“MAS! Jangan, Mas. Istighfar.” Andhira berusaha memeluk Tibra dari belakang. Dia sedikit kesusahan karena terhalang perutnya yang membuncit.Tibra mendengs kencang saat merasa gerakannya tertahan. Hampir saja Tibra mendorong kencang Andhira kalau dia tidak ingat wanita itu sedang hamil besar.Dendra memanfaatkan momen itu untuk berdiri dan memperkuat pertahanan. Setidaknya dia harus meminta penjelasan kenapa Tibra tiba-tiba menghajarnya.“Bela saja terus pasangan selingkuhmu itu!” Tibra melepaskan pelukan Andhira.“Hah?” Andhira dan Dendra saling bertatapan.“Apa maksudnya, Mas?” Dendra maju perlahan. Lelaki itu mengumpat dalam hati, masalah apa lagi ini pikirnya. Belum juga terang benderang masalah kemarin, sudah muncul masalah baru yang tidak kalah peliknya. Sepertinya dugaannya benar kalau ada yang berusaha mengadu domba dia dan Tibra.“Jelaskan apa ini!” Tibra melemparkan amplop coklat yang dari tadi dia bawa.Foto-foto dari dalam amplop berceceran keluar dari amplop saat dilempar
Dendra akhirnya memilih bergegas pergi. Nanti-nanti dia bisa kembali lagi untuk menjelaskan saat emosi Tibra sudah stabil kembali. Kalau sidsh begini, mau diberikan penjelasan bagaimanapun Tibra tidak akan mendengarkan. Emosi sudah menguasai sepupunya itu Tibra mengikuti kepergian Dendra dengan ujung mata sampai sepupunya itu hilang dari pandangannya. Dia mengusap wajah kasar saat belakang tubuh Dendra sudah tidak terlihat lagi.“Mas ….” Andhira mendekati Tibra perlahan sambil memegang perut. Dari tadi janinnya terasa bergerak-gerak seperti gelisah. Dia benar-benar ketakutan tadi saat melihat Tibra begitu kasar. Bayangan saat dulu Devan menghajarnya langsung memenuhi ingatan. Susah payah dia menguasai diri agar tidak pingsan.“Dengar, Andhira. Aku tidak berlaku kasar padamu hanya karena memandang kau sedang hamil walau aku tidak yakin itu anakku.” Tibra menepis tangan Andhira yang berusaha menyentuhnya.“Satu lagi, jangan bermimpi aku akan melepaskanmu begitu saja. Dulu saat aku mas
“Saya tidak berminat memperpanjang kerjasama kita, Pak Devan.” Tibra menatap lelaki di hadapannya dengan wajah datar. Sejujurnya dia terganggu dengan kedatangan lelaki itu ke rumahnya.“Terima kasih.” Devan mengangguk sopan pada asisten rumah tangga Tibra yang baru saja meletakkan air minum dan mempersilahkannya.Lelaki itu mengikuti langkah wanita setengah baya yang menggunakan seragam hijau hingga hilang dari pandangan. Devan memperhatikan sekeliling rumah yang bercat kuning gading. Di samping sofa tempat mereka duduk, terdapat tangga dengan konsep transparan. Material kaca pada pegangan tangga membuat tampilannya tampak modern dan elegan. Tangga yang melingkar itu dilapisi dengan karpet yang ditempatkan pada anak tangga hingga memberikan kesan glamour.Tepat di atas tempat mereka duduk, terdapat lampu gantung mewah dengan bentuk dekorasi mahkota. Dekorasi lampu mahkota tersebut sangat cocok dengan warna rumah yang senada dengan lampu berwarna kuning. Devan mengangguk-angguk. Tida
“Sepertinya pembicaraan kita sudah selesai, Pak Devan? Mohon maaf sebelumnya, saya harus menemani istri kontrol ke dokter kandungan.” Tibra berdiri dan mengulurkan tangan.Devan tersenyum dan menyambut uluran tangan Tibra. Dia tahu, Tibra mengusirnya secara halus. Lelaki itu ikut berdiri sambil menatap Aruna yang berdiri terpaku di samping suaminya.“Sebentar ya, Sayang. Aku ganti baju dulu.” Tibra mengelus bahu Andhira dan berjalan meninggalkan Devan begitu saja saat mereka selesai bersalaman. Dia tidak sedikitpun menoleh pada Devan.Devan berjalan mendekati Andhira saat Tibra sudah hilang dari pandangan. Dia bisa melihat Andhira menampakkan gerakan kurang nyaman. Lelaki itu tersenyum lebar. Dia beruntung karena Andhira tidak menceritakan masa lalu mereka pada Tibra sehingga dia bisa bergerak dengan leluasa.“Kembali padaku, Andhira. Atau, kau akan melihat Tibra semakin hancur.” Devan merangkul bahu Andhira. Aroma minyak wangi yang Aruna kenakan menyapa hidung Devan.“Lepas!” Andhira
Devan menarik rambut Andhira kencang, membuat wanita itu meringis karena kesakitan di dua titik pada tubuhnya. Satu tangannya memegang perut, tangan yang lain memegang tangan Devan yang menarik rambutnya.Devan berbisik pelan pada Andhira. “Kau adalah mi-lik-ku!” Matanya menatap bengis pada wanita yang saat ini memandangnya dengan penuh ketakukan. Napas Devan menderu saat merasakan tubuh Andhira gemetar hebat dalam cengkramannya.“ARGH!” Devan berteriak sambil memegang pipi. Badan lelaki itu limbung hingga membuatnya kehilangan keseimbangan. Hampir saja badan Andhira terseret saat badan Devan terjatuh ke lantai, beruntung Tibra segera menahannya sehingga dia tidak ikut terjatuh. Wanita itu meringis sambil memegang kepalanya yang perih. Sepertinya beberapa helai rambutnya ikut tercabut saat Devan jatuh tadi.“APA YANG KAU LAKUKAN PADA ISTRIKU?!” Tibra menginjak perut Devan, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. Emosinya langsung naik saat melihat pemandangan Devan sedang menjambak ra
Devan mengedarkan pandangan dan melihat beberapa wajah yang baru kali ini dia temui. “Doris,” desisnya saat melihat orang yang sangat dia kenal juga dalam keadaan terikat di sampingnya. Lelaki itu langsung bisa menyimpulkan mereka disekap dalam sebuah gudang saat melihat beberapa tumpukan barang di sudut-sudut ruangan.Tibra terkekeh melihat wajah terkejut Devan. Tim investigasi yang dia bayar tadi menelpon dan mengabari kalau mereka berhasil menemukan kepala keuangan yang menyebabkan kebocoran uang usahanya. Mereka juga sedang dalam perjalanan dari Bandara pulang dari menjemput paksa Doris dari Amsterdam. “Ternyata kau dalang yang ada dibalik kekacauan dalam usahaku selama ini, Devan.” Tibra melangkah pelan dan menarik rambut Devan. Kalau tadi dia masih berpikir untuk memberi pelajaran pada Devan, kali ini dia tidak ragu lagi untuk menghajar lelaki di hadapannya.“Jangan asal menuduh tanpa bukti! Salah-salah kau bisa kembali ke dalam jeruji besi.” Devam tersenyum lebar. Dia tahu, se
"Berita mengejutkan datang dari dunia bisnis tanah air. Devan, pemilik usaha Boga Asri yang namanya melambung tinggi akhir-akhir ini mendadak berurusan dengan pihak yang berwajib.Tidak tanggung-tanggung, dia laporkan oleh Tibra sebagai orang yang selama ini melakukan sabotase atas usahanya. Menurut kuasa hukum Arapi, apa yang dilakukan oleh Devan itulah yang menjadi penyebab mundurnya usaha Tibra saat ini.Bagaimana hal itu bisa dia lakukan? Hal ini masih dirahasiakan dan akan diungkap dalam persidangan. Kabar terbaru yang kami dapat, per tanggal kemarin, Devan resmi ditetapkan sebagai tersangka."Kabar itu dengan cepat menyebar. Media berdatangan mencari informasi. Berkerumun seperti lalat yang mengerungi makanan basi.Disini, Devan menyelonjorkan kaki dan menyandarkan badan serta kepala pada dinding penjara. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, dia resmi ditahan. Dingin dinding serta lantai penjara terasa merayap ke badan dan kepala Devan yang sedang bersandar. Sesekali lelaki itu m
“Mari kita buat semuanya menjadi mudah.” Devan seolah bisa mendengar dengan sangat jelas suara Tibra saat itu. Dia bahkan seakan bisa melihat jakun lelaki itu naik turun dengan cepat.“Aku tidak akan melepaskanmu, Devan. Jadi, berhentilah berkelit. Aku hanya punya dua jalan untuk mengambil kembali semua yang telah kau curi dariku. Pertama jalan damai, kau bisa membayar semua kerugian yang kau sebabkan. Seperti selama ini dengan pongahnya kau selalu membayar kompensasi padahal itu dari uangku sendiri. Kau benar-benar b*ngsat!” Tibra memukul meja dan berdiri, dengan cepat dia menarik kerah baju Devan. Hampir saja dia kelepasan dan memukul Devan di kantor polisi.Tibra melepaskan kerah baju Devan sambil mendorongnya kasar, membuat lelaki itu terhempas di kursinya. Tibra menarik napas panjang untuk menenangkan diri, sementara Devan memilih diam. Dia menatap Tibra datar tanpa berniat sedikitpun untuk menanggapi setiap omongan ataupun perbuatan lelaki itu padanya.“Jalan kedua, aku akan tet
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus