bisa ceraikan aku.”Mengusap air mata, perempuan itu terdiam. Dia lelah bersandiwara dan selalu mengatakan dirinya bahagia ketika ayahnya menelepon. Padahal kenyataannya, Diana sangat menderita di sini.Berulang kali, Diana diperlakukan dengan hina oleh suami, maupun keluarga besar suaminya. Namun, dia tetap bertahan--berharap mereka berubah."Diana! Diana! Di mana kamu?" teriak bu Rossa mendadak dengan sangat nyaring.Diana lantas menyembul dari balik pintu kamar. Raut wajahnya terlihat ketakutan. Dia sudah menebak apa yang terjadi nanti.Benar saja, Bu Rossa tampak berkacak pinggang dengan mata menyorot tajam. "Dasar pemalas! Siang-siang begini, malah santai-santai di kamar. Sial aku punya menantu macam kamu!"Diana segera keluar dari balik pintu--menahan gemetar di tubuhnya. "Semua pekerjaan sudah Diana selesaikan. Diana hanya istirahat siang sebentar Ibu," cicit Diana dengan suara bergetar."Ck!" Bu Rosa berdecak malas. "Sana! Buatkan kami makan siang yang enak. Awas kalau tidak!" Wanita itu memerintahnya dengan suara lantang.Diana terdiam. "Tapi, masakan tadi pagi masih banyak, Bu. Nanti mubazir.”"Heh! Banyak alasan kamu! Berani kamu membantah saya, Diana? Sadar diri! Kamu hanya menumpang di rumah ini. Lihat! Bahkan suamimu sudah tidak peduli lagi sama kamu. Dia bisa menceraikanmu kapan saja yang dia mau. Jangan banyak bicara lagi! Cepat masak! Saya dan Divia sudah lapar," ketus wanita itu seraya berlalu meninggalkan Diana.Mata Diana mulai memerah. Air matanya bisa luruh kapan saja. Sampai kapan dia seperti ini terus? Dia lelah.****Seharian Diana melayani ibu mertua dan adik iparnya. Ada saja yang dipinta mereka dari perempuan itu. Lama, Diana menunggu Yoga kembali--setidaknya
Di sisi lain, Yoga langsung meninggalkan Diana setelah memuaskan hasrat birahinya. Dia kini menyantap sarapan bersama sang ibu. "Yoga! Kapan kamu bawa Rista ke mari? Mama mau mengenalnya lebih dalam lagi. Mama juga ingin memastikan dia jauh lebih baik daripada istrimu yang tidak berguna itu," ucap bu Rossa sembari mengoles roti dengan selai kacang dan memberikannya kepada anak lelaki kesayangannya itu."Secepatnya, Ma. Aku sudah tidak sabar, menanti hari-hariku yang indah bersama Rista," sahutnya sambil tersenyum sumpringah."Lalu bagaimana dengan Diana? Apa kamu masih tetap mempertahankan perempuan tak tahu diri itu?" tanya bu Rossa sambil menutup wadah--tempat selai kacang."Tentu saja Ma, aku akan tetap mempertahankan dia. Memangnya Mama mau gaji pembantu naik? Kalau ada Diana, ada pekerja gratisan, Sementara Yoga tengah berbicara sengit dengan sang istri, Rista kini tengah asyik berbincang dengan mamanya. Perempuan itu tampak bahagia begitu membicarakan kekasihnya. Tak pedul
Sementara Yoga tengah berbicara sengit dengan sang istri, Rista kini tengah asyik berbincang dengan mamanya. Perempuan itu tampak bahagia begitu membicarakan kekasihnya. Tak peduli meski pria itu telah beristri."Apa kamu tidak salah pilih? Kamu tidak ingin memikirkan kembali keputusanmu yang tidak masuk akal ini? Kamu ingin menikah dengan laki-laki beristri? Apa kamu tidak pikirkan perasaan istrinya? Coba kamu bayangkan! Bagaimana perasaanmu, jika berada di posisi wanita yang suaminya kamu rebut paksa? Mama tidak setuju," ungkap bu Bianca tegas."Mama, Rista sangat mencintai mas Yoga. Lagian istri mas Yoga tidak keberatan, jika suaminya menikah lagi. Pokonya Mama harus mengizinkan kami menikah. Jika Mama tidak mau melakukannya, jangan harap Mama bisa bertemu denganku lagi di dunia ini. Lebih baik aku mati saja, daripada harus hidup tanpa mas Yoga," ucap Rista penuh penekanan dengan ekspresi wajah yang sendu. Tentu saja membuat hati mamanya rapuh. Mata Bu Bianca membesar. Terkejut
"Diana Mama lapar, buatkan Mama nasi goreng yang enak!" titah bu Rossa, dengan memegangi perutnya dan muka memelas."Iya Ma," jawab Diana singkat.Diana segera ke dapur untuk membuat nasi goreng yang diminta mama mertuanya."Ini, nasi goreng spesial buat Mama. Ya sudah Diana mau ke kamar dulu, Ma." Diana meletakkan nasi goreng itu di meja makan, tepat di depan bu Rossa dan segera berbalik badan menuju ke tempat favoritnya.Bu Rossa menyuapkan suapan pertamanya. "Enak sekali." Bu Rossa melahapnya tanpa sisa."Memang betul apa kata Yoga, kamu perlu dipertahankan. Berjaga-jaga siapa tahu istri baru Yoga nanti tidak tahu masak." Bu Rossa terus saja berbicara sendiri.Tanpa disadari, rupanya Diana mendengar semuanya. "Oh jadi seperti ini permainan kalian. Saya tulus buatkan nasi goreng itu buat Mama, tapi, ah sudahlah. Mereka memang tidak akan benar-benar berlaku baik terhadapku. Oke aku ikuti permainan kalian.""Aku akan mengambil keuntungan yang lebih banyak lagi dari kamu, Mas. Kamu ket
