Share

Sebuah Perjanjian

Author: Rahma La
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Berani ya kamu sama suami, hah?!" 

"Sudah. Aku malas berdebat." Ani tampak kelelahan sekali. Dia sepertinya malas berdebat denganku. 

Ini semua harus dibicarakan. Kenapa dia tampak berubah sekali sekarang? Padahal dulu bahkan sebelum Ani hamil, dia cantik sekali, dia juga lemah lembut. Tidak mau membantah suami. Lalu sekarang? 

"Kamu kok berubah banget, sih?" tanyaku kesal. Aku tidak suka dengan sikap Ani yang begini. Menyebalkan. 

Dia hanya melirikku sekilas. Kemudian melangkah meninggalkanku sendirian. Astaga. Bicara dengannya, seperti bicara dengan patung. Menyebalkan sekali, aku mengusap dahi, kemudian menoleh ke ponsel Ani yang diletakkan di atas meja. 

Ponsel jadul yang dulu aku belikan. Tidak ada yang menarik, aku hanya membuka bagian pesannya. Nomor tidak dikenal.

[Besok kita ada jadwal, Bu.]

Keningku terlipat. Apa maksud pesan ini? Jadwal apa?

Hmm. Ini harus segera diselidiki. Pasti ada yang disembunyikan oleh Ani. 

***

"Ini makan apa?" tanya Ibu sambil menatap ke arahku. 

Mana aku tau. Sepagi ini belum ada makanan sama sekali. Ani ini entah bagaimana, sudah tau ada Ibu di rumah. Dia memang mencari kesalahan terus. 

Haduh, Ibu juga marah-marah terus, bukannya malah memarahi Ani yang melakukannya, malah marahin aku. Menyebalkan. Aku juga bingung menyikapinya bagaimana, Ani juga tampak tidak peduli sama sekali, sikapnya aneh. 

"Mana si Ani itu? Ibu udah lapar banget. Di sini bukannya hidup mewah, makan enak, semuanya udah tersedia, gak perlu ngapa-ngapain, malah lebih susah dari pada di rumah sendiri."

Nisa mengiyakan perkataan Ibu, sementara aku menghela napas pelan. Ibu saja baru sehari di sini sudah mendumal tidak jelas, semuanya dipermasalahkan. Bagaimana kalau beberapa minggu atau beberapa bulan? Sepertiku yang bertahun-tahun bersama Ani.

"Mana? Kamu panggil istri kamu itu, Reyhan! Suruh dia masak, jangan malas-malasan gitu aja."

Aku menganggukkan kepala, buru-buru masuk ke dalam kamar. Sampai di kamar, aku mengernyitkan dahi, mengecek kamar mandi. Dia tidak ada. 

"Haduh, kemana lagi wanita itu?" gumamku kesal. 

Memang menyebalkan sekali. Ani tidak ada di mana-mana. Aku sudah berusaha mencarinya, kemana sepagi ini dia pergi? Aku mengacak rambut, kembali keluar kamar. 

"Dia gak kabur, kan?" tanya Ibu kesal saat aku menjelaskan semuanya. 

Aku langsung menggengkan kepala. Tentu saja tidak. Bayi kami saja tidak dia bawa. Pakaian juga masih utuh di dalam lemari. Juga Ani pasti tidak akan sanggup hidup tanpa aku, mau makan apa dia? 

"Mungkin ke warung. Dia biasanya gitu." Memang biasanya kalau pagi, Ani ke warung. Entah ngapain setiap pagi. Padahal biasanya pulangnya jarang membawa barang. 

"Yaudah. Kamu susul sana." Ibu kembali ke dapur mengambil air minum.

Aku menganggukkan kepala. Kalau Ibu sudah di rumah, tidak mungkin aku malas-malasan. Untung saja jam masuk kantor masih agak lama. 

Sampai di dekat warung yang biasanya dimampiri oleh Ani setiap pagi, aku memelankan langkah. Ani sedang mengobrol dengan pemilik warung. 

"Nanti siang jangan lupa ambil kue saya lagi, ya, Bu. Bu Ani kalau jualan hebat banget."

Langkahku terhenti mendengar perkataan itu. Ternyata, ada yang mengajari Ani berjualan tidak jelas begitu. 

"Heh, Ani!" Aku membentaknya, membuat Ani dan penjual itu tampak kaget. 

Buru-buru aku mendekatinya yang tampak terkejut. Di tangan dia ada tempe dan tahu. Apa dia tidak bisa membeli daging atau makanan lain? Aku bosen dan muak dengan tempe dan tahu. Lama-lama aku juga bosan dengan Ani. 

"Di tunggu di rumah, malah di sini." Aku mengatakannya sedikit kasar. 

"Abis belanja." Dia menjawab singkat. Ani menunjukkan tempe dan tahu di tangannya. Aku juga sudah tau, tapi tidak bisakah dia belanja yang lain?

"Halah, banyak alasan aja kamu itu. Sana pulang, cepetan." Aku mendorong pundak Ani untuk lebih cepat. 

Ani menganggukkan kepala. Kemudian pamit pada tetangga kami yang menatapku aneh. Ibu ini memang memberikan pengaruh buruk pada Ani sepertinya. 

Setelah Ani melangkah agak jauh, aku membalikkan punggung, menatap penjual yang mengajari Ani. "Bu, saya minta ke Ibu jangan nyuruh Ani jualan lagi, ya. Buat apa jualan kayak gitu, buat malu doang."

"Pak Reyhan ini kayaknya tipe suami yang aneh. Pak, Bu Ani itu pas minta jualan sama saya, dia cerita gak ada uang buat menuhin kebutuhan rumah tangganya. Itu aja buat beli tempe sama tahu, pakai uang hasil jualannya. saya heran, deh. Uang gaji Bapak itu kemana aja? Padahal manager, tapi kebutuhan sehari-hari istri yang penuhi."

Eh? Aku menatap Ibu ini terkejut. Dari mana penjual ini cerita tidak benar itu? 

"Ibu siapa ngurusin rumah tangga saya? Udah, ya. Jangan lagi Ibu kasih kerjaan si Ani buat jualan. Malu-maluin saya aja. Sampai saya lihat Ani jualan lagi, saya buat kue Ibu di rumah hancur semua."

"Ih, suami yang gak peduli sama istri ya gitu. Awas istrinya gak tahan, Pak!"

Aku mengibaskan tangan. Meninggalkan tetanggaku yang menyebalkan itu. Jadi, selama ini Ani bicara soal rumah tangga kami ke orang lain? Dia itu memang menyebalkan sekali. 

Awas saja kamu, Ani!

***

Terdengar piring pecah. Aku bergegas masuk ke dalam rumah, menatap kekacauan yang terjadi. 

"Istri kamu itu gak bisa apa masak yang enak sedikit? Tahu tempe terus. Kayaknya, dia gak bisa ngelola keuangan."

Mata Ani tampak memerah. Aku menghela napas pelan, bisa dipastikan itu bukan tanda dia akan menangis, tapi tanda dia marah. Ani tidak pernah menangis kalau ada Ibu di rumah. Dia juga tidak pernah marah. Aku tidak tau kenapa dia begitu. 

"Ibu saja yang beli makanannya. Ani hanya bisa menyajikan itu."

Setelah mengatakan itu, Ani melangkah pergi. Aku menghela napas pelan, mengusap kening. Pusing juga lama-lama. 

"Kamu bilangin istri kamu itu. Jadi menantu kok gitu."

"Iya. Nanti aku bilangin sama dia."

Aku membelikan Ibu dan Nisa makanan siap saji saja. Biar tidak ada keributan lagi di rumah. Pusing aku mendengarnya. Menyebalkan sekali. 

"Kamu mau kemana?" tanyaku pelan saat memasuki kamar. 

Dia menoleh. Tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Bayiku sedang tidur, tidak bisakah Ani menurunkan egonya sedikit?

"Kamu itu jadi istri harusnya patuh sama suami, sama mertua. Kenapa jadi kayak gini? Segala omongan aku, gak ada yang kamu lakuin. Kamu anggap aku ini apa? Suami bukan, hah?!"

