“Pelan-pelan, cantik! Kami hanya ingin mengantarmu pulang!” seru segerombolan pria mabuk.
Bunyi cipratan air terdengar saat kaki Claire Hopkins menginjak genangan air di jalan, membuat noda kotor di celana jeans birunya. Jalanan habis diguyur hujan lebat. Claire tidak peduli celana jeansnya semakin kotor, ia mempercepat langkahnya untuk menghindari gerombolan pria mabuk yang sedang mengejarnya.
Claire menatap ke sekelilingnya, tidak ada orang lain yang masih berkeliaran selarut ini. Claire mengumpat dalam hati. Ini semua karena pacarnya, Robin. Jika saja pria itu tidak membuatnya keluar rumah selarut ini. Claire ingin tahu apa yang diperbuat pria itu tanpa sepengetahuannya. Setelah sahabat baik Claire – Amanda – memberitahunya, Claire memutuskan untuk melihat sendiri. Ia sengaja keluar tengah malam untuk membuktikan kata-kata Amanda benar. Claire masih merasakan matanya perih dan hidungnya berair setelah melihat sendiri, Robin bersama wanita lain bercumbu begitu mesra dalam kamar hotel murahan.
Kini, Claire dalam masalah yang lebih besar. Flatnya masih beberapa blok dari tempat ini dan ia tidak yakin bisa sampai dengan selamat sekarang. Claire berlari sekarang, sebab pria-pria mabuk itu sudah dekat. Meskipun sempoyongan, mereka dengan cepat bisa meraih tas ransel kecil yang dipakai Claire di punggungnya.
“Lepaskan aku!” seru Claire dengan suara sekencang mungkin, tapi gerombolan pria itu malah tertawa.
Salah seorang dari mereka mendorong Claire ke arah temannya, lalu yang lain menangkapnya. Mereka tertawa-tawa sambil menyentuh tubuh Claire yang indah. Meski tertutup T-Shirt longgar dan celana jeans panjang, Claire masih terlihat sangat menarik. Kulitnya yang berkilau meski tanpa cahaya lampu, rambut panjangnya yang berkilau sewarna sinar mentari, dan matanya yang biru laut, membuatnya selalu menarik perhatian.
“Lepaskan!” seru Claire. Bau alkohol yang menyengat memenuhi indra penciuman Claire saat pria-pria itu bergantian mengganggunya. Ia menggigit lengan salah satu pria mabuk yang sedang mendekap dan menggerayangi tubuhnya dari belakang. Pria itu berteriak dan sontak melepaskan dekapannya. Claire mengambil kesempatan itu untuk berlari sekencang-kencangnya.
“Kurang ajar! Kejar dia!” seru pria itu.
Mata Claire mencari-cari tempat untuk melarikan diri atau bersembunyi di dalam kegelapan. Ia tidak mungkin bisa berlari secepat itu kembali ke flatnya yang masih cukup jauh. Sialnya, tidak ada taksi di sepanjang jalan. Claire akhirnya menemukan sebuah rumah tua kosong yang biasa ia sebut dengan rumah hantu. Rumah tua itu sudah tidak terawat dengan pepohonan dan rerumputan yang sudah tumbuh tidak teratur. Tidak ada lampu yang meneranginya.
Rumah itu sudah terlihat cukup menyeramkan pada siang hari, terlebih lagi pada malam hari. Claire tidak punya banyak pilihan. Ia menengok ke belakang dan melihat pria-pria itu masih mengejarnya dan semakin dekat. Entah dengan keberanian yang datang dari mana, Claire berbelok lalu berlari masuk ke dalam rumah tua yang tidak berpagar itu.
Seperti yang Claire duga, pintu depan rumah itu tidak terkunci, bahkan terbuka sedikit. Tanpa pikir panjang, Claire masuk ke dalam dan menutup pintu berdebu tebal itu rapat-rapat. Pria-pria itu menyadari apa yang Claire lakukan, mereka pun ikut berbelok dan mulai memasuki beranda rumah. Claire dengan panik meraba anak kunci yang untungnya masih menempel di pintu. Ia menguncinya dengan cepat, membuat para pria mabuk itu menggedor-gedor dengan sia-sia di depan pintu.
Claire terbatuk-batuk karena debu-debu yang menempel di pintu itu beterbangan saat dipukul-pukul dari luar. Ia menyingkir dari pintu lalu mengintip melalui kaca jendela kotor yang ada di sebelah pintu. Dengan jarinya, ia membersihkan sedikit bagian dari jendela agar bisa melihat dengan jelas. Debu yang menempel di kaca jendela itu sudah sangat tebal. Rumah ini sudah sangat lama ditinggalkan.
Pria-pria itu mengumpat dan menendang kerikil dengan marah karena tidak berhasil mendapatkan Claire. Mereka pergi sambil berteriak-teriak marah. Botol minuman kosong yang masih ada di tangan mereka dilemparkan begitu saja ke jalanan, menimbulkan bunyi pecahan-pecahan kaca. Claire menghembuskan nafas lega, setidaknya ia aman untuk sekarang.
“Kamu tidak akan bertahan lama di sana, gadis pirang! Kami akan menunggumu keluar!” seru para pria itu sambil duduk-duduk di pinggir jalan.
“Gadis pirang sialan!” seru satu orang lagi.
“Sial!” bisik Claire. Sekarang ia tidak akan bisa cepat-cepat keluar dari rumah ini, setidaknya mungkin sampai pagi. Ia menghembuskan napas dengan kasar, sambil menatap ke sekelilingnya. Di sini sangat gelap dan menyeramkan, bagaimana jika ada hantu? Claire bergidik karena pikirannya sendiri. Ia merogoh saku belakang celana jeansnya dan mengambil handphonenya. Dengan cepat gadis itu menyalakan senter.
Saat senter menyala, Claire terkejut karena rumah itu ternyata jauh lebih berdebu dibandingkan yang ia bayangkan sebelumnya. Langit-langitnya sudah dipenuhi dengan sarang laba-laba bercampur debu. Barang-barang berantakan di sana sini. Sepertinya rumah itu ditinggalkan begitu saja dengan terburu-buru.
Claire memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya lebih jauh ke dalam rumah. Ada sebuah tangga kayu yang sepertinya jika dibersihkan masih tampak kokoh. Claire berjalan lagi dan menemukan dapur yang ditinggalkan begitu saja, bahkan masih ada satu buah mangkuk berisi sereal di atas mejanya. Claire berjalan lagi dan menemukan sebuah ruangan seperti ruangan kerja atau ruang belajar dengan rak-rak buku yang tersusun rapi. Sebuah laptop masih terbuka di atas meja.
Claire melihat-lihat sebentar ke dalamnya, lalu ia memutuskan untuk mencari kamar tidur yang mungkin bisa ia tempati untuk semalam. Namun, tanpa sengaja kakinya tersandung sesuatu di lantai. Claire mengarahkan senternya ke arah lantai dan mendapati ada sesuatu yang menonjol di balik karpet. Rasa penasarannya membuat Claire menyingkapkan karpet bulu itu dan melihat apa yang ada di baliknya.
Mata biru laut gadis itu melebar saat melihat lantai kayu itu tercengkat di bagian tersebut. Rupanya, bagian itulah yang membuat Claire tersandung. Namun, bukan itu yang membuat Claire terkejut, tapi bagian itu berbentuk kotak, seperti bisa diangkat. Mungkin ada sesuatu di bawahnya. Claire berpikir, mungkin saja itu harta karun. Ia tersenyum karena pemikirannya sendiri.
Perlahan-lahan, Claire mencoba mengangkat bagian kayu yang tercengkat itu. Beruntung, siapapun itu, tidak menutupnya dengan baik sebelum pergi meninggalkan rumah. Dengan mudah, Claire bisa membukanya dan mendapati ada sebuah kotak hitam di dalamnya. Claire kemudian mengangkatnya untuk melihat apa isinya.
