“Ini, biar kubantu membereskan barang-barangmu.” Aruna memasukkan ponsel, dompet dan beberapa barang lain yang berserakan di meja lalu menyerahkannya pada wanita berbaju krem yang sedang menatapnya dengan wajah pucat.“Silahkan. Pintu di sebelah sana. Atau, apa perlu kuseret agar kau berdiri dari kursi itu?” Aruna menatap wanita itu dengan tatapan tajam.“Mas Tibra yang memintaku ….”“Keluar!” Wanita berbaju krem itu langsung berdiri dan bergegas pergi saat melihat emosi Aruna mulai naik. Sebelum sampai di pintu dia membalikkan badan, melihat Aruna yang sedang menyandarkan bagian bawah tubuhnya pada meja sambil melipat tangan di dada.“Mas Tibra bilang kau sudah seminggu tidak ke sini. Jadi dia memintaku mengontrol kegiatan di sini.” Andhira bicara pelan, dia berusaha mengendalikan kegugupan yang memenuhi hatinya.“Pak.”“Hah?!”“Di kantor ini, semua orang tahu dia masih suamiku. Jadi, panggil dia dengan Pak Tibra, bukan Mas.” Aruna berkata sambil tersenyum sinis pada Andhira.“Kau s
“Sabar ya, Nak Zahir, semoga permasalahan orangtuanya segera selesai. Sekarang berarti Nak Zahir tinggal sama Ayah? Atau sama Ibu? Sudah tidak serumah ‘kan?”“Ya pasti nggak serumah dong, Bu. Kayaknya Bu Aruna juga trauma lah kalau tetap disana. Bayangkan saja, ditendang, dijambak, dihajar sampai lebam-lebam. Belum lagi kabarnya diselingkuhi pula. Aduuuuuuuh, dasar ya laki.”Zahir terdiam mendengar percakapan dua Ibu temannya. Dia akhirnya memilih pergi dan pamit karena mobil jemputan sudah datang.“Sabar ya, Nak, kalaupun nanti mereka berpisah, semoga itu yang terbaik. Lebih baik ikut ibumu kalau disuruh memilih.”Zahir hanya mengangguk kecil saat merasakan elusan tangan wanita yang dia kenal cukup baik itu. Sejak tadi, telinganya pengang mendengar orang membicarakan tentang pertikaian kedua orangtuanya. Mulai dari teman-teman, Bibi-bibi di kantin, bahkan guru-guru pun membicarakannya.“Kalau saya jadi Bu Aruna, saya akan mengambil jalan yang sama. KDRT dan kekerasan itu sudah tidak
Tadi dia tidak sengaja melihat televisi yang menayangkan berita tentang majikannya. Entah siapa yang lupa mematikan televisi. Merasa di rumah sedang tidak ada Tibra dan yang lain sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, Riri memilih duduk dan menonton sebentar. Dia juga sebenarnya penasaran permasalahan apa yang terjadi dalam rumah tangga majikannya.Dia memang sudah merasa beberapa bulan belakangan Tibra dan Aruna tidak sehangat dulu. Namun, mereka tetap terlihat akur di dalam rumah. Entah kalau di kamar, karena Riri tidak bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam sana.“Aku tidak mau sekolah lagi, Mbak!”Riri terkejut dan langsung menoleh pada Zahir. Anak itu pendiam dan banyak mengalah pada adiknya. Zafar memang lebih bawel dan usil. Anak umur enam tahun itu bahkan sering menjahilinya. Menyembunyikan sepatu sehingga dia telat pulang sore, sengaja berpura-pura menumpahkan minuman di bajunya, kadang bahkan iseng tidak mau menghabiskan makan sampai Riri harus sekuat tenaga me
Isakan Zahir akhirnya pecah saat ada dalam pelukan Riri. Dia sangat merindukan berada dalam dekapan Aruna. Dia juga sangat mendamba kehadiran sang ayah yang mendadak sibuk sendiri sejak kejadian hari itu. Tibra seperti sengaja mengambil jarak dari kedua anaknya.Sebenarnya bukan tanpa alasan lelaki itu sedikit menjauh, dia tidak hanya ingin meredam kemarahan kedua anaknya. Tibra sangat mengetahui Zahir dan Zafar sangat menyayangi ibu mereka, pasti ada kemarahan dalam hati keduanya melihat Aruna dia perlakukan sedemikian rupa. Itulah sebabnya dia mengambil jarak, agar emosi keduanya bisa menurun secara perlahan. Namun, tidak bagi Zahir. Anak lelaki itu seolah hilang pegangan. Keluarga mereka yang dulu harmonis, kini terpecah belah tak tentu arah.Ditambah pemberitaan dimana-mana, belum lagi ledekan dari teman-teman, membuat Zahir merasa dunia begitu kejam pada dirinya. Dia bahkan mengutuk Tuhan yang begitu tega merenggut semua kebahagiaan. Apa salahnya? Dia anak yang baik, rajin shal