Matanya masih memerah. Dia hanya menggelengkan kepala. Enggan menjawab perkataanku. 

"Rapikan lagi pakaian kamu itu."

"Aku mau pergi saja. Tidak tahan aku di sini."

"Ani!" Aku setengah membentaknya. "Kamu mau pergi kemana, hah?! Ke kolong jembatan? Atau kemana?"

Gerakan tangannya terhenti. Dia kemudian menoleh padaku. 

"Kemana saja. Asal jangan di tempat ini."

Aku tertawa mendengarnya. 

"Serius kamu mau pergi?" Aku memiringkan kepala. "Kamu ingat perjanjian kita apa?"

***

Related chapters

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Awas Saja!

    "Kamu ingat perjanjian itu, kan? Atau perlu aku ingatin ulang?"Ani terdiam sejenak. Pakaian yang sedang dia pegang terjatuh. Ani menoleh ke aku sekilas. Kemudian kembali menyusun pakaian ke dalam lemari. Dia sepertinya mengurungkan niat saat mendengar apa kataku. Aku menyipitkan mata menatapnya. Awas saja kalau dia berani kabur dari rumah. Aku tidak akan segan-segan untuk menghukum dia. Dia itu memang harus ditegasin sebagai istri, posisi dia di rumah ini. "Sampai kamu coba-coba kabur dari rumah ini, aku juga gak main-main dengan ancaman di perjanjian itu." Aku mencengkeram tangannya sampai agak kemerahan, baru kemudian melepaskannya. Aku keluar kamar. Itu konsekuensinya jika bermain-main denganku. "Mbak Ani mau pergi, Bang?" tanya Nisa saat aku baru saja menutup kamar. "Awalnya iya, tapi gak jadi. Dia harus sadar dia siapa di sini. Kamu awasi dia selama Abang pergi." Aku memberikan isyarat pada adikku itu. Nisa menganggukkan kepala. "Siap. Yang penting uang jajan aja."Mendeng

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Istri atau Pembantu Kamu, Mas?!

    "Heh, Ani!"Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan. "Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani. "Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi.""Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?Pasti gara-gara si Ani. "Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi. "Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani. "Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa saki

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Istri atau Pembantu Kamu, Mas?!

    "Heh, Ani!"Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan. "Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani. "Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi.""Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?Pasti gara-gara si Ani. "Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi. "Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani. "Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa saki

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Kabar Mengejutkan

    "Kamu?" Aku memiringkan kepala. Ponselku kembali berdering. Aku mendengkus kesal, dari Abdul. Dia ini kenapa, sih? Aku mengangkat telepon kesal, melangkah menjauhi Ani yang masih diam di tempatnya. "Kenapa?""Cepetan ke kantor.""Apa, sih, dari tadi?" tanyaku kesal. "Lo bakalan tau di kantor. Cepetan."Aku mengembuskan napas kasar. Kemudian melirik Ani. Sebenarnya, ada masalah apa di kantor?"Iya." Buru-buru aku mematikan telepon, kemudian mengambil jas. Sebelum ke kantor. Aku mengecek Ibu dan Nisa dulu di kamar. Ternyata sedang tidur siang. Aku menganggukkan kepala, kembali menutup pintu kamar.Pintu rumah diketuk kencang sekali. Aku mengernyit, siapa yang datang ke rumah ini? "Kami mau menagih utang." Keningku terlipat. Menatap kedua pria bertubuh kekar yang datang ke rumah kemudian bilang mau menagih utang.Memangnya siapa yang meminjam uang? Aku menatap mereka dari atas ke bawah. "Kalau mau nagih utang, tagih sendiri sama orangnya. Jangan ke saya, dong."Mereka bertatapan

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Mencurigakan!