Saat kotak itu dibuka, Claire mendapati bahwa itu adalah satu set permainan game yang terlihat cukup canggih. Claire meniup debu di atas kotak itu, lalu mulai membaca tulisan yang ada di atasnya.
“The Myth. Selesaikan setiap misi sebagai dewa atau dewi mitologi Yunani yang kamu pilih. Dengan alat pindai wajah dan tubuh. Rasakan sensasi berada dalam game dengan wajah dan tubuhmu sendiri,” kata Claire membaca tulisan itu.
“Wah, menarik juga. Jadi wajah dan tubuhku akan dijadikan karakter dalam game?” gumamnya lagi. Ia tersenyum tipis. Mungkin bermain game dapat membuatnya melupakan kesulitannya untuk sementara waktu, pikirnya.
Claire tersenyum saat menekan tombol power pada game tersebut. Alat pemindai berbentuk bulat dengan lensa kamera di tengahnya mulai bergerak tegak.Berdirilah dan menghadap ke arah kamera.Claire mengikuti perintah si alat pemindai. Gadis itu berdiri menghadap ke arah kameranya. Seketika alat pemindai itu mengeluarkan semacam cahaya berwarna hijau yang bergerak dari ujung kepala Claire hingga ke ujung kakinya.Pindaian selesai.Claire kemudian membawa set permainan itu ke atas meja. Ia meniup debu yang menutupi permukaan meja lalu meletakkan alat berupa monitor dan keyboard joystick itu di atasnya. Claire kemudian membersihkan kursi yang ada di belakang meja itu sebisanya, sedikit terbatuk karena debu yang keluar saat ia melakukannya. Kemudian, ia pun duduk dengan nyaman di atas kursi, siap untuk bermain game. Ia pun menekan tombol ‘start’.Selamat datang di The Myth. Selesaikan setiap level dalam game, barulah kam
“Apa maksudmu?” tanya Claire dengan wajah merona merah akibat sensasi yang ia rasakan.“Kita sedang bermain, dalam permainan ini,” jawabnya.“Jadi kamu pemain? Bukan tokoh dalam game?” tanya Claire dengan suara meninggi.Namun, Adonis segera mengunci bibir Claire dengan bibirnya, melumatnya dengan lembut hingga Claire melupakan apa yang baru saja ia ucapkan. Otaknya lumpuh akibat ciuman pria itu. Claire seharusnya berteriak, memaki, melawan, tapi ia malah melakukan yang sebaliknya. Entah itu pesona seorang Adonis atau pesona pria yang bermain di baliknya.Claire mendesah saat Adonis menindih tubuhnya lalu memasukkan miliknya pada organ tubuh gadis itu. Claire bahkan bergerak sesuai irama gerakan tubuh Adonis, menikmati semua yang ia lakukan pada tubuhnya. Claire sadar penuh bahwa dirinya ada di dalam sebuah game, tapi semuanya terasa seperti nyata. Pria di hadapannya tampak seperti nyata, terasa nyata, dan sangat mengga
Claire berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang kini melayang di awan-awan. Ia nyaris terjungkal, tapi akhirnya ia berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Kini, ia melayang di udara seperti profesional.“Woohoo!” teriak Claire di udara. Ia menikmati hembusan angin yang menerpa dirinya, terasa seperti nyata.Claire kemudian mengingat misinya, ia harus menyelamatkan Leon di hutan, entah di mana hutan itu berada. Ia tidak ingin mengulangi level ini lagi dan memulainya kembali di atas ranjang. Mata Claire mulai menatap ke bawah, pohon-pohon rindang menutupi area hutan, sulit untuk mencari keberadaan Leon. Ia mulai terbang mendekati area hutan yang letaknya tidak jauh dari istananya. Namun, Leon tidak terlihat dimana-mana.Claire mencoba terbang lebih rendah lalu memutari kembali area hutan untuk mencari Leon, tetapi tetap saja, ia tidak menemukannya. Claire memutuskan untuk mendarat di salah satu area hutan yang agak terbuka. Ia melihat ke sekeliling, namun Leon
