“Zahir, Zafar. Setelah makan siang segera bersiap ya, kita jemput Ayah di bandara.” Andhira meletakkan cumi goreng tepung di piring Anna. Anak gadisnya itu semakin manis saja di usianya yang menginjak delapan tahun.Andhira menoleh pada Zahir dan Zafar yang hanya diam saja. Dua kakak beradik yang terpaut usia dua tahun itu sibuk dengan piring masing-masing. Zahir berumur dua belas tahun dan Zafar sepuluh tahun.Mereka kompak menguasai cumi krispi yang baru diletakkan Andhira sehingga Anna memilih tidak mengambil lauk itu. Padahal, Andhira tahu sekali putrinya sangat menyukai menu itu.Empat tahun tinggal bersama, tidak membuat hubungan mereka menjadi cair. Anak laki-laki Tibra dan Aruna itu seolah menganggapnya tidak ada. Mereka bahkan tidak pernah menjawab setiap perkataan dan sapaan Andhira.Dua kakak beradik itu memang memilih mengabaikan Andhira. Untuk apa beramah-tamah dengan wanita yang telah menyingkirkan Ibu mereka? Walau Zahir dan Zafar masih kecil, mereka sudah paham apa yan
Aruna rutin setiap sebulan sekali berkunjung ke tempat tinggal baru Zahir dan Zafar. Bukan ke rumah, ada saja cara Riri membawa mereka keluar agar bisa menemui Aruna di penginapan. "Anna, nanti minta bantu Bi Sumi biar rambutnya diikat ekor kuda ya. Biar kompakan sama Ibu." Andhira mengelus kepala putrinya yang sedang asyik makan cumi tepung krispi saus asam manis. Akhirnya, Zahir dan Zafar mau juga berbagi. Mereka merasa tidak seru karena Anna pasrah saja tadi. tidak ada perlawanan sama sekali."Anna ikut jemput juga?" Zafar menoleh pada Zahir, Kakaknya. Ada nada protes sekaligus keberatan dalam nada suaranya.Zahir mengangkat bahu. Di melirik sekilas pada Anna, anak perempuan itu seusia dengan Zafar. Anna mengabaikan mereka. Sejak tadi gadis kecil itu sibuk menghabiskan makanan di piringnya."Memangnya dia siapa? Anna kan bukan anak Ayah?" Zafar kembali bicara.Sementara Zahir tersenyum tipis mendengar ucapan adiknya. Dia paham maksudnya. Zafar ingin meledek Anna lagi. Namun, Zahir
Pagi tadi Aruna memang memberi kabar hari ini akan tampil secara live. Stasiun televisi tersebut sudah meminta izin untuk melakukan liputan proses pemanenan di keramba jaring apung miliknya yang terletak di tengah laut Kepulauan Seribu. Aruna langsung mengiyakan saat salah satu pihak televisi menghubungi.Pemberitaan ini akan membawa dampak yang baik bagi usahanya. Selain bisa membangun nama baik di bidang budidaya udang vaname, dia juga bisa melakukan promosi secara gratis untuk usaha-usahanya yang lain.“Semoga saja ini bisa menjadi jalan semakin berkembangnya usaha yang sedang saya geluti. Sehingga akan menyerap semakin banyak tenaga kerja, yang tentunya akan membawa kebaikan bagi semua orang. In syaa Allah.” Senyum Aruna terlihat manis di layar kaca.“Aamiin.” Zahir, Zafar dan Riri mengaamiinkan ucapan Aruna.“Yuk matikan dulu ponselnya. Sebentar lagi sampai di bandara.” Andhira menjawil Riri. dia merasa sedikit muak mendengar pemberitaan tentang Aruna. Bosan sekali rasanya menden
Andhira menautkan alis melihat seseorang yang berlalu cepat dari samping Tibra. Dia seperti mengenal postur tubuh lelaki tadi. Namun, dia memilih mengabaikannya. Tidak mungkin orang itu bisa ada di sini. Lagipula, tempat itu jauh dari ibukota. Toh selama ini mereka aman di Solo. Bahkan, media pun tidak bisa mengendus keberadaan mereka di sana.“Mas.” Andhira mengulurkan tangan. Dia awalnya ingin menggelendot pada bahu Tibra sambil berjalan menuju mobil. Namun, Zahir dan Zafar seperti sengaja benar menggandeng tangan Ayah mereka di kiri dan kanan. Tibra tersenyum sambil mengedipkan mata pada Andhira. Mulutnya mengucapkan kata sabar tanpa suara.“Sabar ya, Sayang. Anak-anak lagi manja. Bagian kita nanti malam.” Bisik Tibra sambil menoel pipi Andhira saat akan memasuki mobil.Andhira mengangguk pelan sambil tertawa kecil dan mengedipkan mata pada Tibra. Dia sudah mempersiapkan banyak hal untuk merayakan kepulangan suaminya. Selain masak makanan kesukaan Tibra, dia juga menghabiskan wakt
