Pernikahan kedua Galih akan dilaksanakan pagi ini sekitar pukul delapan. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Mulai dari seserahan, mahar dan mas kawinnya juga sudah teretata di meja.
"Marni ... Kenapa kamu tak mengganti pakaian kamu yang diberikan Amira?" tanyaku yang sudah rapih dengan setelan jas hitam. Ditanganku sudah ada sebuah kertas yang bertuliskan nama Amira lengkap dengan bintinya. Aku belum hapal untuk mengucap ijab kabul itu."Badanku gak enak, Mas," jawab Marni yang masih berada ditempat tidur dan belum memulai aktivitas pagi ini. Marni telah berjanji pada Amira untuk datang ke cara pernikahan kedua suaminya. Namun, ternyata Marni tak setegar itu untuk menyaksikan Galih, suaminya harus duduk berdua dengan perempuan lain di pelaminan. Apalagi harus mendengar ucapan Galih mengucap janji ijab kabul untuk mensahkan pernikahan keduanya atas ijin Marni sebagai istri pertama.Aku melirik ke arah Marni yang tubuhnya ditutup rapat oleh selimut dan tak bergerak sedikitpun tubuhnya. Air matanya terus mengalir ke pipi dan jatuh membasahi sprei. Kenapa juga harus menangis? batin Marni berusaha tegar. Namun nyatanya Marni tidak sekuat itu. Terlihat baik -baik saja, namun hatinya begitu rapuh seperti pecahan kaca."Aku tahu, ini tentu berat untuk kamu, Marni. Tapi kamu yang meminta Amira untuk menerima ini semua, kamu juga yang mengijinkan pernikahan kedua ini. Kalau memang sulit, kita batalkan saja semuanya. Mas akan bekerja keras untuk membayar hutang -hutang itu pada Juragan. Kamu gak usah risau," ucap Galih begitu menenangkan hati Marni. Tatapan Galih juga begitu teduh dan penuh cinta kepada Marni."Menikahlah Mas. Semua persiapannya sudah sempurna siap. Tidak mungkin kita melanggar janji yang telah kita ucapkan. Ada aku atau tidak, tetap pernikahan ini harus berjalan," ucap Marni lirih dan terbata.Sesak sekali rasanya ternyata, mengikhlaskan apa yang telah kita miliki untuk orang lain dan bahkan kita tidak mengenal baik, wlaaupun sebagian milik kita itu tidak hilang. Ini tidak mudah dan ini benar -benar di luar nalar. Kalau bukan masalah hutang piutang dan amanat dari Bapak mungkin juga Marni tidak akan selegowo ini."Aku mandikan ya? Biar kita datang ke acara pernikahan bersama," ucapku dengan nada memohon.Marni bangkit dari tidurnya. Kedua matanay semakin terlihat sipit dan bengkak. Mungkin semalaman Marni menangis tanpa sepengetahuan aku.Marni memegang tanganku dengan erat dan kami berdua saling menautkan jari jemari tangan kami. Tak hanya itu aku menyatukan keningku pada kening Marni dan kami saling mengunci pandangan menatap lekat satu sama lain penuh cinta dan ketulusan."Pergilah Mas. Marni ridho, Marni ikhlas," ucap Marni terbata dengan bibir bergetar. Kedua mata Marni menutup menahan derai air mata yang jelas luruh kembali ke pipinya. Wajhanya nampak sedikit pucat."Tanpa kamu, aku tidak akan pergi, Marni. Aku hanay akan pergi jika kamu ada disampingku," jawabku lantang dan mantap.Biar bagaimanapun juga. Marni adalah istriku, cinta pertamaku dan tak akan tergantikan oleh apapun. Pengorbanannya bukan kaleng -kaleng, mengikhlaskan suaminya untuk menikah lagi itu dibutuhkan kerelaan hati yang paling maksimal. Tidak ada wanita yang mau dimadu, apapun alasannya.Marni melepaskan tautan jari jemari itu dan kini kedua tangannya memegang kedua pipiku yang terasa dingin. Tangan Marni begitu hangat sekali."Pergilah Mas. Acara ijab kabulnya sebenatr lagi akan dimulai. Jangan sampai terlambat, jangan sampai mereka menunggu pengantin prianya, dan jangan sampai, Juragan murka karena kamu akan dianggap