“Kita benar-benar berhasil!” seru Claire senang sambil kembali menatap Leon yang masih berada di bawah tubuhnya.“Iya, kita berhasil,” jawab Leon sambil tersenyum. Senyuman itu membuat tawa Claire berhenti. Lagi-lagi, Leon berhasil membuatnya terpana. Namun, Claire segera mengusir pikirannya itu, ia cepat-cepat berdiri dan Leon pun ikut berdiri di sebelahnya.“Sekarang mungkin kita punya waktu. Kamu punya banyak hal untuk dijelaskan,” kata Claire dengan tatapan menuntut.Di hadapan mereka, tiba-tiba layar digital kembali terbuka.Proceed to next level? Y/N. Auto play in 30 seconds.“Kita hanya punya 30 detik!” seru Claire.“Baiklah... baiklah. Aku tersedot ke dalam game ini sudah lama, entahlah sudah berapa lama tidak ada penanda waktu di sini. Mungkin beberapa bulan, aku tidak tahu. Aku tidak bisa keluar karena apapun yang kulakukan aku harus menunggu pemain yang memilih Aphrodi
“Shit!” seru Claire saat melihat Leon sudah pergi meninggalkannya sendirian. Ia kemudian mengencangkan pegangannya pada tombak emasnya. Ia tidak yakin akan bisa bertahan sepuluh menit melawan monster ini. Belum lagi, Claire melihat bercak darah yang ditimbulkan monster itu di tanah, berasap dan membuat tanah berlubang. Betapa beracunnya darah monster ini.Claire memperhitungkan apa yang harus ia lakukan, melawan Hydra bukanlah hal yang pintar. Ia harus memikirkan cara lain. Bertahan adalah satu-satunya cara. Tapi kepala-kepala naga itu mulai menyerang Claire tanpa ampun. Claire terpaksa hanya menghindar, berguling kesana kemari sambil menghindari noda darah yang sudah ada di tanah.Kini total sebelas kepala naga yang menyerang Claire seorang diri, ia harus mencari tempat bersembunyi. Namun, Claire kesulitan untuk mencapai ke tempat lain karena kepala-kepala naga itu terus menyerangnya. Ia terpaksa hanya berlarian di sektiar tanah di depan naga itu saja, set
“Jangan berani tinggalkan aku lagi!” kata Claire ketus.“Ehm, baiklah kalau begitu mari kita mencari tempat untuk bermalam,” jawab Leon sambil tersenyum kikuk. Ia kemudian membantu Claire berdiri. Tubuh Claire terasa sakit di beberapa bagian, seperti lengan. Rasanya lelah sekali dan ia ingat dia belum tidur sama sekali. Setelah mendapati kekasihnya berselingkuh di tengah malam, Claire lalu terjebak di sebuah rumah tua, dan sekarang ia terjebak di dalam game. Sungguh kesialan yang luar biasa.Mereka kemudian berjalan menyusuri tepian danau. Rasanya, tadi Leon melihat sebuah gua di dekat sini saat ia sedang mencari obor. Claire sudah menguap berkali-kali sambil berjalan. Leon hampir saja ingin memapah tubuh Claire, tapi ia takut gadis itu akan marah. Jadi dia diam saja sambil terus berjalan.Akhirnya, Leon menemukan sebuah gua yang tadi ia lihat. Leon mengajak Claire masuk ke dalam gua itu sambil membawa obor yang masih menyala di tangannya
Empusa itu menghindari tombak Claire dengan mudah kemudian terbang melayang-layang dengan rambutnya yang berapi-api.“Jangan hanya diam saja!” seru Claire pada Leon.Leon baru tersadar, ia kini mengangkat pedangnya. Sambil berteriak, Leon berlari lalu melompat tinggi. Dengan cepat ia menebas ke arah makhluk buruk rupa itu lalu mendarat di tanah. Sedetik kemudian, makhluk yang masih berada di udara itu terbelah dua lalu jatuh ke tanah. Darahnya yang hitam kehijauan memenuhi tanah di bawahnya.Tak lama kemudian tubuh Empusa yang terbelah dua beserta ceceran darahnya berkedip-kedip dan menghilang. Kini bahaya yang tersisa hanyalah tatapan sadis dari Claire. Gadis itu menatapnya seakan ingin membunuhnya saat ini juga.“C-Claire ...”“Tutup mulut mesummu itu!” seru Claire sambil menghadap ke arah Leon sambil memegang tombaknya. Belum habis kemarahannya saat di level sebelumnya, kini Leon sudah membuatnya semakin jijik
