Detik jam terus berputar, hingga jarum menunjuk pukul empat subuh. Aluna sudah terbiasa, sehingga tanpa alarm pun ia akan terbangun. Masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka, setelahnya Aluna kembali ke ranjang. Di tatapnya wajah yang sedang pulas tertidur, Aluna mengusap wajah dan mencium kening Zolan. Tidak ingin ketahuan, Aluna segera berdiri dan memperbaiki selimut yang menutupi tubuh Zolan.
Aluna menuju meja yang menjadi tempat favoritnya dalam kamar. Sebelum belajar, ia mengambil diary yang sudah di siapkan khusus untuk menceritakan kisah tentang Zolan. Bertekad akan memulai tulisan setelah malam pertama. Aluna mulai merangkai kata, polpen bertinta hijau sedang menari di atas kertas. Tidak banyak, Aluna hanya menulis satu lembar. Setelahnya, Aluna menatap Zolan dari jauh, tersenyum. "Aku harus yakin, suatu saat kamu akan berubah!" lirih Aluna.
Aluna menutup diary dan menyimpannya di rak yang terkunci. Ia mengambil buku kuliah untuk di baca. Satu jam fokus me
Aluna melanjutkan makan yang sempat tertunda, di temani Marfel yang terus mengajaknya cerita. lima belas menit, akhirnya selesai. “Ayah, aku ke kamar dulu ya, mau siap-siap ke kampus,” ujar Aluna. Setelah memasukan suapan terakhir dan minum. “Belajar baik-baik. Kamu jangan pikirkan uang. Kalau ingin beli sesuatu dan uangmu kurang, cerita ke ayah,” tutur Marfel, serius. Aluna tersenyum mengangguk. "Zolan juga ngasih aku ATM, ayah!!Jadi tidak mungkin kurang," ucap Aluna. Berdiri dari duduknya, melangkahkan kaki menuju kamar. Satu jam berlalu, Aluna sudah berada di kampus. Kaki berjalan dengan ragu, semua orang menatap jijik padanya, ada beberapa yang berbisik sambil melihat dengan sinis. Berusaha agar tetap melangkah, ia menunduk agar tidak melihat wajah semua orang. Aluna tidak mengerti dengan tatapan orang-orang. Ia masuk ke dalam kelas, sama, semua teman kelas melihatnya dengan mimik wajah hal yang aneh. Meskipun banyak yang tidak menyuka
Keributan dalam kelas seketika hening, seorang Dosen masuk. Aluna menyimpan kembali handphone ke dalam tas, mengangkat tangan, izin ke toilet. Aluna melangkah dengan tergesa-gesa. Tidak ingin ke tinggalan materi kuliah. Setibanya, ia melepas kaca mata di wajah dan mencuci muka. Menetralkan perasaan, menarik napas dalam dalam dan menghembuskan, di ulangnya sebanyak tiga kali. Aluna kembali ke kelas dengan perasaan yang lebih baik. Di dalam kelas, Dosen sudah memulai pembelajaran, materi kuliah terpampang jelas di depan kelas, semua mata fokus membaca dan menyimak penjelasan Dosen. Aluna masuk, sejenak ucapan dosen terhenti. “Okey, kita lanjut. Jangan ada lagi yang keluar masuk!” tutur dosen, setelah Aluna duduk di kursi. Aluna pun fokus menyimak, mencoba lupa dengan kejadian tadi. Dua jam berlangsung, akhirnya perkuliahan selesai. Aluna memasukan semua buku yang ada di atas meja ke dalam tas. Tidak ingin menjadi mahasiswa yang terakhir kaluar kelas, takut pemb
*** Aluna sedang duduk di taman, sambil membaca buku materi kuliah besok. Marfel menghampiri bersama seorang asisten lelaki yang mendorong kursi roda. Aluna tidak menyadari kedatangan Marfel. “Kenapa tidak belajar di kamar, nak!” Suara Marfel mengagetkan Aluna. “Eh, ayah,” tutur Aluna. Marfel semakin mendekat dengan kursi rodanya. “Tolong tinggalkan kami, aku ingin di sini bersama anakku!” ucap Marfel, pada seorang asisten yang ada di belakangnya. “Baik, Pak!” ucap asisten, tersenyum pada Aluna. Meninggalkan Aluna dan Marfel berdua di taman. “Tumben kamu belajar di sini, Aluna,” ucap Marfel. Ia kini berhadapan dengan Aluna. “Aku bosan belajar di kamar terus, ayah. Ingin mencari suasana baru, jadinya aku ke sini,” ucap Aluna, menutup buku dan menaruh di sampingnya. “Bosan?" Marfel menaikan satu alis ke atas. "Apa Kamu ingin mengganti nuansa kamar? Nanti di bantu asisten. Atau kamu mau ganti warna cat kamar agar tid
Beberapa jam terlewati, Aluna sudah berada di Kafe, yang tidak jauh dari kampus mereka. Sengaja Yasmin memilih tempat itu karena dekat dengan rumahnya. Aluna tidak sendiri, ada Lilis yang lebih dulu datang. “Al, aku mau tanya serius ke kamu, tidak bermaksud membully, cuman penasaran saja. Apa gosip yang beredar itu benar?” ucap Lilis berbisik pada Aluna. Aluna fokus pada buku bacaannya, ia berpura-pura tidak mendengar perkataan Lilis. "Apa sih maksud Lilis, membahas itu saat lagi belajar! Dia niat belajar nggak sih? Aku tahu, kamu hanya penasaran, bukan peduli!" batin Aluna. “Aku bertanya karena tidak percaya dengan ucapan teman-teman. Kalau kamu merasa risih, aku minta maaf,” lanjut Lilis masih dengan berbisik. Hanya ada mereka berdua, jika ada orang lain, tidak mungkin Lilis berani bertanya tentang itu. “Bukan ingin mencampuri urusanmu, Aluna. Hanya saja kalau kamu butuh kerjaan aku bisa bantu. Di tempat aku kerja sekarang sedang butuh k
Tiga jam mengerjakan, tugas mereka selesai. Aluna berpamitan lebih dulu, ia memasukan buku dan laptop yang ada di meja ke dalam tasnya.“Buru-buru sekali ya, Al? Sudah ada pelanggan yang tunggu?" tutur Rara, tanpa melihat Aluna.Tidak menggubris ucapan Rara, Aluna langsung berdiri dari duduknya, dan keluar ruangan. Aluna menuju kasir untuk membayar semua pesanan.“Kamu jangan terlalu dekat dengan Aluna, Lis! Kamu belum tahu dia siapa, takutnya kamu akan seperti dia. Kamu tahu 'kan, kalau kita berteman dengan pembuat besi maka akan kena cipratan panasnya, dan kalau berteman dengan penjual minyak wangi, maka akan kecipratan wangiannya. Aku hanya mau ingatkan kamu, jangan dekat-dekat dengan Aluna, takut kamu juga akan seperti dia. Lihat saja, di kelas kami tidak ada yang mau berteman dengan dia. Fatma yang dulu dekat dengannya saja, sekarang sudah menjauh,” ucap Yasmin, sambil menatap Lilis.“Karena tidak tahu Aluna siapa,
***Sudah beberapa hari terlewatkan, Aluna belum menemui Anton. Masih sama, belum ada yang berubah. Setiap langkah masih di temani tatapan sinis, Aluna berusaha untuk tidak peduli. Ia melihat Fatma, sedang bersama Rara, Yasmin dan dua lekaki yang Aluna tidak tahu namanya. Tetapi dari bisik-bisik yang pernah ia dengar, itu kekasih Yasmin dan Rara. Aluna tidak tahu yang mana kekasih Yasmin dan mana kekasih Rara. Dua lelaki itu yang Aluna tahu, kuliah di jurusan Teknik Aresitek. Dari sudut mata, Aluna melihat mereka sedang menatap jijik ke arah Aluna.“Awas-awas! Ratu cantik mau lewat tuh!” ucap Rara saat Aluna sudah tidak jauh lagi dari tempat mereka berdiri.“Jagain pacar kamu, Ra!” ucap Yasmin, sambil memainkan rambutnya.“Kamu juga, Yasmin. Jangan sampai di embat sama dia!” jawab Rara, sambil tertawa.“Memang siapa dia? Lagi pula kami masih waras, tidak mungkin mau dengan perempuan culun! Laki-laki normal
Di Lobby perpustakaan Aluna melihat Lilis. Ingin berbelok, tetapi ia sudah mendengar suara yang memanggilnya. Aluna tidak menyukai, Lilis terus berusaha merayu untuk menjadi sahabatnya. Namun, tidak ingin membuat Lilis malu, Aluna pun berbalik. “Kamu mau belajar di perpustakaan juga, Al?” tanya Lilis menyapa Aluna, coba mengakrabkan diri. “Iya, di kelas ribut!” ucap Aluna singkat. “Kalau begitu, yuk belajar berdua. Aku juga ingin belajar!” ucap Lilis dengan wajah ceria. Aluna mengangguk, tidak enak menolak ajakan Lilis. “Ya sudah. Yuk!” Lilis menarik tangan Aluna menuju ruangan yang di gunakan untuk belajar. Di pintu ruangan tertulis, open, dan di bawahnya terdapat tulisan, di larang ribut. Aluna dan Lilis masuk ke dalam ruangan, ada tiga orang pegawai yang menjaga. Tepat di samping komputer, terdapat tulisan, di larang membawa tas. Ada rak buku dalam ruangan, tidak banyak hanya tiga rak, sehingga siapapun yang masuk ke ruangan itu harus menyi
*** “Tadi di kantor, bagaimana?” tanya Aluna, mereka sedang berada di atas tempat tidur. Aluna bertanya sambil berbaring miring menghadap Zolan, memeluk bantal. Di antara mereka ada bantal pemisah yang di letakan di tengah. “Lusa aku akan ke Bali lagi. Kamu mau ikut, Al?” ucap Zolan. Satu tangan ia jadikan bantalan dan satu tangan lagi berada di atas perut. Zolan sedang menatap langit-langit kamar. “Aku nggak bisa, ada ujian! Nanti saja selesai aku koas. Aku ngejar agar bisa wisuda secepatnya, jadi tidak ingin berlibur kemana-mana dulu,” jawab Aluna, mengubah gaya. Mengikuti Zolan melihat langit-langit, kedua tangan Aluna saling genggam di atas perut. Zolan berbalik ke Aluna sejenak, ia tersenyum. “Kalau kamu sudah ada waktu, katakan. Aku akan mengosongkan waktu, untuk menemani kamu berlibur. Jarang-jarang ibu dokter bisa punya waktu.” Tawa Aluna, menggelegar. “Apa sih… jangan katakan aku ini sangat sibuk. Karena yang paling sibuk itu kamu,” t