"Heh, Ani!"
Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan.
"Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan.
"Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"
Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani.
"Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi."
"Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."
Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?
Pasti gara-gara si Ani.
"Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi.
"Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani.
"Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa sakit hati, lho, Bu."
Ani tersenyum, dia hanya menggelengkan kepala. Santai sekali menyikapi semua ini.
"Kamu lihat saja." Aku buru-buru menarik tangannya. Sepanjang perjalanan, Ani mengaduh. Dia berusaha melepaskan tangannya dariku.
Kami juga diliatin sama warga kampung sepanjang perjalanan pulang. Aku mengembuskan napas kesal, ini pasti gara-gara Ani.
Sampai di rumah, aku mengempaskan tangannya kesal.
Ponselku lebih dulu berdering. Keningku mengerut ketika melihat ada pesan dari Abdul. Kenapa dia menelepon sekarang?
"Kenapa?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi.
"Dipanggil sama bos."
"Hah?!" Aku kaget sekali mendengar perkataannya. "Kenapa dipanggil?"
"Gak tau. Langsung ke kantor aja."
Aku langsung mematikan telepon. Kemudian berbalik, kemana lagi si Ani menyebalkan itu.
"Ani!" Aku meneriakinya.
"Mana uang yang kamu pinjam, hah?! Berani banget minjam tanpa izin sama aku. Kamu ini anggap aku sebagai suami gak, sih?"
Dia diam saja. Bayi kami menangis. Aku mengusap wajah melihat Ani yang akhirnya melangkah untuk menenangkan bayi kami.
Buru-buru aku membuka lemari. Mengacak-acak pakaian Ani. Siapa tau dia menyimpan di sana.
Tidak ada sama sekali. Aku menatapnya tajam, sementara dia berkali-kali memalingkan wajah. Enggan menatapku.
"Kemana kamu taruh uangnya, hah?! Biar aku yang simpan, kamu juga nanti bayarnya pakai uangku, kan?"
"Selama ini apa yang udah kamu kasih ke aku? Uang bulanan pas-pasan. Kata siapa aku bakalan bayar sama uang yang kamu kasih? Makan aja pakai uang itu gak cukup."
Mendengar itu, aku terdiam. Ani memang menyebalkan sekali.
"Kamu itu harusnya gak usah minjam-minjam. Buat malu aja. Apalagi orang kampung semuanya tau." Aku melipat kedua tangan di depan dada. Sesekali melirik ponsel.
Sebenarnya, aku harusnya sudah ke kantor lagi. Hanya istirahat sebentar soalnya.
"Kemarikan uang yang kamu pinjam!"
Dia menggelengkan kepala.
Aku heran. Untuk apa uang itu? Ah, mungkin aku akan mengikuti Ani kapan-kapan.
"Jangan-jangan kamu kasih tau ke orang kampung sini tentang masalah rumah tangga kita, ya? Kamu sebarin semuanya?" tanyaku dengan nada kesal.
"Kamu teriak saja, sudah terdengar keluar."
Mendengar itu, aku menoleh keluar jendela. Memang banyak tetangga yang menoleh ke kami, penasaran dengan apa yang terjadi.
Ah, akhirnya aku tau semuanya, tapi aku masih ragu dengan Ani.
"Reyhan!"
Buru-buru aku keluar kamar. Ibu kenapa teriak-teriak, sih?
"Tadi Ibu ketemu teman di supermarket. Dia pamerin perhiasan baru. Ibu mau juga."
Astaga. Aku kira apa. Bagaimana ini? Aku saja tidak memegang uang banyak sekarang. Hanya cukup untuk bensin sampai gajian dan beli makanan sedikit.
Ibu boros sekali. Aku mengusap wajah, kemudian menoleh ke Ani.
"Kamu tadi kan minjam uang. Kasih ke Ibu sana."
Sudah kuduga. Dia akan menggelengkan kepala. Ani benar-benar menambah masalahku sekarang.
"Reyhan."
"Bang Reyhan jangan pelit-pelit sama Ibu. Yang buat Mas Reyhan sampai di sini, kan Ibu."
Aku tersenyum, kemudian menganggukkan kepala mendengar perkataan Nisa.
"Nanti aku cariin dulu uangnya, Bu. Nanti malam pasti ada."
"Janji?"
"Iya." Aku menganggukkan kepala pada Ibu. Menyuruh Ibu masuk ke kamar untuk istirahat.
Setelah Ibu dan Nisa masuk ke kamar, buru-buru aku menarik tangan Ani. Dia memang menyebalkan, keras kepala. Tidak ada gunanya perasaan di sini.
"Kenapa lagi?" tanyanya datar.
"Kasih uang pinjaman tadi ke aku."
"Buat perhiasan itu? Kamu itu polos atau apa?" tanyanya pelan.
Plak!
Ani memegangi pipinya yang memerah. Dadaku naik turun kesal dengan perkataannya. Apakah dia tidak memahami kondisiku sekarang?
"Kamu itu harusnya nurut sama aku! Jangan bantah!"
Dia diam saja. Beberapa detik setelahnya, terdengar isak dari mulut Ani. Aku mendengkus.
"Setelah ini apalagi, Mas? Apalagi? Kamu mau apakan aku setelah ini?" tanyanya dengan teriakan dan isakan tangis.
"Kamu itu harusnya nurut sama suami sendiri. Jangan jadi istri yang gak ngikutin aturan suami!"
Dia terduduk di lantai. Aku menatapnya yang menangis sambil menggendong bayi kami. Tangannya terlihat gemetar. Terlihat sekali Ani berusaha untuk menahan amarahnya.
"Selama ini aku berusaha bertahan sama kamu, Mas. Aku selalu simpan semuanya sendirian. Segala sakit hati aku simpan."
Halah. Aku memalingkan wajah, malas dengan seluruh aktingnya.
"Bayi ini, aku urus semuanya sendiri. Baru lahir, aku udah ngerjain pekerjaan rumah. Gak ada yang bantuin, gak ada yang perhatiin." Isak tangisnya semakin kencang. Ani menatapku, dia berdiri dan mengusap pipinya.
Mata Ani memerah. Dia masih terisak. Air matanya bahkan terjatuh ke pipi bayi kami.
"Bukan sakit fisik lagi aku di sini, Mas. Udah tambah jadi sakit batin."
"Lebay banget kamu itu." Aku melotot.
"Sebenarnya, aku ini istri atau pembantu kamu, Mas?!"
***
"Heh, Ani!"Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan. "Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani. "Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi.""Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?Pasti gara-gara si Ani. "Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi. "Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani. "Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa saki
"Kamu?" Aku memiringkan kepala. Ponselku kembali berdering. Aku mendengkus kesal, dari Abdul. Dia ini kenapa, sih? Aku mengangkat telepon kesal, melangkah menjauhi Ani yang masih diam di tempatnya. "Kenapa?""Cepetan ke kantor.""Apa, sih, dari tadi?" tanyaku kesal. "Lo bakalan tau di kantor. Cepetan."Aku mengembuskan napas kasar. Kemudian melirik Ani. Sebenarnya, ada masalah apa di kantor?"Iya." Buru-buru aku mematikan telepon, kemudian mengambil jas. Sebelum ke kantor. Aku mengecek Ibu dan Nisa dulu di kamar. Ternyata sedang tidur siang. Aku menganggukkan kepala, kembali menutup pintu kamar.Pintu rumah diketuk kencang sekali. Aku mengernyit, siapa yang datang ke rumah ini? "Kami mau menagih utang." Keningku terlipat. Menatap kedua pria bertubuh kekar yang datang ke rumah kemudian bilang mau menagih utang.Memangnya siapa yang meminjam uang? Aku menatap mereka dari atas ke bawah. "Kalau mau nagih utang, tagih sendiri sama orangnya. Jangan ke saya, dong."Mereka bertatapan
"Keâkenapa saya dipecat, Pak?""Ini."Bosku memberikan catatan alasan yang membuatku dipecat. Aku diam sejenak, membaca semua yang tertulis. Sering terlambat, juga melakukan kesalahan di laporan keuangan. Aku menelan ludah, kemudian mengusap wajah. Kapan aku membuat kesalahan di laporan ini?"Maaf, Pak. Saya tidak merasa melakukan kesalahan penghitungan di laporan keuangan.""Bukti sudah jelas. Silakan bereskan barang-barangmu. Kamu sudah merugikan kantor, Reyhan.""Pak, sayaâ""Keluar atau saya panggilkan satpam."Ah, habis sudah aku. Beberapa detik terdiam, mencoba untuk menerima keadaan. Akhirnya aku menganggukkan kepala. "Saya permisi, Pak."Sebelum keluar, aku sempat melirik pria yang tadi aku tabrak. Entah kenapa, ada tatapannya yang aneh. Ah, kacau sekali hari ini. "Gimana? Apa kata Bos?" tanya Abdul ketika aku kembali dari ruangan bos. "Kacau, semuanya kacau." Aku memukul meja, kemudian membereskan semua barang-barang dengan kesal. "Kenapa, Han? Kok beres-beres?"Ada bany
"Ngapain pegang-pegang?"Aku menoleh, sementara Abdul langsung mengambil ponselnya dari tanganku. "Itu pesan apa?" tanyaku pelan, penasaran sekali. Apa maksud dari pesan yang dikirimkan ke Abdul itu? Mataku langsung melebar, apakah dia ada hubungannya dengan pemecatanku?Wah, aku ditusuk ternyata dari belakang. "Lo yang buat gue dipecat, hah?!" Aku berteriak, menarik kerah bajunya. "Eh? Mana ada!"Abdul juga terlihat ngotot. Dia sepertinya tidak mau mengakui kesalahannya. Jelas, kalau mengaku semua, tidak ada kejahatan di dunia ini. "Halah, lo pasti ngincar posisi gue? Atau disuruh sama istri lo? Teman gak tau diuntung!" Aku berteriak-teriak sampai beberapa orang kantor yang sedang makan menoleh ke kami. "Heh, ini Agung. Yang biasanya nanyain kabar lo. Yang pas itu ketemu di ruangan. Masa gak ingat."Dia menunjukkan ponselnya padaku. Terlihat pesan di sana. Betul juga, itu bukan seperti yang ada di dugaanku. Ah, aku malah menuduh yang tidak-tidak. "Nih, bisa liat dia nanyain k
"Kamu benar-benar menyebalkan, ya!"Hampir saja aku menamparnya. Kalau ponselku tidak berdering. Entah dari siapa lagi ini. Aku melirik Ani sekilas, kemudian mengangkat telepon. Siapa tau ada yang mau menawarkanku pekerjaan. "Dengan Pak Reyhan, Abangnya Nisa, ya?""Iya. Saya Abangnya Nisa. Ini siapa, ya?" tanyaku pada orang di seberang sana. "Ah iya, ini gurunya Nisa, Pak. Nisanya habis kecelakaan, Pak di dekat sekolahan. Bapak bisa ke sini sekarang?"Mataku langsung melebar mendengarnya. Nisa kecelakaan? Astaga, kabar buruk."Baik. Saya langsung kesana sekarang, Pak."Setelah mematikan telepon, aku langsung menyambar jas di kursi, kemudian melangkah meninggalkan Ani sendirian. Sampai di ruang tamu, langkahku terhenti. Ini akan bilang ke Ibu atau tidak usah dulu?Astaga, kalau Ibu malah marah-marah bagaimana? Aku menghelan napas pelan, tapi tidak mungkin juga. "Bu."Ibu yang sedang sibuk dengan ponselnya menoleh. "Reyhan. Kamu mau bilang ke Ibu kalau kamu mau ngizinin Ibu ke lua
"Gak kedengeran lagi."Aku buru-buru keluar mobil. Ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. Dengan langkah cepat, aku menuju ke tempat Ani. "Ani!"Mereka langsung menoleh. Tidak ada raut keterkejutan di wajah Ani. Begitu juga dengan pria itu. Mereka sama-sama terlihat santai. Kenapa mereka tidak terkejut? Ah, jangan-jangan benar perasaan tidak enakku. Apa hubungan Ani dengan pria itu? Wah, ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. "Kamu ngapain di sini, hah?!" Ini tidak jauh dari rumah. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Melihat Ani dan pria itu bergantian. "Kamu juga!" Aku menoleh ke pria tadi. "Jangan-jangan betul apa pikiran saya.""Saya gak ngerti sama yang kamu omongin." Pria itu mengeluarkan amplop berwarna coklat lumayan tebal. Aku menyipitkan mata. Apalagi yang akan aku lihat sekarang?"Ini DP-nya. Saya tunggu di hari yang udah ditentukan, kuenya jadi."Aku langsung terdiam mendengarnya. Jadi, pria ini memesan kue pada Ani? Astaga, apakah aku yang salah duga? Atau bagaima
"Maaf, Ibu mengenal saya?" Aku akhirnya bertanya pada Ibu yang tadi aku tabrak. Sedikit, hanya lecet di bagian kaki. Tidak terlalu parah juga. "Enggak, enggak." Ibu itu menggelengkan kepalanya cepat. Membuatku mengernyit heran. Apa maksud perkataan Ibu ini?Dia seperti mengenaliku tadi, kenapa sekarang seolah tidak kenal? Ah, ini aneh sekali. Beberapa hari terakhir, aku mengalami keanehan ini. Bertemu dengan pria yang lumayan mencurigakan, juga seorang ibu yang enha. Sikap Ani juga berubah sekali. "Kamu antarkan saya ke rumah sakit?""Eh?" Aku melongo. "Ibu gak papa. Jangan mengada-ada. Saya gak mau tanggung jawab."Ibu itu melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara aku masih tetap tidak mau mengantarkannya ke rumah sakit. "Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi. Mau mengantarkan saya ke rumah sakit atau repot urusan dengan polisi?"Mataku langsung membulat mendengarnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengiyakan permintaan Ibu itu. Sepanjang perjalanan, aku hanya
"Oke bagus. Besok kamu sudah bisa mulai bekerja jadi di sopir."Aku menelan ludah, bagaimana caranya bilang ke pria ini?Pesanan kami datang. Aku sesekali meliriknya yang terlihat sibuk dengan ponsel. Ah, bagaimana aku harus bilang kalau aku mau minta sebagian gaji dulu agar Ibu tidak marah-marah?"Makan aja. saya yang bayarin.""Iya." Aku menganggukkan kepala, akhirnya memilih untuk menyantap makanan. Setelah beberapa menit, aku meletakkan sendok ke piring. Makanan sudah habis. "Mau nambah?" tanyanya sambil mengambil tisu. Buru-buru aku menggelengkan kepala, meskipun sebenarnya masih ingin menambah makanan. "Emm, saya mau bicara sedikit.""Iya. Bicara aja." Dia mengubah raut menjadi serius. "Kalau saya minta sebagian gaji dari sopir dulu gimana?""Hah?!" Dia terdiam mendengar pertanyaanku tadi. "Gimana-gimana? Kerja belum udah minta gaji.""Saya butuh banget. Ayo, tolong." Aku menatapnya memohon. Tentu saja pria itu menggelengkan kepala, membuatku menghela napas pelan. "Saya j
"Boleh aku masuk, Mas?!" tanya Ani membuatku menelan ludah. Buru-buru aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau kalau Ani sampai ketemu dengan Mama dan Mama malah meminta uang pada nya. Tau sendiri kan Mama itu bagaimana watak nya. Aku sudah lelah menghadapi Mama. Apa lagi Ani. Pasti Mama juga akan melakukan hal itu pada Ani. Meskipun saat ini, Mama sudah tau kalau Ani bukan lah istriku lagi, tetapi tetap saja. Pasti dia akan melakukan hal yang aneh-aneh pada Ani dan aku tidak mau kalau hal tersebut sampai terjadi. "Eh?! Aku tidak boleh masuk ke rumah kamu, Mas?!" tanya Ani dengan tatapan terkejut. Tatapanku terhenti ke Ani. Kemudian menggelengkan kepala kembali. Ya, Ani tidak boleh sampai masuk ke dalam rumahku. Ani tampak sekali kalau kebingungan. Akhir nya, aku keluar dari rumah, kemudian menutup pintu rumah. Kami mengobrol di luar. Sebenarnya tujuan Aku adalah agar Mama tidak mendengar percakapan aku dan juga Ani saat ini. "Apa yang terjadi, Mas?" tanya nya pelan. "Aku tidak
"Kamu bisa kan bicara dengan aku besok, Rey? Ini penting banget. Aku butuh banget buat bicara sama kamu."Huft, baik lah, aku akhir nya menganggukkan kepala, bisa saja sih aku menuruti kemauan nya Abdul untuk bertemu besok. Meskipun sejujur nya aku tidak tau apa yang ingin dibicarakan oleh Abdul padaku, apa lagi ini kata nya tentang si Ani. Memang nya dia mau membahas apa soal Ani? Apa kah ada yang mendesak sekali ya?"Rey? Kok kamu malah diam sih? Aku benar-benar butuh jawaban kamu, Rey.""Iya, aku bisa. Kamu kabarin aja besok gimana nya.""Bagus deh kalau kayak gitu, soal nya ini penting banget dan jujur aja aku takut kalau kamu nanti malah jadi gak dapat informasi tentang ini."Sepenting apa berita yang ingin dibicarakan oleh Abdul? Hmm, jujur saja aku penasaran sekali, tetapi ya sudah lah. Memang sudah seharus nya kami bertemu dulu. "Boleh deh, kita langsung ketemuan saja besok ya. Aku bakalan usahain buat langsung ketemu sama kamu."Ya semoga saja besok tidak terlalu banyak ke
"Abang sakit keras? Dan gak bilang ke Nisa? Kenapa, Bang?""Nis, kamuâ""Apa, Bang? Abang mau nyembunyiin semuanya dari aku?" Ah, aku tidak sanggup menatap Nisa. Dia menggelengkan kepala, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku menggigit bibir, apa lagi yang harus aku jelaskan pada Nisa?Surat hasil pemeriksaan itu ada di tangan Nisa. Aku mengembuskan napas pelan, tidak ada gunanya lagi membela diri sendiri. Nisa sudah tahu semuanya sekarang. Bahkan, sebelum aku memberitahukannya sendiri. Semuanya sudah terungkap, secepat ini."Apa?! Abang mau bela diri kayak mana lagi? Surat ini udah ada di tangan aku, Bang. Hasil pemeriksaan yang betul-betul menerangkan kalau Abang sakit keras!""Ssttt ..." Aku langsung menoleh ke pintu, takut Mama mendengar teriakan Nisa. Semoga saja Mama tidak mendengarnya. "Kenapa sih, Bang? Abang kenapa? Kenapa nyembunyiin ini semua dari Nisa? Dari Mama?"Kenapa? Aku menggelengkan kepala. Aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku seka
"Hah? Menikah?!"Tubuhku seketika kaku mendengar perkataan Bang Ariel. Dia serius atau sedang bercanda? Pandanganku teralih ke Ani yang terdiam. Dia serius akan menikah dengan orang lain? Kenapa dia tega sekali padaku? Padahal awalnya dia sudha berjanji akan memikirkan tentang aku yang menawarkan untuk rujuk. "Kamuâ""Iya. Aku akan segera menikah, Mas. Itu undangannya, kamu bisa lihat sendiri." Ani langsung memotong ucapanku. Sungguh aku tidak menyangka dengan ucapan Ani. Aku menatapnya, kemudian pandanganku teralih ke undangan yang diletakkan di atas meja, mengambilnya. "Ini, ambil undangannya, Mas."Ani tersenyum padaku. Dia seperti tidak punya beban memberikan undangan itu padaku. Aku menghela napas pelan, kemudian perlahan mengambil undangan yang diberikan oleh Ani. "Sudah dari kemarin aku hendak mengantarkannya ke kamu, Mas. Hanya belum ada waktu, tadi niatnya mau ke rumah kamu, ternyata kita malah ketemu di sini."Aku menatap undangan yang diberikan Ani. Gino nama calon sua
Karma? Aku mengembuskan napas pelan, apakah benar karma itu ada? Kalau benar karma itu ada, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku menatap datar ke depan, ini benar-benar di luar dugaan. "Pak?""Eh iya." Aku langsung terkejut mendengar panggilan dokter. Kemudian tersenyum tipis. "Jadi saya harus bagaimana ya, Dok?" tanyaku pelan, aku sendiri tidak yakin apa yang harus aku lakukan sekarang. Dokter menjelaskan apa yang harus aku lakukan. Dapat uang dari mana untuk semua pengobatan ini? Aku menghela napas pelan, ini benar-benar buruk. "Terima kasih, Dok." Aku tersenyum tipis, beranjak dari kursi. Langkahku lunglai sekali sekaranf, sungguh ini benar-benar di luar dugaan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Biaya rumah sakit kalau aku melakukan pengobatan akan mahal sekali. Kalau tidak diobati, kasian Mama dan Nisa. Bagaimana mereka akan hidup tanpaku nanti? Ah, aku mengusap wajah kasar, kesal dengan keadaan sekarang. Kenapa pula penyakit ini muncul di saat yang tidak tepat?Bru
"Aku ingin rujuk kembali denganmu, Ani.""Hah?!" Ani tampak terkejut sekali mendmegar perkataanku barusan. Dia sepertinya tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu. "Apa jaminan kamu mengatakan itu, Mas? Sementara ada kehidupan yang lebih baik dari pada bersama kamu?" tanya Ani pelan, dia menundukkan kepalanya. Aku mengembuskan napas pelan, mau bagaimanapun juga aku tidak akan bisa memaks Ani untuk kembali lagi padaku. Namun, aku masih mencintainya dan aku ingin dia kembali padaku. "Ani?" Aku menggenggam tangannya, ada sentakan halus yang terjadi saat tanganku menyentuh tngannya. "Kamu kaget?" tanyaku pelan. "Sedikit." Dia mengembuskan napas pelan. Jantungku berdetak kencamg, aku ingin berubah dengan memperbaiki hubungan ini. Memperbaiki rumah tangga kami. "Aku butuh jawaban kamu, Ni."Perlahan, Ani mengangkat pandangannya, menatapku. Ada raut sendu di wajahnya. "Apa jaminan kalau aku kembali padamu, Mas?" tanyanya pelan. Jaminannya? Aduh, aku tidak memikirkan hal itu seb
Meskipun harus merelakan semuanya, aku tetap bersyukur, karena Mama bisa tertolong dengan bantuan Ani. "Bang, Mbak Ani baik, ya."Iya. Dia memang baik. Aku menatap Nisa, kemudian menganggukkan kepala. "Gak kebayang kalo gak ada Mbak Ani. Mama pastiâ""Sstt ... kamu jangan kasih tau apa-apa ke Mama dulu, ya nanti. Jangan sampai kabar buruk ini sampai ke telinga Mama di kondisi yang gak baik kayak gini."Adikku itu terdiam. Dia akhirnya menganggukkan kepala. Beberapa detik, aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke kursi. Ini berat sekali. Persyaratan yang diberikan Ani benar-benar menyiksa. Namun, aku tidak bisa apa-apa. Aku memang tidak berguna."Maafkan aku, Ani, Ma."***"Mama kenapa di sini?" Aku berdiri, mendekati Mama yang tampak kebingungan. "Mama sakit.""Terus? Aduh." Mama meringis, membuatku membantunya beranjak dari posisi tiduran. Mama tidak banyak berbicara. Sekarang justru tampak aneh. Aku menoleh ke Nisa yang sibuk dengan ponselnya. "Mama mau
"Kita berangkat sekarang, Bang."Aku mengambil tas di atas meja. Kemudian merapikan pakaian. Yakin sekali ini akan menjadi momen menarik. "Masih gak nyangka adek Abang punya ide seebat ini."Bang Ariel mengacak rambutku. Kami melangkah keluar rumah. Mama pasti sudah tidur, tidak usah pakai izin. Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung. Mas Reyhan sudah mengirimkan alamat rumah sakit padaku. Pasti dia juga tidak akan percaya dengan pemikiranku yang hebat ini. "Abang gak sabar liat ekspresi dia."Sebenarnya, ini tidak ada di rencana kami, tapi sudah terlanjur. Sekalian saja. Ini lebih mudah sebenarnya. "Sama. Dia bakalan ngerasain apa yang aku rasain, Bang."Ya. Mas Reyhan harus merasakannya. Tenang saja, Mas, permainan baru saja dimulai. ***"Akhirnya Mbak datang juga. Aku dari tadi nungguin Mbak."Aku tersenyum ke Nisa. Dia sudah baik sekali padaku. Meskipun aku tidak akan membantu dengan mudah, tapi kalau tidak ada Nisa, mungkin aku tidak akan mau menawarkan penawaran
Lucu sekali dia. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Sudah pasti ada alasan lain. Tidak mungkin dia murni ingin bertemu dengan bayiku. Ah, lelucon yang wow. Aku menghela napas pelan. Menatap bayiku yang tenang di gendongan pria yang masih berstatus suamiku itu. "Kamu betul gak mau kembali lagi bersamaku, Ni?" tanyaku pelan. "Sudah kubilang berapa kali? Itu hanya ada di mimpi."Sudah waktunya. Aku melirik jam tangan. Kemudian menoleh ke anak buah Bang Ariel. Mereka mengambil bayiku dari gendongan Mas Reyhan. "Eh? Apa-apaan ini, Ani?" tanyaku sambil melotot padanya. "Waktunya sudah selesai, Mas. Kamu tidak akan bisa membujukku untuk memberikan waktu lagi."Aku melangkah pergi, sementara Mas Reyhan terus memanggil, membuat beberapa pengunjung lain menatap kami. Bodo amat. Aku terus melanjutkan langkah. Bang Ariel sudah ada di dalam mobil. Kami meninggalkan restoran itu. "Apa yang dia mau dari kamu?" tanya Bang Ariel sambil memakai kacamatanya. "Banyak. Termasuk bayi ini."Bang