"KDRT DAN SELINGKUH. Kalau artis terkenal itu memilih berdamai dan memaafkan suaminya, tapi tidak denganku. Aku, Aruna, akan kupastikan pelaku tindak kekerasan dan selingkuhannya itu mendekam dibalik jeruji besi!" Aruna tersengal mengatur napas sambil bersandar di pintu rumah.
"Ya, Tuhan. Aku tahu semua ini milikMu. Kurelakan hari ini semua Kau ambil dariku, walau ikhlas belum mampu kuhadirkan dalam hatiku. Aku yakin suatu saat nanti, semua akan Kau kembalikan lagi. Entah kapan, bagaimana dan dalam bentuk apa."Petir menggelegar saat Aruna selesai mengucapkan kalimat itu. Hujan yang sore tadi hanya gerimis, semakin malam semakin deras. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu merapatkan kardigan yang dia kenakan.Aruna melangkah pelan meninggalkan rumah yang selama sepuluh tahun ini ditempatinya. Dia keluar hanya membawa baju yang melekat pada badan. Dua anaknya yang masih kecil, satu berusia delapan tahun dan satunya lagi berusia enam tahun pun dia tinggalkan.Jutaan bilur air hujan langsung menyergap tubuh saat kakinya menjejak halaman luar yang sudah tidak berkanopi. Dia menoleh sekali lagi pada bangunan yang dulu selalu menjadi tempat terbaiknya untuk bernaung, sebelum akhirnya dia menutup pagar dan melangkah pergi.Dingin air hujan terasa sampai ke tulang. Aruna menggigil dan memilih berteduh di pos satpam yang kosong, sepertinya petugas keamanan sedang keliling. Pengamanan di perumahan ini memang terkenal ketat. Sehingga, walau sedang hujan deras, jika sudah waktunya keliling, satpam akan menjalankan tugasnya.Aruna mengusap bagian depan jilbabnya yang meleyot karena basah terkena air hujan. Bajunya yang lembab semakin membuat tubuhnya menggigil. Bunyi air hujan yang mengenai genteng di atasnya terdengar cukup kencang, menandakan hujan masih sangat deras.Tatapan mata Aruna kosong. Hatinya terasa sesak seperti terhimpit batu yang sangat besar. Menarik napas pun sangat sulit, seperti udara seakan hilang dari bumi ini. Menangis? Tidak, Aruna tidak menangis. Air matanya sudah kering sejak beberapa bulan yang lalu saat dia menemukan fakta suaminya telah mendua.Aruna mengambil kursi plastik bulat yang terletak di dekat pintu. Wanita itu duduk sambil memeluk tubuhnya sendiri untuk mengurangi dingin walau itu sia-sia. Bajunya yang lembab dan angin yang masuk dari sela-sela ventilasi udara sukses membuat bibir birunya gemetar kedinginan.Aruna menyandarkan tubuh pada dinding. Pandangan matanya kosong. Bunyi hujan yang semakin kencang seakan menjadi musik pengantar yang tepat bagi ingatan masa lalu untuk menyerang ingatan. Aruna menghela napas panjang. Sedetik berlalu, bayangan kejadian lepas maghrib tadi sempurna terbentang di pikirannya.“Mana Zahir dan Zafar?” Tibra menerobos masuk begitu saja ke dalam kamar utama. Bunyi pintu yang berdebam karena dibanting memenuhi gendang telinga.“Astaghfirullahaladzim.” Aruna yang baru saja selesai melaksanakan shalat maghrib mengusap dada. Wanita itu meneruskan melipat mukena walau tangannya sedikit gemetar.Sore tadi dia memang menjemput Zahir dan Zafar dari rumah belakang. Rumah mereka terdiri dari dua bangunan. Rumah utama adalah yang dia tempati saat ini, rumah belakang adalah sebutan untuk tempat mereka menghabiskan waktu santai. Terpisah oleh kolam ikan koi kesukaan Tibra yang tepi kolamnya berjejer tanaman anggrek bulan kesukaan Aruna.Di rumah belakang ada beberapa kasur dan televisi berukuran 90 inch. Tibra sengaja membeli televisi berukuran besar itu karena mereka sangat suka menghabiskan waktu dengan menonton film di salah satu layanan streaming berbasis langganan. Lebih baik menghabiskan waktu intim bersama daripada pergi menonton bioskop keluar. Aruna hanya mengangguk tanda setuju waktu itu.Selama