"Oh, bukan. Tidak, tidak, bukan. Saya mengawali usaha dari penyewaan cottage. Awalnya hanya ada tiga, alhamdulillah sekarang sudah ada lima belas cottage yang tersebar di tiga pulau. Dari sana saya pelan-pelan mengumpulkan modal untuk usaha budidaya udang di keramba jaring apung ini …." Suara Aruna langsung memenuhi seisi mobil saat headset dicabut.Tibra menarik napas panjang. Pandangan lelaki itu lurus ke depan. Dia hanya tersenyum tipis mendengar pencapaian Aruna. Sejujurnya, Tibra tidak terlalu peduli dengan kabar wanita itu. Namun, satu hal yang membuat dia sedikit bertanya. Uang dari mana Aruna bisa memiliki modal sebanyak itu untuk membangun usaha? Sedangkan wanita itu dulu akhirnya merelakan harta gono-gini karena lelah menjalani persidangan yang begitu alot dan lama.Tibra mendadak tersenyum sinis. Pasti ada seseorang dibalik kesuksesan usaha Aruna. Tidak mungkin tidak. Usaha itu membutuhkan dana yang sangat besar. Seseorang yang menyokong modal dengan nominal yang tidak sedi
"Makan dulu yuk? Toh, selama ini resto baik-baik saja, kan? Itu yang Mas lihat laporan dua tahun lalu." Andhira menggigit telinga Tibra pelan. Tangannya bergerak memijat bahu suaminya. Sejak dulu, Tibra selalu memuji kelihaiannya memijat.Lelaki itu tertawa kegelian. Dia akhirnya berdiri dan memutuskan menutup laporan keuangan yang dari siang tadi membuatnya pusing. Benar kata Andhira, toh selama ini resto baik-baik saja. Lebih baik dia menikmati waktu dengan keluarganya dulu sebelum kembali terjun mengurus resto secara langsung.Dia menatap Andhira lama sebelum melangkah keluar ruangan. Sekejap, Tibra mengikis jarak di antara mereka. Kerinduan itu membuncah di antara keduanya."Mas!" Andhira menahan dada Tibra. Dengan napas terengah dia menggeleng pelan. Belum sempat dia bicara, Tibra kembali membungkamnya.Lima menit berlalu, Tibra melepaskan Andhira dengan senyuman menggoda. "Manis!" Lelaki itu menoel dagu Andhira. "Ayo kita makan dulu, anak-anak pasti sudah menunggu. Setelah itu .
“Ri, antar Anna ke atas ya.” Tibra memerintahkan Riri. Dia sudah merenovasi rumah itu sehingga Anna akan tidur di kamar atas. Empat tahun dia tidak menjejakkan kaki di rumah penuh kenangan ini.Setelah membereskan semua hal di Solo, mereka langsung kembali ke rumah lama. Tibra memang langsung ingin mengurus usahanya lagi di lapangan. Itu akan sulit dia lakukan kalau masih tinggal di Solo.Dia sudah memberi instruksi pada Dendra untuk melakukan renovasi dari jauh-jauh hari. Rumah itu memang harus disesuaikan karena ada penambahan anggota keluarga sehingga harus menambah satu kamar lagi.Andhira yang meminta agar bisa tinggal di rumah ini. Sementara rumah yang selama ini dia tempati sudah lama dijual. Andhira memang sengaja menjual rumah itu untuk menghilangkan jejak dari Devan. Terbukti, selama empat tahun ini hidupnya aman tentram tanpa kehadiran mantan suaminya itu.“Mas.” Andhira menyapa Tibra yang sedang memperhatikan setiap sudut rumah. Selintas tadi Andhira bisa melihat mata Tibr
“Jadi Tante Andhira dan Anna akan tinggal di sini juga, Yah?” Zafar bangun dari ranjangnya dan berjalan mendekati kakaknya.“Iya, Sayang. Sekarang kan kita sudah jadi keluarga, makanya Tante Andhira dan Anna tinggal bersama dengan kita.” Tibra mengelus kepala Zafar. Dia akhirnya menyerah meminta kedua anaknya memanggil Andhira dengan sebutan Ibu. Seminggu mencoba, Zahir dan Zafar keukeuh dengan pendirian mereka.“Kenapa sekarang harus tinggal bersama? Bukankah selama ini kita tetap tinggal terpisah walaupun Ayah sudah menikah lagi sejak masih bersama dengan Ibu? Lalu, kenapa sekarang semua harus berubah? Bisakah semua normal kembali seperti dulu? Setidaknya beri aku dan Zafar waktu untuk bisa belajar menerima semua.” Zahir mendongak, mengalihkan pandangan dari layar ponselnya ke arah Tibra.“Itu juga kalau kami bisa menerima,” desis Zahir.“Lama-lama kalian akan terbiasa. Toh selama empat tahun ini bukankah kalian baik-baik saja saat tinggal bersama?” Tibra tersenyum lebar.“Kami bai
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus