"Iya saudara sepupu Pak Galih. Itu kata Mbak Marni," ucap Pak RT padaku.
"Saya tidak punya saudara sepupu, Pak RT. Pak RT kan tahu saya hidup seorang diri hanya bersama Ayah saja," ucapku pada Pak RT."Lagi pula, Selama ini Marni sibuk di Rumah Sakit menjaga Ayah," ucapku kembali menambahkan."Ohh ... Mungkin Saya yang salah dengar," jawab Pak RT padaku seperti tidak ingin memperpanjang masalah."Memangnya ada apa, Pak? Kalau boleh saya tahu?" tanyaku pada Pak Rt mulai penasaran."Emmm ... Kita bicara saja di rumah. Kalau Pak Galih tak keberatan," ucap Pak RT padaku sambil berbisik.Aku mengangguk kecil dan kita berdua berjalan menuju rumah Pak RT yang tak jauh dari Masjid.Pak RT menjamuku seperti tamu jauh yang tak pernah bersilaturahmi. Semua makanan kecil di keluarkan beserta dengan kopi hitam panas yang sudah etrsaji di meja kecil yang ada di teras.Suara burung perkutut dan burung beo saling bersahutan dari kandang membuat suasana etras itu lebih nyamn dan enak untuk di nikmati dengan udara segar di pagi hari."Duduk Pak Galih," titah Pak RT pdaku.Aku pun mengangguk pelan dan duudk di salah satu kursi kayu yang ada di teras sambil mengedarkan pandangan suka pada taman kecil yang sangat terawat itu. Andaikan Marni rajin, Mungkin rumahnya tidak di biarkan sepi dan kosong tanpa ada tanaman. Malahan barang rongsokan menumpuk di depan tanpa ada yang membereskan.Pak RT ikut duduk dan menyesap kopi hitam panas buatan istrinya lalu menyulut sebatang rokok dengan pipa kecil untuk menyaring agar racun dari rokok itu tidakterhisap langsung ke paru parunya dan bis amerusak sebagian organ tubuhnya jika di hisap dalam jangka waktu yang panjang."Jadi sebenarnya ada apa?" tanyaku mulai tak sabar pada Pak RT."Begini Pak Galih. Sekitar satu bulan yang lalu. Marni membawa seorang laki laki ke dalam rumah. Hal itu di ketahui oleh istri saya. Kalau tidak salah, saat itu Pak Galih sedang sibuk mengunggu Ayah Pak Galih. Tidak lama, Marni ke warung untuk membeli makanan dan kopi serta rokok. Saya sempat tanya. Ada tamu? Tumben beli rokok. Karena saya tahu, Pak Galih itu tidak merokok. Marni cuma menjawab. Ada tamunya Pak Galih, sepupunya. Jawabnya singkat dan begitu tenang," ucap Pak RT mencoba menghela napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya kembali."Lalu?" tanyaku dengan cepat. AKu semakin ingin tahu cerita selanjutnya."Ya ... Saudara sepupu itu menginap hingga pagi lalu pergi dan katanya akan bergantian berjaga di Rumah Sakit," ucap Pak RT jujur.Aku menggelengkan kepalaku denagn cepat untuk menanggapi ucapan Pak RT yang sama sekali tak benar."Sejak saat itu. Lelaki itu sering datang ke rumah di malam hari. Memang tidak lama. Paling lama hanay tiga sampai lima jam saja dan segera pergi sebelum pagi menjelang," ucap Pak RT mencoba berkata pelan sekali.PAk RT menatapku dengan tatapan bingung. "Gimana?" tanya Pak RT tiba tiba."Gimana apanya?" tanyaku bingung."Lelaki itu siapa?" tanya Pak Rt ikut penasaran."Soal itu saya tidak tahu, Pak. Mungkin akan saya tanyakan dulu pada Marni. Siapa tahu, Itu saudara Marni atau Kakak Marni," ucap ku mencoba berpikir positif.Marni memang anak yatim piatu. Namun, Ia masih punya keluarga besar dan sejak kecil di asuh oleh Kakak lelakinya yang usianya jauh lebih tua. Lelaki itu anak angkat dari kedua orang tua Marni karena orang tua Marni sempat lama tidak memiliki anak dan emngadopsi anak dari panti asuhan sebagai pancingan."Baiklah Pak Galih. Semoga saja, memang itu saudara atau Kakak Marni. Saya sebgaai RT di sini hanya ingin waspada saja. Di Kmapung kita ini sudah di sorot sebagai Kampung yang tidak aman. Sudah beberapa kali banyak kejadian dan cerita yang tidak baik dari Kampung ini. Jangan sampai salah satu dari kita ada yang terusir lagi dari Kmapung ini," ucap Pak RT menasihati."Iya Pak RT. Terima kasih atas nasihatnya. Saya pamit pulang pulang dulu. Saya harus segera ke Sekolah untuk mengajar," ucap ku berpamitan setelah menghabiskan kopi hitam yang telah di sajikan itu.Langkahku menjadi berat saat menuju pulang ke rumah. Rasanya enggan untuk kembali ke rumah dan bertanya pada Marni. Sudah pasti Marni selingkuh. Mana ada lelaki yang datang di malam hari dan pulang pagi sebelum matahari terbit. Sudah seperti maling saja. Lalu? Aku harus bertanya bagaimana? Agar Marni mau mengaku? Lalu? Kenapa ia menangis saat aku meminta untuk menikah lagi atas permintaan Ayah? Pernikahan yang di adakan untuk menebus hutang Ayahku.Aku memikirkan hal ini seperti ada yang janggal rasanya.Pintu pagar sudah terbuka lebar dan aku masuk ke dalam teras rumah yang keadaannya berbanding terbalik dengan teras rumah milik Bu RT yang bersih dan rapi. Ku buka pintu rumah dan bau menyengat sangat tercium tidak enak. Rumah ini lama lama seperti tak terurus padahal Marni begitu merawat diri tapi tidak dengan kamar dan rumah ini.Marni masih terlelap di atas kasur. Seperti biasa ia hanya menggunakan pakaian seksi tanpa pakaian dalam dalam. Pahanya terlihat mulus dan bersih. Dadanya yang cukup besar menyembul di antara pakaian seksi itu. Rambutnya yang panjang dan hitam menjuntai hingga lantai. Marni memnag cantik dan sanagt pintar berdandan.Sudah lama aku tak menyentuh Marni. Kemarin saat aku ingin, Marni pun menolak untuk aku sentuh dengan berbagai alasan.Aku masuk ke dalam kamar dan meletakkan sarung, peci serta sajadah di atas meja kaca rias. Kulihat bulu di sekitar atas bibirku mulai tumbuh dan aku membuka laci rias untuk mencari kerokan kumis.Aku terkejut, Bukan hanya cukuran kumis yang ku temukan. Tapi juga, Pil KB dan beberapa pack kecil alat kontrasepsi untuk pria.Aku mengambil satu alat kontrasepsi itu dan segera membangunkan Marni. Ucapan Pak RT semakin meyakinkan aku bahwa Marni selingkuh di belakang ku."Marni. Marni bangun," ucap ku tegas dengan nada yang keras dan lantang.Marni mengerjapkan kedua matanya lalu bangun dari tidurnya saat melihatku memegang sesuatu yang tak di duganya."Apa itui Mas?" tanya Marni dengan tenang seolah tak mengetahui."Seharusnya aku yang bertanya padamu, Marni.Ini apa? Kenapa banyak sekali ada di laci meja rias? Aku tak pernah membeli ini. Lagi pula kita memnag sedang program untuk memiliki anak, Bukan?" tanyaku mulai marah."Marni tidak tahu. Itu apa? Marni juga baru lihat. Laci itu kan milikmu Mas? Kenapa malah kamu menyalahkan aku, Mas? Kalau itu berada di laci kamu. Seharusnya Marni yang marah," ucap Marni dengan berani."Marni? Jawab jujur pertanyaan ku. Apakah kamu selingkuh di belakang ku?" tanya ku tak sabar lagi."Marni ... Lusa, Mas akan menikah dengan Amira. Keputusan ini sudah bulat," ucapku tanpa ada keraguan. Aku sudah mantap untuk menikahi Amira demi hutang budi Sang Ayah di masa lampau kepada Juragan Empang. Ayah yang sedang sekarat di ruang ICU memintaku menikahi Amira sebagai pelunas hutang.PLAK!!Tamparan keras spontan mendarat di pipiku. Aku hanya terdiam tanpa mengaduh kesakitan. Aku sudah tahu, jika hal ini bakal terjadi. Aku pantas menerima amarah Marni yang tak mau aku madu."Pokoknya sampai kapan pun, Marni tidak pernah mau punya madu. Marni tidak menyetujui pernikahan Mas galih dengan wanita ilihan Ayah Mas Galih. Ini sama saja penghinaan Mas," ucap Marni keras sambil menangis. Buku -buku jarinya menancap di hamparan meja makan yang terbuat dari triplek."Inget Mas!! Kalau Mas memang lakukan itu, ceraikan saja Marni dan pulangkan Marni ke rumah orang tua Marni!!" teriak Marni dengan suara keras.Marni membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu kamar d