dua hari ini dia ke luar kota untuk mengurus cabang usaha mereka yang ada di sana. Kunjungan rutin setiap satu bulan sekali. Usaha mereka memiliki lima cabang di lima kota berbeda. Cabang utama dan satu anak cabang dikelola oleh Aruna. Sementara tiga anak cabang lain dikelola oleh Tibra, suaminya.Malam kemarin dia mendapat telepon dari wali kelas Zahir, ibu guru anaknya itu mengatakan Zahir sudah dua hari tidak masuk sekolah tanpa kabar. Aruna yang kaget langsung menghubungi Tibra. Sialnya, ponsel lelaki itu tidak aktif, begitu pun dengan ponsel kedua anaknya.Setelah menimbang beberapa hal, Aruna akhirnya memutuskan pulang. Biasanya dia akan disana selama empat hari, namun karena khawatir ada sesuatu yang tidak baik terjadi, dia memilih pulang lebih cepat pagi tadi.“MANA ZAHIR DAN ZAFAR?” Suara Tibra meninggi saat Aruna hanya membisu, tidak menjawab pertanyaannya.“Mereka ada di kamarnya,” jawab Aruna tenang. Dia berdiri dan meletakkan alat shalatnya ke atas meja.Wanita itu menuju meja rias dan mulai merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ketenangan sikap Aruna semakin membuat emosi Tibra meninggi. Lelaki itu melangkah cepat dan menarik sisir yang sedang Aruna gunakan dengan kasar.“Aw!” Aruna memekik kencang karena rambutnya ikut tertarik bersamaan dengan sisir yang dirampas Tibra.“Apa maumu?” Aruna menegakkan tubuhnya yang sempoyongan. Matanya tajam menatap Tibra.“Aku ayah mereka. Setidaknya izinlah padaku jika ingin membawanya!”“Ayah? Kau sebut dirimu ayah, hah?!” napas Aruna memburu.“Ayah macam apa yang membiarkan anaknya membolos selama dua hari dari sekolah tanpa alasan yang jelas!”Tibra menghembuskan napas kencang. Jadi Zahir membolos? Dia bahkan baru tahu anaknya itu tidak berangkat sekolah.“Kau terlalu sibuk dengan wanita penggoda itu, Mas. Sehingga alfa dengan kewajibanmu.” Aruna tersenyum sinis. Sebelah ujung bibirnya terangkat.“Dia istriku,” desis Tibra.Aruna terkekeh mendengar ucapan Tibra.“Ya apapun itu sebutanmu untuknya. Bagiku, wanita itu tidak lebih dari seonggok sampah yang menguarkan bau busuk. Saking busuknya aku bahkan merasa mual walau hanya sekedar mengingat wajahnya.”PLAK!Satu tamparan keras mendarat di pipi Aruna. Tubuh wanita itu limbung. Dia bergegas menyeimbangkan kembali badannya agar tidak terjatuh. Aruna mengusap ujung bibir, cairan kental berwarna merah memenuhi punggung tangannya.“Kau! Pengecut!” Aruna meraung dan menerjang Tibra. Lelaki itu terjatuh dengan Aruna berada di atas tubuhnya.Sekuat tenaga Aruna mencekik Tibra. Lelaki itu memberontak, urat di pelipisnya menyembul. Dia mulai kesulitan bernapas. Di sisa tenaganya, Tibra berusaha berguling sehingga membuat Aruna terjatuh dari tubuhnya.Tibra berdiri dan menghirup udara sebanyak mungkin. Setelah merasakan dadanya kembali lega, cepat dia menoleh pada Aruna yang berusaha bangkit. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, dia menendang Aruna berkali-kali, membuat wanita itu memelas memohon ampun.“Cukup, Mas! Cukup. Kumohon! Ada anak-anak di pintu. Ada anak-anak.” Aruna memeluk kaki Tibra agar berhenti menendangnya.Kilatan cahaya menerangi sekitar diikuti dengan suara petir yang menggelegar. Aruna tersadar dari ingatan tentang kejadian tadi sore.Wanita itu memejamkan mata. Dia menggigit bibir untuk mengurangi rasa sakit di hatinya. Batinnya benar-benar tersiksa saat mengingat dua pasang mata anaknya menatap ketakutan pada ayah dan ibunya yang sedang saling memiting.Aruna memijat keningnya pelan. Kepalanya mendadak terasa pusing karena banyak pikiran dan juga karena terkena air hujan.Klakson mobil membuat Aruna mengangkat kepala. Biasanya satpam yang bertugas akan membukakan pintu gerbang perumahan saat ada yang datang.Wanita itu menajamkan pandangan. Siapa orang yang datang malam-malam begini di tengah deras hujan? Menurut akal sehatnya, sebagian besar orang pasti akan memilih bergelung dalam selimut dan menikmati teh melati hangat untuk merilekskan badan.Sekali lagi Aruna menajamkan pandangan. Mendadak emosinya kembali naik saat mengetahui siapa yang ada di belakang kemudi. Kedua tangannya terkepal di atas paha, sementara dadanya naik turun dengan sangat cepat.“Andhira,” desisnya.Klakson mobil membuat Aruna mengangkat kepala. Biasanya satpam yang bertugas akan membukakan pintu gerbang perumahan saat ada yang datang.Wanita itu menajamkan pandangan. Siapa orang yang datang malam-malam begini di tengah deras hujan? Menurut akal sehatnya, sebagian besar orang pasti akan memilih bergelung dalam selimut dan menikmati teh melati hangat untuk merilekskan badan.Sekali lagi Aruna menajamkan pandangan. Mendadak emosinya kembali naik saat mengetahui siapa yang ada di belakang kemudi. Kedua tangannya terkepal di atas paha, sementara dadanya naik turun dengan sangat cepat.“Andhira,” desisnya. Untuk apa perempuan j*lang itu malam-malam di saat hujan deras begini datang ke area perumahan ini? Seingat Aruna, wanita itu tidak punya kenalan di sini, kecuali dia dan Tibra. Aruna tertawa kecil, merasa lucu dengan pikirannya sendiri. Sudah jelas tujuan wanita penggoda itu adalah rumah yang dulu menjadi istananya.Apakah memang sudah biasa baginya datang ke rumah saat dia sedang
"Andhira, jangan harap kau bisa menikmati harta yang kukumpulkan dengan susah payah!” desis Aruna.Wanita itu menunggu hujan reda. Tujuannya malam ini adalah kantor polisi untuk melaporkan KDRT yang dilakukan Tibra. Setelah itu dia akan melakukan visum untuk menguatkan bukti laporannya. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Dia harus segera bertindak agar tidak kalah langkah.“Tibra, bukan kau yang membuangku, tetapi aku yang meninggalkanmu,” desis Aruna.Suara berisik seperti kain dikibaskan dan percikan air yang mengenai wajah mengagetkan Aruna. Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk. Pak Arpin, satpam komplek yang dikenal Aruna sedang mengibas-ngibaskan payung biru yang tadi dipakainya. Aruna menarik napas pelan, rupanya percikan air yang tadi mengenai wajahnya berasal dari sana.“Pak Arpin,” sapa Aruna.“Astagfirullahaladzim!” Pak Arpin melompat kaget. Lelaki itu mundur selangkah dari tempatnya berdiri. Payung yang tadi dia pegang terlepas dari tangannya.“Eh?” Aruna berdiri melihat
“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.“Mari saya antar.”“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.Aruna tersenyum.“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas,” desis Aruna.“Pak Arpin tahu mobil warna merah menyala yang sering ke sini? Kalau tidak salah plat mobilnya berakhiran ADR.” Aruna melirik
Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”Empat puluh menit berlalu saat akhirnya motor yang dikendarai Aruna memasuki halaman cabang utama usaha mereka. Resto yang menyajikan makanan cepat saji itu terlihat ramai oleh pengunjung. Resto itu buka dua puluh empat jam dengan sistem shifting bagi karyawannya. Shift pertama pukul 06.00-14.00, shift kedua pukul 14.00-22.00, shift terakhir pukul 22.00-06.00.Aruna berlalu cepat menuju pintu belakang. Dia bahkan mengabaikan petugas keamanan yang sedang membicarakan entah apalah di salah satu sudut ha
