"Marni ... Lusa, Mas akan menikah dengan Amira. Keputusan ini sudah bulat," ucapku tanpa ada keraguan. Aku sudah mantap untuk menikahi Amira demi hutang budi Sang Ayah di masa lampau kepada Juragan Empang. Ayah yang sedang sekarat di ruang ICU memintaku menikahi Amira sebagai pelunas hutang.
PLAK!!Tamparan keras spontan mendarat di pipiku. Aku hanya terdiam tanpa mengaduh kesakitan. Aku sudah tahu, jika hal ini bakal terjadi. Aku pantas menerima amarah Marni yang tak mau aku madu."Pokoknya sampai kapan pun, Marni tidak pernah mau punya madu. Marni tidak menyetujui pernikahan Mas galih dengan wanita ilihan Ayah Mas Galih. Ini sama saja penghinaan Mas," ucap Marni keras sambil menangis. Buku -buku jarinya menancap di hamparan meja makan yang terbuat dari triplek."Inget Mas!! Kalau Mas memang lakukan itu, ceraikan saja Marni dan pulangkan Marni ke rumah orang tua Marni!!" teriak Marni dengan suara keras.Marni membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu kamar dengan sangat kencang dan mengunci dari dalam.Aku masih berdiri tertegun sambil menarik napas panjang lalu duduk di kursi meja makan sambil meneguk air putih yang sejak tadi kupegang gelasnya.Marni, Dia istriku, cinta pertamaku saat kita msih duduk di bangku sekolah. Dia bersedia menungguku sampai aku lulus menjadi sarjana pendidikan dan kini aku menjadi tenaga pengajar di sekolah negeri.Pernikahanku sudah memasuki tahun kelima. Namun, kami belum dipercaya untuk mendapatkan keturunan. Aku sendiri tak pernah memaksa Marni untuk segera hamil, karena aku sangat menikmati masa -masa ini.Aku mencoba mengalah dan meminta pengertian dari Marni.Tok ... Tok ... Tok ...Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar tidur dan meminta Marni untuk membukakan pintu tersebut."Marni ... Sayang ... Mas mau masuk. Mas juga lelah mau istirahat," ucapku merajuk agar Marni mau mengasihaniku.Sekali ... Dua kali ... Tak ada sahutan. Mungkin Marni syok dengan ucapanku barusan. Padahl Marni sudah tahu sejak beberapa hari lalu tentang permintaan Ayah yang ingin menikahkan aku dengan Amira.Terpaksa malam ini aku tidur di luar kamar. Sofa empuk yang agak panjang menjadi sasaran untuk menyamankan punggung yang terasa pegal karena seharian bekerja. Besok adalah pertemuan pertama dengan Amira. Aku saja belum tahu, seperti apa rupa Amira itu, anak dari juragan empang.Dulu, hidup Ayah dan Ibu begitu miskin sekali. Ayah hanya menggarap empang miliki juragan, sedangkan Ibu menjadi ibu rumah tangga yang baik Ibu begitu ikhlas menerima semua yang di beri oleh Ayah. Jika kurang, Ibu tak segan -segan meminjam unag juragan agar aku tetap sekolah dan melanjutkan kuliah.Namun sayang, Ibu lebih dulu di panggil Tuhan karena sakit keras dan tidak ada uang untuk berobat. Ibu bilang smeua unag Ibu untuk biaya kuliah aku bukan untuk biaya berobat Ibu. Ibu hanya ingin melihatku lulus dan di wisuda lalu sukses bekerja.Kedua mataku lama -lama terpejam karena memang sudah sangat mengantuk lalu tertidur pulas hingga pagi.Suara adzan shubuh terus memanggil dan membangunkan aku dalam kelelapan. Tubuh ini rasanya enak sekali saat bangun. Mimpi apa semalam? Sepertinya aku bermimpi bertemu dengan bidadari.Ruangan itu masih gelap, begitu juga dengan ruangan lainnya yang juga belum nyala lampunya. Biasanya, Marni sudah terbangun dan memulai aktivitas di dapur sekedar membuatkan kopi untuk dirinya dan sarapan sederhana sebelum berangkat kerja.Kuketuk lagi pintu kamar yang masih terkunci itu. Tapi, lagi -lagi Marni tak menyahut. Entah paa yng dilakukan istriku semalaman di kamar.Pagi itu aku mulai dengan sholat shubuh dan membuat kopi sendiri. Lalu aku berangkat kerja dengan pakaian kemarin yang aku ganung di kamar mandi. Untung saja belum masuk ke ember cucian."Marni ... Mas berangkat kerja dulu," pamitku pada Marni.Aku bergegas berangkat kerja menggunakan motor matic. Sambil menyetir motor, aku juga mencari warung kecil untuk sarapan. Uang untuk istriku juga sudah aku selipkan di bawah pintu kamarnya.Kalau Marni masih marah, itu tak masalah. Tapi ini soal baktiku pada Ayah.Warung Cap Halal, ucapku pelan sambil membaca warung baru yang ada di pinggir sawah. Masih pagi tapi nampak sangat ramai sekali. Aku memang jaraang melewati jalan kecil ini, ternyata semuanya sudah berubah. Aku menghentikan laju motor dan memarkirkan motor itu tepat di depan warung kecil yang terlihat terbuka."Pesan apa, Mas?" tanya seorang wanita cantik sambil mengambilkan piring untukku."Ada apa saja?" jawabku sambil membaca menu yang ada."Banyak Mas, ada ramesan, nasi soto, indomie atau kupat sayur," jawab wanita itu ramah denagn senyum mempesona."Kupat sayur saja. Kerupuknya yang banyak," pintaku lalu duduk di pojok sambil menatap beberapa orang yang sdeang fokus menikamti sarapan mereka.Waungnya tak besar tapi sangat ramai. Ada tiga wanita yang melayani pelanggan, termasuk wanita yang berbeda yang melayaniku tadi.Satu mangkuk kupat sayur sudah ada di depanku lalu aku memesan teh manis hangat sebagai teman selesai makan nanti.Wanita yang melayaniku tadi kemudian duduk dan tak melayani siapapun lagi walaupun ramai. Ia malah duduk dan menghitung uang di laci.Aku hanya sekilas melihat wanita itu dan fokus kembali pada sarapanku dan Marni.***Sepulang mengajar, aku langsung menuju rumah sakit dan menemui Ayah yang masih terlelap. Suster hanya memberikan pesan kepadaku, agar aku menunggu hingga tamu Ayah datang.Tak lama, Juragan Empang dan beberapa anak buahnay datang serta wanita yang tidak asing lagi di mataku. Wanita itu? Bikankah dia pelayang di warung makan tadi?"Galih?" panggil Juragan empang tegas."Iya juragan," ucapku sopan."Ayah bagaimana?" tanya Juragan itu pelan."Masih sama juragan. Bisa sembuh jika di bawa ke kota," ucapku lirih."Hari ini juga, aku akan bawa Ayahmu ke kota untuk berobat. Tapi, malam ini juga kamu nikahi, putriku," ucap Juragan Empang itu lantang."Menikah sekarang?" ucapku kaget."Iya. Dia Amira, putri semata wayangku. Dia menyukaimu sejak kecil. Tolong jaga dia, jangan sakiti dia," ucap Juragan Empang tegas."Ta -tapi, juragan ...," ucapku lirih.Aku tidak mau ada salah paham disini. Kau lebih baik jujur dengaan posisi dan keadaanku saat ini."Apa? Kamu tidak mau menikahi anakku?" tanya Juragan Empanag ketus."Bukan itu juragan. Ta -tapi ... saya sudah punya istri juragan," jawabku jujur."Akhirnya kamu jujur juga. Amira? Gimana? Galih itu sudah menikah," ucap Juragan Empang menatap ku dengan rasa benci."Gimana Ayah aja," jawab Amira merasa kecewa juga."Kita batalkan saja kalau begitu. Satu hal lagi. Besok semua uang pinjaman Ayah kamu harus segera di bayarkan!! Saya tidak mau tahu. Dan, saya tidak jadi membawa Ayahmu untuk berobat ke kota!! iTu urusan kamu!! Mau mati atau mau hidup!!" ucap Juragan Empang tanpa belas kasih lalu menggandeng Amira pergi dari rumah sakit itu.Galih mendekati ruang ICU dan menatap Sang Ayah begitu lemah. Seharusnya, jika ia bisa membiayai pengobatan Ayah di rumah sakit besar yang ada di kota, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikah lagi jika kedua -duanya tak paham situasi dan kondisiku. Marni, maafkan aku, suamimu," ucap Galih lirih.Aku kembali duduk di kursi besi yang panjang dan menatap nanar ke arah ruang ICU. Bagaimana nasib Ayahnya setelah ini."Mas Galih ...," panggil Marni dengan wajah yang pucat dan kedua mata bengkak karena terlalu lama menangis.Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Marni, istriku sedang berjalan ke arahku dengan membawa berkas di pelukannya."Marni?" ucapku lembut dan kaget melihat Marni.Jarak antara rumah dan rumah sakit ini cukup jauh. entu saja harus menaiki kendaraan untuk sampai kesini."Tanda tangani ini," titah Marni padaku. Marni menyodorkan satu bendel yang tertutup rapi di dalam map berwarna kuning."Tanda tangan? Ini ap
Pernikahan kedua Galih akan dilaksanakan pagi ini sekitar pukul delapan. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Mulai dari seserahan, mahar dan mas kawinnya juga sudah teretata di meja."Marni ... Kenapa kamu tak mengganti pakaian kamu yang diberikan Amira?" tanyaku yang sudah rapih dengan setelan jas hitam. Ditanganku sudah ada sebuah kertas yang bertuliskan nama Amira lengkap dengan bintinya. Aku belum hapal untuk mengucap ijab kabul itu."Badanku gak enak, Mas," jawab Marni yang masih berada ditempat tidur dan belum memulai aktivitas pagi ini. Marni telah berjanji pada Amira untuk datang ke cara pernikahan kedua suaminya. Namun, ternyata Marni tak setegar itu untuk menyaksikan Galih, suaminya harus duduk berdua dengan perempuan lain di pelaminan. Apalagi harus mendengar ucapan Galih mengucap janji ijab kabul untuk mensahkan pernikahan keduanya atas ijin Marni sebagai istri pertama.Aku melirik ke arah Marni yang tubuhnya ditutup rapat oleh selimut dan tak bergerak sedikitpun tubuhn
"Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Jatmiko dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah," ucap Galih dengan suara lantang."Bagaimana SAH?" tanya penghulu itu penuh semangat."SAH!!" jawab para tamu undangan serempak.Setelah pengucapan ijab kabul tersebut aku langsung menghela napas begitu lega. Rasanya beban hutang yang selama ini membuat pundakku sakit pun perlahan terasa ringan saat duduk tegak.Amira dibawa masuk ke dalam ruangan besar itu dan duduk disampingku. Aku memakaikan cincin di jari manis tangan kirinya sebagai bentuk simbol ikatan pernikahan yang telah kita jalani. Mulai hari ini, kita berdua adalah pasangan suami istri. Amira mencium punggung tanganku dengan sikap begitu hormat. Ia memang bukan wanita dari kalangan kaum alim, tapi akhlaknya begitu baik dan beradab sekali.Jantungku berdebar sangat kencang saat bibir Amira menyentuh punggung tangan ini lalu menatap wajahku dengan penuh cinta. Senyum Amira yang manis penuh ketulusan. Aku spontan menar
Mirna membuka pintu rumah dengan sedikit rasa malas. Mungkin ia masih belum bisa menerima kejadian hari ini, bahwa aku sudah menikah lagi dengan wanita lain."Marni ... Mas bawa oleh-oleh untuk kamu," ucapku begitu bersemangat. Entah salah apa aku malam ini hingga Marni istriku sama sekali tidak mau menatap wajahku dan melengos begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menyalim padaku seperti malam-malam sebenlumnya.Aku tertegun melihat perilaku Marni saat ini. Sama sekali tidak mencerminkan menjadi istri yang baik dan sholehah seperti sebelumnya. Aku hanya berdehem pelan dan melepas alas kaki di dalam rumah dan masuk ke dalam sambil menenteng plastik berisi martabak.Aku lihat, Marni juga sedang sibuk memegang ponselnya dan sama sekali tak memperhatikan aku. Aku melepas jas hitam ditumpukan cucian kotor dekat kamar mandi. Plastik martabak aku buka dan mulai aku rapihkan di piring untuk aku bawa ke kamar tidur. Malam ini aku ingin menebus semua kesalahan aku pada Marni. Aku akan menat
