“Saya rasa cukup dulu ya teman-teman. Sepertinya kejadian yang sangat kebetulan terjadi hari ini tentu sudah menjawab pertanyaan dari kalian bukan? Apa mungkin seorang Tibra yang terkenal family man ini bisa melakukan KDRT? Kalau sekarang saya bersikap dingin pada Aruna ya karena semua kekacauan yang dia sebabkan sendiri.” Tibra mengangkat kedua tangan sambil menggelengkan kepala.“Satu pertanyaan lagi, apakah benar akan terjadi perceraian? Bagaimana tanggapan anda tentang Aruna yang sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama?” Salah satu awak media kembali bertanya. Dia merasa berita yang dia perlukan belum cukup informasinya.“Lihat nanti. Saya hanya memikirkan kondisi kedua anak saya. Cukup dulu ya saya rasa?” Tibra mengangguk sopan ke arah awak media yang berkerumun. Dia memberi kode pada Dendra untuk meminta mereka meninggalkan halaman.Aruna mendengus mendengar ucapan Tibra. Memikirkan anak-anak? Menikah lagi itu apakah salah satunya yang termasuk memikirkan anak-anak? D
Selama ini Aruna akan terjun kembali setelah usaha berjalan. Dia akan mengatur operasional usaha dan pemenuhan karyawan. Setelah itu dia hanya tinggal menjalankan usaha dan mengembangkan ide-ide peluang usaha lainnya.Wanita itu menggigit bibir. Tibra benar, walau selama ini mereka dikenal sebagai pasangan pengusaha yang serasi, namun secara hukum namanya tidak ada dalam struktur usaha. Bahkan semua deposito, giro dan tabungan semuanya atas nama Tibra.“Gila!” Aruna terkekeh sambil menggelengkan kepala. Dia baru menyadari semua itu saat ini. Lagipula, siapa yang menyangka hari ini akan tiba? Hari ketika rumah tangganya karam dan tidak bisa diselamatkan lagi? Kapal itu tenggelam. jalan satu-satunya agar mereka selamat adalah menggunakan pelampung dan berjuang sendiri-sendiri.“Cabut laporan itu dan mari kita berdamai, Aruna. Lakukan konferensi pers dan katakan kau melakukannya karena alasan yang bisa kita cari nanti. Kita jalani rumah tangga seperti selama ini agar Zahir dan Zafar bi
“Asal bukan suamiku,” desis Aruna. Wanita itu tersenyum sinis pada Tibra yang menatapnya dengan sayu. Sepuluh tahun bersama, Aruna paham sekali bagaimana suaminya. Gerak gerik lelaki itu jelas menginginkan dirinya.“Apa maksudmu?” Tibra menautkan alis. Dia sedikit bingung dengan perubahan sikap Aruna. Bukankah mereka baru saja bicara dengan baik-baik dan akan terjadi gencatan senjata?“Aku tidak pernah menentang lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri. Silahkan. Mau dua, tiga ataupun empat, terserah. Asal bukan suamiku!”Mata Tibra dan Aruna beradu. Saat itulah Aruna menyadari, Tibra bukan lagi orang yang sama. Lelaki itu bukan seseorang yang dia kenal bertahun-tahun lalu. Dia telah berubah. Walau sekejap tadi dia bisa melihat kerinduan itu memenuhi tatapan Tibra, tapi lelaki itu sudah tidak seperti dulu lagi. Kekuasaan dan kekayaan telah membuatnya menajdi orang yang berbeda.“Kau akan menyesal, Aruna. Sungguh, kau akan menyesal.” Tibra melepaskan tangan Aruna saat wanita itu men
“Menurut Tibra, dia hanya menjadi penengah antara Dendra yang merupakan sepupunya dengan Aruna. Namun, berkali-kali dia berusaha mengajak Aruna untuk duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin tetapi wanita itu tidak mau. Akhirnya hari ini Dendra ditemani Tibra dan kuasa hukumnya memutuskan melaporkan Aruna atas tindakan kekerasan dan penyerangan. Pelaporan ini bertepatan dengan Tibra memenuhi panggilan atas kasus KDRT yang dilaporkan Aruna.Baik, mari kita dengarkan secara langsung pernyataan Tibra yang baru saja keluar dari kantor polres.”“Kenapa kasus ini dilaporkan bertepatan dengan anda memenuhi panggilan atas laporan Aruna?” Salah satu awak media langsung menghampiri Tibra. Dia bahkan mengabaikan Dendra, yang seharusnya lebih tepat dia tanyai tentang laporan ini.“Ada selentingan kabar yang mengatakan anda berusaha mengalihkan berita yang selama ini beredar dengan menyerang balik Aruna. Apakah itu benar?” Seorang wanita berkacamata dengan name tag salah s
