Dendra akhirnya memilih bergegas pergi. Nanti-nanti dia bisa kembali lagi untuk menjelaskan saat emosi Tibra sudah stabil kembali. Kalau sidsh begini, mau diberikan penjelasan bagaimanapun Tibra tidak akan mendengarkan. Emosi sudah menguasai sepupunya itu Tibra mengikuti kepergian Dendra dengan ujung mata sampai sepupunya itu hilang dari pandangannya. Dia mengusap wajah kasar saat belakang tubuh Dendra sudah tidak terlihat lagi.“Mas ….” Andhira mendekati Tibra perlahan sambil memegang perut. Dari tadi janinnya terasa bergerak-gerak seperti gelisah. Dia benar-benar ketakutan tadi saat melihat Tibra begitu kasar. Bayangan saat dulu Devan menghajarnya langsung memenuhi ingatan. Susah payah dia menguasai diri agar tidak pingsan.“Dengar, Andhira. Aku tidak berlaku kasar padamu hanya karena memandang kau sedang hamil walau aku tidak yakin itu anakku.” Tibra menepis tangan Andhira yang berusaha menyentuhnya.“Satu lagi, jangan bermimpi aku akan melepaskanmu begitu saja. Dulu saat aku mas
“Saya tidak berminat memperpanjang kerjasama kita, Pak Devan.” Tibra menatap lelaki di hadapannya dengan wajah datar. Sejujurnya dia terganggu dengan kedatangan lelaki itu ke rumahnya.“Terima kasih.” Devan mengangguk sopan pada asisten rumah tangga Tibra yang baru saja meletakkan air minum dan mempersilahkannya.Lelaki itu mengikuti langkah wanita setengah baya yang menggunakan seragam hijau hingga hilang dari pandangan. Devan memperhatikan sekeliling rumah yang bercat kuning gading. Di samping sofa tempat mereka duduk, terdapat tangga dengan konsep transparan. Material kaca pada pegangan tangga membuat tampilannya tampak modern dan elegan. Tangga yang melingkar itu dilapisi dengan karpet yang ditempatkan pada anak tangga hingga memberikan kesan glamour.Tepat di atas tempat mereka duduk, terdapat lampu gantung mewah dengan bentuk dekorasi mahkota. Dekorasi lampu mahkota tersebut sangat cocok dengan warna rumah yang senada dengan lampu berwarna kuning. Devan mengangguk-angguk. Tida
“Sepertinya pembicaraan kita sudah selesai, Pak Devan? Mohon maaf sebelumnya, saya harus menemani istri kontrol ke dokter kandungan.” Tibra berdiri dan mengulurkan tangan.Devan tersenyum dan menyambut uluran tangan Tibra. Dia tahu, Tibra mengusirnya secara halus. Lelaki itu ikut berdiri sambil menatap Aruna yang berdiri terpaku di samping suaminya.“Sebentar ya, Sayang. Aku ganti baju dulu.” Tibra mengelus bahu Andhira dan berjalan meninggalkan Devan begitu saja saat mereka selesai bersalaman. Dia tidak sedikitpun menoleh pada Devan.Devan berjalan mendekati Andhira saat Tibra sudah hilang dari pandangan. Dia bisa melihat Andhira menampakkan gerakan kurang nyaman. Lelaki itu tersenyum lebar. Dia beruntung karena Andhira tidak menceritakan masa lalu mereka pada Tibra sehingga dia bisa bergerak dengan leluasa.“Kembali padaku, Andhira. Atau, kau akan melihat Tibra semakin hancur.” Devan merangkul bahu Andhira. Aroma minyak wangi yang Aruna kenakan menyapa hidung Devan.“Lepas!” Andhira
Devan menarik rambut Andhira kencang, membuat wanita itu meringis karena kesakitan di dua titik pada tubuhnya. Satu tangannya memegang perut, tangan yang lain memegang tangan Devan yang menarik rambutnya.Devan berbisik pelan pada Andhira. “Kau adalah mi-lik-ku!” Matanya menatap bengis pada wanita yang saat ini memandangnya dengan penuh ketakukan. Napas Devan menderu saat merasakan tubuh Andhira gemetar hebat dalam cengkramannya.“ARGH!” Devan berteriak sambil memegang pipi. Badan lelaki itu limbung hingga membuatnya kehilangan keseimbangan. Hampir saja badan Andhira terseret saat badan Devan terjatuh ke lantai, beruntung Tibra segera menahannya sehingga dia tidak ikut terjatuh. Wanita itu meringis sambil memegang kepalanya yang perih. Sepertinya beberapa helai rambutnya ikut tercabut saat Devan jatuh tadi.“APA YANG KAU LAKUKAN PADA ISTRIKU?!” Tibra menginjak perut Devan, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. Emosinya langsung naik saat melihat pemandangan Devan sedang menjambak ra
