Keributan dalam kelas seketika hening, seorang Dosen masuk. Aluna menyimpan kembali handphone ke dalam tas, mengangkat tangan, izin ke toilet. Aluna melangkah dengan tergesa-gesa. Tidak ingin ke tinggalan materi kuliah. Setibanya, ia melepas kaca mata di wajah dan mencuci muka. Menetralkan perasaan, menarik napas dalam dalam dan menghembuskan, di ulangnya sebanyak tiga kali. Aluna kembali ke kelas dengan perasaan yang lebih baik.
Di dalam kelas, Dosen sudah memulai pembelajaran, materi kuliah terpampang jelas di depan kelas, semua mata fokus membaca dan menyimak penjelasan Dosen. Aluna masuk, sejenak ucapan dosen terhenti.
“Okey, kita lanjut. Jangan ada lagi yang keluar masuk!” tutur dosen, setelah Aluna duduk di kursi.
Aluna pun fokus menyimak, mencoba lupa dengan kejadian tadi. Dua jam berlangsung, akhirnya perkuliahan selesai. Aluna memasukan semua buku yang ada di atas meja ke dalam tas. Tidak ingin menjadi mahasiswa yang terakhir kaluar kelas, takut pemb
Terimakasih teman-teman, ikuti terus novel LCA yang akan di upload setiap hari pukul 17.00 WIB. Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar yaa..
*** Aluna sedang duduk di taman, sambil membaca buku materi kuliah besok. Marfel menghampiri bersama seorang asisten lelaki yang mendorong kursi roda. Aluna tidak menyadari kedatangan Marfel. “Kenapa tidak belajar di kamar, nak!” Suara Marfel mengagetkan Aluna. “Eh, ayah,” tutur Aluna. Marfel semakin mendekat dengan kursi rodanya. “Tolong tinggalkan kami, aku ingin di sini bersama anakku!” ucap Marfel, pada seorang asisten yang ada di belakangnya. “Baik, Pak!” ucap asisten, tersenyum pada Aluna. Meninggalkan Aluna dan Marfel berdua di taman. “Tumben kamu belajar di sini, Aluna,” ucap Marfel. Ia kini berhadapan dengan Aluna. “Aku bosan belajar di kamar terus, ayah. Ingin mencari suasana baru, jadinya aku ke sini,” ucap Aluna, menutup buku dan menaruh di sampingnya. “Bosan?" Marfel menaikan satu alis ke atas. "Apa Kamu ingin mengganti nuansa kamar? Nanti di bantu asisten. Atau kamu mau ganti warna cat kamar agar tid
Beberapa jam terlewati, Aluna sudah berada di Kafe, yang tidak jauh dari kampus mereka. Sengaja Yasmin memilih tempat itu karena dekat dengan rumahnya. Aluna tidak sendiri, ada Lilis yang lebih dulu datang. “Al, aku mau tanya serius ke kamu, tidak bermaksud membully, cuman penasaran saja. Apa gosip yang beredar itu benar?” ucap Lilis berbisik pada Aluna. Aluna fokus pada buku bacaannya, ia berpura-pura tidak mendengar perkataan Lilis. "Apa sih maksud Lilis, membahas itu saat lagi belajar! Dia niat belajar nggak sih? Aku tahu, kamu hanya penasaran, bukan peduli!" batin Aluna. “Aku bertanya karena tidak percaya dengan ucapan teman-teman. Kalau kamu merasa risih, aku minta maaf,” lanjut Lilis masih dengan berbisik. Hanya ada mereka berdua, jika ada orang lain, tidak mungkin Lilis berani bertanya tentang itu. “Bukan ingin mencampuri urusanmu, Aluna. Hanya saja kalau kamu butuh kerjaan aku bisa bantu. Di tempat aku kerja sekarang sedang butuh k
Tiga jam mengerjakan, tugas mereka selesai. Aluna berpamitan lebih dulu, ia memasukan buku dan laptop yang ada di meja ke dalam tasnya.“Buru-buru sekali ya, Al? Sudah ada pelanggan yang tunggu?" tutur Rara, tanpa melihat Aluna.Tidak menggubris ucapan Rara, Aluna langsung berdiri dari duduknya, dan keluar ruangan. Aluna menuju kasir untuk membayar semua pesanan.“Kamu jangan terlalu dekat dengan Aluna, Lis! Kamu belum tahu dia siapa, takutnya kamu akan seperti dia. Kamu tahu 'kan, kalau kita berteman dengan pembuat besi maka akan kena cipratan panasnya, dan kalau berteman dengan penjual minyak wangi, maka akan kecipratan wangiannya. Aku hanya mau ingatkan kamu, jangan dekat-dekat dengan Aluna, takut kamu juga akan seperti dia. Lihat saja, di kelas kami tidak ada yang mau berteman dengan dia. Fatma yang dulu dekat dengannya saja, sekarang sudah menjauh,” ucap Yasmin, sambil menatap Lilis.“Karena tidak tahu Aluna siapa,
***Sudah beberapa hari terlewatkan, Aluna belum menemui Anton. Masih sama, belum ada yang berubah. Setiap langkah masih di temani tatapan sinis, Aluna berusaha untuk tidak peduli. Ia melihat Fatma, sedang bersama Rara, Yasmin dan dua lekaki yang Aluna tidak tahu namanya. Tetapi dari bisik-bisik yang pernah ia dengar, itu kekasih Yasmin dan Rara. Aluna tidak tahu yang mana kekasih Yasmin dan mana kekasih Rara. Dua lelaki itu yang Aluna tahu, kuliah di jurusan Teknik Aresitek. Dari sudut mata, Aluna melihat mereka sedang menatap jijik ke arah Aluna.“Awas-awas! Ratu cantik mau lewat tuh!” ucap Rara saat Aluna sudah tidak jauh lagi dari tempat mereka berdiri.“Jagain pacar kamu, Ra!” ucap Yasmin, sambil memainkan rambutnya.“Kamu juga, Yasmin. Jangan sampai di embat sama dia!” jawab Rara, sambil tertawa.“Memang siapa dia? Lagi pula kami masih waras, tidak mungkin mau dengan perempuan culun! Laki-laki normal
Di Lobby perpustakaan Aluna melihat Lilis. Ingin berbelok, tetapi ia sudah mendengar suara yang memanggilnya. Aluna tidak menyukai, Lilis terus berusaha merayu untuk menjadi sahabatnya. Namun, tidak ingin membuat Lilis malu, Aluna pun berbalik. “Kamu mau belajar di perpustakaan juga, Al?” tanya Lilis menyapa Aluna, coba mengakrabkan diri. “Iya, di kelas ribut!” ucap Aluna singkat. “Kalau begitu, yuk belajar berdua. Aku juga ingin belajar!” ucap Lilis dengan wajah ceria. Aluna mengangguk, tidak enak menolak ajakan Lilis. “Ya sudah. Yuk!” Lilis menarik tangan Aluna menuju ruangan yang di gunakan untuk belajar. Di pintu ruangan tertulis, open, dan di bawahnya terdapat tulisan, di larang ribut. Aluna dan Lilis masuk ke dalam ruangan, ada tiga orang pegawai yang menjaga. Tepat di samping komputer, terdapat tulisan, di larang membawa tas. Ada rak buku dalam ruangan, tidak banyak hanya tiga rak, sehingga siapapun yang masuk ke ruangan itu harus menyi
*** “Tadi di kantor, bagaimana?” tanya Aluna, mereka sedang berada di atas tempat tidur. Aluna bertanya sambil berbaring miring menghadap Zolan, memeluk bantal. Di antara mereka ada bantal pemisah yang di letakan di tengah. “Lusa aku akan ke Bali lagi. Kamu mau ikut, Al?” ucap Zolan. Satu tangan ia jadikan bantalan dan satu tangan lagi berada di atas perut. Zolan sedang menatap langit-langit kamar. “Aku nggak bisa, ada ujian! Nanti saja selesai aku koas. Aku ngejar agar bisa wisuda secepatnya, jadi tidak ingin berlibur kemana-mana dulu,” jawab Aluna, mengubah gaya. Mengikuti Zolan melihat langit-langit, kedua tangan Aluna saling genggam di atas perut. Zolan berbalik ke Aluna sejenak, ia tersenyum. “Kalau kamu sudah ada waktu, katakan. Aku akan mengosongkan waktu, untuk menemani kamu berlibur. Jarang-jarang ibu dokter bisa punya waktu.” Tawa Aluna, menggelegar. “Apa sih… jangan katakan aku ini sangat sibuk. Karena yang paling sibuk itu kamu,” t
“Aku kembali ke kamarku dulu ya. Mau mandi. Aku tidak bisa tidur kalau badan penuh lengket keringat,” tutur Zolan, sambil menarik-narik baju bagian dada, agar menghasilkan angin. “Aluna, kenapa setiap aku masuk di kamarmu, rasanya panas, AC tidak di nyalakan. Kamu tidak biasa pake AC?” lanjut Zolan lagi. “Aku tidak bisa pake AC. Yang ada, aku besok akan flu karena terlalu dingin. Aku kalau pake AC, mampu jika volumenya dua puluh enam derajad keatas,” tutur Aluna. Mengambil remot AC. Kasihan melihat Zolan yang kepanasan. “Kalau begitu, mending nggak usah pake AC, Aluna. Nggak usah! AC itu untuk pendingin cuaca. Kamu tahu 'kan fungsi AC apa?” ucap Zolan. “Mau bagaiamana lagi, aku dari kecil tidak terbiasa dengan AC. Aku itu pakenya kipas angin. Kemarin kenapa aku nyalahin AC? Yaa karena kamu. Dari pada kamu yang kepanasan mending aku yang kedinginan. Lagian aku juga bisa pake selimut paling tebal agar tidak kedinginan,” ujar Aluna, sambil terus memperhatikan Zo