Galih mendekati ruang ICU dan menatap Sang Ayah begitu lemah. Seharusnya, jika ia bisa membiayai pengobatan Ayah di rumah sakit besar yang ada di kota, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikah lagi jika kedua -duanya tak paham situasi dan kondisiku. Marni, maafkan aku, suamimu," ucap Galih lirih.Aku kembali duduk di kursi besi yang panjang dan menatap nanar ke arah ruang ICU. Bagaimana nasib Ayahnya setelah ini."Mas Galih ...," panggil Marni dengan wajah yang pucat dan kedua mata bengkak karena terlalu lama menangis.Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Marni, istriku sedang berjalan ke arahku dengan membawa berkas di pelukannya."Marni?" ucapku lembut dan kaget melihat Marni.Jarak antara rumah dan rumah sakit ini cukup jauh. entu saja harus menaiki kendaraan untuk sampai kesini."Tanda tangani ini," titah Marni padaku. Marni menyodorkan satu bendel yang tertutup rapi di dalam map berwarna kuning."Tanda tangan? Ini ap
Pernikahan kedua Galih akan dilaksanakan pagi ini sekitar pukul delapan. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Mulai dari seserahan, mahar dan mas kawinnya juga sudah teretata di meja."Marni ... Kenapa kamu tak mengganti pakaian kamu yang diberikan Amira?" tanyaku yang sudah rapih dengan setelan jas hitam. Ditanganku sudah ada sebuah kertas yang bertuliskan nama Amira lengkap dengan bintinya. Aku belum hapal untuk mengucap ijab kabul itu."Badanku gak enak, Mas," jawab Marni yang masih berada ditempat tidur dan belum memulai aktivitas pagi ini. Marni telah berjanji pada Amira untuk datang ke cara pernikahan kedua suaminya. Namun, ternyata Marni tak setegar itu untuk menyaksikan Galih, suaminya harus duduk berdua dengan perempuan lain di pelaminan. Apalagi harus mendengar ucapan Galih mengucap janji ijab kabul untuk mensahkan pernikahan keduanya atas ijin Marni sebagai istri pertama.Aku melirik ke arah Marni yang tubuhnya ditutup rapat oleh selimut dan tak bergerak sedikitpun tubuhn
"Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Jatmiko dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah," ucap Galih dengan suara lantang."Bagaimana SAH?" tanya penghulu itu penuh semangat."SAH!!" jawab para tamu undangan serempak.Setelah pengucapan ijab kabul tersebut aku langsung menghela napas begitu lega. Rasanya beban hutang yang selama ini membuat pundakku sakit pun perlahan terasa ringan saat duduk tegak.Amira dibawa masuk ke dalam ruangan besar itu dan duduk disampingku. Aku memakaikan cincin di jari manis tangan kirinya sebagai bentuk simbol ikatan pernikahan yang telah kita jalani. Mulai hari ini, kita berdua adalah pasangan suami istri. Amira mencium punggung tanganku dengan sikap begitu hormat. Ia memang bukan wanita dari kalangan kaum alim, tapi akhlaknya begitu baik dan beradab sekali.Jantungku berdebar sangat kencang saat bibir Amira menyentuh punggung tangan ini lalu menatap wajahku dengan penuh cinta. Senyum Amira yang manis penuh ketulusan. Aku spontan menar
