"Kamu benar-benar menyebalkan, ya!"Hampir saja aku menamparnya. Kalau ponselku tidak berdering. Entah dari siapa lagi ini. Aku melirik Ani sekilas, kemudian mengangkat telepon. Siapa tau ada yang mau menawarkanku pekerjaan. "Dengan Pak Reyhan, Abangnya Nisa, ya?""Iya. Saya Abangnya Nisa. Ini siapa, ya?" tanyaku pada orang di seberang sana. "Ah iya, ini gurunya Nisa, Pak. Nisanya habis kecelakaan, Pak di dekat sekolahan. Bapak bisa ke sini sekarang?"Mataku langsung melebar mendengarnya. Nisa kecelakaan? Astaga, kabar buruk."Baik. Saya langsung kesana sekarang, Pak."Setelah mematikan telepon, aku langsung menyambar jas di kursi, kemudian melangkah meninggalkan Ani sendirian. Sampai di ruang tamu, langkahku terhenti. Ini akan bilang ke Ibu atau tidak usah dulu?Astaga, kalau Ibu malah marah-marah bagaimana? Aku menghelan napas pelan, tapi tidak mungkin juga. "Bu."Ibu yang sedang sibuk dengan ponselnya menoleh. "Reyhan. Kamu mau bilang ke Ibu kalau kamu mau ngizinin Ibu ke lua
"Gak kedengeran lagi."Aku buru-buru keluar mobil. Ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. Dengan langkah cepat, aku menuju ke tempat Ani. "Ani!"Mereka langsung menoleh. Tidak ada raut keterkejutan di wajah Ani. Begitu juga dengan pria itu. Mereka sama-sama terlihat santai. Kenapa mereka tidak terkejut? Ah, jangan-jangan benar perasaan tidak enakku. Apa hubungan Ani dengan pria itu? Wah, ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. "Kamu ngapain di sini, hah?!" Ini tidak jauh dari rumah. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Melihat Ani dan pria itu bergantian. "Kamu juga!" Aku menoleh ke pria tadi. "Jangan-jangan betul apa pikiran saya.""Saya gak ngerti sama yang kamu omongin." Pria itu mengeluarkan amplop berwarna coklat lumayan tebal. Aku menyipitkan mata. Apalagi yang akan aku lihat sekarang?"Ini DP-nya. Saya tunggu di hari yang udah ditentukan, kuenya jadi."Aku langsung terdiam mendengarnya. Jadi, pria ini memesan kue pada Ani? Astaga, apakah aku yang salah duga? Atau bagaima
"Maaf, Ibu mengenal saya?" Aku akhirnya bertanya pada Ibu yang tadi aku tabrak. Sedikit, hanya lecet di bagian kaki. Tidak terlalu parah juga. "Enggak, enggak." Ibu itu menggelengkan kepalanya cepat. Membuatku mengernyit heran. Apa maksud perkataan Ibu ini?Dia seperti mengenaliku tadi, kenapa sekarang seolah tidak kenal? Ah, ini aneh sekali. Beberapa hari terakhir, aku mengalami keanehan ini. Bertemu dengan pria yang lumayan mencurigakan, juga seorang ibu yang enha. Sikap Ani juga berubah sekali. "Kamu antarkan saya ke rumah sakit?""Eh?" Aku melongo. "Ibu gak papa. Jangan mengada-ada. Saya gak mau tanggung jawab."Ibu itu melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara aku masih tetap tidak mau mengantarkannya ke rumah sakit. "Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi. Mau mengantarkan saya ke rumah sakit atau repot urusan dengan polisi?"Mataku langsung membulat mendengarnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengiyakan permintaan Ibu itu. Sepanjang perjalanan, aku hanya