    "Ke—kenapa saya dipecat, Pak?""Ini."Bosku memberikan catatan alasan yang membuatku dipecat. Aku diam sejenak, membaca semua yang tertulis. Sering terlambat, juga melakukan kesalahan di laporan keuangan. Aku menelan ludah, kemudian mengusap wajah. Kapan aku membuat kesalahan di laporan ini?"Maaf, Pak. Saya tidak merasa melakukan kesalahan penghitungan di laporan keuangan.""Bukti sudah jelas. Silakan bereskan barang-barangmu. Kamu sudah merugikan kantor, Reyhan.""Pak, saya—""Keluar atau saya panggilkan satpam."Ah, habis sudah aku. Beberapa detik terdiam, mencoba untuk menerima keadaan. Akhirnya aku menganggukkan kepala. "Saya permisi, Pak."Sebelum keluar, aku sempat melirik pria yang tadi aku tabrak. Entah kenapa, ada tatapannya yang aneh. Ah, kacau sekali hari ini. "Gimana? Apa kata Bos?" tanya Abdul ketika aku kembali dari ruangan bos. "Kacau, semuanya kacau." Aku memukul meja, kemudian membereskan semua barang-barang dengan kesal. "Kenapa, Han? Kok beres-beres?"Ada bany

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Perubahan Ani

    "Ngapain pegang-pegang?"Aku menoleh, sementara Abdul langsung mengambil ponselnya dari tanganku. "Itu pesan apa?" tanyaku pelan, penasaran sekali. Apa maksud dari pesan yang dikirimkan ke Abdul itu? Mataku langsung melebar, apakah dia ada hubungannya dengan pemecatanku?Wah, aku ditusuk ternyata dari belakang. "Lo yang buat gue dipecat, hah?!" Aku berteriak, menarik kerah bajunya. "Eh? Mana ada!"Abdul juga terlihat ngotot. Dia sepertinya tidak mau mengakui kesalahannya. Jelas, kalau mengaku semua, tidak ada kejahatan di dunia ini. "Halah, lo pasti ngincar posisi gue? Atau disuruh sama istri lo? Teman gak tau diuntung!" Aku berteriak-teriak sampai beberapa orang kantor yang sedang makan menoleh ke kami. "Heh, ini Agung. Yang biasanya nanyain kabar lo. Yang pas itu ketemu di ruangan. Masa gak ingat."Dia menunjukkan ponselnya padaku. Terlihat pesan di sana. Betul juga, itu bukan seperti yang ada di dugaanku. Ah, aku malah menuduh yang tidak-tidak. "Nih, bisa liat dia nanyain k

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Pria Bersama Ani

    "Kamu benar-benar menyebalkan, ya!"Hampir saja aku menamparnya. Kalau ponselku tidak berdering. Entah dari siapa lagi ini. Aku melirik Ani sekilas, kemudian mengangkat telepon. Siapa tau ada yang mau menawarkanku pekerjaan. "Dengan Pak Reyhan, Abangnya Nisa, ya?""Iya. Saya Abangnya Nisa. Ini siapa, ya?" tanyaku pada orang di seberang sana. "Ah iya, ini gurunya Nisa, Pak. Nisanya habis kecelakaan, Pak di dekat sekolahan. Bapak bisa ke sini sekarang?"Mataku langsung melebar mendengarnya. Nisa kecelakaan? Astaga, kabar buruk."Baik. Saya langsung kesana sekarang, Pak."Setelah mematikan telepon, aku langsung menyambar jas di kursi, kemudian melangkah meninggalkan Ani sendirian. Sampai di ruang tamu, langkahku terhenti. Ini akan bilang ke Ibu atau tidak usah dulu?Astaga, kalau Ibu malah marah-marah bagaimana? Aku menghelan napas pelan, tapi tidak mungkin juga. "Bu."Ibu yang sedang sibuk dengan ponselnya menoleh. "Reyhan. Kamu mau bilang ke Ibu kalau kamu mau ngizinin Ibu ke lua