“Apa yang dia maksud diselesaikan secara kekeluargaan itu adalah mengancam akan membuat laporan balik kalau aku tidak mau mencabut perkara? B*ngsat!” Wajah Aruna merah padam dengan napas yang memburu.Dia tahu apa yang sebenarnya menjadi tujuan Tibra. Lelaki itu ingin melakukan pembunuhan karakter padanya. Dia ingin memunculkan citra sebagai istri pembangkang karena bisa melakukan tindak kekerasan, selain itu Tibra ingin memunculkan citra bahwa dirinya adalah seorang ibu yang egois karena menuntut cerai tanpa memikirkan perasaan anak-anak.Sehingga gambaran dirinya sebagai wanita ideal karena bisa membantu usaha suami dan mengurus anak-anak dengan baik yang selama ini melekat akan berganti sebagai istri pembangkang dan ibu yang jahat.Aruna akhirnya melanjutkan perjalanan yang sebenarnya akan segera sampai. Namun, karena ada berita itu dia memutuskan berhenti sebentar. Dia mendengus sebal saat terjebak kemacetan di perempatan hingga membuatnya kembali tertahan.Kurang dari lima menit
“Ini, biar kubantu membereskan barang-barangmu.” Aruna memasukkan ponsel, dompet dan beberapa barang lain yang berserakan di meja lalu menyerahkannya pada wanita berbaju krem yang sedang menatapnya dengan wajah pucat.“Silahkan. Pintu di sebelah sana. Atau, apa perlu kuseret agar kau berdiri dari kursi itu?” Aruna menatap wanita itu dengan tatapan tajam.“Mas Tibra yang memintaku ….”“Keluar!” Wanita berbaju krem itu langsung berdiri dan bergegas pergi saat melihat emosi Aruna mulai naik. Sebelum sampai di pintu dia membalikkan badan, melihat Aruna yang sedang menyandarkan bagian bawah tubuhnya pada meja sambil melipat tangan di dada.“Mas Tibra bilang kau sudah seminggu tidak ke sini. Jadi dia memintaku mengontrol kegiatan di sini.” Andhira bicara pelan, dia berusaha mengendalikan kegugupan yang memenuhi hatinya.“Pak.”“Hah?!”“Di kantor ini, semua orang tahu dia masih suamiku. Jadi, panggil dia dengan Pak Tibra, bukan Mas.” Aruna berkata sambil tersenyum sinis pada Andhira.“Kau s
“Sabar ya, Nak Zahir, semoga permasalahan orangtuanya segera selesai. Sekarang berarti Nak Zahir tinggal sama Ayah? Atau sama Ibu? Sudah tidak serumah ‘kan?”“Ya pasti nggak serumah dong, Bu. Kayaknya Bu Aruna juga trauma lah kalau tetap disana. Bayangkan saja, ditendang, dijambak, dihajar sampai lebam-lebam. Belum lagi kabarnya diselingkuhi pula. Aduuuuuuuh, dasar ya laki.”Zahir terdiam mendengar percakapan dua Ibu temannya. Dia akhirnya memilih pergi dan pamit karena mobil jemputan sudah datang.“Sabar ya, Nak, kalaupun nanti mereka berpisah, semoga itu yang terbaik. Lebih baik ikut ibumu kalau disuruh memilih.”Zahir hanya mengangguk kecil saat merasakan elusan tangan wanita yang dia kenal cukup baik itu. Sejak tadi, telinganya pengang mendengar orang membicarakan tentang pertikaian kedua orangtuanya. Mulai dari teman-teman, Bibi-bibi di kantin, bahkan guru-guru pun membicarakannya.“Kalau saya jadi Bu Aruna, saya akan mengambil jalan yang sama. KDRT dan kekerasan itu sudah tidak
Tadi dia tidak sengaja melihat televisi yang menayangkan berita tentang majikannya. Entah siapa yang lupa mematikan televisi. Merasa di rumah sedang tidak ada Tibra dan yang lain sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, Riri memilih duduk dan menonton sebentar. Dia juga sebenarnya penasaran permasalahan apa yang terjadi dalam rumah tangga majikannya.Dia memang sudah merasa beberapa bulan belakangan Tibra dan Aruna tidak sehangat dulu. Namun, mereka tetap terlihat akur di dalam rumah. Entah kalau di kamar, karena Riri tidak bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam sana.“Aku tidak mau sekolah lagi, Mbak!”Riri terkejut dan langsung menoleh pada Zahir. Anak itu pendiam dan banyak mengalah pada adiknya. Zafar memang lebih bawel dan usil. Anak umur enam tahun itu bahkan sering menjahilinya. Menyembunyikan sepatu sehingga dia telat pulang sore, sengaja berpura-pura menumpahkan minuman di bajunya, kadang bahkan iseng tidak mau menghabiskan makan sampai Riri harus sekuat tenaga me
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus