Pagi harinya, Lara yang sudah berseragam rapi baru saja turun dari kamar sambil menggendong tas dan menenteng tote bag yang berisi buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolahnya.
"Pagi semua," sapa Lara yang langsung ikut bergabung dan duduk dimeja makan bersama keluarganya yang lain. "Loh, Kak Dafa udah ikut sarapan aja, bukannya semalem belum pulang ya?" Dafa adalah kakak laki-laki Lara. Kebetulan sang kakak adalah salah satu mahasiswa yang memang cukup aktif menjadi panitia kegiatan di kampusnya, sehingga seringkali pulang larut malam bahkan tak pulang.
"Tadi Kakak pulang subuh, tidur dulu dua jam terus bangun buat sarapan, soalnya habis ini masih harus balik lagi ke kampus."
"Ya Ampun Kak, sibuk banget. Emang kalau udah jadi mahasiswa pasti bakal sesibuk itu ya?" Lara jadi penasaran dengan kehidupan seorang mahasiswa. Terlebih Lara yang kini sudah menginjak 12 SMA sebentar lagi juga akan masuk universitas, ia penasaran akankah dirinya menjadi mahasiswi seperti kakaknya yang super sibuk?
"Nggak juga kok Ra, ya tergantung mahasiswanya juga. Yang kuliah cuma gaya-gayaan banyak, yang kuliah cuma buat ajang cari title semata banyak, yang kuliah cuma buat ajang gengsi juga banyak, yang kupu-kupu pun juga banyak."
"Kupu-kupu apaan sih Kak Dafa?" Sambar Sandra dengan mulut yang masih penuh makanan.
"Kupu-kupu itu singakatan dari kuliah pulang kuliah pulang."
"Oh..." Angguk Sandra.
"Anak-anak, tolong ya fokus sarapan dulu, baru nanti nanya-nanyanya," titah Bunda.
"Hehehe... iya Bunda," balas ketiga anaknya serempak.
"Oh iya Bun, ayah hari ini jadi pulang kan? Jam berapa ya kira-kira, soalnya Dafa mau pake mobil yang ada dirumah."
"Umー tadi malem Bunda telpon ayah katanya, landing pesawatnya sih paling sekitar jam lima sore."
"Oh Gitu, yaudah Nanti Dafa balik ke rumah jam tiga, biar kita bisa sama-sama jemput Ayah ke bandara."
"Yah... Lara nggak bisa ikut jemput dong?" Karena hari ini ada les tambahan hingga jam delapan malam, Lara jadi merasa kecewa karena tidak bisa ikut menjemput sang ayah nanti sore.
"Parah banget kakak, masa Ayahnya pulang nggak mau jemput, parah... parah... durhaka loh..." sahut Sandra yang sengaja menggoda kakaknya.
"Sandra...," Tegur Hani.
"Hehehe, maaf Bunda, Sandra cuma becanda kok, canda bercanda."
Lara terlihat jadi gamang dan tidak enak hati, pasalnya ia sebenarnya juga ingin sekali menjemput sang ayah pulang, tapi bagaimanapun dirinya juga harus mengikuti les tambahan.
"Lara... kalaupun kamu nggak ikut jemput ayah, pasti ayah juga ngerti kok. Justru Ayah bakal marah kalau misalnya kamu bolos les."
Lara tersenyum tipis. "Gitu ya Bun."
"Iya," angguk Bunda.
"Parah ih kakak parah...," goda Sandra lagi sambil tertawa.
"Sandra ayolah... kakaknya jangan dipanas-panasin gitu terus dong," tegur bunda ke Sandra.
Adik Lara itu pun hanya bisa cekikan puas, menggoda kakak perempuannya.
"Yaudah kalo gitu Dafa manasin mobil dulu ya," ujar Dafa yang sudah selesai sarapan. "Ra, kamu bareng kakak aja ya ke sekolahnya, biar kakak anterin!"
"Sandra juga mau dianter!" Sahut belia tiga belas tahun yang sifatnya masih saja kadang seperti anak SD.
"Kamu nggak boleh! Iya kan kak Daf?" Gantian Lara yang menggoda adiknya kali ini.
"Ih... kak Lara, Sandra kan capek kalau harus nunggu bus sekolah!"
"Biarin aja, anak manja mah nggak boleh dibaikin."
"Bunda Kak Lara tuh...!" Sandra mulai merajuk.
"Hu... ngadu, dasar manja," ledek Lara dengan senyum iseng yang sebenarnya penuh rasa sayang.
"Udah! Biar adil dua-duanya Kak Dafa angkut!" Ujar Dafa yang kemudian pergi untuk menaskan mobil.
"Siap kak Dafa! Wek!" Sandra balik meledek Lara dengan menjulurkan lidahnya. "Bun, Sandra udah selesai sarapan, Sandra mau beresin buku dulu ya dadah..." Sandra si manja malah langsung pergi meninggalkan meja makan. Melihat tingkah adiknya, Lara pun hanya bisa bergeleng-geleng kepala "Huh dasar abg kecil, bukannya bantu Bundanya beresin alat makan dulu malah kabur!"
"Nggak apa-apa Kak, toh kan Sandra harus beresin tas sekolahnya dulu," ucap Hani yang mulai membereskan alat bekas sarapan putra putrinya.
"Udah Bun, sini biar Lara aja yang bawain ke cucian piring. Masa Bunda udah masakin, masih aja direpotin sendiri." Lara yang juga sudah selesai makan langsung mengangkut piring-piring bekas sarapan itu dan mencucinya.
"Loh nak, kamu ngapain cuci piringnya juga? Nanti baju kamu basah loh..."
"Udah Bunda tenang aja, lagian Lara kan pake celemek jadi nggak akan basah, iya kan?"
Hani tiba-tiba terdiam lalu mengulum senyum manis sambil menatap putri sulungnya yang kini sudah menjelma menjadi gadis dewasa yang cantik jelita dan baik hati. Sebagai seorang Ibu, Hani pun tak kuasa menahan rasa haru dan bangga pada putrinya itu. Ia pun membelai rambut indah Lara yang menjuntai hampir sepinggang.
"Bunda, ngapain?" tanya Lara kaget tiba-tiba rambutnya dibelai oleh sang bunda.
"Nggak apa-apa sayang, Bunda cuma ngerasa bangga banget sama kamu. Bunda bersyukur sekali, karena Tuhan sudah kasih Bunda seorang putri yang nggak cuma cantik parasnya, tapi hatinya juga baik. Dan dia juga gadis yang membanggakan buat Bunda."
Lara mengeringkan tangannya yang baru selesai mencuci piring, lalu memeluk bunda tercintanya. "Lara juga bangga... banget, karena punya Ibu sebaik dan sehebat bunda. Bunda yang selalu sabar dan pengertian sama anak-anaknya yang sering kali buat bunda kesel."
"Iya dong, meskipun kalian suka bikin jengkel, tapi Bunda sayang sekali sama kamu, Dafa dan Sandra. Kalian semua adalah hadiah terindah dari Tuhan buat Bunda dan Ayah." Hani membelai kedua pipi merah merona putrinya, menatapnya dengan penuh kasih sayang dan rasa bangga seorang ibu. "Kamu udah semakin dewasa sayang, semakin cantik, semakin memesona, dan semakin terpancar aura kamu. Bunda yakin pasti banyak laki-laki yang suka sama kamu. Iya kan?"
Lara langsung membulatkan mata saat bundanya membahas soal laki-laki.
"Nggak apa-apa kok kalau kamu mau suka sama lawan jenis, tapiー"
"Tapi Lara sebenernya udah punya seseorang yang Lara suka Bun." Akhirnya tiba saatnya aku jujur sama Bunda soal hubungan aku sama Gilang yang udah kita jalanin selama tiga bulan terakhir ini.
Hani langsung mengerutkan alisnya. "Maksud kamu apa sayangー?"
"I- iya Bun, sebenernya udah sebulan yang lalu Lara mau bilang kalau Laraー sebenernyaー um..." Lara ragu mengatakannya, ia takut Bundanya marah, pasalnya Lara baru diizinkan pacaran saat lulus SMA nanti. Tapi karena tidak mau bohong teralalu lama, Lara pun akhirnya memutuskan untuk bilang. Namun alih-alih dimarahi, Hani justru tersenyum kecil dan membelai rambut sang putri. "Jadi, putri bunda ini udah paham cinta ya sekarang?"
"Bu- bunda, bunda nggak marah?"
Hani menggeleng. "Bunda nggak marah sayang, asalー kamu janji buat bawa pacar kamu ke rumah, kenalin ke Bunda sama Ayah."
"Beneran Bun?" Lara masih belum yakin.
"Iya Beneran masa bohongan."
Lara seketika tersenyum senang, "Kalo gitu, pokoknya segera Lara bakal bawa Gilang ke rumah."
"Jadi namanya Gilang...?"
"I- iya Bunda, namanya Gilang. Dia mantan ketua osis angkatan aku, anaknya baik kok Bun," terang Lara dengan malu-malu dan mata berbinar-binar.
"Iya sayang, Tapi ingat selalu pesan Bunda." Hani sekali lagi membelai pipi putrinya dan menatapnya dalam-dalam. "Kamu harus ingat satu hal Lara, pada diri seorang gadis ada mahkota yang harus ia jaga. Karena ibarat bunga, kamu adalah bunga yang baru saja merekah dengan indah sudah pasti bayak yang ingin memetiknya, jadi... tolong jaga keindahan mahkota itu sampai benar-benar tiba waktunya mahkota itu siap kamu lepas. Jangan biarkan sembarangan laki-laki merusaknya. Berikan mahkota itu hanya kepada dia yang memang terbaik untuk kamu selamanya. Pahamkan maksud Bunda? "
Lara mengangguk "Iya Bunda, Lara akan selalu inget pesan Bunda untuk jaga kehormatan Lara. Yaudah, kalo gitu Lara berangkat sekolah dulu ya. Dah Bunda..." Setelah salim dan memeluk Bundanya, sang anak gadis pun beranjak pergi.
Hani masih terdiam sambil tersenyum memandangi Lara yang sudah melangkah pergi. "Bunda bangga sama kamu Lara, bangga sekali."
**
"Yaudah yuk kita berangkat!" Ajak Lara yang baru saja keluar. Ternyata adik dan kakaknya sudah sejak tadi menunggu dirinya di depan.
"Huh lelet banget deh Kakak, kita udah dari tadi nih nunggu!"
"Sorry deh, lagian kakak telat kan juga gara-gara kamu yang males nggak mau bantu cuci piring."
"Loh kok nyalahin Sandra sih!"
"Udah ah jangan ribut, cepet masuk mobil nanti telat!" Ujar Dafa sambil melihat jam tangannya. Tiga bersaudara itu pun akhirnya berangkat pergi dengan diantar oleh bunda mereka. "Daa... Bunda..." Ujar ketiganya secara bergantian.
"Bye semua, hati-hati nyetirnya Dafa jagain adik-adiknya." Seyuman ibu tiga anak itu mengembang memandangi anak-anaknya yang ia cintai berangkat menuntut ilmu.
🥀🥀🥀
Setelah mengantar Sandra ke sekolahnya, akhirnya Dafa tiba juga di depan gerbang sekolah Lara. "Makasih ya Kak udah anterin aku.""Iya sama-sama, udah sana masuk!" Ujar Dafa sambil mengusap-usap kepala adik perempuannya"Ih... jangan digituin, nanti berantakan tau rambut aku.""Jiah... mau ketemu siapa sih, sampe berantakan dikit aja nggak mau.""Ada deh, rahasia! Udah ah entar keburu si Chika dateng pasti bakal heboh minta salamin ke Kak Dafa.""Ya biarin aja itu kan fans Kakak.""Idih, pede gila." Lara pun membuka pintu dan keluar dari mobil. "Bye Kak..." Ucap Lara berpamitan dari luar kaca mobil.Dafa pun membalas dengan lambaian tangannya dari dalam mobil lalu pergi.Tak lama berselang, Chika dan Tara datang menghampiri Lara yang masih mengamati mobil kakaknya pergi."Woi!" sontak Lara pun kaget dibuatnya oleh kedua temannya itu."Eh kalian tuh, kebiasaan deh ngagetin gue!" Kesal Lara."Hehe...&nb
Akhirnya jam menunjukan pukul delapan malam, yang mana itu tandanya jam bimbingan belajar Lara sudah usai. Setelah beberapa saat ngobrol dengan teman-teman satu tempat bimbingan degannya untuk membahas pelajaran, ia pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Dan sepertinya hari ini Lara harus pulang naik ojekonlinelagi, karena dirinya tidak bisa minta jemput Gilang, dikarenakan hari ini Gilang tengah mengantar kakaknya ke luar kota. Lara juga tidak bisa minta jemput kakaknya Dafa karena kebetulan Dafa juga tengah ada rapat kepanitiaan di kampus.Tidak mau mengulur waktu, Lara yang ingin cepat-cepat sampai rumah pun segera mengeluarkan ponselnya untuk membuka aplikasi ojekonline. Tapi sungguh sial, saat dirinya hendak ingin memesan ojekonlineponsel Lara malah justru habis baterai. "Eh, eh! Jangan mati dulu dong plis, hape... hape...! Yah... Mati lagi!" Lara mengguncang-gunca
Lelaki itu menurunkan tubuh Lara yang dibopongnya ke atas lantai yang beralaskan permadani usang. Lara yang begitu ketakutan pun terus menangis, tubuhnya meringsek kebelakang menjauhi laki-laki yang ada dihadapannya itu. "Tolong, tolong jangan sakitin saya, saya mohon," Lirih gadis belia itu dengan suaranya yang bergetar.Lelaki itu tertawa geli, "Nyakitin? Lu tenang aja, sakitnya sebentar doang kok cantik, habis itu lu bakal tau rasanya surga dunia." Pria tersebut menyetuh pipi Lara, spontan Lara pun menghalau dan semakin meringsek mundur. Rasa takut yang ditandai dengan keringat dingin yang bercucuran di dahi Lara membuatnya semakin panik. Ekor matanya bergerak ke sekelilingnya guna mencari celah untuk Lara agar bisa kabur atau setidaknya menghentikan laki-laki gila yang ada di hadapannya ini. Mata Lara akhirnya tertuju pada bingkai usang yang ada di dekatnya. Diambilnya bingkai tersebut, lalu ia lemparkan ke arah laki-laki bermasker hitam itu hingga mengenai pelipisnya. Al
"Kita cari Lara kemana Yah?" tanya Dafa yang sibuk menyetir mobil mengelilingi jalan sambil celingak-celinguk memandang keluar kaca mobil mencari dimana keberadaan adiknya saat ini."Ayah juga nggak tau Daf harus cari kemana, tapi kita tetep harus cari adik kamu. Jujur, perasaan ayah nggak enak kali ini.""Ayah harus tetep berpikiran positif ya." Tiba-tiba ponsel Dafa berdering, ia pun langsung mengangkatnya denganearphone wireless."Ya Halo, kenapa Chika?".."Oh kamu mau bantu cari Lara juga, yaudah kalau gitu kamu cari nanti kalau ada info kamu tolong langsung telfon kakak!"...."Oke, makasih ya Chik!""Itu temen Lara, ada infokah soal Lara?" Tanya Rizal pada putra sulungnya yang habis menerima telepon, berharap ada kabar tentang putrinya."Belum Yah, tapi tadi Chika bilang dia mau bantu cari Lara."Rizal menghela napas. "Semoga Lara baik-baik saja," ungkap Rizal penuh harap. Bagaimana pun sebagai
Lara akhirnya keluar dari kamar mandi setelah selesai berganti pakaian. Lara sengaja dipinjami pakaian oleh Chika karena melihat pakaian seragam dan kardigan yang dikenakannya tadi tampak kotor, dan berantakan."Ini Ra, diminum dulu tehnya." Chika yang menuggu didepan kamar mandi ternyata sudah membawakan secangkir teh hangat untuk untuk diminum oleh Lara agar lebih tenang. "Umー mending minumnya sambil duduk di sofa aja yuk!" Ajak Chika.Setelah duduk Lara pun menyesap secangkir teh yang telah dibawakan oleh temannya itu. "Thanks ya Chik," ungkap Lara setelah menyesap tehnya."Sama-sama."Lara dan Chika kini tengah duduk di sofa, sambil menunggu Ayah dan kakak Lara datang menjemput. Sebagai sahabat dekatnya Chika benar-benar penasaran tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada Lara hingga membuatnya tiba-tiba berjalan sendirian tadi. "Ra, jujur sama gue, sebenernya lo itu kenapa? Dan, kenapa lo bisa ada ditempat itu? Eloー""Gue nggak apa-apa ko
Setibanya dirumah, Lara yang berjalan memasuki rumah dengan didampingi sang ayah langsung dihampiri oleh Hani sang ibu. "Lara..." Lara yang wajahnya terlihat kelelahan pun langsung menyambut pelukan hangat dari wanita yang telah melahirkannya itu."Lara sayang... akhirnya kamu pulang nak." Hani tak kuasa menitikan air matanya saat ini. Melihat putrinya sudah pulang dan berada dalam pelukannya saat ini adalah kebahagiaan yang tak terkira. Hatinya merasa sangat lega setelah mengetahui anaknya sudah kembali bersamanya. Lara pun jadi ikut menitikan air mata, ia tahu ibunya pasti sangatlah khawatir dengannya makanya hingga menangis seperti itu. Tapi disisi lain, hati Lara terasa teriris dan perih. Dari lubuk hatinya yang terdalam ia merasa bersalah pada sang Bunda, dirinya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan bundanya jikalau ia tau penyebab dirinya telat pulang ke rumah hari ini. Padahal baru saja tadi pagi, sang bunda menasihatinya perihal mahkota wanita yang harus
Keesokan paginya Sandra yang sudah rapi mengenakan seragam sekolah datang mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya. "Kakak..., Kak Lara kata Bunda turun yuk buat sarapan. Kak Lara... helow...! Denger aku nggak sih? Apa masih tidur?" Sandra berkali-kali mengetuk pintu kamar Lara namun tidak ada jawaban apapun dari kakaknya. "Apa kakak jangan-jangan masih tidur ya?" Sandra pun akhirnya berhenti mengetuk kamar sang kakak. Ia berpikir jikalau sang kakak masih tidur jadinya ia pun memilih untuk tidak mengganggunya. Saat hendak berbalik badan meninggalkan kamar Lara, Sandra malah dibuat kaget dengan kedatangan bundanya yang tiba-tiba sudah berada berdiri dibelakangnya. "Astaga Bunda, bikin kaget Sandra aja!""Habisnya kamu Bunda suruh panggilin Kak Lara turun lama banget, jadinya Bunda ke atas sendiri aja buat mastiin. Terus kok kamu masih disini sih? Kak Lara mana?"Sandra menolehkan kepalanya ke arah kamar Lara nengisyaratkan kalau kakaknya masih belum keluar. "Tadi udah Sandr
Di sekolah, Chika yang baru saja tiba di kelas langsung meletakan tas di atas mejanya dan berjalan menghampiri Tara yang seperti biasa pagi-pagi sudah sibuk membaca novel. "Tara...!" Pungkas Chika menegur Tara agar tidak fokus ke novelnya terus melainkan fokus padanya. Dan cukup berhasil, Tara akhirnya menutup novelnya dan menghiraukan Chika. "Kenapa si lo Chik? Masih pagi muka lo udah kayak orang nggak semangat gitu.""Emang kelihatannya muka gue gitu ya Tar?"Tara mengangguk mengiyakan. "Emang lagi kenapa sih... Chika si selebgram sekolah kita ini? Cerita sama gue.""Nggak ada apa-apa.""Ck! Yaudah kalo nggak mau cerita. Eh tapi tunggu," Tara mengangkat tangan kanannya dan melihat ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Bentar lagi bel masuk kelas bunyi, kok gue belum lihat Lara ya?""Eh jadi lo belum tau?" ujar Ch
Lara begitu sedih dan hamcur, tak hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri dengan semua yang terjadi. "Gue gagal, gue udah gagal jadi anak, gue udah ngecewain Bunda!" Lara melihat ke arah cermin memandangi dirinya yang tampak menyedihkan. Bahkan kata menyedihkan mungkin belum cukup untuk menggambarkan atas betapa nista nestapa yang ia alami saat ini. "Ini semua gara-gara lo dasar cowok brengsek! Biadab!" Maki Lara kemudian dengan marah melempari cermin itu dengan berbagi botol parfumnya.***Hani yang kini masih duduk diatas ranjang untuk menenangkan diri seolah masih syok dan tak percaya mengetahui kenyataan yang terjadi pada putrinya. Bayi cantik yang ia lahirkan dan ia besarkan dan ia jaga dengan penuh cinta dan kasih sayang, nyatanya malah harus mengalami tragedi menyedihkan itu. "Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa aku harus terus menyembunyikannya. Tapi bagaimanapun hal ini tidak bisa terus disembunyikan." Sejatinya Lar
Lara pun pulang ke rumah, dengan tubuh kelelahan mata agak sembab ia berjalan memasuki gerbang rumahnya. Lara sempat berpikir apa mungkin salah satu temannya atau gurunya menghubungi sang bunda terkait dirinya tidak masuk hari ini? Tapi siapa peduli saat ini Lara hanya ingin segera masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri. Setelah melepas sepatu dan cuci tangan Lara langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya.Namun saat dirinya ingin masuk kamar ia malah justru dikagetkan dengan penampakan sang Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan memasang wajah serius."Huh? Kok ada Bunda ya apa jangan-jangan Bunda udah tau kalau hari ini aku nggak masuk," ucapnya dalam hati. "Bu- bunda ngapain di depan kamar Lara?"Hani tak menjawab pertanyaan Lara, ia langsung meminta Lara masuk ke kamar bersama dengan dirinya."Ada apa sih Bun? Kok kayaknya muka Bunda serius banget."
Di jalan Lara terus kepikiran tentang kenyataan jika dirinya saat ini tengah mengandung. Sungguh hal tak pernah terpikirkan oleh Lara setidaknya dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mengandung di umurnya yang masih tijuh belas tahun."Udah sampe Dek," ucap driver taksi online, namun sepertinya Lara yang masih melamun tak mendengarnya. "Dek, dek udah sampe sekolah.""Eh iya udah sampe, sorry ya Pak saya nggak tau.""Iya Dek nggak apa-apa."Lara pun akhirnya turun dari taksi online tersebut. Ia melihat gerbang sekolah yang membentang di hadapannya, baginya kini memasuki gerbang sekolah terasa mengerikan sekali ribuan pertanyaan menghantui isi kepala Lara. Gimana kalau orang-orang disekolah tau gue hamil? Gimana kalo gue terpaksa dikeluarin dari sekolah karna hamil? Gimana kalo gue nggak bisa lulus karena hamil? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh membuatnya
Setibanya di rumah Lara langsung pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Gadis itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan hatinya yang berdetak kencang. Lara mengeluarkan alat tes kehamilan yang dibelinya tadi dari dalam tasnya. Takut! Hal itu yang dirasakan oleh Lara, namun ia tetap harus melakukannya. Dengan tekat yang kuat ia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat selesai melakukan test dengan urinnya, Lara masih belum berani untuk melihat hasilnya. Dirinya belum siap jika hasilnya benar-benar positif kalau dirinya hamil. Ya Tuhan aku takut, apa aku bisa kuat nerima kenyataan kalau beneran aku hamil. Sadar tidak bisa terus terkurung dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Lara pada akhirnya memberanikan diri untuk mengetahui hasilnya. Ia mengangkat alat kehamilan tersebut ke hadapan matanya, perlahan Lara membuka matanya. "Du- dua garis?" Seketika tubuhnya lemas dan Lara pun jatuh terkulai diatas lantai sambil ma
Di sekolah Lara terlihat tengah berada di kantin bersama kedua sahabatnya Chika da Tara. Ia terlihat tengah menyantap semangkuk bakso dengan lahapnya, saking lahapnya sampai-sampai kedua temannya itu dibuat menelan ludah. "Lara, lo kelaperan ya?" Ujar Chika yang bahkan sampai merasa sudah merasa kenyang duluan dengan hanya melihat Lara makan."Iya Ra, lo tumben banget deh makan selahap itu, biasanya lo kan yang paling lama makannya diantara kita bertiga," imbuh Tara.Lara kemudian menelan makanan dimulutnya, "Masa sih?""Lah lo emang nggak ngerasa?"Lara hanya menggeleng sambil terus melanjutkan makannya. Lara sepertinya memang tidak sadar kalau akhir-akhir ini nafsu makannya sangat tinggi.Setelah beberapa saat mereka bertiga pun selesai menghabiskan makan siang mereka, dengan Lara yang tanpa sadar hari ini makan dua porsi bakso."Gila lo Ra, hari ini lo mukbang keknya ya?" Ledek Chika mengetahui Lara makan bakso sampai dua mangkuk. Lara pu
"Lara!" Bunda mengetuk dan memanggil Lara dari luar kamarnya. Mendengar sang ibu datang, Lara yang menangis pun segera mengusap air matanya dan membukakan pintu sang ibu."Eh Bunda, kenapa?"Bunda memperhatikan Lara sejenak lalu bertanya, "kamu baik-baik aja kan sayang? Soalnya tadi Bunda lihat muka kamu tiba-tiba pucet terus pergi ke kamar.""Lara baik-baik aja kok Bun," jawab Lara yang tidak ingin sang ibu mengkhawatirkannya.Tapi sayang, sepertinya sang ibu tidak yakin dengan perkataan putrinya itu. Ia justru terlihat memicingkan matanya sambil memperhatikan mata Lara yang nampak sembab. "Kamu habis nangis ya?""Eh- Um— ini aku enggak nangis kok, cuma habis lihat trailer drama yang sedih banget aja makanya nangis deh, hehe...""Yakin kamu?" Bunda meraba kening dan leher Lara memastikan kalau putrinya itu tidak demam atau sejenisnya."Yakin kok Bund, percaya deh sama Lara."Hani menghela napas, sejujurnya ia tidak perca
Lara kembali ke rumah dengan keadaan lesu. Ia berjalan menuju ke kamarnya dan tak lama sang bunda muncul lalu menghampirinya. "Loh Kak, kok kamu udah pulang?"Lara melihat ke arah bundanya dan tersenyum kecil. "Lara tiba-tiba masuk angin Bund, makanya Lara pulang.""Tuhkan, kamu sih Bunda bilangin tadi sarapan dulu malah ngeyel, gini kan jadinya. Nggak nurut sih dikasih tau sama orang tua," omel Bunda ikuti rasa cemas."Maaf Bun, yaudah kalo gitu Lara istirahat di kamar dulu ya.""Yaudah, nanti Bunda bawain makanan ke kamar kamu ya."**Selang beberapa saat akhirnya Bunda pun datang ke kamar Lara sambil membawakannya semangkuk bubur.Tok Tok!Lara beranjak lalu membukakan pintu."Nak ini Bunda buatin bubur, kamu makan ya...," pinta sang Bunda pada putrinya itu.Melihat bubur tersebut entah kenapa Lara jadi merasa sangat lapar. Bunda pun meletakan nampan makanan itu diatas nakas, dan meminta Lara agar segera memaka
Waktu terus berjalan, hari-hari pun dilewati Lara pasca dirinya putus dengan Gilang tiga minggu lalu. Sejauh ini berjalan cukup baik, Lara menjalani kehidupan di sekolah dengan normal dan dihabiskan dengan banyak ke perpustakaan dibanding ngobrol bersama sahabatnya. Bahkan saat jam istirahatpun Lara lebih sering ke perpustakaan dibanding kantin. Hingga lama kelamaan kedua sahabatnya Chika dan Tara merasa Lara agak berubah, dia tidak seceria dulu dan lebih sendiri. Akhirnya mereka berdua pun berencana mengajak Lara nongkrong di kafe sepulang sekolah.KRING...! Jam belajar pun usai, guru pengajar pun keluar kelas diikuti murid-murid yang keluar kelas silih berganti. Lara yang masih terlihat membereskan tasnya pun dihampiri oleh Chika. "Ra!""Eh iya kenapa Chik, belom balik lo?" Tanya Lara sambil terus membereskan buku-bukunya ke dalam tas."Um, kita nongki dulu yuk ke kafe biasa sebelum balik? Tara punya voucher potongan harga loh kan lumayan."Sayangnya La
Percakapan Gilang dan Lara berakhir dengan akhir yang tidak baik bagi Gilang, laki-laki itu sungguh masih menyimpan rasa cinta dan harapan untuk bisa kembali dengan Lara, tapi semuanya sudah terlambat, hubungan Lara dan Gilang pada akhirnya harus kandas. Ketika kesedihan menyelimuti Gilang, hal berbeda justru dirasa oleh Cindy yang diam-diam ternyata menguntit percakapan Lara dan Gilang. Cindy yang ditemani sabahatnya Inez tampak senang sekali melihat Gilang yang telah putus dari Lara. Bahkan tak segan ia menampilkan senyum penuh kemenangan."Cin, jadi Gilang beneran udah putus sama Lara?" Tanya Inez yang juga agak belum percaya semua ini."Ya lo bisa lihat sendiri kan?" Cindy terkekeh senang. "Akhirnya, tanpa harus capek-capek cari cara misahin Gilang dari si cewek munafik itu, mereka putus juga.""Tapi Cin, lihat deh tuh... Kayaknya yang sedih banget malah si Gilang." Inez merujuk ekspresi Gilang yang dilihatnya dari jauh."Apaan sih! Lihat aja nanti pa