Setelah tulisan ‘Start’ menghilang, mereka diperhadapkan dengan labyrinth yang entah seluas apa. Kabut tipis melayang-layang di hadapan mereka. Sunyi sepi, tidak terdengar apapun di labyrinth berkabut itu.“Kurasa kita harus mulai sekarang, Claire,” kata Leon.“Kurasa begitu,” jawab Claire.Mereka kemudian melangkahkan kaki menuju pintu masuk labirin itu. Seketika terdengar bunyi berdetak, seperti bunyi jam. Claire dan Leon saling berpandangan.“Jangan bilang kita berpacu dengan waktu!” seru Claire.“Entahlah. Tidak ada game seperti ini seingatku, semuanya sudah berubah,” jawab Leon.Leon kemudian menjulurkan tangannya ke depan, mengeluarkan layar opsi miliknya. Layar itu terbuka, di bagian atasnya terlihat jelas angka dengan warna kuning yang berkedip sesuai dengan bunyi detakan jam itu. ‘23:59:40’ dan terus menurun.“Sial! Mereka hanya memberi kita waktu d
“Lepaskan aku! Aku ini calon presiden kalian! Lepaskan aku sekarang juga!” seru Boston Hopkins pada para polisi yang memborgol tangannya.“Anda berhak untuk diam. Semuanya bisa Anda jelaskan di pengadilan. Anda juga bisa menyewa pengacara untuk membela Anda,” jawab polisi itu.“Pengawal! Pengawal!” teriak Boston Hopkins dengan panik. Tetapi tidak ada satupun pengawal yang mendekat. Sebab Leon sudah menyuruh mereka pergi sejauh mungkin.Boston Hopkins terpaksa menyerah kepada para polisi. Ia masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Sepanjang perjalanan, orang-orang melemparinya dengan telur busuk. Polisi harus menertibkan masyarakat agar tidak melempari Boston dengan telur dan benda-benda lainnya. Boston tidak percaya ini benar-benar menimpa dirinya. Padahal selangkah lagi saj
Fox kembali berbaring di sofa meluruskan kakinya yang sakit. Claire membantu Fox dengan mengganjal kakinya dengan bantal agar bengkaknya tidak semakin parah.“Aku bisa membantu Leon,” katanya.“Kamu tidak akan bisa membantu kalau kamu belum sehat. Istirahatlah dulu, kamu membutuhkannya,” jawab Claire.Claire pergi ke dapur dan ia pun memanaskan air untuk membuatkan teh hangat untuk Leon. Masih ada teh yang belum basi di apartemen itu. Ia pun membawakannya untuk Leon. Pria itu bahkan belum beristirahat sejak tadi. Tubuhnya masih basah kuyup.“Terima kasih,” kata Leon sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat jantung Claire berdegup dua kali lebih cepat.“Apakah kamu tidak bisa ber
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
“Hey bro, kamu sudah lihat berita di televisi?” tanya salah seorang bodyguard yang sedang berjaga di markas tempat Fox menjalani hukumannya.“Sudah. Aku berpikir kita sebaiknya pergi sebelum polisi menangkap kita juga,” jawab bodyguard yang satunya.“Ssst!! Pelankan suaramu. Jika yang lain mendengar kita bisa dibunuh,” jawabnya.“Hey... let me go, please...” kata Fox mengiba pada kedua orang yang sedang berbisik-bisik itu.Dua orang itu berpandang-pandangan lalu melihat ke arah Fox.“Sorry, kid. Kalau kami melepaskanmu, kami pasti akan mati. Sekarang kecilkan suaramu atau kita akan dapat masalah!” seru orang itu dengan suara berbisik.
Tidak butuh waktu lama, Claire dan Leon sudah sampai ke apartemen lama Leon. Mereka berlari menuju ke elevator setelah memarkirkan mobil di garasi pribadi Leon. Elevator pribadi itu langsung mengantarkan mereka ke apartemen Leon yang ditinggal dalam keadaan berantakan. Bekas-bekas peluru masih ada di tembok, kaca jendela yang pecah, bahkan bantal sofa yang berlubang.Leon tidak menunggu waktu lama, ia langsung berlari ke ruang kerja lamanya lalu mengeluarkan laptop milik Claire dan segala peralatan yang ia bawa di dalam tas. Claire langsung menyalakan TV untuk mendengarkan ada berita apa di televisi. Begitu dinyalakan, berita di televisi langsung menayangkan hal yang sudah Claire dan Leon duga sebelumnya.“Sejumlah pejabat negara mendatangi kantor polisi secara tiba-tiba hari ini. Belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian tetapi informasi yang bere
Api yang keluar dari mulut Chimera itu kini sudah disemburkan ke arah Claire dan Leon. Air mata Claire meleleh turun ke pipinya. Dengan perlahan dan lembut, ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Leon. Mungkin ini ciuman mereka yang terakhir. Tidak ada cukup kata-kata bagi Claire untuk mengungkapkan perasaannya pada Leon, ia memilih untuk mengungkapkannya melalui ciuman terakhir ini.Namun sesaat sebelum api itu membakar tubuh mereka, tiba-tiba Claire dan Leon merasa diri mereka tersedot ke dimensi yang berbeda. Saat mereka membuka mata, mereka kembali ke tempat mereka semula. Ini di apartemen Claire, di depan laptop mereka.“Apakah kita sudah mati sekarang?” tanya Claire.“Kurasa tidak,” jawab Leon.“Apakah ini ilusi?” tanya Claire lagi.
“Kamu akan menyusul mereka secepatnya. Jangan khawatir,” kata Boston sambil melihat ke mana arah pandang Fox.Fox tetap tidak menjawab. Ia tetap menatap Boston tanpa ekspresi. Wajahnya memerah, senada dengan warna rambutnya. Setiap melihat wajah Boston, ia teringat bagaimana Mrs. Andrew meninggal. Kepalanya mengeluarkan darah, bahkan kini masih meninggalkan noda di pakaian Fox. Dalam hati, Fox bersumpah bahwa ia akan menuntut balas. Boston harus mati di tangannya.“Terserah jika kamu ingin tetap membisu seperti itu. Tapi sekarang kamu harus mengirimkan hipnotis pada semua orang di Amerika. Akses ke satelitnya sudah kuberikan padamu,” kata Boston Hopkins lagi.Fox hanya diam saja, menatap Boston tanpa berkata apapun. Boston mulai jengah dengan sikap Fox, ia memberikan kode pada orang yang meno
“Ayo kita lakukan sekarang. Lebih cepat, lebih baik. Kita tidak ingin kehilangan momen ini,” kata Leon lagi. Ia sudah duduk di depan laptopnya bersiap untuk kembali masuk ke dalam The Myth. Matanya menatap ke arah Claire menunggu gadis itu duduk di sebelahnya dan segera memulai misi kali ini.Claire menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah Leon. Jantungnya berdebar, perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Namun, ia harus melakukan ini. Seperti kata Leon, ini mungkin kesempatan mereka untuk menghancurkan Boston Hopkins untuk selamanya.“Kamu sudah siap?” tanya Leon.“Iya,” jawab Claire singkat.Ia menatap wajah Leon lalu sesaat kemudian, tanpa