"Kamu ingat perjanjian itu, kan? Atau perlu aku ingatin ulang?"
Ani terdiam sejenak. Pakaian yang sedang dia pegang terjatuh. Ani menoleh ke aku sekilas. Kemudian kembali menyusun pakaian ke dalam lemari. Dia sepertinya mengurungkan niat saat mendengar apa kataku.
Aku menyipitkan mata menatapnya. Awas saja kalau dia berani kabur dari rumah. Aku tidak akan segan-segan untuk menghukum dia. Dia itu memang harus ditegasin sebagai istri, posisi dia di rumah ini.
"Sampai kamu coba-coba kabur dari rumah ini, aku juga gak main-main dengan ancaman di perjanjian itu." Aku mencengkeram tangannya sampai agak kemerahan, baru kemudian melepaskannya.
Aku keluar kamar. Itu konsekuensinya jika bermain-main denganku.
"Mbak Ani mau pergi, Bang?" tanya Nisa saat aku baru saja menutup kamar.
"Awalnya iya, tapi gak jadi. Dia harus sadar dia siapa di sini. Kamu awasi dia selama Abang pergi." Aku memberikan isyarat pada adikku itu.
Nisa menganggukkan kepala. "Siap. Yang penting uang jajan aja."
Mendengar itu, aku menggelengkan kepala. Uang saja yang ada di pikiran adik dan ibuku. Seperti tidak ada yang lain saja. Kemudian melangkah pergi ke ruang tamu.
"Kamu gak boleh pergi, Ani." Aku bergumam sambil meremas kertas. Aku tidak akan pernah rela kalau Ani pergi.
Sungguh, aku mencintai Ani. Hanya dia yang aku cintai. Maka nya, aku berusaha sekali membuat dia tetap berada di sini.
***
"Saya pergi kerja dulu."
Ani hanya menganggukkan kepala. Dia baru saja kena marah Ibu lagi, karena menyapu lantai tidak bersih. Memang Ani itu sejak dulu begitu. Tetap menyebalkan.
Aku menoleh ke Nisa yang menganggukkan kepala. Adikku itu harusnya ingat apa yang aku perintahkan tadi. Sampai di kantor, aku mengambil kertas untuk dikerjakan. Sesekali, aku menghela napas pelan, kemudian mengambil fotokopi kertas perjanjian di laci meja kerjaku.
Perjanjian ini. Ketika Ani membutuhkanku. Dia awalnya butuh uang untuk operasi adik angkatnya di panti asuhan. Aku akhirnya memberikan biaya dengan syarat dia harus menikahiku dan menerima seluruh yang aku berikan di rumah tangga kami.
Sebenarnya karena umurku yang sudah cukup matang untuk menikah. Malu juga sama teman-teman yang sudah menikah, bahkan punya anak, tapi aku masih jomblo. Kebetulan juga Ani terlihat mencintaiku, maka aku juga harus bisa memanfaatkan keadaan yang ada.
Dengan segala kekurangan, dia berusaha bertahan. Aku juga mencintai dia, dia saja yang bandel sekali. Harusnya Ani bersyukur karena bertemu aku.
"Galau banget kayaknya." Abdul duduk di sebelahku. Dia senyum-senyum.
"Iya." Aku tersenyum tipis, menyimpan kertas itu ke laci meja. Abdul tidak boleh tau dengan semua yang terjadi di rumah tanggaku.
"Ada apa, nih?" tanyaku lagi. Dia menggelengkan kepala, sepertinya bingung akan bilang apa.
"Gue udah tau gimana kehidupan rumah tangga lo."
Uhuk!
Aku meletakkan minuman ke atas meja. Menatapnya yang terdiam. Apakah dia tidak salah? Berani-beraninya dia mengorek informasi tentang hidup dan keluargaku.
Ah, sudah aku duga. Pasti Abdul dan istrinya tau tadi malam. Aku menggelengkan kepala. Ini tidak bisa dibiarkan. Menyebalkan sekali.
"Kenapa? Lo kayaknya kaget banget." Abdul tersenyum tipis, dia menggelengkan kepala.
"Jelas. Itu kehidupan rumah tangga gue. Gak boleh ada yang tau. Apalagi orang lain yang bukan anggota keluarga gue." Rahangku mengeras, jelas saja aku tidak setuju, siapa yang setuju dengan semua perkataan Abdul itu? Siapa yang mau dikorek informasinya?
"Terus?" tanyaku sambil menatapnya.
Lama-lama menyebalkan juga. Aku menghela napas kasar. Susah bicara dengan orang sepertinya.
"Heh, lo bisa buat istri sendiri masuk ke rumah sakit." Abdul menatapku tajam.
Keningku terlipat mendengarnya. "Ngapain ke rumah sakit?"
"Rumah sakit jiwa." Abdul mengatakannya pelan.
Aku terdiam mendengarnya. Kemudian tertawa dan menggelengkan kepala. Menepuk pundaknya dengan amarah di dadaku. Apa pun itu, aku sudah membayar seluruh biaya berobat adiknya Ani dan aku berhak atas apa yang tertera di perjanjian kami.
"Jangan pernah ikut campur." Aku memperingati Abdul.
Abdul menggelengkan kepala, seperti sudah kesal sekali dengan perkataanku. "Susah emang ngomong sama orang yang lumayan gak peduli sama hati orang lain."
Dia melangkah pergi. Aku menggelengkan kepala. Ani itu hanya lemah saja. Dia memang menyebalkan. Lagi pula, siapa juga yang menyuruh Abdul untuk ikut campur di rumah tanggaku? Tidak ada.
Aku tidak salah, kan? Ani saja yang lebay.
***
Mobilku berhenti di depan rumah. Kening ku terlipat ketika rumah sepi sekali. Kemana semua orang? Ini kenapa sepi sekali? Kemana Ani? Kemana Ibu? Kemana Nisa?
Buru-buru aku mengambil ponsel. Kemudian menghubungi Nisa. Mereka kemana semua, sih? Sampai aku sudah mengetuk-ngetuk pintu rumah.
"Halo, Bang. Aku sama Ibu lagi ada di supermarket. Tadi Mbak Ani ada di rumah kok. Gak usha khawatir." Nisa mengatakannya membuatku mengernyitkan dahi, ada di rumah bagaimana ceritanya? Kosong begini.
"Duh, ini masalahnya gak ada Ani di rumah, Nisa. Gak bisa nunggu Abang dulu? Kalau dia kabur gimana?"
"Gampang. Tinggal laporin aja. Kan, Abang simpan perjanjian dia."
Aku menggelengkan kepala. Bukan itu masalahnya. Aduh, ini benar-benar rumit. Ah, mereka tidak tau saja apa yang terjadi.
"Yaudah. Abang matiin dulu teleponnya. Nanti telepon lagi. Oke?"
"Oke, Bang."
Setelah mematikan telepon, aku berusaha melihat ke ruang kamar lewat jendela. Rapi, tidak terjadi apa pun sepertinya.
Ah, kemana si Ani?
"Bu, lihat Ani, gak? Istri saya." Aku menahan salah satu tetangga yang lewat.
"Oh, Bu Ani. Tadi saya lihat ada di rumah Bu Ainun, Pak. Coba Bapak cari saja ke sana."
Keningku terlipat mendengarnya. Untuk apa Ani ke rumah orang itu? Astaga, mana itu adalah rumah peminjaman uang lagi. Apa yang akan Ani lakukan? Memang wanita itu tidak tau diuntung.
Dengan langkah cepat, aku ke rumah Bu Ainun. Kukira, Ani berjualan kue lagi. Ngapain sih, dia?
"Iya. Segitu, Bu."
Langkahku terhenti melihat Ani yang mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari tangan Bu Ainun. Aku bersembunyi, mengernyit.
"Selama satu hari, saya tagih tiga puluh ribu, ya, Bu. Kalau gak dikasih uang sama Pak Reyhan, Ibu jualan aja lagi."
"Iya, Bu. Makasih."
"Masa manager gak ngasih istrinya uang bulanan. Aduh, tinggalin aja, Bu. Atau butuh bantuan ibu-ibu kampung? Biar kita demo Pak Reyhannya."
"Gak usah, Bu." Ani menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Ish, Ibu ini terlalu baik. Saya kok geregetan sendiri. Kami bisa bantu, Bu. Jangan mau dibuat kayak gitu sama Pak Reyhan. Kaya, tapi pelit."
Mendengar itu, aku melotot. Sebenarnya, sudah berapa banyak orang kampung yang dengar masalah runah tangga kami?
"Makasih buat pinjamannya, Bu."
Aku menghela napas kasar. Jadi, Ani meminjam uang pada Bu Ainun? Awas saja dia!
***
"Heh, Ani!"Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan. "Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani. "Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi.""Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?Pasti gara-gara si Ani. "Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi. "Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani. "Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa saki
"Heh, Ani!"Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan. "Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani. "Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi.""Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?Pasti gara-gara si Ani. "Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi. "Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani. "Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa saki
"Kamu?" Aku memiringkan kepala. Ponselku kembali berdering. Aku mendengkus kesal, dari Abdul. Dia ini kenapa, sih? Aku mengangkat telepon kesal, melangkah menjauhi Ani yang masih diam di tempatnya. "Kenapa?""Cepetan ke kantor.""Apa, sih, dari tadi?" tanyaku kesal. "Lo bakalan tau di kantor. Cepetan."Aku mengembuskan napas kasar. Kemudian melirik Ani. Sebenarnya, ada masalah apa di kantor?"Iya." Buru-buru aku mematikan telepon, kemudian mengambil jas. Sebelum ke kantor. Aku mengecek Ibu dan Nisa dulu di kamar. Ternyata sedang tidur siang. Aku menganggukkan kepala, kembali menutup pintu kamar.Pintu rumah diketuk kencang sekali. Aku mengernyit, siapa yang datang ke rumah ini? "Kami mau menagih utang." Keningku terlipat. Menatap kedua pria bertubuh kekar yang datang ke rumah kemudian bilang mau menagih utang.Memangnya siapa yang meminjam uang? Aku menatap mereka dari atas ke bawah. "Kalau mau nagih utang, tagih sendiri sama orangnya. Jangan ke saya, dong."Mereka bertatapan
"Ke—kenapa saya dipecat, Pak?""Ini."Bosku memberikan catatan alasan yang membuatku dipecat. Aku diam sejenak, membaca semua yang tertulis. Sering terlambat, juga melakukan kesalahan di laporan keuangan. Aku menelan ludah, kemudian mengusap wajah. Kapan aku membuat kesalahan di laporan ini?"Maaf, Pak. Saya tidak merasa melakukan kesalahan penghitungan di laporan keuangan.""Bukti sudah jelas. Silakan bereskan barang-barangmu. Kamu sudah merugikan kantor, Reyhan.""Pak, saya—""Keluar atau saya panggilkan satpam."Ah, habis sudah aku. Beberapa detik terdiam, mencoba untuk menerima keadaan. Akhirnya aku menganggukkan kepala. "Saya permisi, Pak."Sebelum keluar, aku sempat melirik pria yang tadi aku tabrak. Entah kenapa, ada tatapannya yang aneh. Ah, kacau sekali hari ini. "Gimana? Apa kata Bos?" tanya Abdul ketika aku kembali dari ruangan bos. "Kacau, semuanya kacau." Aku memukul meja, kemudian membereskan semua barang-barang dengan kesal. "Kenapa, Han? Kok beres-beres?"Ada bany
"Ngapain pegang-pegang?"Aku menoleh, sementara Abdul langsung mengambil ponselnya dari tanganku. "Itu pesan apa?" tanyaku pelan, penasaran sekali. Apa maksud dari pesan yang dikirimkan ke Abdul itu? Mataku langsung melebar, apakah dia ada hubungannya dengan pemecatanku?Wah, aku ditusuk ternyata dari belakang. "Lo yang buat gue dipecat, hah?!" Aku berteriak, menarik kerah bajunya. "Eh? Mana ada!"Abdul juga terlihat ngotot. Dia sepertinya tidak mau mengakui kesalahannya. Jelas, kalau mengaku semua, tidak ada kejahatan di dunia ini. "Halah, lo pasti ngincar posisi gue? Atau disuruh sama istri lo? Teman gak tau diuntung!" Aku berteriak-teriak sampai beberapa orang kantor yang sedang makan menoleh ke kami. "Heh, ini Agung. Yang biasanya nanyain kabar lo. Yang pas itu ketemu di ruangan. Masa gak ingat."Dia menunjukkan ponselnya padaku. Terlihat pesan di sana. Betul juga, itu bukan seperti yang ada di dugaanku. Ah, aku malah menuduh yang tidak-tidak. "Nih, bisa liat dia nanyain k
"Kamu benar-benar menyebalkan, ya!"Hampir saja aku menamparnya. Kalau ponselku tidak berdering. Entah dari siapa lagi ini. Aku melirik Ani sekilas, kemudian mengangkat telepon. Siapa tau ada yang mau menawarkanku pekerjaan. "Dengan Pak Reyhan, Abangnya Nisa, ya?""Iya. Saya Abangnya Nisa. Ini siapa, ya?" tanyaku pada orang di seberang sana. "Ah iya, ini gurunya Nisa, Pak. Nisanya habis kecelakaan, Pak di dekat sekolahan. Bapak bisa ke sini sekarang?"Mataku langsung melebar mendengarnya. Nisa kecelakaan? Astaga, kabar buruk."Baik. Saya langsung kesana sekarang, Pak."Setelah mematikan telepon, aku langsung menyambar jas di kursi, kemudian melangkah meninggalkan Ani sendirian. Sampai di ruang tamu, langkahku terhenti. Ini akan bilang ke Ibu atau tidak usah dulu?Astaga, kalau Ibu malah marah-marah bagaimana? Aku menghelan napas pelan, tapi tidak mungkin juga. "Bu."Ibu yang sedang sibuk dengan ponselnya menoleh. "Reyhan. Kamu mau bilang ke Ibu kalau kamu mau ngizinin Ibu ke lua
"Gak kedengeran lagi."Aku buru-buru keluar mobil. Ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. Dengan langkah cepat, aku menuju ke tempat Ani. "Ani!"Mereka langsung menoleh. Tidak ada raut keterkejutan di wajah Ani. Begitu juga dengan pria itu. Mereka sama-sama terlihat santai. Kenapa mereka tidak terkejut? Ah, jangan-jangan benar perasaan tidak enakku. Apa hubungan Ani dengan pria itu? Wah, ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. "Kamu ngapain di sini, hah?!" Ini tidak jauh dari rumah. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Melihat Ani dan pria itu bergantian. "Kamu juga!" Aku menoleh ke pria tadi. "Jangan-jangan betul apa pikiran saya.""Saya gak ngerti sama yang kamu omongin." Pria itu mengeluarkan amplop berwarna coklat lumayan tebal. Aku menyipitkan mata. Apalagi yang akan aku lihat sekarang?"Ini DP-nya. Saya tunggu di hari yang udah ditentukan, kuenya jadi."Aku langsung terdiam mendengarnya. Jadi, pria ini memesan kue pada Ani? Astaga, apakah aku yang salah duga? Atau bagaima
"Maaf, Ibu mengenal saya?" Aku akhirnya bertanya pada Ibu yang tadi aku tabrak. Sedikit, hanya lecet di bagian kaki. Tidak terlalu parah juga. "Enggak, enggak." Ibu itu menggelengkan kepalanya cepat. Membuatku mengernyit heran. Apa maksud perkataan Ibu ini?Dia seperti mengenaliku tadi, kenapa sekarang seolah tidak kenal? Ah, ini aneh sekali. Beberapa hari terakhir, aku mengalami keanehan ini. Bertemu dengan pria yang lumayan mencurigakan, juga seorang ibu yang enha. Sikap Ani juga berubah sekali. "Kamu antarkan saya ke rumah sakit?""Eh?" Aku melongo. "Ibu gak papa. Jangan mengada-ada. Saya gak mau tanggung jawab."Ibu itu melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara aku masih tetap tidak mau mengantarkannya ke rumah sakit. "Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi. Mau mengantarkan saya ke rumah sakit atau repot urusan dengan polisi?"Mataku langsung membulat mendengarnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengiyakan permintaan Ibu itu. Sepanjang perjalanan, aku hanya
"Boleh aku masuk, Mas?!" tanya Ani membuatku menelan ludah. Buru-buru aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau kalau Ani sampai ketemu dengan Mama dan Mama malah meminta uang pada nya. Tau sendiri kan Mama itu bagaimana watak nya. Aku sudah lelah menghadapi Mama. Apa lagi Ani. Pasti Mama juga akan melakukan hal itu pada Ani. Meskipun saat ini, Mama sudah tau kalau Ani bukan lah istriku lagi, tetapi tetap saja. Pasti dia akan melakukan hal yang aneh-aneh pada Ani dan aku tidak mau kalau hal tersebut sampai terjadi. "Eh?! Aku tidak boleh masuk ke rumah kamu, Mas?!" tanya Ani dengan tatapan terkejut. Tatapanku terhenti ke Ani. Kemudian menggelengkan kepala kembali. Ya, Ani tidak boleh sampai masuk ke dalam rumahku. Ani tampak sekali kalau kebingungan. Akhir nya, aku keluar dari rumah, kemudian menutup pintu rumah. Kami mengobrol di luar. Sebenarnya tujuan Aku adalah agar Mama tidak mendengar percakapan aku dan juga Ani saat ini. "Apa yang terjadi, Mas?" tanya nya pelan. "Aku tidak
"Kamu bisa kan bicara dengan aku besok, Rey? Ini penting banget. Aku butuh banget buat bicara sama kamu."Huft, baik lah, aku akhir nya menganggukkan kepala, bisa saja sih aku menuruti kemauan nya Abdul untuk bertemu besok. Meskipun sejujur nya aku tidak tau apa yang ingin dibicarakan oleh Abdul padaku, apa lagi ini kata nya tentang si Ani. Memang nya dia mau membahas apa soal Ani? Apa kah ada yang mendesak sekali ya?"Rey? Kok kamu malah diam sih? Aku benar-benar butuh jawaban kamu, Rey.""Iya, aku bisa. Kamu kabarin aja besok gimana nya.""Bagus deh kalau kayak gitu, soal nya ini penting banget dan jujur aja aku takut kalau kamu nanti malah jadi gak dapat informasi tentang ini."Sepenting apa berita yang ingin dibicarakan oleh Abdul? Hmm, jujur saja aku penasaran sekali, tetapi ya sudah lah. Memang sudah seharus nya kami bertemu dulu. "Boleh deh, kita langsung ketemuan saja besok ya. Aku bakalan usahain buat langsung ketemu sama kamu."Ya semoga saja besok tidak terlalu banyak ke
"Abang sakit keras? Dan gak bilang ke Nisa? Kenapa, Bang?""Nis, kamu—""Apa, Bang? Abang mau nyembunyiin semuanya dari aku?" Ah, aku tidak sanggup menatap Nisa. Dia menggelengkan kepala, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku menggigit bibir, apa lagi yang harus aku jelaskan pada Nisa?Surat hasil pemeriksaan itu ada di tangan Nisa. Aku mengembuskan napas pelan, tidak ada gunanya lagi membela diri sendiri. Nisa sudah tahu semuanya sekarang. Bahkan, sebelum aku memberitahukannya sendiri. Semuanya sudah terungkap, secepat ini."Apa?! Abang mau bela diri kayak mana lagi? Surat ini udah ada di tangan aku, Bang. Hasil pemeriksaan yang betul-betul menerangkan kalau Abang sakit keras!""Ssttt ..." Aku langsung menoleh ke pintu, takut Mama mendengar teriakan Nisa. Semoga saja Mama tidak mendengarnya. "Kenapa sih, Bang? Abang kenapa? Kenapa nyembunyiin ini semua dari Nisa? Dari Mama?"Kenapa? Aku menggelengkan kepala. Aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku seka
"Hah? Menikah?!"Tubuhku seketika kaku mendengar perkataan Bang Ariel. Dia serius atau sedang bercanda? Pandanganku teralih ke Ani yang terdiam. Dia serius akan menikah dengan orang lain? Kenapa dia tega sekali padaku? Padahal awalnya dia sudha berjanji akan memikirkan tentang aku yang menawarkan untuk rujuk. "Kamu—""Iya. Aku akan segera menikah, Mas. Itu undangannya, kamu bisa lihat sendiri." Ani langsung memotong ucapanku. Sungguh aku tidak menyangka dengan ucapan Ani. Aku menatapnya, kemudian pandanganku teralih ke undangan yang diletakkan di atas meja, mengambilnya. "Ini, ambil undangannya, Mas."Ani tersenyum padaku. Dia seperti tidak punya beban memberikan undangan itu padaku. Aku menghela napas pelan, kemudian perlahan mengambil undangan yang diberikan oleh Ani. "Sudah dari kemarin aku hendak mengantarkannya ke kamu, Mas. Hanya belum ada waktu, tadi niatnya mau ke rumah kamu, ternyata kita malah ketemu di sini."Aku menatap undangan yang diberikan Ani. Gino nama calon sua
Karma? Aku mengembuskan napas pelan, apakah benar karma itu ada? Kalau benar karma itu ada, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku menatap datar ke depan, ini benar-benar di luar dugaan. "Pak?""Eh iya." Aku langsung terkejut mendengar panggilan dokter. Kemudian tersenyum tipis. "Jadi saya harus bagaimana ya, Dok?" tanyaku pelan, aku sendiri tidak yakin apa yang harus aku lakukan sekarang. Dokter menjelaskan apa yang harus aku lakukan. Dapat uang dari mana untuk semua pengobatan ini? Aku menghela napas pelan, ini benar-benar buruk. "Terima kasih, Dok." Aku tersenyum tipis, beranjak dari kursi. Langkahku lunglai sekali sekaranf, sungguh ini benar-benar di luar dugaan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Biaya rumah sakit kalau aku melakukan pengobatan akan mahal sekali. Kalau tidak diobati, kasian Mama dan Nisa. Bagaimana mereka akan hidup tanpaku nanti? Ah, aku mengusap wajah kasar, kesal dengan keadaan sekarang. Kenapa pula penyakit ini muncul di saat yang tidak tepat?Bru
"Aku ingin rujuk kembali denganmu, Ani.""Hah?!" Ani tampak terkejut sekali mendmegar perkataanku barusan. Dia sepertinya tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu. "Apa jaminan kamu mengatakan itu, Mas? Sementara ada kehidupan yang lebih baik dari pada bersama kamu?" tanya Ani pelan, dia menundukkan kepalanya. Aku mengembuskan napas pelan, mau bagaimanapun juga aku tidak akan bisa memaks Ani untuk kembali lagi padaku. Namun, aku masih mencintainya dan aku ingin dia kembali padaku. "Ani?" Aku menggenggam tangannya, ada sentakan halus yang terjadi saat tanganku menyentuh tngannya. "Kamu kaget?" tanyaku pelan. "Sedikit." Dia mengembuskan napas pelan. Jantungku berdetak kencamg, aku ingin berubah dengan memperbaiki hubungan ini. Memperbaiki rumah tangga kami. "Aku butuh jawaban kamu, Ni."Perlahan, Ani mengangkat pandangannya, menatapku. Ada raut sendu di wajahnya. "Apa jaminan kalau aku kembali padamu, Mas?" tanyanya pelan. Jaminannya? Aduh, aku tidak memikirkan hal itu seb
Meskipun harus merelakan semuanya, aku tetap bersyukur, karena Mama bisa tertolong dengan bantuan Ani. "Bang, Mbak Ani baik, ya."Iya. Dia memang baik. Aku menatap Nisa, kemudian menganggukkan kepala. "Gak kebayang kalo gak ada Mbak Ani. Mama pasti—""Sstt ... kamu jangan kasih tau apa-apa ke Mama dulu, ya nanti. Jangan sampai kabar buruk ini sampai ke telinga Mama di kondisi yang gak baik kayak gini."Adikku itu terdiam. Dia akhirnya menganggukkan kepala. Beberapa detik, aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke kursi. Ini berat sekali. Persyaratan yang diberikan Ani benar-benar menyiksa. Namun, aku tidak bisa apa-apa. Aku memang tidak berguna."Maafkan aku, Ani, Ma."***"Mama kenapa di sini?" Aku berdiri, mendekati Mama yang tampak kebingungan. "Mama sakit.""Terus? Aduh." Mama meringis, membuatku membantunya beranjak dari posisi tiduran. Mama tidak banyak berbicara. Sekarang justru tampak aneh. Aku menoleh ke Nisa yang sibuk dengan ponselnya. "Mama mau
"Kita berangkat sekarang, Bang."Aku mengambil tas di atas meja. Kemudian merapikan pakaian. Yakin sekali ini akan menjadi momen menarik. "Masih gak nyangka adek Abang punya ide seebat ini."Bang Ariel mengacak rambutku. Kami melangkah keluar rumah. Mama pasti sudah tidur, tidak usah pakai izin. Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung. Mas Reyhan sudah mengirimkan alamat rumah sakit padaku. Pasti dia juga tidak akan percaya dengan pemikiranku yang hebat ini. "Abang gak sabar liat ekspresi dia."Sebenarnya, ini tidak ada di rencana kami, tapi sudah terlanjur. Sekalian saja. Ini lebih mudah sebenarnya. "Sama. Dia bakalan ngerasain apa yang aku rasain, Bang."Ya. Mas Reyhan harus merasakannya. Tenang saja, Mas, permainan baru saja dimulai. ***"Akhirnya Mbak datang juga. Aku dari tadi nungguin Mbak."Aku tersenyum ke Nisa. Dia sudah baik sekali padaku. Meskipun aku tidak akan membantu dengan mudah, tapi kalau tidak ada Nisa, mungkin aku tidak akan mau menawarkan penawaran
Lucu sekali dia. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Sudah pasti ada alasan lain. Tidak mungkin dia murni ingin bertemu dengan bayiku. Ah, lelucon yang wow. Aku menghela napas pelan. Menatap bayiku yang tenang di gendongan pria yang masih berstatus suamiku itu. "Kamu betul gak mau kembali lagi bersamaku, Ni?" tanyaku pelan. "Sudah kubilang berapa kali? Itu hanya ada di mimpi."Sudah waktunya. Aku melirik jam tangan. Kemudian menoleh ke anak buah Bang Ariel. Mereka mengambil bayiku dari gendongan Mas Reyhan. "Eh? Apa-apaan ini, Ani?" tanyaku sambil melotot padanya. "Waktunya sudah selesai, Mas. Kamu tidak akan bisa membujukku untuk memberikan waktu lagi."Aku melangkah pergi, sementara Mas Reyhan terus memanggil, membuat beberapa pengunjung lain menatap kami. Bodo amat. Aku terus melanjutkan langkah. Bang Ariel sudah ada di dalam mobil. Kami meninggalkan restoran itu. "Apa yang dia mau dari kamu?" tanya Bang Ariel sambil memakai kacamatanya. "Banyak. Termasuk bayi ini."Bang