"Iya saudara sepupu Pak Galih. Itu kata Mbak Marni," ucap Pak RT padaku."Saya tidak punya saudara sepupu, Pak RT. Pak RT kan tahu saya hidup seorang diri hanya bersama Ayah saja," ucapku pada Pak RT."Lagi pula, Selama ini Marni sibuk di Rumah Sakit menjaga Ayah," ucapku kembali menambahkan."Ohh ... Mungkin Saya yang salah dengar," jawab Pak RT padaku seperti tidak ingin memperpanjang masalah."Memangnya ada apa, Pak? Kalau boleh saya tahu?" tanyaku pada Pak Rt mulai penasaran."Emmm ... Kita bicara saja di rumah. Kalau Pak Galih tak keberatan," ucap Pak RT padaku sambil berbisik.Aku mengangguk kecil dan kita berdua berjalan menuju rumah Pak RT yang tak jauh dari Masjid.Pak RT menjamuku seperti tamu jauh yang tak pernah bersilaturahmi. Semua makanan kecil di keluarkan beserta dengan kopi hitam panas yang sudah etrsaji di meja kecil yang ada di teras.Suara burung perkutut dan burung beo saling bersahutan dari kandang membuat suasana etras itu lebih nyamn dan enak untuk di nikmati
"Iya saudara sepupu Pak Galih. Itu kata Mbak Marni," ucap Pak RT padaku."Saya tidak punya saudara sepupu, Pak RT. Pak RT kan tahu saya hidup seorang diri hanya bersama Ayah saja," ucapku pada Pak RT."Lagi pula, Selama ini Marni sibuk di Rumah Sakit menjaga Ayah," ucapku kembali menambahkan."Ohh ... Mungkin Saya yang salah dengar," jawab Pak RT padaku seperti tidak ingin memperpanjang masalah."Memangnya ada apa, Pak? Kalau boleh saya tahu?" tanyaku pada Pak Rt mulai penasaran."Emmm ... Kita bicara saja di rumah. Kalau Pak Galih tak keberatan," ucap Pak RT padaku sambil berbisik.Aku mengangguk kecil dan kita berdua berjalan menuju rumah Pak RT yang tak jauh dari Masjid.Pak RT menjamuku seperti tamu jauh yang tak pernah bersilaturahmi. Semua makanan kecil di keluarkan beserta dengan kopi hitam panas yang sudah etrsaji di meja kecil yang ada di teras.Suara burung perkutut dan burung beo saling bersahutan dari kandang membuat suasana etras itu lebih nyamn dan enak untuk di nikmati
Mirna membuka pintu rumah dengan sedikit rasa malas. Mungkin ia masih belum bisa menerima kejadian hari ini, bahwa aku sudah menikah lagi dengan wanita lain."Marni ... Mas bawa oleh-oleh untuk kamu," ucapku begitu bersemangat. Entah salah apa aku malam ini hingga Marni istriku sama sekali tidak mau menatap wajahku dan melengos begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menyalim padaku seperti malam-malam sebenlumnya.Aku tertegun melihat perilaku Marni saat ini. Sama sekali tidak mencerminkan menjadi istri yang baik dan sholehah seperti sebelumnya. Aku hanya berdehem pelan dan melepas alas kaki di dalam rumah dan masuk ke dalam sambil menenteng plastik berisi martabak.Aku lihat, Marni juga sedang sibuk memegang ponselnya dan sama sekali tak memperhatikan aku. Aku melepas jas hitam ditumpukan cucian kotor dekat kamar mandi. Plastik martabak aku buka dan mulai aku rapihkan di piring untuk aku bawa ke kamar tidur. Malam ini aku ingin menebus semua kesalahan aku pada Marni. Aku akan menat
"Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Jatmiko dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah," ucap Galih dengan suara lantang."Bagaimana SAH?" tanya penghulu itu penuh semangat."SAH!!" jawab para tamu undangan serempak.Setelah pengucapan ijab kabul tersebut aku langsung menghela napas begitu lega. Rasanya beban hutang yang selama ini membuat pundakku sakit pun perlahan terasa ringan saat duduk tegak.Amira dibawa masuk ke dalam ruangan besar itu dan duduk disampingku. Aku memakaikan cincin di jari manis tangan kirinya sebagai bentuk simbol ikatan pernikahan yang telah kita jalani. Mulai hari ini, kita berdua adalah pasangan suami istri. Amira mencium punggung tanganku dengan sikap begitu hormat. Ia memang bukan wanita dari kalangan kaum alim, tapi akhlaknya begitu baik dan beradab sekali.Jantungku berdebar sangat kencang saat bibir Amira menyentuh punggung tangan ini lalu menatap wajahku dengan penuh cinta. Senyum Amira yang manis penuh ketulusan. Aku spontan menar
Pernikahan kedua Galih akan dilaksanakan pagi ini sekitar pukul delapan. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Mulai dari seserahan, mahar dan mas kawinnya juga sudah teretata di meja."Marni ... Kenapa kamu tak mengganti pakaian kamu yang diberikan Amira?" tanyaku yang sudah rapih dengan setelan jas hitam. Ditanganku sudah ada sebuah kertas yang bertuliskan nama Amira lengkap dengan bintinya. Aku belum hapal untuk mengucap ijab kabul itu."Badanku gak enak, Mas," jawab Marni yang masih berada ditempat tidur dan belum memulai aktivitas pagi ini. Marni telah berjanji pada Amira untuk datang ke cara pernikahan kedua suaminya. Namun, ternyata Marni tak setegar itu untuk menyaksikan Galih, suaminya harus duduk berdua dengan perempuan lain di pelaminan. Apalagi harus mendengar ucapan Galih mengucap janji ijab kabul untuk mensahkan pernikahan keduanya atas ijin Marni sebagai istri pertama.Aku melirik ke arah Marni yang tubuhnya ditutup rapat oleh selimut dan tak bergerak sedikitpun tubuhn
Galih mendekati ruang ICU dan menatap Sang Ayah begitu lemah. Seharusnya, jika ia bisa membiayai pengobatan Ayah di rumah sakit besar yang ada di kota, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikah lagi jika kedua -duanya tak paham situasi dan kondisiku. Marni, maafkan aku, suamimu," ucap Galih lirih.Aku kembali duduk di kursi besi yang panjang dan menatap nanar ke arah ruang ICU. Bagaimana nasib Ayahnya setelah ini."Mas Galih ...," panggil Marni dengan wajah yang pucat dan kedua mata bengkak karena terlalu lama menangis.Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Marni, istriku sedang berjalan ke arahku dengan membawa berkas di pelukannya."Marni?" ucapku lembut dan kaget melihat Marni.Jarak antara rumah dan rumah sakit ini cukup jauh. entu saja harus menaiki kendaraan untuk sampai kesini."Tanda tangani ini," titah Marni padaku. Marni menyodorkan satu bendel yang tertutup rapi di dalam map berwarna kuning."Tanda tangan? Ini ap
"Marni ... Lusa, Mas akan menikah dengan Amira. Keputusan ini sudah bulat," ucapku tanpa ada keraguan. Aku sudah mantap untuk menikahi Amira demi hutang budi Sang Ayah di masa lampau kepada Juragan Empang. Ayah yang sedang sekarat di ruang ICU memintaku menikahi Amira sebagai pelunas hutang.PLAK!!Tamparan keras spontan mendarat di pipiku. Aku hanya terdiam tanpa mengaduh kesakitan. Aku sudah tahu, jika hal ini bakal terjadi. Aku pantas menerima amarah Marni yang tak mau aku madu."Pokoknya sampai kapan pun, Marni tidak pernah mau punya madu. Marni tidak menyetujui pernikahan Mas galih dengan wanita ilihan Ayah Mas Galih. Ini sama saja penghinaan Mas," ucap Marni keras sambil menangis. Buku -buku jarinya menancap di hamparan meja makan yang terbuat dari triplek."Inget Mas!! Kalau Mas memang lakukan itu, ceraikan saja Marni dan pulangkan Marni ke rumah orang tua Marni!!" teriak Marni dengan suara keras.Marni membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu kamar d