"Berita mengejutkan datang dari dunia bisnis tanah air. Devan, pemilik usaha Boga Asri yang namanya melambung tinggi akhir-akhir ini mendadak berurusan dengan pihak yang berwajib.Tidak tanggung-tanggung, dia laporkan oleh Tibra sebagai orang yang selama ini melakukan sabotase atas usahanya. Menurut kuasa hukum Arapi, apa yang dilakukan oleh Devan itulah yang menjadi penyebab mundurnya usaha Tibra saat ini.Bagaimana hal itu bisa dia lakukan? Hal ini masih dirahasiakan dan akan diungkap dalam persidangan. Kabar terbaru yang kami dapat, per tanggal kemarin, Devan resmi ditetapkan sebagai tersangka."Kabar itu dengan cepat menyebar. Media berdatangan mencari informasi. Berkerumun seperti lalat yang mengerungi makanan basi.Disini, Devan menyelonjorkan kaki dan menyandarkan badan serta kepala pada dinding penjara. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, dia resmi ditahan. Dingin dinding serta lantai penjara terasa merayap ke badan dan kepala Devan yang sedang bersandar. Sesekali lelaki itu m
“Mari kita buat semuanya menjadi mudah.” Devan seolah bisa mendengar dengan sangat jelas suara Tibra saat itu. Dia bahkan seakan bisa melihat jakun lelaki itu naik turun dengan cepat.“Aku tidak akan melepaskanmu, Devan. Jadi, berhentilah berkelit. Aku hanya punya dua jalan untuk mengambil kembali semua yang telah kau curi dariku. Pertama jalan damai, kau bisa membayar semua kerugian yang kau sebabkan. Seperti selama ini dengan pongahnya kau selalu membayar kompensasi padahal itu dari uangku sendiri. Kau benar-benar b*ngsat!” Tibra memukul meja dan berdiri, dengan cepat dia menarik kerah baju Devan. Hampir saja dia kelepasan dan memukul Devan di kantor polisi.Tibra melepaskan kerah baju Devan sambil mendorongnya kasar, membuat lelaki itu terhempas di kursinya. Tibra menarik napas panjang untuk menenangkan diri, sementara Devan memilih diam. Dia menatap Tibra datar tanpa berniat sedikitpun untuk menanggapi setiap omongan ataupun perbuatan lelaki itu padanya.“Jalan kedua, aku akan tet
Devan menengadah. Untuk apa dia berbicara? Tidak ada gunanya. Bicara ataupun tidak dia tetap akan diputus bersalah besok siang karena semua bukti sangat kuat hingga akhirnya memilih bungkam apapun konsekuensi yang akan diterima..Dia bukan sedih karena kehilangan semua harta, toh itu semua bukan miliknya. Namun, dia sakit karena membayangkan Andhira hidup bersama lelaki lain. Hilang sudah kesenangannya selama ini menguasai dan mengendalikan wanita itu.Semua harta bukan milik Devan? Ya, bukan. Aset itu hanya sewa, modal merupakan pemberian dari pengusaha di belakangnya. Dia hanya mendapat bayaran menikmati hasil usaha, sebagai imbalan karena telah menghancurkan Tibra. Semurah itu bayarannya? Ya! Karena Devan sendiri yang datang menawarkan diri pada mereka. Dia dengan penuh kesadaran menemui para pebisnis itu setelah mendapatkan semua informasi tentang Tibra.Siapalah dia? Hanya mantan karyawan perusahaan yang tidak ada basic pengusaha sama sekali. Lalu dalam sekejap bisa memiliki usa
“Sampai detik ditetapkan sebagai tersangka, belum diketahui dengan pasti motif Devan melakukan sabotase pada usaha Tibra. Menurut keterangan dari Raka, pengacara perusahaan Tibra yang membantu menangani kasus ini, mereka juga belum mengetahui apa motif Devan.Raka mengatakan penyelidik sudah melakukan segala cara agar Devan bicara, tapi lelaki itu tetap memilih diam. Devan dapat dijatuhi hukuman yang berat kalau tetap bungkam karena dianggap tidak kooperatif dalam mengikuti proses hukum.Sementara itu, publik mulai menduga-duga. Mungkinkah Devan adalah orang suruhan Aruna? Mengingat dulu Aruna tidak menuntut pembagian harta gono-gini sedikitpun. Apalagi setelahnya, Tibra dan Andhira hidup bahagia sambil menikmati semua harta perjuangan Aruna dan Tibra selama ini.Menurut kabar yang kami dapatkan dari tim kami di lapangan, seperti biasa, Aruna memilih bungkam. Mantan istri Tibra itu mengatakan dia tidak punya waktu menanggapi kabar tidak penting seperti ini ….”Andhira menatap layar te
“Assalamualaikum.” Aruna masuk langsung menuju dapur hendak meletakkan sekeranjang buah yang tadi dibawakan temannya.Wanita itu melirik jam dinding sekilas. Jam dua belas kurang lima menit, pas tengah hari. Dia memang selalu menyempatkan pulang untuk makan siang bersama Adya dan Wira jika tidak sedang padat kegiatan.“Wah, ada tamu agung nih.” Aruna tersenyum lebar melihat Zahir dan Zafar sudah duduk rapi di meja makan. Di depan mereka terletak gelas berisi jus jeruk dingin yang isinya sudah tinggal setengah.“Ibu ….” Zahir dan Zafar kompak berdiri menyambut Aruna.Aruna tertawa dan mengulurkan tangan pada kedua anaknya. Zahir dan Zafar bergantian mencium tangan Aruna. Mereka tertawa saat Aruna mengacak rambut hingga berantakan.“Tumben pulang sekolah langsung ke sini?” Aruna urung masuk ke kamar. Wanita itu memilih langsung bergabung di meja makan. Biasanya, sesampai di rumah Aruna akan mandi dulu. Setelah segar baru bergabung ke meja makan.“Iya.” Zahir menjawab pertanyaan Aruna ti
"Tinggal di sini bagaimana maksudnya?" Aruna memegang bahu Zahir. Dia ingin memastikan maksud dari ucapan anaknya barusan.Anak laki-laki itu meletakkan ponsel yang sejak tadi dipegangnya. Dia menarik napas panjang seperti menimbang sesuatu. "Ya tinggal dengan Ibu," ucapnya. "Kalau boleh." Zahir menggurat motif permadani dengan ujung jari."Loh ya nanti dulu dong, Ibu sudah terlanjur nyaman seperti ini. Seperti gadis lagi hanya mengurus diri sendiri." Aruna tertawa diikuti oleh Adya dan Wira.Sementara Zahir dan Zafar saling pandang. Dua kakak beradik itu seperti kebingungan dengan jawaban Aruna. Apakah itu artinya mereka ditolak? Atau ibunya hanya sedang bercanda saja?"Memangnya kenapa, Nak? Ayah sudah memperbolehkan?" Aruna akhirnya mengelus kepala kedua jagoannya itu. Dia tidak tega lama-lama menggoda mereka."Ibu tentu senang-senang saja kalau kalian mau di sini, tapi 'kan kalian tahu sendiri Ayah seperti apa." Aruna menjelaskan pelan. "Ibu tidak mau sampai ada keributan lagi.""
Tidak dapat dipungkiri, dia pernah melewati masa-masa bahagia dengan Tibra. Perjuangan membangun usaha dari nol bersama lelaki itu memberikan banyak pelajaran bagi Aruna. Benar kata Tibra, dari mantan suaminya itu dia banyak belajar tentang usaha dan kerja keras. Namun, sayang, lelaki itu tidak dapat belajar darinya tentang kesetiaan dan komitmen.Butuh komitmen yang kuat untuk bisa tetap berdiri tegak di samping lelaki yang dulu dia cintai. Aruna yang biasa hidup berkecukupan, memilih meninggalkan semua itu dan hidup dalam kesusahan agar bisa bersama dengan Tibra.Andai mereka bisa saling belajar dalam masa perjuangan dulu, mungkin saat ini mereka masih menjadi keluarga utuh yang bahagia. Namun, semua tinggal masa lalu. Cerita mereka telah lama berlalu. Sesekali Aruna memang masih sering menengok ke belakang. Bukan karena belum move on, tetapi sebagai pengingat baginya untuk dijadikan pelajaran. Kini, hanya doa tulus yang Aruna panjatkan. Semoga Tibra bisa melewati semua cobaan ya
"Loh? Sejak kapan?" Zahir yang biasanya pendiam mendadak antusias sekali bertanya di sela-sela makan malam."Sudah lama, cuma memang diam-diam, backstreet kalau istilah anak muda zaman sekarang. Ibu kalian, wanita yang dekat dengan Om ini tidak mau hubungan kami diketahui publik." Tyo menjelaskan dengan sabar."Jadi, malam ini Om bermaksud melamar wanita cantik yang sangat kita cintai itu untuk menjadi pendamping Om. Namun sebelumnya, tentu Om harus bertanya apakah kalian bersedia berbagi? Tidak mudah bagi Om harus bersaing dengan kalian untuk mendapatkan cintanya. Oleh karena itu, Om berharap kalian mau berbagi, agar kita bisa menjadi kawan dalam menyayanginya, bukan lawan yang berusaha memperoleh perhatiannya." Ucapan Tyo membuat ruangan itu menjadi hening.Aruna menggigit bibirnya. Dua minggu yang lalu, Tyo sudah menyampaikan niat baik itu padanya. Bukan lamaran romantis seperti pasangan muda dengan cincin dan bunga-bunga. Tyo hanya menatapnya dalam-dalam saat mereka baru saja sel