Lima jam tertidur, Aluna pun bangun. Melihat Zolan masih nyenyak di sampingnya. Ia membuka selimut yang sudah menghangatkan tubuhnya. Terbangun, mengusap wajah, ia beranjak dari tempat tidur manuju wastafel. Menyentuh air, sangat dingin. Udara kamar sangat dingin dan Aluna berusaha menahan. Aluna membaca buku selama satu jam lebih, Zolan belum juga bangun. Ia meninggalkan Zolan di kamar, menuju dapur. Seperti biasa Aluna akan menyiapkan sarapan. Ia meilhat Bi Sarti dan beberapa asisten yang sedang sibuk memasak. “Lagi masak, apa?” Suara Aluna menghentikan aktivitas mereka. “Eh, Non Aluna. Kami lagi buat nasi kuning. Tuan Marfel ingin sarapan nasi kuning. Sudah lama Tuan tidak memakannya, sejak keluar dari rumah sakit,” ujar Bi Sarti, yang sedang mengaduk santan berwarna kuning berisi beras di dalam wajan. Salah seorang asisten sedang menggoreng ikan, di samping kanan ada yang membuat mie goreng, dan di bagian kiri ada asisten yang sedang menggoreng ke
“Itu benaran Aluna. Tanpa bedak tebal saja, dia sudah menjadi perempuan paling cantik hari ini. Apalagi jika Aluna, menggunakan jasa perias,” tutur Lilis pelan pada Fatma. Mereka duduk berdampingan. “Aluna punya trauma, dia tidak ingin berdandan seperti layaknya perempuan lain dan akan di puji cantik. Aluna sangat membenci jika ada yang mengagumi kecantikannya,” ucap Fatma, sambil menatap Aluna yang saat ini sedang berbicara di podium. “Trauma … kenapa bisa?” tanya Lilis, menoleh ke Fatma. “Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang aku ingin fokus mendegar Aluna bicara,” ucap Fatma, tanpa melihat wajah penasaran Lilis. Ia mendengar Aluna yang sedang berucap, “atas apa yang dapat di raih hari ini, kita patut berterimakasih pada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu semua proses. Untuk itu perkenankanlah saya mewakili wisudawan untuk menyampaikan banyak terimakasih.” Lilis tidak melanjutkan percakapan mereka. Ia pun ikut fokus meny
*** Aluna sedang bersiap-siap, ia menggunakan kebaya berwarna biru nafi, dipadukan dengan rok batik bermotif kupu-kupu kecil. Kemudian ia menutupi dengan baju toga hitam pemberian kampus untuk wisudawan. Aluna tidak menggunakan jasa perias. Dengan kemampuan pas-pasan, ia menempel tipis bedak di wajah. Tidak lupa, Aluna juga memakai lip cream di bibir agar tidak terlihat kering. Kali ini, Aluna tidak akan mengepang dua rambut. Ia sudah membeli pengikat khusus agar bagian kepala terlihat cantik. Ia lalu memakai anting cantik berukuran kecil di telinga. Aluna hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk selesai. Ia lalu memakai high hells. Bercermin kembali, untuk memastikan jika ia sudah selesai. Aluna mengambil toga yang sudah ia siapkan di atas meja belajar. “Kok rasanya, aku malu. Ini pertama kali aku memakai bedak ke kampus,” tutur Aluna, ia memalingkan pandangan pada kacamata. “Sepertinya untuk hari ini, aku tidak memakai kacamata. Hanya untuk hari
Mengikuti kata hati, Sindy akhirnya masuk ke dalam warung untuk memesan makanan yang akan di bawa pulang. Ia bercerita dengan seorang ibu yang juga menunggu pesanan. Lima belas menit keasyika, Sindy menyadari jika lelaki itu sudah tidak ada. Dengan cepat