Devan mengedarkan pandangan dan melihat beberapa wajah yang baru kali ini dia temui. “Doris,” desisnya saat melihat orang yang sangat dia kenal juga dalam keadaan terikat di sampingnya. Lelaki itu langsung bisa menyimpulkan mereka disekap dalam sebuah gudang saat melihat beberapa tumpukan barang di sudut-sudut ruangan.Tibra terkekeh melihat wajah terkejut Devan. Tim investigasi yang dia bayar tadi menelpon dan mengabari kalau mereka berhasil menemukan kepala keuangan yang menyebabkan kebocoran uang usahanya. Mereka juga sedang dalam perjalanan dari Bandara pulang dari menjemput paksa Doris dari Amsterdam. “Ternyata kau dalang yang ada dibalik kekacauan dalam usahaku selama ini, Devan.” Tibra melangkah pelan dan menarik rambut Devan. Kalau tadi dia masih berpikir untuk memberi pelajaran pada Devan, kali ini dia tidak ragu lagi untuk menghajar lelaki di hadapannya.“Jangan asal menuduh tanpa bukti! Salah-salah kau bisa kembali ke dalam jeruji besi.” Devam tersenyum lebar. Dia tahu, se
"Berita mengejutkan datang dari dunia bisnis tanah air. Devan, pemilik usaha Boga Asri yang namanya melambung tinggi akhir-akhir ini mendadak berurusan dengan pihak yang berwajib.Tidak tanggung-tanggung, dia laporkan oleh Tibra sebagai orang yang selama ini melakukan sabotase atas usahanya. Menurut kuasa hukum Arapi, apa yang dilakukan oleh Devan itulah yang menjadi penyebab mundurnya usaha Tibra saat ini.Bagaimana hal itu bisa dia lakukan? Hal ini masih dirahasiakan dan akan diungkap dalam persidangan. Kabar terbaru yang kami dapat, per tanggal kemarin, Devan resmi ditetapkan sebagai tersangka."Kabar itu dengan cepat menyebar. Media berdatangan mencari informasi. Berkerumun seperti lalat yang mengerungi makanan basi.Disini, Devan menyelonjorkan kaki dan menyandarkan badan serta kepala pada dinding penjara. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, dia resmi ditahan. Dingin dinding serta lantai penjara terasa merayap ke badan dan kepala Devan yang sedang bersandar. Sesekali lelaki itu m
“Mari kita buat semuanya menjadi mudah.” Devan seolah bisa mendengar dengan sangat jelas suara Tibra saat itu. Dia bahkan seakan bisa melihat jakun lelaki itu naik turun dengan cepat.“Aku tidak akan melepaskanmu, Devan. Jadi, berhentilah berkelit. Aku hanya punya dua jalan untuk mengambil kembali semua yang telah kau curi dariku. Pertama jalan damai, kau bisa membayar semua kerugian yang kau sebabkan. Seperti selama ini dengan pongahnya kau selalu membayar kompensasi padahal itu dari uangku sendiri. Kau benar-benar b*ngsat!” Tibra memukul meja dan berdiri, dengan cepat dia menarik kerah baju Devan. Hampir saja dia kelepasan dan memukul Devan di kantor polisi.Tibra melepaskan kerah baju Devan sambil mendorongnya kasar, membuat lelaki itu terhempas di kursinya. Tibra menarik napas panjang untuk menenangkan diri, sementara Devan memilih diam. Dia menatap Tibra datar tanpa berniat sedikitpun untuk menanggapi setiap omongan ataupun perbuatan lelaki itu padanya.“Jalan kedua, aku akan tet
Devan menengadah. Untuk apa dia berbicara? Tidak ada gunanya. Bicara ataupun tidak dia tetap akan diputus bersalah besok siang karena semua bukti sangat kuat hingga akhirnya memilih bungkam apapun konsekuensi yang akan diterima..Dia bukan sedih karena kehilangan semua harta, toh itu semua bukan miliknya. Namun, dia sakit karena membayangkan Andhira hidup bersama lelaki lain. Hilang sudah kesenangannya selama ini menguasai dan mengendalikan wanita itu.Semua harta bukan milik Devan? Ya, bukan. Aset itu hanya sewa, modal merupakan pemberian dari pengusaha di belakangnya. Dia hanya mendapat bayaran menikmati hasil usaha, sebagai imbalan karena telah menghancurkan Tibra. Semurah itu bayarannya? Ya! Karena Devan sendiri yang datang menawarkan diri pada mereka. Dia dengan penuh kesadaran menemui para pebisnis itu setelah mendapatkan semua informasi tentang Tibra.Siapalah dia? Hanya mantan karyawan perusahaan yang tidak ada basic pengusaha sama sekali. Lalu dalam sekejap bisa memiliki usa