Mirna membuka pintu rumah dengan sedikit rasa malas. Mungkin ia masih belum bisa menerima kejadian hari ini, bahwa aku sudah menikah lagi dengan wanita lain."Marni ... Mas bawa oleh-oleh untuk kamu," ucapku begitu bersemangat. Entah salah apa aku malam ini hingga Marni istriku sama sekali tidak mau menatap wajahku dan melengos begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menyalim padaku seperti malam-malam sebenlumnya.Aku tertegun melihat perilaku Marni saat ini. Sama sekali tidak mencerminkan menjadi istri yang baik dan sholehah seperti sebelumnya. Aku hanya berdehem pelan dan melepas alas kaki di dalam rumah dan masuk ke dalam sambil menenteng plastik berisi martabak.Aku lihat, Marni juga sedang sibuk memegang ponselnya dan sama sekali tak memperhatikan aku. Aku melepas jas hitam ditumpukan cucian kotor dekat kamar mandi. Plastik martabak aku buka dan mulai aku rapihkan di piring untuk aku bawa ke kamar tidur. Malam ini aku ingin menebus semua kesalahan aku pada Marni. Aku akan menat
"Iya saudara sepupu Pak Galih. Itu kata Mbak Marni," ucap Pak RT padaku."Saya tidak punya saudara sepupu, Pak RT. Pak RT kan tahu saya hidup seorang diri hanya bersama Ayah saja," ucapku pada Pak RT."Lagi pula, Selama ini Marni sibuk di Rumah Sakit menjaga Ayah," ucapku kembali menambahkan."Ohh ... Mungkin Saya yang salah dengar," jawab Pak RT padaku seperti tidak ingin memperpanjang masalah."Memangnya ada apa, Pak? Kalau boleh saya tahu?" tanyaku pada Pak Rt mulai penasaran."Emmm ... Kita bicara saja di rumah. Kalau Pak Galih tak keberatan," ucap Pak RT padaku sambil berbisik.Aku mengangguk kecil dan kita berdua berjalan menuju rumah Pak RT yang tak jauh dari Masjid.Pak RT menjamuku seperti tamu jauh yang tak pernah bersilaturahmi. Semua makanan kecil di keluarkan beserta dengan kopi hitam panas yang sudah etrsaji di meja kecil yang ada di teras.Suara burung perkutut dan burung beo saling bersahutan dari kandang membuat suasana etras itu lebih nyamn dan enak untuk di nikmati
Mirna membuka pintu rumah dengan sedikit rasa malas. Mungkin ia masih belum bisa menerima kejadian hari ini, bahwa aku sudah menikah lagi dengan wanita lain."Marni ... Mas bawa oleh-oleh untuk kamu," ucapku begitu bersemangat. Entah salah apa aku malam ini hingga Marni istriku sama sekali tidak mau menatap wajahku dan melengos begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menyalim padaku seperti malam-malam sebenlumnya.Aku tertegun melihat perilaku Marni saat ini. Sama sekali tidak mencerminkan menjadi istri yang baik dan sholehah seperti sebelumnya. Aku hanya berdehem pelan dan melepas alas kaki di dalam rumah dan masuk ke dalam sambil menenteng plastik berisi martabak.Aku lihat, Marni juga sedang sibuk memegang ponselnya dan sama sekali tak memperhatikan aku. Aku melepas jas hitam ditumpukan cucian kotor dekat kamar mandi. Plastik martabak aku buka dan mulai aku rapihkan di piring untuk aku bawa ke kamar tidur. Malam ini aku ingin menebus semua kesalahan aku pada Marni. Aku akan menat
"Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Jatmiko dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah," ucap Galih dengan suara lantang."Bagaimana SAH?" tanya penghulu itu penuh semangat."SAH!!" jawab para tamu undangan serempak.Setelah pengucapan ijab kabul tersebut aku langsung menghela napas begitu lega. Rasanya beban hutang yang selama ini membuat pundakku sakit pun perlahan terasa ringan saat duduk tegak.Amira dibawa masuk ke dalam ruangan besar itu dan duduk disampingku. Aku memakaikan cincin di jari manis tangan kirinya sebagai bentuk simbol ikatan pernikahan yang telah kita jalani. Mulai hari ini, kita berdua adalah pasangan suami istri. Amira mencium punggung tanganku dengan sikap begitu hormat. Ia memang bukan wanita dari kalangan kaum alim, tapi akhlaknya begitu baik dan beradab sekali.Jantungku berdebar sangat kencang saat bibir Amira menyentuh punggung tangan ini lalu menatap wajahku dengan penuh cinta. Senyum Amira yang manis penuh ketulusan. Aku spontan menar
Pernikahan kedua Galih akan dilaksanakan pagi ini sekitar pukul delapan. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Mulai dari seserahan, mahar dan mas kawinnya juga sudah teretata di meja."Marni ... Kenapa kamu tak mengganti pakaian kamu yang diberikan Amira?" tanyaku yang sudah rapih dengan setelan jas hitam. Ditanganku sudah ada sebuah kertas yang bertuliskan nama Amira lengkap dengan bintinya. Aku belum hapal untuk mengucap ijab kabul itu."Badanku gak enak, Mas," jawab Marni yang masih berada ditempat tidur dan belum memulai aktivitas pagi ini. Marni telah berjanji pada Amira untuk datang ke cara pernikahan kedua suaminya. Namun, ternyata Marni tak setegar itu untuk menyaksikan Galih, suaminya harus duduk berdua dengan perempuan lain di pelaminan. Apalagi harus mendengar ucapan Galih mengucap janji ijab kabul untuk mensahkan pernikahan keduanya atas ijin Marni sebagai istri pertama.Aku melirik ke arah Marni yang tubuhnya ditutup rapat oleh selimut dan tak bergerak sedikitpun tubuhn
Galih mendekati ruang ICU dan menatap Sang Ayah begitu lemah. Seharusnya, jika ia bisa membiayai pengobatan Ayah di rumah sakit besar yang ada di kota, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikah lagi jika kedua -duanya tak paham situasi dan kondisiku. Marni, maafkan aku, suamimu," ucap Galih lirih.Aku kembali duduk di kursi besi yang panjang dan menatap nanar ke arah ruang ICU. Bagaimana nasib Ayahnya setelah ini."Mas Galih ...," panggil Marni dengan wajah yang pucat dan kedua mata bengkak karena terlalu lama menangis.Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Marni, istriku sedang berjalan ke arahku dengan membawa berkas di pelukannya."Marni?" ucapku lembut dan kaget melihat Marni.Jarak antara rumah dan rumah sakit ini cukup jauh. entu saja harus menaiki kendaraan untuk sampai kesini."Tanda tangani ini," titah Marni padaku. Marni menyodorkan satu bendel yang tertutup rapi di dalam map berwarna kuning."Tanda tangan? Ini ap
"Marni ... Lusa, Mas akan menikah dengan Amira. Keputusan ini sudah bulat," ucapku tanpa ada keraguan. Aku sudah mantap untuk menikahi Amira demi hutang budi Sang Ayah di masa lampau kepada Juragan Empang. Ayah yang sedang sekarat di ruang ICU memintaku menikahi Amira sebagai pelunas hutang.PLAK!!Tamparan keras spontan mendarat di pipiku. Aku hanya terdiam tanpa mengaduh kesakitan. Aku sudah tahu, jika hal ini bakal terjadi. Aku pantas menerima amarah Marni yang tak mau aku madu."Pokoknya sampai kapan pun, Marni tidak pernah mau punya madu. Marni tidak menyetujui pernikahan Mas galih dengan wanita ilihan Ayah Mas Galih. Ini sama saja penghinaan Mas," ucap Marni keras sambil menangis. Buku -buku jarinya menancap di hamparan meja makan yang terbuat dari triplek."Inget Mas!! Kalau Mas memang lakukan itu, ceraikan saja Marni dan pulangkan Marni ke rumah orang tua Marni!!" teriak Marni dengan suara keras.Marni membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu kamar d