"Sini, aku bantu bawa!"Diana lantas menyerahkan beberapa belanjaan kepada suaminya. Kali ini dia menatap suaminya dengan sangat dekat. Dia tidak menyangka pernikahannya dengan Yoga akan seperti ini."Ayo jangan lambat! Aku sudah lapar," ucap Yoga sambil menenteng beberapa barang.Diana tampak mengekorinya dari belakang. "Iya, ini juga sudah cepat. Kamu pikir kamu saja yang lapar? Aku juga lapar," ucap Diana ketus."Awas saja jika istri barumu nanti kurang ajar! Aku sudah banyak membantu persiapan pernikahan kalian. Ini sangat melelahkan," ucap Diana seraya mengibaskan rambutnya."Halah, orang membantu dibayar saja, hitung-hitungan," sindir Yoga kesal."Bayaranmu tidak seberapa, rasa lelahku tidak bisa dibayar dengan uangmu," ucap Diana ketus."Sudah! Sudah! Jangan membahas soal bayaran. Aku istrimu. Uangmu itu ada hakku juga. Tanpa harus menjadi suruhanmu, aku punya hak atas uangmu," ucap Diana yang sudah tak bisa menahan amarahnya."Ya sudah! Jangan bawel! Cepatlah masuk! kita cari
Sementara bu Rossa dan Yoga berbincang, Rista hanya diam dan mendengarkan. Rupanya, dirinya masih memikirkan perbincangan dengan mamanya di rumah, tentang saudara kembarnya yang belum ketemu hingga sekarang."Rista, bagaimana denganmu? Apa kamu sudah siap menjadi istri kedua Yoga?" ucap bu Rossa membuat Rista terkejut."Iya Rista siap Tante," jawab Rista singkat."Lantas kenapa dari tadi kamu hanya diam saja? Apa kamu masih belum yakin?" tanya bu Rossa ragu."Bukan begitu Tante, Rista hanya dilema saja, dengan status baru Rista nanti, sebagai istri kedua mas Yoga. Bukan hal mudah Tante, pasti akan ada saja orang yang membenciku," ucap Rista ragu-ragu."Kamu tenang saja! Lagian kalian akan menikah dengan restu Diana. Diana sudah mengizinkan, jadi jangan khawatir akan hal itu!" ucap bu Rossa menenangkan."Baik Tante, Rista tidak lagi memikirkan hal itu. Rista sudah tidak sabar menjadi bagian dari keluarga ini," ucap Rista dengan senyum yang mengembang di wajahnya."Nah, begitu, jangan
Pagi-pagi sekali Diana pergi. Diana berniat ke salon untuk mengubah penampilannya. Uang yang selama ini ia kumpulkan, sudah lumayan banyak. Tak hanya mengubah penampilan, Diana juga ingin mengubah cara berpakaiannya. Dirinya sudah lelah diremehkan oleh suami sendiri. "Cantik sekali!" ucap pegawai salon yang tengah mengerjakan tugasnya, mengubah gaya rambut Diana. Pegawai itu juga mengajari cara berdandan kepada Diana. Hasil kerjanya sangat baik. Diana berubah menjadi sangat cantik. "Terima kasih! Ini juga berkat kecekatan Mbak dalam bekerja, sehingga penampilan saya benar-benar berubah. Saya sendiri hampir tidak mengenali wajah saya," ucap Diana memberi pujian, seraya memutar-mutarkan badannya di depan cermin dengan rasa puas. "Sama-sama Mbak, semoga tidak jera perawatan di salon ini," ucap pegawai Salon sopan. Setelah selesai, Diana segera pulang. Ia tak sabar, mendengar pengakuan dari suaminya, tentang perubahannya. Sesampainya di rumah Diana terkejut, melihat ayah dan ibunya
Diana hanya bisa menangis dalam kesendirian. Di rumah ini hanya Papa Hansmertuanya dan mbok Ranti yang peduli padanya. Yang lain akan tertawa bahagia melihatnya rapuh dan menderita. Ini sebabnya Diana lebih memilih diam di kamarnya. Andai saja Papa mertuanya tahu, kelakuan istri muda Yoga, tentu saja Papa akan marah besar. Tapi sayangnya papa Hans tidak tahu. Diana juga tidak berniat untuk menceritakan semua hal yang dialaminya, kepada Ayah dan Ibunya. Diana tidak mau mereka terbebani oleh pikiran berat. Biarkan saat ini Diana yang memikulnya sendiri. Suatu saat Diana akan menceritakan kepahitan ini, jika dirinya sudah bahagia dan terlepas dari pernikahan palsu ini. Pernikahan yang sah atas hukum dan agama, tapi dipermainkan oleh manusianya. Suami yang tidak bertanggung jawab dan suka berlaku semena-mena terhadap istrinya.***** Pagi ini Diana terlihat jauh lebih baik. Walaupun matanya terlihat sedikit menyipit karena tengah menangis semalaman, tapi dia terlihat jauh lebih kuat.