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 11

    "Gak kedengeran lagi."Aku buru-buru keluar mobil. Ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. Dengan langkah cepat, aku menuju ke tempat Ani. "Ani!"Mereka langsung menoleh. Tidak ada raut keterkejutan di wajah Ani. Begitu juga dengan pria itu. Mereka sama-sama terlihat santai. Kenapa mereka tidak terkejut? Ah, jangan-jangan benar perasaan tidak enakku. Apa hubungan Ani dengan pria itu? Wah, ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. "Kamu ngapain di sini, hah?!" Ini tidak jauh dari rumah. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Melihat Ani dan pria itu bergantian. "Kamu juga!" Aku menoleh ke pria tadi. "Jangan-jangan betul apa pikiran saya.""Saya gak ngerti sama yang kamu omongin." Pria itu mengeluarkan amplop berwarna coklat lumayan tebal. Aku menyipitkan mata. Apalagi yang akan aku lihat sekarang?"Ini DP-nya. Saya tunggu di hari yang udah ditentukan, kuenya jadi."Aku langsung terdiam mendengarnya. Jadi, pria ini memesan kue pada Ani? Astaga, apakah aku yang salah duga? Atau bagaima

Latest chapter

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 36

    "Boleh aku masuk, Mas?!" tanya Ani membuatku menelan ludah. Buru-buru aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau kalau Ani sampai ketemu dengan Mama dan Mama malah meminta uang pada nya. Tau sendiri kan Mama itu bagaimana watak nya. Aku sudah lelah menghadapi Mama. Apa lagi Ani. Pasti Mama juga akan melakukan hal itu pada Ani. Meskipun saat ini, Mama sudah tau kalau Ani bukan lah istriku lagi, tetapi tetap saja. Pasti dia akan melakukan hal yang aneh-aneh pada Ani dan aku tidak mau kalau hal tersebut sampai terjadi. "Eh?! Aku tidak boleh masuk ke rumah kamu, Mas?!" tanya Ani dengan tatapan terkejut. Tatapanku terhenti ke Ani. Kemudian menggelengkan kepala kembali. Ya, Ani tidak boleh sampai masuk ke dalam rumahku. Ani tampak sekali kalau kebingungan. Akhir nya, aku keluar dari rumah, kemudian menutup pintu rumah. Kami mengobrol di luar. Sebenarnya tujuan Aku adalah agar Mama tidak mendengar percakapan aku dan juga Ani saat ini. "Apa yang terjadi, Mas?" tanya nya pelan. "Aku tidak

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 35

    "Kamu bisa kan bicara dengan aku besok, Rey? Ini penting banget. Aku butuh banget buat bicara sama kamu."Huft, baik lah, aku akhir nya menganggukkan kepala, bisa saja sih aku menuruti kemauan nya Abdul untuk bertemu besok. Meskipun sejujur nya aku tidak tau apa yang ingin dibicarakan oleh Abdul padaku, apa lagi ini kata nya tentang si Ani. Memang nya dia mau membahas apa soal Ani? Apa kah ada yang mendesak sekali ya?"Rey? Kok kamu malah diam sih? Aku benar-benar butuh jawaban kamu, Rey.""Iya, aku bisa. Kamu kabarin aja besok gimana nya.""Bagus deh kalau kayak gitu, soal nya ini penting banget dan jujur aja aku takut kalau kamu nanti malah jadi gak dapat informasi tentang ini."Sepenting apa berita yang ingin dibicarakan oleh Abdul? Hmm, jujur saja aku penasaran sekali, tetapi ya sudah lah. Memang sudah seharus nya kami bertemu dulu. "Boleh deh, kita langsung ketemuan saja besok ya. Aku bakalan usahain buat langsung ketemu sama kamu."Ya semoga saja besok tidak terlalu banyak ke

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 34

    "Abang sakit keras? Dan gak bilang ke Nisa? Kenapa, Bang?""Nis, kamu—""Apa, Bang? Abang mau nyembunyiin semuanya dari aku?" Ah, aku tidak sanggup menatap Nisa. Dia menggelengkan kepala, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku menggigit bibir, apa lagi yang harus aku jelaskan pada Nisa?Surat hasil pemeriksaan itu ada di tangan Nisa. Aku mengembuskan napas pelan, tidak ada gunanya lagi membela diri sendiri. Nisa sudah tahu semuanya sekarang. Bahkan, sebelum aku memberitahukannya sendiri. Semuanya sudah terungkap, secepat ini."Apa?! Abang mau bela diri kayak mana lagi? Surat ini udah ada di tangan aku, Bang. Hasil pemeriksaan yang betul-betul menerangkan kalau Abang sakit keras!""Ssttt ..." Aku langsung menoleh ke pintu, takut Mama mendengar teriakan Nisa. Semoga saja Mama tidak mendengarnya. "Kenapa sih, Bang? Abang kenapa? Kenapa nyembunyiin ini semua dari Nisa? Dari Mama?"Kenapa? Aku menggelengkan kepala. Aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku seka