“Ah!” Andhira melempar surat panggilan dari kepolisian. Wanita itu menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Wanita itu meremas rambutnya. Aruna, wanita seumpama malaikat yang dikirim Tuhan untuknya. Aruna datang tepat disaat dia berada di titik terendah kehidupannya. Wanita itu merangkulnya, dengan kedua tangannya yang bercahaya Aruna mengangkat tubuhnya yang nyaris tak bertenaga. Malam itu, saat hujan deras membungkus bumi, langit menjadi saksi dia telah berhutang nyawa pada Aruna. Karena wanita itu, dia bisa tetap bernapas hingga hari ini.Dering ponsel membuat Andhira terperanjat. Bergegas dia mengambil alat komunikasi itu dan melihat siapa yang menelepon.“Mas!” Dia sedikit berteriak saat mengetahui yang menelepon adalah Tibra.“Aku di ruangan. Cepatlah! Aku takut sekali.” Andhira menggigit kuku tangannya. Kebiasaan yang refleks dia lakukan kalau sedang sangat panik.“Iya, aku baik-baik saja. Kita butuh bicara. Aku hanya mengkhawatirkan Anna jika berita ini tersebar.” And
Dengan menguatkan hati dan menegarkan diri, Andhira berusaha melawan ketakutannya. Dia menggugat cerai lelaki yang telah memberinya satu buah hati. Semua bukti kekerasan Devan membuat lelaki itu tidak berkutik di persidangan. Dia hanya bisa pasrah saat hakim mengetuk palu, tanda sah terputusnya ikatan suami istri di antara mereka."Ini terakhir kalinya kau bisa pergi dariku, Andhira." Devan menarik rambut Andhira kencang. Sementara perempuan itu hanya bisa menangis sambil memeluk Anna yang saat itu masih berusia empat tahun."Biarlah langit malam ini menjadi saksi akan abadinya cinta kita. Kalau aku tidak bisa bersamamu, maka kupastikan orang lain juga tidak bisa memilikimu."Andhira memejamkan mata saat dirasa cengkeraman tangan Devan semakin kencang menjambak rambutnya. Wanita itu menggigit bibir untuk menahan rasa sakit dan nyeri di kulit kepalanya.Andhira akhirnya pasrah. Sejak perceraian mereka, ini kali ketiga dia berpindah kontrakan. Bukan tanpa alasan dia melakukannya. Nam
"Turun yuk." Wanita itu membuka kan pintu mobil.Andhira dalam keadaan basah kuyup sambil memeluk Anna ikut masuk. Dia langsung mandi setelah dipersilakan, kemudian memakai baju yang telah disiapkan. Sementara untuk Anna tersedia baju, namun, untuk anak laki-laki. Tak mengapa, ukurannya pas."Mbak, ayo makan dulu."Andhira terpana saat melihat sosok baik yang berdiri di depan pintu. Aruna Lakhsita Wira. Pengusaha terkenal yang namanya sangat disegani dan dihormati. Jadi yang menolongnya tadi adalah wanita itu?Andhira mengikuti langkah Aruna. Bibirnya berdecak kagum saat melihat kemewahan rumah itu. Benar berita yang beredar, keluarga ini mempunyai kehidupan yang sempurna. Istri yang cantik, suami yang tampan, dikaruniai dua orang jagoan, serta mempunyai harta yang berlimpah.Bisakah suatu saat nanti dia juga memiliki hidup seperti ini? Andhira menggeleng saat itu. Dalam hati dia mencebik. Impian itu terlalu tinggi bagi seseorang sepertinya."Siapa, Yang?" Suara seorang pria terdengar
Aruna menghela napas perlahan. Pagi ini hujan turun lagi. Seperti sore-sore yang lalu. tidak deras benar. Hanya gerimis. Membuat suasana menenangkan, dan tentu saja romantis.Hei! Coba lihat di pojok taman sebelah sana, arah jam sebelas. Sekuntum bunga terlihat bergoyang kesana kemari terkena air hujan. Kelopak bunganya berwarna merah dengan bentuk yang sangat indah. Bagian batangnya berduri tajam dan daunnya bergerigi di bagian samping, seolah membentuk benteng pertahanan agar si merah tidak mudah dijarah.Mawar merah. Bunga yang dulu selalu Tibra bawakan setiap peringatan tahunan hari jadi pernikahan mereka. Tahun pertama lelaki itu membawakan bunga mawar yang entah dia petik darimana. Tahun kedua lelaki itu mulai mempunyai sedikit uang untuk membelikan sekuntum bunga mawar merah yang dibungkus plastik bening.Hingga tahun kemarin, Tibra mempersembahkan sebuket besar bunga mawar merah berjumlah sembilan puluh kuntum sebagai tanda peringatan sembilan tahun pernikahan mereka yang penu