Sindy membayar ketika namanya di panggil. Sambil memperbaiki masker dan topi yang ia pakai, Sindy melangkah lebar menuju rumah kos. Setibanya, sebelum memasuki rumah Sindy menoleh ke kiri dan ke kanan. Ingin memastikan jika tidak ada lagi yang mengikuti. "Sekarang aku harus lebih berhati-hati," Sindy berucap lirih sambil mengusap dada dari balik pintu. Beberapa jam telah berlalu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Fahmi masih berada di sebuah kafe menunggu seseorang. Saat ia meneguk kopi, orang yang di tunggu akhirnya datang. “Maaf aku telat, bos,” ucap lelaki yang sedang memakai topi hitam. Ia membuka masker yang ada di wajah dan menarik kursi untuk duduk. “Informasi apa yang sudah kamu dapa
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada
Empat puluh menit mengendara motor, ia sudah memasuki gerbang rumah sakit. Tadi setelah tiba di parkiran kampus Aluna menelepon Bi Sarti, menanyakan rumah sakit tempat Marfel dirawat. Aluna mengendara dengan sangat laju, tiga kali ia mendapatkan lampu merah yang macet. Dengan langkah terburu ia masuk, menuju ruang ICU.Di sana ada enam orang asisten yang menunggu di depan pintu. Aluna mempercepat langkah. Setibanya, dengan napas yang masih terengah-engah, Aluna langsung berucap, “apa yang terjadi? .. Tadi pagi ayah masih baik-baik saja. Kami sarapan pagi bersama dan aku juga meminnta doa karena sidang hari ini. Kenapa ini bisa terjadi?”“Kami tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Tadi setelah Non Aluna ke kampus. Tuan besar memanggil tuan muda di dalam kamar. Kami tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Bi Sarti menemukan tuan besar pingsan di lantai dekat ranjang,” ucap asisten yang berada di hadapan Aluna.“Zolan sudah tahu
***Setelah tiga tahun lebih menjalani kuliah, hari ini Aluna sidang akhir. Fatma dan Lilis menunggu di luar ruang sidang. Di tangan mereka ada satu buket bunga yang akan di berikan untuk Aluna. Sedangkan di dalam sana, Aluna masih menghadapi rentetan pertanyaan dari penguji.Satu jam lebih berlalu, Aluna di suruh keluar oleh dosen pembimbingnya. Menunggu di luar ruangan.“Alunaa!” Suara cempreng Fatma terdengar, ketika melihat Aluna membuka pintu. Ia dan Lilis berdiri menghampiri.“Bagaimana, kamu di kasih nilai apa?” tanya Fatma ketika mereka sudah berada di samping Aluna.“Ya, belum di tahu lah, Fatma … dosen ‘kan masih rembuk di dalam. Aku di suruh keluar dulu. Nanti masuk lagi kalau sudah ada perintah untuk masuk,” tutur Aluna, sambil berjalan menuju tempat duduk.“Kamu yang sidang, aku yang degdegan, Aluna. Gimana nanti kalau aku yang ujian yah?” Fatma berucap, ketika mereka
Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit. Anton kaget, ia melihat ada pergerakan di tangan Angel. Meskipun masih menutup mata, jari-jari mungil tangan kanan Angel bergerak. Ia memencet tombol untuk memanggil perawat jaga, yang terletak tidak jauh dari hospital bed. Tidak menunggu lama, tiga orang perawat bersama seorang dokter datang dengan membawa beberapa alat yang mereka butuhkan. “Bagaimana keadaanya?” tanya Anton. ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuh Angel. Ada sedikit kebahagian terpancar di wajah Anton. “Dokter Anton, bisa ikut aku ke ruangan?” ujar seorang lelaki yang memakai jas putih. “Apa yang terjadi? Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini,” ucap Anton tegas, sambil menatap Angel. “Ini juga untuk Angel. Ada yang ingin aku beritahu, dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.” Kembali membujuk Anton yang terlihat kukuh dengan keinginan. “Nanti dua orang perawat ini, yang akan menggantikan kamu menjaga Angel,” lanjutnya.