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 33

    "Hah? Menikah?!"Tubuhku seketika kaku mendengar perkataan Bang Ariel. Dia serius atau sedang bercanda? Pandanganku teralih ke Ani yang terdiam. Dia serius akan menikah dengan orang lain? Kenapa dia tega sekali padaku? Padahal awalnya dia sudha berjanji akan memikirkan tentang aku yang menawarkan untuk rujuk. "Kamu—""Iya. Aku akan segera menikah, Mas. Itu undangannya, kamu bisa lihat sendiri." Ani langsung memotong ucapanku. Sungguh aku tidak menyangka dengan ucapan Ani. Aku menatapnya, kemudian pandanganku teralih ke undangan yang diletakkan di atas meja, mengambilnya. "Ini, ambil undangannya, Mas."Ani tersenyum padaku. Dia seperti tidak punya beban memberikan undangan itu padaku. Aku menghela napas pelan, kemudian perlahan mengambil undangan yang diberikan oleh Ani. "Sudah dari kemarin aku hendak mengantarkannya ke kamu, Mas. Hanya belum ada waktu, tadi niatnya mau ke rumah kamu, ternyata kita malah ketemu di sini."Aku menatap undangan yang diberikan Ani. Gino nama calon sua

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 32

    Karma? Aku mengembuskan napas pelan, apakah benar karma itu ada? Kalau benar karma itu ada, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku menatap datar ke depan, ini benar-benar di luar dugaan. "Pak?""Eh iya." Aku langsung terkejut mendengar panggilan dokter. Kemudian tersenyum tipis. "Jadi saya harus bagaimana ya, Dok?" tanyaku pelan, aku sendiri tidak yakin apa yang harus aku lakukan sekarang. Dokter menjelaskan apa yang harus aku lakukan. Dapat uang dari mana untuk semua pengobatan ini? Aku menghela napas pelan, ini benar-benar buruk. "Terima kasih, Dok." Aku tersenyum tipis, beranjak dari kursi. Langkahku lunglai sekali sekaranf, sungguh ini benar-benar di luar dugaan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Biaya rumah sakit kalau aku melakukan pengobatan akan mahal sekali. Kalau tidak diobati, kasian Mama dan Nisa. Bagaimana mereka akan hidup tanpaku nanti? Ah, aku mengusap wajah kasar, kesal dengan keadaan sekarang. Kenapa pula penyakit ini muncul di saat yang tidak tepat?Bru

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 31

    "Aku ingin rujuk kembali denganmu, Ani.""Hah?!" Ani tampak terkejut sekali mendmegar perkataanku barusan. Dia sepertinya tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu. "Apa jaminan kamu mengatakan itu, Mas? Sementara ada kehidupan yang lebih baik dari pada bersama kamu?" tanya Ani pelan, dia menundukkan kepalanya. Aku mengembuskan napas pelan, mau bagaimanapun juga aku tidak akan bisa memaks Ani untuk kembali lagi padaku. Namun, aku masih mencintainya dan aku ingin dia kembali padaku. "Ani?" Aku menggenggam tangannya, ada sentakan halus yang terjadi saat tanganku menyentuh tngannya. "Kamu kaget?" tanyaku pelan. "Sedikit." Dia mengembuskan napas pelan. Jantungku berdetak kencamg, aku ingin berubah dengan memperbaiki hubungan ini. Memperbaiki rumah tangga kami. "Aku butuh jawaban kamu, Ni."Perlahan, Ani mengangkat pandangannya, menatapku. Ada raut sendu di wajahnya. "Apa jaminan kalau aku kembali padamu, Mas?" tanyanya pelan. Jaminannya? Aduh, aku tidak memikirkan hal itu seb

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 30

    Meskipun harus merelakan semuanya, aku tetap bersyukur, karena Mama bisa tertolong dengan bantuan Ani. "Bang, Mbak Ani baik, ya."Iya. Dia memang baik. Aku menatap Nisa, kemudian menganggukkan kepala. "Gak kebayang kalo gak ada Mbak Ani. Mama pasti—""Sstt ... kamu jangan kasih tau apa-apa ke Mama dulu, ya nanti. Jangan sampai kabar buruk ini sampai ke telinga Mama di kondisi yang gak baik kayak gini."Adikku itu terdiam. Dia akhirnya menganggukkan kepala. Beberapa detik, aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke kursi. Ini berat sekali. Persyaratan yang diberikan Ani benar-benar menyiksa. Namun, aku tidak bisa apa-apa. Aku memang tidak berguna."Maafkan aku, Ani, Ma."***"Mama kenapa di sini?" Aku berdiri, mendekati Mama yang tampak kebingungan. "Mama sakit.""Terus? Aduh." Mama meringis, membuatku membantunya beranjak dari posisi tiduran. Mama tidak banyak berbicara. Sekarang justru tampak aneh. Aku menoleh ke Nisa yang sibuk dengan ponselnya. "Mama mau

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 29 (POV ANI)

    "Kita berangkat sekarang, Bang."Aku mengambil tas di atas meja. Kemudian merapikan pakaian. Yakin sekali ini akan menjadi momen menarik. "Masih gak nyangka adek Abang punya ide seebat ini."Bang Ariel mengacak rambutku. Kami melangkah keluar rumah. Mama pasti sudah tidur, tidak usah pakai izin. Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung. Mas Reyhan sudah mengirimkan alamat rumah sakit padaku. Pasti dia juga tidak akan percaya dengan pemikiranku yang hebat ini. "Abang gak sabar liat ekspresi dia."Sebenarnya, ini tidak ada di rencana kami, tapi sudah terlanjur. Sekalian saja. Ini lebih mudah sebenarnya. "Sama. Dia bakalan ngerasain apa yang aku rasain, Bang."Ya. Mas Reyhan harus merasakannya. Tenang saja, Mas, permainan baru saja dimulai. ***"Akhirnya Mbak datang juga. Aku dari tadi nungguin Mbak."Aku tersenyum ke Nisa. Dia sudah baik sekali padaku. Meskipun aku tidak akan membantu dengan mudah, tapi kalau tidak ada Nisa, mungkin aku tidak akan mau menawarkan penawaran

  • Luka yang Disembunyikan Istriku   Bab 28 (POV ANI)

    Lucu sekali dia. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Sudah pasti ada alasan lain. Tidak mungkin dia murni ingin bertemu dengan bayiku. Ah, lelucon yang wow. Aku menghela napas pelan. Menatap bayiku yang tenang di gendongan pria yang masih berstatus suamiku itu. "Kamu betul gak mau kembali lagi bersamaku, Ni?" tanyaku pelan. "Sudah kubilang berapa kali? Itu hanya ada di mimpi."Sudah waktunya. Aku melirik jam tangan. Kemudian menoleh ke anak buah Bang Ariel. Mereka mengambil bayiku dari gendongan Mas Reyhan. "Eh? Apa-apaan ini, Ani?" tanyaku sambil melotot padanya. "Waktunya sudah selesai, Mas. Kamu tidak akan bisa membujukku untuk memberikan waktu lagi."Aku melangkah pergi, sementara Mas Reyhan terus memanggil, membuat beberapa pengunjung lain menatap kami. Bodo amat. Aku terus melanjutkan langkah. Bang Ariel sudah ada di dalam mobil. Kami meninggalkan restoran itu. "Apa yang dia mau dari kamu?" tanya Bang Ariel sambil memakai kacamatanya. "Banyak. Termasuk bayi ini."Bang

DMCA.com Protection Status