ingkar. Jangan mempermalukan Amira dan keluarganya," ucap Marni begitu tenang sekali. Sesekali Marni menarik cairan yang leleh dari lubang hidungnya."Kamu yakin? Kamu tidak ikut menyaksikan pernikahan ini, Marni?" tanyaku ragu.Marni menggelengkan kepalanya pelan. "Mas ... Melihatmu berpakaian seperti ini saja, sudah membuatku sakit. Apalagi aku harus menjadi penonton dan mendengar suaramu menyebut nama perempuan lain untuk menjadi pendamping hidupmu. Apa yang yang harus aku lakukan? Aku hanya bisa menangis meluapkan semuanya. Biarlah aku dirumah dan menangisi takdirku," ucap Marni begitu miris. Mungkin Marni menyesal menikah denganku jika akhir ceritanya seperti ini. Mungkin Marni lebih baik menerima pinangan anak sahabat Ayahnya dulu dibandingkan menungguku menjadi sarjana karena itu keinginanku.Lalu, Sekarang aku malah menyakiti hatinya dengan menikahi wanita lain. Lelaki macam apa aku? Apa yang harus aku katakan pada keluarga Marni tentang pernikahan kedua ini jika mereka mendengar kabar ini.Aku langsung memeluk Marni dengan erat. Rasanya aku tak mampu meninggalkan istriku sendirian dirumah. Aku takut Marni melakukan hal yang begitu nekat diluar batas nalarku. Aku memang terlalu negatif berpikiran tentang Marni. Bukankah itu wajar? Aku suaminya. Aku juga yang telah menyakitinya walaupun aku memberikan cinta yang utuh dan tulus, memberikan nafkah yang begitu banyak hingga Marni tak pernah kekurangan apapun selam menikah denganku.Aku juga melakukan kewajibanku dengan baik, bukan hanay cinta, perhatian tapi juga kemesraan setiap malam aku tunjukkan pada Marni.Marni melepas pelukan itu dan mendorong tubuhku agar menjauh dan segera pergi."Pergi Mas. Jarak rumah kita dengan rumah juragan itu setengah jam. Kmau bisa terlambat," ucap Marni lantang."Tapi Marni ...-" Aku tidak bisa berkata -kata. Aku bingung sekali. Langkahku ini salah atau tidak."Cepat Mas," ucap Marni tegas. Marni segera berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi. Marni mengunci kamar mandi itu dan tak ingin melihat kepergianku."Marni!! Marni!!" teriakku saat aku sadar Marni sudah menghindariku."Pergi Mas!! Jangan pikirkan aku!!" ucap MArni denagn suara begitu keras yang meyayat hatiku.Aku tahu, Marni sedang menangis lagi. Aku melihat jam di pergelangan tanganku. Benar seklai, waktunya tinggal setengah jam saja. Aku langsung berpamitan pada Marni. Namun Marni terdiam tak menyahut pamitanku.Aku menutup pintu ruang tamu dengan perasaan bersalah dan pergi menggunakan motor menuju rumah Juragan.Sesampai disana, aku langsung digiring menuju meja ijab kabul. Semua orang sudah datang dan berkumpul untuk meyaksikan pernikahan ini. Amira tak nampak disana, mungkin Amira kan keluar setelah aku mengucap ijab kabul itu. Lagi pula, apa urusanku dengan Amira. Aku tak butuh istri lagi kecuali Marni. Amira hanyalah istri kedua yang tak perlu aku pikirkan keberadaannya. Pernikahan ini keinginan Bapak dan Juragan sebagai penebus hutang. Tapi pernikahan tanpa cinta tak mungkin berjalan lama. Aku harus realistis. aku telah memiliki istri yang sangat aku cintai."Kamu datang tepat waktu. Beberapa detik saja kamu terlambat, maka akan aku pastikan Bapakmu juga terlambat bernapas," ucap Juragan dengan sinis dan kejam."Maaf Juragan. Saya terlambat bangun," jawabku singkat tanpa harus ada pertanyaan lain. Andaikan saja Juragan tahu, aku juga malas datang ke tempat ini."Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Jatmiko dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah," ucap Galih dengan suara lantang."Bagaimana SAH?" tanya penghulu itu penuh semangat."SAH!!" jawab para tamu undangan serempak.Setelah pengucapan ijab kabul tersebut aku langsung menghela napas begitu lega. Rasanya beban hutang yang selama ini membuat pundakku sakit pun perlahan terasa ringan saat duduk tegak.Amira dibawa masuk ke dalam ruangan besar itu dan duduk disampingku. Aku memakaikan cincin di jari manis tangan kirinya sebagai bentuk simbol ikatan pernikahan yang telah kita jalani. Mulai hari ini, kita berdua adalah pasangan suami istri. Amira mencium punggung tanganku dengan sikap begitu hormat. Ia memang bukan wanita dari kalangan kaum alim, tapi akhlaknya begitu baik dan beradab sekali.Jantungku berdebar sangat kencang saat bibir Amira menyentuh punggung tangan ini lalu menatap wajahku dengan penuh cinta. Senyum Amira yang manis penuh ketulusan. Aku spontan menar
Mirna membuka pintu rumah dengan sedikit rasa malas. Mungkin ia masih belum bisa menerima kejadian hari ini, bahwa aku sudah menikah lagi dengan wanita lain."Marni ... Mas bawa oleh-oleh untuk kamu," ucapku begitu bersemangat. Entah salah apa aku malam ini hingga Marni istriku sama sekali tidak mau menatap wajahku dan melengos begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menyalim padaku seperti malam-malam sebenlumnya.Aku tertegun melihat perilaku Marni saat ini. Sama sekali tidak mencerminkan menjadi istri yang baik dan sholehah seperti sebelumnya. Aku hanya berdehem pelan dan melepas alas kaki di dalam rumah dan masuk ke dalam sambil menenteng plastik berisi martabak.Aku lihat, Marni juga sedang sibuk memegang ponselnya dan sama sekali tak memperhatikan aku. Aku melepas jas hitam ditumpukan cucian kotor dekat kamar mandi. Plastik martabak aku buka dan mulai aku rapihkan di piring untuk aku bawa ke kamar tidur. Malam ini aku ingin menebus semua kesalahan aku pada Marni. Aku akan menat
"Iya saudara sepupu Pak Galih. Itu kata Mbak Marni," ucap Pak RT padaku."Saya tidak punya saudara sepupu, Pak RT. Pak RT kan tahu saya hidup seorang diri hanya bersama Ayah saja," ucapku pada Pak RT."Lagi pula, Selama ini Marni sibuk di Rumah Sakit menjaga Ayah," ucapku kembali menambahkan."Ohh ... Mungkin Saya yang salah dengar," jawab Pak RT padaku seperti tidak ingin memperpanjang masalah."Memangnya ada apa, Pak? Kalau boleh saya tahu?" tanyaku pada Pak Rt mulai penasaran."Emmm ... Kita bicara saja di rumah. Kalau Pak Galih tak keberatan," ucap Pak RT padaku sambil berbisik.Aku mengangguk kecil dan kita berdua berjalan menuju rumah Pak RT yang tak jauh dari Masjid.Pak RT menjamuku seperti tamu jauh yang tak pernah bersilaturahmi. Semua makanan kecil di keluarkan beserta dengan kopi hitam panas yang sudah etrsaji di meja kecil yang ada di teras.Suara burung perkutut dan burung beo saling bersahutan dari kandang membuat suasana etras itu lebih nyamn dan enak untuk di nikmati
"Marni ... Lusa, Mas akan menikah dengan Amira. Keputusan ini sudah bulat," ucapku tanpa ada keraguan. Aku sudah mantap untuk menikahi Amira demi hutang budi Sang Ayah di masa lampau kepada Juragan Empang. Ayah yang sedang sekarat di ruang ICU memintaku menikahi Amira sebagai pelunas hutang.PLAK!!Tamparan keras spontan mendarat di pipiku. Aku hanya terdiam tanpa mengaduh kesakitan. Aku sudah tahu, jika hal ini bakal terjadi. Aku pantas menerima amarah Marni yang tak mau aku madu."Pokoknya sampai kapan pun, Marni tidak pernah mau punya madu. Marni tidak menyetujui pernikahan Mas galih dengan wanita ilihan Ayah Mas Galih. Ini sama saja penghinaan Mas," ucap Marni keras sambil menangis. Buku -buku jarinya menancap di hamparan meja makan yang terbuat dari triplek."Inget Mas!! Kalau Mas memang lakukan itu, ceraikan saja Marni dan pulangkan Marni ke rumah orang tua Marni!!" teriak Marni dengan suara keras.Marni membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu kamar d
Galih mendekati ruang ICU dan menatap Sang Ayah begitu lemah. Seharusnya, jika ia bisa membiayai pengobatan Ayah di rumah sakit besar yang ada di kota, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikah lagi jika kedua -duanya tak paham situasi dan kondisiku. Marni, maafkan aku, suamimu," ucap Galih lirih.Aku kembali duduk di kursi besi yang panjang dan menatap nanar ke arah ruang ICU. Bagaimana nasib Ayahnya setelah ini."Mas Galih ...," panggil Marni dengan wajah yang pucat dan kedua mata bengkak karena terlalu lama menangis.Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Marni, istriku sedang berjalan ke arahku dengan membawa berkas di pelukannya."Marni?" ucapku lembut dan kaget melihat Marni.Jarak antara rumah dan rumah sakit ini cukup jauh. entu saja harus menaiki kendaraan untuk sampai kesini."Tanda tangani ini," titah Marni padaku. Marni menyodorkan satu bendel yang tertutup rapi di dalam map berwarna kuning."Tanda tangan? Ini ap
"Iya saudara sepupu Pak Galih. Itu kata Mbak Marni," ucap Pak RT padaku."Saya tidak punya saudara sepupu, Pak RT. Pak RT kan tahu saya hidup seorang diri hanya bersama Ayah saja," ucapku pada Pak RT."Lagi pula, Selama ini Marni sibuk di Rumah Sakit menjaga Ayah," ucapku kembali menambahkan."Ohh ... Mungkin Saya yang salah dengar," jawab Pak RT padaku seperti tidak ingin memperpanjang masalah."Memangnya ada apa, Pak? Kalau boleh saya tahu?" tanyaku pada Pak Rt mulai penasaran."Emmm ... Kita bicara saja di rumah. Kalau Pak Galih tak keberatan," ucap Pak RT padaku sambil berbisik.Aku mengangguk kecil dan kita berdua berjalan menuju rumah Pak RT yang tak jauh dari Masjid.Pak RT menjamuku seperti tamu jauh yang tak pernah bersilaturahmi. Semua makanan kecil di keluarkan beserta dengan kopi hitam panas yang sudah etrsaji di meja kecil yang ada di teras.Suara burung perkutut dan burung beo saling bersahutan dari kandang membuat suasana etras itu lebih nyamn dan enak untuk di nikmati
Mirna membuka pintu rumah dengan sedikit rasa malas. Mungkin ia masih belum bisa menerima kejadian hari ini, bahwa aku sudah menikah lagi dengan wanita lain."Marni ... Mas bawa oleh-oleh untuk kamu," ucapku begitu bersemangat. Entah salah apa aku malam ini hingga Marni istriku sama sekali tidak mau menatap wajahku dan melengos begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menyalim padaku seperti malam-malam sebenlumnya.Aku tertegun melihat perilaku Marni saat ini. Sama sekali tidak mencerminkan menjadi istri yang baik dan sholehah seperti sebelumnya. Aku hanya berdehem pelan dan melepas alas kaki di dalam rumah dan masuk ke dalam sambil menenteng plastik berisi martabak.Aku lihat, Marni juga sedang sibuk memegang ponselnya dan sama sekali tak memperhatikan aku. Aku melepas jas hitam ditumpukan cucian kotor dekat kamar mandi. Plastik martabak aku buka dan mulai aku rapihkan di piring untuk aku bawa ke kamar tidur. Malam ini aku ingin menebus semua kesalahan aku pada Marni. Aku akan menat
"Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Jatmiko dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah," ucap Galih dengan suara lantang."Bagaimana SAH?" tanya penghulu itu penuh semangat."SAH!!" jawab para tamu undangan serempak.Setelah pengucapan ijab kabul tersebut aku langsung menghela napas begitu lega. Rasanya beban hutang yang selama ini membuat pundakku sakit pun perlahan terasa ringan saat duduk tegak.Amira dibawa masuk ke dalam ruangan besar itu dan duduk disampingku. Aku memakaikan cincin di jari manis tangan kirinya sebagai bentuk simbol ikatan pernikahan yang telah kita jalani. Mulai hari ini, kita berdua adalah pasangan suami istri. Amira mencium punggung tanganku dengan sikap begitu hormat. Ia memang bukan wanita dari kalangan kaum alim, tapi akhlaknya begitu baik dan beradab sekali.Jantungku berdebar sangat kencang saat bibir Amira menyentuh punggung tangan ini lalu menatap wajahku dengan penuh cinta. Senyum Amira yang manis penuh ketulusan. Aku spontan menar
Pernikahan kedua Galih akan dilaksanakan pagi ini sekitar pukul delapan. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Mulai dari seserahan, mahar dan mas kawinnya juga sudah teretata di meja."Marni ... Kenapa kamu tak mengganti pakaian kamu yang diberikan Amira?" tanyaku yang sudah rapih dengan setelan jas hitam. Ditanganku sudah ada sebuah kertas yang bertuliskan nama Amira lengkap dengan bintinya. Aku belum hapal untuk mengucap ijab kabul itu."Badanku gak enak, Mas," jawab Marni yang masih berada ditempat tidur dan belum memulai aktivitas pagi ini. Marni telah berjanji pada Amira untuk datang ke cara pernikahan kedua suaminya. Namun, ternyata Marni tak setegar itu untuk menyaksikan Galih, suaminya harus duduk berdua dengan perempuan lain di pelaminan. Apalagi harus mendengar ucapan Galih mengucap janji ijab kabul untuk mensahkan pernikahan keduanya atas ijin Marni sebagai istri pertama.Aku melirik ke arah Marni yang tubuhnya ditutup rapat oleh selimut dan tak bergerak sedikitpun tubuhn
Galih mendekati ruang ICU dan menatap Sang Ayah begitu lemah. Seharusnya, jika ia bisa membiayai pengobatan Ayah di rumah sakit besar yang ada di kota, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikah lagi jika kedua -duanya tak paham situasi dan kondisiku. Marni, maafkan aku, suamimu," ucap Galih lirih.Aku kembali duduk di kursi besi yang panjang dan menatap nanar ke arah ruang ICU. Bagaimana nasib Ayahnya setelah ini."Mas Galih ...," panggil Marni dengan wajah yang pucat dan kedua mata bengkak karena terlalu lama menangis.Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Marni, istriku sedang berjalan ke arahku dengan membawa berkas di pelukannya."Marni?" ucapku lembut dan kaget melihat Marni.Jarak antara rumah dan rumah sakit ini cukup jauh. entu saja harus menaiki kendaraan untuk sampai kesini."Tanda tangani ini," titah Marni padaku. Marni menyodorkan satu bendel yang tertutup rapi di dalam map berwarna kuning."Tanda tangan? Ini ap
"Marni ... Lusa, Mas akan menikah dengan Amira. Keputusan ini sudah bulat," ucapku tanpa ada keraguan. Aku sudah mantap untuk menikahi Amira demi hutang budi Sang Ayah di masa lampau kepada Juragan Empang. Ayah yang sedang sekarat di ruang ICU memintaku menikahi Amira sebagai pelunas hutang.PLAK!!Tamparan keras spontan mendarat di pipiku. Aku hanya terdiam tanpa mengaduh kesakitan. Aku sudah tahu, jika hal ini bakal terjadi. Aku pantas menerima amarah Marni yang tak mau aku madu."Pokoknya sampai kapan pun, Marni tidak pernah mau punya madu. Marni tidak menyetujui pernikahan Mas galih dengan wanita ilihan Ayah Mas Galih. Ini sama saja penghinaan Mas," ucap Marni keras sambil menangis. Buku -buku jarinya menancap di hamparan meja makan yang terbuat dari triplek."Inget Mas!! Kalau Mas memang lakukan itu, ceraikan saja Marni dan pulangkan Marni ke rumah orang tua Marni!!" teriak Marni dengan suara keras.Marni membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu kamar d