"Oke bagus. Besok kamu sudah bisa mulai bekerja jadi di sopir."Aku menelan ludah, bagaimana caranya bilang ke pria ini?Pesanan kami datang. Aku sesekali meliriknya yang terlihat sibuk dengan ponsel. Ah, bagaimana aku harus bilang kalau aku mau minta sebagian gaji dulu agar Ibu tidak marah-marah?"Makan aja. saya yang bayarin.""Iya." Aku menganggukkan kepala, akhirnya memilih untuk menyantap makanan. Setelah beberapa menit, aku meletakkan sendok ke piring. Makanan sudah habis. "Mau nambah?" tanyanya sambil mengambil tisu. Buru-buru aku menggelengkan kepala, meskipun sebenarnya masih ingin menambah makanan. "Emm, saya mau bicara sedikit.""Iya. Bicara aja." Dia mengubah raut menjadi serius. "Kalau saya minta sebagian gaji dari sopir dulu gimana?""Hah?!" Dia terdiam mendengar pertanyaanku tadi. "Gimana-gimana? Kerja belum udah minta gaji.""Saya butuh banget. Ayo, tolong." Aku menatapnya memohon. Tentu saja pria itu menggelengkan kepala, membuatku menghela napas pelan. "Saya j
"Ani!" Buru-buru aku memanggilnya. Istriku itu menoleh. Dia tidak tampak terkejut. Aku melangkah mendekatinya, batal sudah rencanaku mau ke kamar mandi. "Kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil berkaca pinggang, juga tersenyum ke Mamanya Ariel. Bisa-bisanya Ani datang kesini. Aku diam sejenak. Melihat tangan Ani yang masih membantu Mamanya Ariel. Entah kenapa, aku berpikiran sesuatu soal Ani. Ah, apakah ini tidak salah?Jangan-jangan Ani itu ....Aku menatap Ani sambil menyipitkan mata. Dia belum juga menjawab pertanyaanku. Lagi pula, kalau dia di sini, di mana bayi kami? Kenapa pakai dia tinggal, sih?"Mana Adek, Ma?"Kami langsung menoleh ke belakang. Aku menatap Ariel yang mengambil posisi berdiri di sebelah Mamanya. "Belum datang kayaknya."Ah, lega rasanya. Kukira Ani itu—"Loh, Ani ngapain di sini? Pesanan kue udah jadi?""Udah. Ada di rumah. Tadi saya telepon Ibu. Katanya sekalian aja jemput ke rumah sakit. Mau lihat kuenya sekalian ambil di rumah. Saya kan gak ada kendaraan
"Apa? Jangan buat penasaran, dong."Nisa tertawa pelan. Dia kemudian menggelengkan kepala. Aku tau, Nisa pasti tau sesuatu. Entah apa."Kamu gak lagi main-main atau bercanda, kan?" tanyaku kesal. Sudah penuh dengan masalah hidupku. Ditambah pula pikiran mengenai apa yang diketahui oleh Nisa. "Abang dekat sini, deh."Aku akhirnya mendekati Nisa. Dia tampak ingin memberitahukan sesuatu. Dari tatapannya saja sudah bisa terbaca. "Abang dipecat, kan?"Astaga!Mendengar itu, aku langsung mundur satu langkah. Menelan ludah, mengarahkan pandangan ke Nisa yang tersenyum. K—kenapa dia bisa tau itu semua?"E—enggak. Kamu tau info dari siapa, sih? Aneh banget." Aku tertawa di akhir kalimat. Berusaha agar membuat Nisa percaya dengan perkataanku. "Oh, ya? Abang dipecat gara-gara kesalahan di laporan keuangan, kan? Padahal bukan itu sebenarnya alasannya."Dia tersenyum misterius. Aku mengusap wajah, Nisa memang berubah sekali semenjak dia kecelakaan, tapi aku tidak menyangka itu. Kenapa dia seol
"Kamu ngapain di situ?"Eh? Aku langsung mendongak. Menatap Ani yang sudah berbalik ke arahku. "Bicara sama siapa?""Bukan urusanmu.""Semua yang kamu telepon, itu berhubungan sama aku."Dia menggelengkan kepala. Kemudian mendekatiku. Ani terlihat berbeda sekali sekarang. Aku menelan ludah, menatapnya yang terlihat aneh. Ah, apakah ini hanya perasaanku saja?"Kamu gak berhak atas semuanya."Aku menghela napas kasar. Susah sekali bicara dengan Ani. Dia terlihat keras kepala. Menyebalkan. "Kamu anggap aku selalu ini apa?" tanyanya pelan. "Istri? Atau hanya pembantu?""Ngomong apaan, sih?" Aku menatapnya kesal, mulai tidak nyaman. "Kamu harus tau, aku gak bakalan lupa sama semua yang kamu kasih ke aku."Dia benar-benar berbeda. Ani mendekatiku, kemudian berhenti melangkah di depanku. Dia terlihat sekali menahan emosi atau marah. "Kamu lihat apa yang akan terjadi nanti."***Ah, aku tidak bisa tidur. Ini sudah hampir Subuh. Aku berbalik, menatap Ani yang masih terlelap. Juga bayi kam
"Hah?! Ani?"Aku diam sejenak, berusaha mendengarkan suara wanita di seberang sana. "Abang?" Kalau didengar-dengar, suaranya mirip sekali dengan suara Ani, tapi sepertinya bukan. Aku mengembuskan napas pelan, bisa-bisanya salah orang. "Halo. Abang? Suaranya kayaknya bukan Abang, deh. Eh, ini aku gak salah nelepon, kan?" Dia terdengar bergumam sendiri di seberang sana. Aku menggelengkan kepala. Kemudian menoleh ke arah rumah. Untung saja Ariel belum kembali. Ah, bagaimana kalau ketauan. Aku diam sejenak. Bagaimana cara menjawabnya?"Bang? Kenapa, sih? Aneh banget.""Eh, iya. Saya Reyhan. Sopir baru Mamanya Ariel. Ini adeknya Ariel, ya?""Oh. Sopir baru. Gak sopan banget angkat telepon Abang saya." Suaranya. Mirip sekali dengan suara Ani. Aku menggelengkan kepala, tapi sepertinya bukan. "Iya, maaf, Mbak. Saya kira tadi penting. Maaf, Mbak.""Hmm, nama kamu siapa? Biar nanti saya tanyain ke Abang.""Aduh, Mbak. Saya minta maaf banget. Jangan laporin saya, ya, Mbak. Saya baru perta
"Boleh aku masuk, Mas?!" tanya Ani membuatku menelan ludah. Buru-buru aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau kalau Ani sampai ketemu dengan Mama dan Mama malah meminta uang pada nya. Tau sendiri kan Mama itu bagaimana watak nya. Aku sudah lelah menghadapi Mama. Apa lagi Ani. Pasti Mama juga akan melakukan hal itu pada Ani. Meskipun saat ini, Mama sudah tau kalau Ani bukan lah istriku lagi, tetapi tetap saja. Pasti dia akan melakukan hal yang aneh-aneh pada Ani dan aku tidak mau kalau hal tersebut sampai terjadi. "Eh?! Aku tidak boleh masuk ke rumah kamu, Mas?!" tanya Ani dengan tatapan terkejut. Tatapanku terhenti ke Ani. Kemudian menggelengkan kepala kembali. Ya, Ani tidak boleh sampai masuk ke dalam rumahku. Ani tampak sekali kalau kebingungan. Akhir nya, aku keluar dari rumah, kemudian menutup pintu rumah. Kami mengobrol di luar. Sebenarnya tujuan Aku adalah agar Mama tidak mendengar percakapan aku dan juga Ani saat ini. "Apa yang terjadi, Mas?" tanya nya pelan. "Aku tidak
"Kamu bisa kan bicara dengan aku besok, Rey? Ini penting banget. Aku butuh banget buat bicara sama kamu."Huft, baik lah, aku akhir nya menganggukkan kepala, bisa saja sih aku menuruti kemauan nya Abdul untuk bertemu besok. Meskipun sejujur nya aku tidak tau apa yang ingin dibicarakan oleh Abdul padaku, apa lagi ini kata nya tentang si Ani. Memang nya dia mau membahas apa soal Ani? Apa kah ada yang mendesak sekali ya?"Rey? Kok kamu malah diam sih? Aku benar-benar butuh jawaban kamu, Rey.""Iya, aku bisa. Kamu kabarin aja besok gimana nya.""Bagus deh kalau kayak gitu, soal nya ini penting banget dan jujur aja aku takut kalau kamu nanti malah jadi gak dapat informasi tentang ini."Sepenting apa berita yang ingin dibicarakan oleh Abdul? Hmm, jujur saja aku penasaran sekali, tetapi ya sudah lah. Memang sudah seharus nya kami bertemu dulu. "Boleh deh, kita langsung ketemuan saja besok ya. Aku bakalan usahain buat langsung ketemu sama kamu."Ya semoga saja besok tidak terlalu banyak ke
"Abang sakit keras? Dan gak bilang ke Nisa? Kenapa, Bang?""Nis, kamu—""Apa, Bang? Abang mau nyembunyiin semuanya dari aku?" Ah, aku tidak sanggup menatap Nisa. Dia menggelengkan kepala, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku menggigit bibir, apa lagi yang harus aku jelaskan pada Nisa?Surat hasil pemeriksaan itu ada di tangan Nisa. Aku mengembuskan napas pelan, tidak ada gunanya lagi membela diri sendiri. Nisa sudah tahu semuanya sekarang. Bahkan, sebelum aku memberitahukannya sendiri. Semuanya sudah terungkap, secepat ini."Apa?! Abang mau bela diri kayak mana lagi? Surat ini udah ada di tangan aku, Bang. Hasil pemeriksaan yang betul-betul menerangkan kalau Abang sakit keras!""Ssttt ..." Aku langsung menoleh ke pintu, takut Mama mendengar teriakan Nisa. Semoga saja Mama tidak mendengarnya. "Kenapa sih, Bang? Abang kenapa? Kenapa nyembunyiin ini semua dari Nisa? Dari Mama?"Kenapa? Aku menggelengkan kepala. Aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku seka
"Hah? Menikah?!"Tubuhku seketika kaku mendengar perkataan Bang Ariel. Dia serius atau sedang bercanda? Pandanganku teralih ke Ani yang terdiam. Dia serius akan menikah dengan orang lain? Kenapa dia tega sekali padaku? Padahal awalnya dia sudha berjanji akan memikirkan tentang aku yang menawarkan untuk rujuk. "Kamu—""Iya. Aku akan segera menikah, Mas. Itu undangannya, kamu bisa lihat sendiri." Ani langsung memotong ucapanku. Sungguh aku tidak menyangka dengan ucapan Ani. Aku menatapnya, kemudian pandanganku teralih ke undangan yang diletakkan di atas meja, mengambilnya. "Ini, ambil undangannya, Mas."Ani tersenyum padaku. Dia seperti tidak punya beban memberikan undangan itu padaku. Aku menghela napas pelan, kemudian perlahan mengambil undangan yang diberikan oleh Ani. "Sudah dari kemarin aku hendak mengantarkannya ke kamu, Mas. Hanya belum ada waktu, tadi niatnya mau ke rumah kamu, ternyata kita malah ketemu di sini."Aku menatap undangan yang diberikan Ani. Gino nama calon sua
Karma? Aku mengembuskan napas pelan, apakah benar karma itu ada? Kalau benar karma itu ada, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku menatap datar ke depan, ini benar-benar di luar dugaan. "Pak?""Eh iya." Aku langsung terkejut mendengar panggilan dokter. Kemudian tersenyum tipis. "Jadi saya harus bagaimana ya, Dok?" tanyaku pelan, aku sendiri tidak yakin apa yang harus aku lakukan sekarang. Dokter menjelaskan apa yang harus aku lakukan. Dapat uang dari mana untuk semua pengobatan ini? Aku menghela napas pelan, ini benar-benar buruk. "Terima kasih, Dok." Aku tersenyum tipis, beranjak dari kursi. Langkahku lunglai sekali sekaranf, sungguh ini benar-benar di luar dugaan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Biaya rumah sakit kalau aku melakukan pengobatan akan mahal sekali. Kalau tidak diobati, kasian Mama dan Nisa. Bagaimana mereka akan hidup tanpaku nanti? Ah, aku mengusap wajah kasar, kesal dengan keadaan sekarang. Kenapa pula penyakit ini muncul di saat yang tidak tepat?Bru
"Aku ingin rujuk kembali denganmu, Ani.""Hah?!" Ani tampak terkejut sekali mendmegar perkataanku barusan. Dia sepertinya tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu. "Apa jaminan kamu mengatakan itu, Mas? Sementara ada kehidupan yang lebih baik dari pada bersama kamu?" tanya Ani pelan, dia menundukkan kepalanya. Aku mengembuskan napas pelan, mau bagaimanapun juga aku tidak akan bisa memaks Ani untuk kembali lagi padaku. Namun, aku masih mencintainya dan aku ingin dia kembali padaku. "Ani?" Aku menggenggam tangannya, ada sentakan halus yang terjadi saat tanganku menyentuh tngannya. "Kamu kaget?" tanyaku pelan. "Sedikit." Dia mengembuskan napas pelan. Jantungku berdetak kencamg, aku ingin berubah dengan memperbaiki hubungan ini. Memperbaiki rumah tangga kami. "Aku butuh jawaban kamu, Ni."Perlahan, Ani mengangkat pandangannya, menatapku. Ada raut sendu di wajahnya. "Apa jaminan kalau aku kembali padamu, Mas?" tanyanya pelan. Jaminannya? Aduh, aku tidak memikirkan hal itu seb
Meskipun harus merelakan semuanya, aku tetap bersyukur, karena Mama bisa tertolong dengan bantuan Ani. "Bang, Mbak Ani baik, ya."Iya. Dia memang baik. Aku menatap Nisa, kemudian menganggukkan kepala. "Gak kebayang kalo gak ada Mbak Ani. Mama pasti—""Sstt ... kamu jangan kasih tau apa-apa ke Mama dulu, ya nanti. Jangan sampai kabar buruk ini sampai ke telinga Mama di kondisi yang gak baik kayak gini."Adikku itu terdiam. Dia akhirnya menganggukkan kepala. Beberapa detik, aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke kursi. Ini berat sekali. Persyaratan yang diberikan Ani benar-benar menyiksa. Namun, aku tidak bisa apa-apa. Aku memang tidak berguna."Maafkan aku, Ani, Ma."***"Mama kenapa di sini?" Aku berdiri, mendekati Mama yang tampak kebingungan. "Mama sakit.""Terus? Aduh." Mama meringis, membuatku membantunya beranjak dari posisi tiduran. Mama tidak banyak berbicara. Sekarang justru tampak aneh. Aku menoleh ke Nisa yang sibuk dengan ponselnya. "Mama mau
"Kita berangkat sekarang, Bang."Aku mengambil tas di atas meja. Kemudian merapikan pakaian. Yakin sekali ini akan menjadi momen menarik. "Masih gak nyangka adek Abang punya ide seebat ini."Bang Ariel mengacak rambutku. Kami melangkah keluar rumah. Mama pasti sudah tidur, tidak usah pakai izin. Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung. Mas Reyhan sudah mengirimkan alamat rumah sakit padaku. Pasti dia juga tidak akan percaya dengan pemikiranku yang hebat ini. "Abang gak sabar liat ekspresi dia."Sebenarnya, ini tidak ada di rencana kami, tapi sudah terlanjur. Sekalian saja. Ini lebih mudah sebenarnya. "Sama. Dia bakalan ngerasain apa yang aku rasain, Bang."Ya. Mas Reyhan harus merasakannya. Tenang saja, Mas, permainan baru saja dimulai. ***"Akhirnya Mbak datang juga. Aku dari tadi nungguin Mbak."Aku tersenyum ke Nisa. Dia sudah baik sekali padaku. Meskipun aku tidak akan membantu dengan mudah, tapi kalau tidak ada Nisa, mungkin aku tidak akan mau menawarkan penawaran
Lucu sekali dia. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Sudah pasti ada alasan lain. Tidak mungkin dia murni ingin bertemu dengan bayiku. Ah, lelucon yang wow. Aku menghela napas pelan. Menatap bayiku yang tenang di gendongan pria yang masih berstatus suamiku itu. "Kamu betul gak mau kembali lagi bersamaku, Ni?" tanyaku pelan. "Sudah kubilang berapa kali? Itu hanya ada di mimpi."Sudah waktunya. Aku melirik jam tangan. Kemudian menoleh ke anak buah Bang Ariel. Mereka mengambil bayiku dari gendongan Mas Reyhan. "Eh? Apa-apaan ini, Ani?" tanyaku sambil melotot padanya. "Waktunya sudah selesai, Mas. Kamu tidak akan bisa membujukku untuk memberikan waktu lagi."Aku melangkah pergi, sementara Mas Reyhan terus memanggil, membuat beberapa pengunjung lain menatap kami. Bodo amat. Aku terus melanjutkan langkah. Bang Ariel sudah ada di dalam mobil. Kami meninggalkan restoran itu. "Apa yang dia mau dari kamu?" tanya Bang Ariel sambil memakai kacamatanya. "Banyak. Termasuk bayi ini."Bang