“Kamu tidak usah khawatir, aku akan berusaha untuk tidak membuat Aluna kecewa,” ucap Zolan, pelan, sambil berpikir, ke dua tangan terlipat di atas meja. Pandangan mata lurus ke depan.
“BEGGO! Otak kamu di simpan di mana? Aluna sudah jatuh cinta dengan kamu. Bagaimana mungkin dia tidak kecewa, jika tahu kamu tidak pernah mencintainya. Sedangkan kamu memperlakukan dia, seperti seorang kekasih. Jika kamu tidak mencintainya, harusnya kamu tidak pernah beri dia harapan,” tutur Fahmi, dengan suara lantang memenuhi ruangan. Tidak perlu takut jika orang akan mendengar perkataan mereka, ruangan Zolan kedap suara.
“Iya aku tahu, aku salah. Aku laki-laki bego. Jika ada orang yang harus di salahkan dalam masalah ini, itu adalah aku. Dulu saat di jodohkan dengan Aluna aku tidak bisa menolak. Aku menjauhi Aluna, berbuat kasar ke dia. Aku pikir itulah yang terbaik untuk kami, tidak perlu dekat, karena aku punya niat akan menceraikannya.” Zolan menarik napas kasar, berhenti se
Terimakasih teman-teman, jangan lupa Vote ya, makasih sudah mengikuti novel LCA.
Aluna sudah berada di kelas, ia duduk di kursi yang selalu tersedia untuknya. Melihat Fatma sejenak, yang sedang bersenda gurau dengan teman-teman kelas. Ia iri dengan Fatma yang sangat mudah bergaul, bisa memiliki banyak teman. “Fatma, sebenarnya aku salah apa? Kenapa kamu bilang kalau aku ini perempuan munafik. Aku benaran tidak mengerti, maksud kamu itu apa? Masalah, kenapa sih kamu itu selalu ada. Baru saja aku merasa tenang karena Zolan sudah berubah, sekarang aku sudah kehilangan seorang sahabat. Tidak bisakah sebentar saja, aku merasa tenang,” Aluna membatin. Ia membuka tas, mengambil buku untuk di baca. Dua jam berada di ruang kelas mendengar materi kuliah. Semua orang sudah keluar. Kini ia hanya sendiri di dalam kelas. Tingg! Bunyi pesan masuk. Terlihat nama Anton di layar handphonenya. ‘Aluna, tolong ke ruangan aku sekarang’ ‘Iya Pak’ balas Aluna. Ia merapikan buku-bukunya, memasukan ke dalam tas, bergegas ke ruangan Anton. Berjala
“A-ku bo-leh pe-luk?” tanya Aluna dengan terbata dan mata berkaca, terharu. Zolan mengangguk, memiringkan badan ke kiri dan merentangkan tangan. Aluna mencondongkan badan, memeluk Zolan.“Sa-yang, a-ku tahu, a-ku ta-hu!” Ada jeda dalam ucapan Aluna yang terbata. “Aku tahu kamu masih belajar untuk mencintaiku, aku tahu kamu belum bisa melupakannya. Aku bisa merasakan itu, dari sikap kamu. Dan aku tahu pasti ini sangat berat untuk kamu. Maaf ‘kan aku, jika keberadaan aku di sini membuat kamu semakin terpuruk. Tetapi aku tidak bisa berbohong, aku telah mencintai kamu. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti. Ini pertama kali aku dekat dengan seorang lelaki, ini pertama kali aku jatuh cinta."Zolan kaget mendengar perkataan Aluna, tubuhnya membeku. Merasa terlalu lemah sebagai seorang lelaki, karena terpaku pada masa lalu. Aluna melepas pelukan, kedua tangan, menggenggam tangan Zolan. “Jika aku boleh meminta, jangan cerita
*** Tok Tok! “Angel buka pintunya, sayang. Bunda ingin masuk!” Suara Aluna dari balik pintu kamar Angel, sambil mengetuk pintu. Beberapa detik, menunggu, pintu terbuka. “Bunda! Bunda dari mana saja, kenapa dua hari ini aku tidak lihat bunda di Rumah,” ucap Angel, merengek, memeluk Aluna. “Maaf ‘kan bunda ya, sayang. Bunda tidak tunggu kamu bangun dulu waktu ke kampus. Beberapa hari ini bunda masuk kuliah jam setengah tujuh,” jawab Aluna. “Iya, bunda. Ayah juga bilang ke aku seperti itu, katanya bunda lagi sibuk di kampus. Tetapi meskipun begitu, harusnya bunda nyiapin makanan buatku dulu, sebelum ke kampus. Bunda tahu nggak, beberapa hari ini ayah yang gantikan semua pekerjaan bunda.” Angel menarik lembut tangan Aluna masuk ke dalam kamar. Ia tidak ingin becerita dengan Aluna di pintu kamar. “Bukankah sebelumnya juga seperti itu?” tanya Aluna, setelah duduk di ranjang Angel. “Tidak pernah bunda, Ayah itu tidak pernah melakukan pekerjaa
Anton tercengang, Aluna masih menatap Anton, dengan wajah serius. “Soal permintaan Angel, nanti bisa katakan, jika kita akan berusaha wujudkan keinginannya untuk punya adik. Saat ini berkata seperti itu dulu. Tahun depan kita akan katakan padanya, jika Bapak dan aku sudah berusaha, tetapi Tuhan belum mengabulkan keinginan itu. Kita bisa mengadopsi seorang bayi. Tidak akan ada yang tahu bayi itu anak angkat, jika kita merahasiakannya. Banyak solusi, tanpa perlu kita menikah. Jangan membuat situasi semakin rumit dengan pernikahan. Karena itu tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi membuat masalah baru, yang belum tentu kita bisa atasi.” Anton mengalihkan pandangan dari Aluna, menatap ke depan. “Mengadopsi anak. Boleh juga. Iya, kita bisa mengadopsi anak. Ide yang bagus.” Aluna tersenyum mendengar ucapan Anton. “Iya, Pak! Aku yakin Angel akan senang, meskipun adiknya tidak sedarah dengannya. Angel itu anak yang cerdas, ia pasti akan mengerti.” Anton pun terseny
Hingga beberapa detik, Aluna belum juga berkedip. Tidak di sangka ia akan bertemu dengan Yasmin dan Rara, teman kelas Aluna yang sekarang dekat dengan Fatma. “Aluna!” sapa Yasmin pelan dan ragu. Menyadari sosok yang tidak jauh dari hadapannya ialah orang yang ia kenal. "Aluna 'kan?" ulang Yasmin lagi. Aluna tersenyum, canggung. Anton berbalik, melihat orang yang menegur Aluna. Ia kaget, namun sepersekian detik, ia mampu mengubah raut wajah. Tidak ingin mahasiswanya mencurigai. Meskipun sekarang ia sudah ketangkap basah, jalan bersama Aluna. “Pak Anton!” ucap Rara, kaget melihat Anton. Yasmin dan Rara saling berpandangan, tidak lama, kemudian melihat Aluna dan Anton secara bergantian. Dosen yang mereka tahu sangat di segani di kalangan mahasiswa kedokteran, sekarang sedang bersama mahasiswa bernama Aluna. Seorang perempuan yang tidak memiliki banyak teman, tidak suka bergaul, dan termasuk mahasiswa yang pendiam. Semua orang menyadari, dari penamp
*** Aluna sudah berada di Rumah, ia mengambil catatan yang beberapa hari tidak tersentuh. Membuka lembaran berisi kisah di awal masuk kampus. Kenangan tentang teman-teman yang menganggapnya rendah, karena pakaian yang ia gunakan. Tangan Aluna menyentuh tinta polpen yang bertuliskan percapakan, “Kamu mahasiwa baru juga di kedokteran? Kok ada, mahasiswa sepertimu di jurusan ini?” “Orang tua kamu kerjanya apa? Kenapa ada mahasiswa kedokteran yang berpakaian seperti kamu?” Orang itu menatap Aluna dari ujung kaki, hingga kepala. Terlintas dalam ingatan, saat itu Aluna tidak menghiraukan. Ia hanya terdiam dan tertunduk malu, mereka sedang berada di dalam kelas dan menjadi bahan tontonan. Percuma Aluna membalas, ia orang lemah, pasti akan kalah. Ketika itu, Aluna juga belum mengenalnya. Setelah beberapa hari berlalu, Aluna baru mengetahui, jika orang yang pernah merendahkannya itu bernama Rara. Tidak behenti sampai di situ, di baris selanj
Detik jam terus berputar, hingga jarum menunjuk pukul empat subuh. Aluna sudah terbiasa, sehingga tanpa alarm pun ia akan terbangun. Masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka, setelahnya Aluna kembali ke ranjang. Di tatapnya wajah yang sedang pulas tertidur, Aluna mengusap wajah dan mencium kening Zolan. Tidak ingin ketahuan, Aluna segera berdiri dan memperbaiki selimut yang menutupi tubuh Zolan.Aluna menuju meja yang menjadi tempat favoritnya dalam kamar. Sebelum belajar, ia mengambil diary yang sudah di siapkan khusus untuk menceritakan kisah tentang Zolan. Bertekad akan memulai tulisan setelah malam pertama. Aluna mulai merangkai kata, polpen bertinta hijau sedang menari di atas kertas. Tidak banyak, Aluna hanya menulis satu lembar. Setelahnya, Aluna menatap Zolan dari jauh, tersenyum. "Aku harus yakin, suatu saat kamu akan berubah!" lirih Aluna.Aluna menutup diary dan menyimpannya di rak yang terkunci. Ia mengambil buku kuliah untuk di baca. Satu jam fokus me
Aluna melanjutkan makan yang sempat tertunda, di temani Marfel yang terus mengajaknya cerita. lima belas menit, akhirnya selesai. “Ayah, aku ke kamar dulu ya, mau siap-siap ke kampus,” ujar Aluna. Setelah memasukan suapan terakhir dan minum. “Belajar baik-baik. Kamu jangan pikirkan uang. Kalau ingin beli sesuatu dan uangmu kurang, cerita ke ayah,” tutur Marfel, serius. Aluna tersenyum mengangguk. "Zolan juga ngasih aku ATM, ayah!!Jadi tidak mungkin kurang," ucap Aluna. Berdiri dari duduknya, melangkahkan kaki menuju kamar. Satu jam berlalu, Aluna sudah berada di kampus. Kaki berjalan dengan ragu, semua orang menatap jijik padanya, ada beberapa yang berbisik sambil melihat dengan sinis. Berusaha agar tetap melangkah, ia menunduk agar tidak melihat wajah semua orang. Aluna tidak mengerti dengan tatapan orang-orang. Ia masuk ke dalam kelas, sama, semua teman kelas melihatnya dengan mimik wajah hal yang aneh. Meskipun banyak yang tidak menyuka