"S*ialan!" Tibra menghembuskan napas kencang seraya tangannya bergerak meninju udara. Lelaki itu berkali-kali melemparkan makian saat tidak menemukan keberadaan istrinya disana.Dia menggeleng tidak percaya. Tibra akhirnya melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Aruna. Dia memperhatikan ruangan itu sejenak. Tibra menajamkan mata saat melihat seperti ada bercak air tertinggal di lantai. Sebelum dia berjongkok untuk memastikan, dia mendadak menyadari kalau bajunya sedikit basah saat berlari dari parkiran tadi.Tibra berjalan menuju meja kerja Aruna dan meletakkan kunci mobil beserta ponselnya. Ruangan itu tidak terlalu besar. Lampu dari bahan kristal berbentuk rangkaian anggur menggantung di plafon. Sofa dengan warna hijau muda senada dengan cat dinding terletak di sudut kanan. Biasanya digunakan oleh Aruna saat ada teman atau rekanan bisnis yang berkunjung kemari.Dua kursi terletak tepat di depan meja kerja Aruna. Biasanya digunakan jika ada karyawan yang datang menghadap atau a
Perasaannya menghangat saat tangan mereka berjabat. Hatinya berbisik, wanita di hadapannya ini butuh perlindungan. Sikap Andhira yang lemah seperti menjadi daya tarik tersendiri bagi Tibra. Dia langsung menyetujui saat Aruna mengusulkan untuk memberi Andhira pekerjaan. Apalagi, mereka memang sedang membutuhkan tenaga tambahan karena manajer yang lama baru saja mengundurkan diri. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan membuat mereka sering bertemu.Dari Andhira, Tibra merasakan dirinya menjadi lelaki seutuhnya. Wanita itu rapuh dan sangat bergantung padanya. Tibra merasa kehadirannya sangat dihargai oleh Andhira. Bertahun hidup bersama Aruna yang serba bisa melakukan apa saja, membuat Tibra seperti menemukan kehidupan baru saat bersama Andhira.Bantuan-bantuan kecil yang dia berikan, sering membuat wanita itu berkaca-kaca karena terharu. Ucapan terima kasih yang tulus dari bibir mungil Andhira seolah menjadi candu bagi Tibra. Hal yang tidak pernah dia dapatkan dari Aruna. Wanita yang te
Tibra menarik napas panjang. Sejak mereka menikah beberapa bulan yang lalu, dia memang sengaja meminta Andhira tidur di rumah. Selain dia bisa tetap menjaga Zahir dan Zafar, dia juga bisa menjaga Andhira. Perasaannya sering tidak tenang meninggalkan wanita itu, berbeda dengan Aruna. Dia tidak perlu takut wanita itu akan kenapa-kenapa. Aruna pandai menjaga diri dan bisa berpikir cepat.Bisa berpikir cepat, inilah yang sedikit dikhawatirkan Tibra. Sepuluh tahun berumah tangga, dia masih kesulitan menyelami pikiran Aruna. Dia tidak bisa menebak tindakan apa yang akan diambil Aruna. Satu yang pasti, dia harus menemukan Aruna malam ini. Bukan karena dia khawatir, tetapi agar dia bisa memastikan wanita itu tidak pergi jauh dan tetap dalam pengawasannya.“Mas?” suara di seberang sana kembali terdengar.“Ah iya, Dhir. sudah dulu ya? Mas sudah mengantuk ini.” Tibra berpikir cepat mencari alasan. Lebih baik menyudahi obrolan segera daripada harus menjelaskan pada Andhira apa yang terjadi. Salah
“Saya sudah di depan, Bu.”Aruna yang baru saja menyelesaikan sarapan tersenyum tipis membaca pesan di ponselnya. Dia segera kembali ke kamar dan bergegas mengambil paper bag yang dia bawa. Wanita itu kemudian berjalan anggun menuju lobby depan hotel tempat mobil mewah warna biru tua sedang parkir.Sebelum niat Aruna mengetuk kaca mobil terlaksana. Pintu mobil terbuka, lelaki berusia kurang dari empat puluh tahun berpenampilan perlente tersenyum lebar pada Aruna. Aruna langsung masuk setelah dipersilakan.“Saya Lendra.” Lelaki itu mengulurkan tangan sambil melepaskan kaca mata hitam yang dia kenakan. "Pak, tolong suara musiknya agak dikecilkan sedikit." Lendra memberi perintah pada supirnya. Suara musik yang sedikit kencang bisa mengganggu pembicaraan serius yang akan mereka mulai.Aruna tertawa kecil menatap Lendra. Dia langsung membalas jabat tangan pria matang di sampingnya. Siapa yang tidak tahu pengacara yang sedang naik daun ini? Penampilannya yang selalu modis dan rapi namun
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus