Lelaki itu menurunkan tubuh Lara yang dibopongnya ke atas lantai yang beralaskan permadani usang. Lara yang begitu ketakutan pun terus menangis, tubuhnya meringsek kebelakang menjauhi laki-laki yang ada dihadapannya itu. "Tolong, tolong jangan sakitin saya, saya mohon," Lirih gadis belia itu dengan suaranya yang bergetar.
Lelaki itu tertawa geli, "Nyakitin? Lu tenang aja, sakitnya sebentar doang kok cantik, habis itu lu bakal tau rasanya surga dunia." Pria tersebut menyetuh pipi Lara, spontan Lara pun menghalau dan semakin meringsek mundur. Rasa takut yang ditandai dengan keringat dingin yang bercucuran di dahi Lara membuatnya semakin panik. Ekor matanya bergerak ke sekelilingnya guna mencari celah untuk Lara agar bisa kabur atau setidaknya menghentikan laki-laki gila yang ada di hadapannya ini. Mata Lara akhirnya tertuju pada bingkai usang yang ada di dekatnya. Diambilnya bingkai tersebut, lalu ia lemparkan ke arah laki-laki bermasker hitam itu hingga mengenai pelipisnya. Alhasil goresan luka pun muncul di pelipis laki-laki itu. Tapi sayangnya, usaha Lara sepertinya sia-sia, karena san lelaki sama sekali tidak mundur atau berhenti. Pria itu justru berubah semakin mengerikan dan ganas. Pria itu tertawa sambil mengusap darah yang keluar dari pelipisnya yang terluka. "Lu pikir luka receh kayak gini bakal bikin gua tumbang dan lepasin elu? Nggak semudah itu sayang. Lu harus bayar semua yang udah elu perbuat ke gua!"
Lara agaknya bingung dengan ucapan si pria. "Maksud kamu apa, salah saya apa sama kamu, huh?!"
Laki-laki itu lagi-lagi tertawa dengan nada mengejek. "Lu bakal tau nanti. Yang penting sekarang elu ikutin aja mau gua!" Lelaki itu semakin mendekati Lara hingga dirinya tak lagi memiliki celah ruang untuk bergerak. Dirinya disergap, dan Lara pun kini berada didalam genggaman sang pria gila. Lara yang meronta-ronta terus memohon agar dirinya dilepaskan. Namun sayang, iblis sepertinya sudah terlanjur merasuki diri pria bertubuh tegap itu. Laki-laki yang tubuhnya tercium sedikit aroma alkohol itu mengekang pergerakan Lara. Tentu saja Lara semakin sulit untuk berontak dikarenakan tubuhnya kalah jauh dibanding si lelaki baik dari segi postur dan kekuatan. Lara kali ini hanya bisa terus menangis dan berteriak, ia kerap memberontak mencoba melepaskan diri meski seolah mustahil karena hampir seluruh pergerakan tubuhnya telah dikunci oleh laki-laki brengsek itu. "Laki-laki biadab! Lepasin saya!"
"Gua biadab? Heh, gua malah bakal bikin elu tau rasanya di surga tolol!"
"Lepasin saya, saya mohon... saya minta maaf, tolong!" Air mata Lara bercucuran, suaranya pun hampir habis karena tenggorokannya semakin kering.
"Lu, malem ini milik gua!" Ujar sang pria yang kemudian membuka maskernya. Seketika mata Lara pun langsung terbelalak lebar kala dirinya akhirnya melihat jelas wajah pria yang kini mengusai tubuhnya itu. "Kamu!" Emosi Lara kian memuncak dengan suara serak ia langsung memaki laki-laki itu. "Laki-laki brengsek! Kenapa lu lakuin ini sama gue? Biadab jahanamー" Belum selesai memaki, teriakan Lara malah dibungkam laki-laki itu dengan sebuah ciuman paksa yang begitu liar. Lara yang seumur hidupnya tidak pernah berciuman bahkan dengan Gilang sekalipun kaget, ia mencoba melawannya namun dengan entah bagaimana caranya lelaki itu seolah mengambil alih semuanya. Tubuh Lara mulai kelelahan hingga sulit untuk bisa melawan. Lelaki itu pun mulai menggerayangi seluruh area tubuh Lara dengan tangan bibirnya hingga pada akhirnya semua tragedi menyedihkan itu terjadi. Mahkota yang sejatinya Lara jaga untuk suaminya kelak, justru direnggut paksa dengan cara yang begitu hina.
**
Di kediamannya Rizal mondar mandir, wajahnya tampak gelisah dan was was. Khawatir tatkala ia melihat jam dinding menunjukan pukul sebelas malam namun putrinya tak kunjung kembali kerumah.
"Gimana Bun, udah telepon temen-temenn Lara?" Tanya Ayah pada Bunda yang baru saja selesai telepon.
"Udah Yah, tapi kata temen-temennya, Lara sejak pulang sekolah ya ke tempat bimbingan belajar. Bunda juga udah telepon guru bimbelnya tapi katanya udah pulang sejak jam delapan. Ayah, bunda takut banget terjadi hal buruk sama Lara!"
"Bunda, bunda harus tetap tenang ya."
"Ayah, Bunda, gimana, Lara udah ketemu?" Tanya Dafa yang baru saja pulang setelah dikabari kalau adiknya itu belum juga pulang.
"Maafin Dafa ya, gara-gara Dafa nggak bisa jemput Lara, jadinya gini."
"Udah Dafa jangan salahin diri kamu, mendingan sekarang Ayah sama Dafa cepet cari Lara ya, Bunda khawatir banget soalnya," pinta Hani yang semakin khawatir dengan keadaan putrinya.
"Yaudah kalo gitu ayah sama Dafa cari Lara, Bunda dirumah terus pantau hape ya..." Ucap Ayah yang kemudian segera pergi bersama Dafa mencari Lara.
"Lara... semoga kamu baik-baik aja ya Nak," lirih Bu Hani dengn mata berkaca-kaca.
Sandra yang ternyata berdiri sejak tadi menguping di dekat tangga, ikut mencemaskan kakak perempuannya itu. "Kak Lara... Kakak dimana sekarang? Kakak cepet pulang dong, Sandra kangen."
**
Lara terkulai lemas diatas lantai, tubuhnya seperti tidak lagi memiliki tenaga. Sambil memegangi bagian bawah perutnya yang sakit dan nyeri, air mata itu jatuh berlinang di wajah cantiknya yang kini tampak begitu kelelahan. Laki-laki itu kembali mengenakan jaketnya, ia tertawa dengan penuh kepuasan memandangi Lara yang kini hanya menangis dan tampak tak berdaya. "Ngapain lu nangis! Kan gue dah ajak lu ke surga dunia, ngapain lu nangis! Kalo nggak mau sakit makanya nurut aja apa kata gua!"
Mata gadis itu menajam menatap dengan penuh rasa jijik dan marah. "Laki-laki bangsat! Apa salah gue sama lo!"
Lelaki itu tersenyum simpul ia mendekatkan wajahnya ke wajah Lara, mendongakan kepala gadis itu dengan mencubit dagu sang gadis dengan jemarinya. "Lu lupa, apa pura-pura lupa? Eh cewek bangsat! Lu nggak inget apa yang udah lu lakuin ke gua di salah satu kafe waktu itu, huh? Lu itu udah bikin gua malu di depan banyak orang dan lu ngerasa nggak bersalah?!" Andra melepaskan tangannya dari dagu Lara dengan kasar.
"Lu itu bukan manusia, lu itu iblis! Elo ngelakuin ini ke gue hanya karena lu dendam masalah kejadian kayak gitu. Dasar iblis!"
Andra berteriak dihadapan Lara "Berisik! Buat gue, siapapun orang yang udah bikin harga diri gua jatuh atau mengusik gua itu tandanya dia harus hancur, dan lo salah satu yang harus gua ancurin!" Andra memebelai pipi Lara namun Lara langsung mengahalau jijik. "Lu itu cantik, manis dan gue suka itu, andai waktu itu elu nggak belagu sama gua mungkin gua nggak bakal lakuin hal ini ke elu. Tapi sayang, lu itu cewek nggak tau diri, lu permaluin gua dengan keangkuhan lu di depan banyak orang waktu itu, dan gua nggak terima itu, jadi lu terima aja pembalasan gua!"
Lara terus menangis sambil menahan nyeri di sekujur tubuhnya. Ia ingin sekali memaki Andra bahkan meninju wajah pria itu tapi tubuhnya terlalu lelah saat ini. "Laki-laki bajingan, kamu pasti bakal dapet karma!" Ujarnya dengan suara serak.
Pria itu tertawa mengejek "Karma? Cih, persetan sama karma!"
Andra mendekati Lara dan kembali mencium bibir gadis itu dengan singkat. "Thanks buat malam yang indah ini ya sayang, someday kalo kita ketemu lagi..." Andra terdiam sejenak. "Ah udahlah, gue yakin kita juga nggak bakal ketemu lagi. Gue pergi duluan ya baby... ciao!" Andra akhirnya pergi meninggalkan Lara sendirian di pavilium tua itu. Sungguh malam yang mengerikan, semua keindahan yang telah disimpan dengan baik sebagai bekal memori dimasa depan semua hancur dalam satu malam.
🥀🥀🥀
"Kita cari Lara kemana Yah?" tanya Dafa yang sibuk menyetir mobil mengelilingi jalan sambil celingak-celinguk memandang keluar kaca mobil mencari dimana keberadaan adiknya saat ini."Ayah juga nggak tau Daf harus cari kemana, tapi kita tetep harus cari adik kamu. Jujur, perasaan ayah nggak enak kali ini.""Ayah harus tetep berpikiran positif ya." Tiba-tiba ponsel Dafa berdering, ia pun langsung mengangkatnya denganearphone wireless."Ya Halo, kenapa Chika?".."Oh kamu mau bantu cari Lara juga, yaudah kalau gitu kamu cari nanti kalau ada info kamu tolong langsung telfon kakak!"...."Oke, makasih ya Chik!""Itu temen Lara, ada infokah soal Lara?" Tanya Rizal pada putra sulungnya yang habis menerima telepon, berharap ada kabar tentang putrinya."Belum Yah, tapi tadi Chika bilang dia mau bantu cari Lara."Rizal menghela napas. "Semoga Lara baik-baik saja," ungkap Rizal penuh harap. Bagaimana pun sebagai
Lara akhirnya keluar dari kamar mandi setelah selesai berganti pakaian. Lara sengaja dipinjami pakaian oleh Chika karena melihat pakaian seragam dan kardigan yang dikenakannya tadi tampak kotor, dan berantakan."Ini Ra, diminum dulu tehnya." Chika yang menuggu didepan kamar mandi ternyata sudah membawakan secangkir teh hangat untuk untuk diminum oleh Lara agar lebih tenang. "Umー mending minumnya sambil duduk di sofa aja yuk!" Ajak Chika.Setelah duduk Lara pun menyesap secangkir teh yang telah dibawakan oleh temannya itu. "Thanks ya Chik," ungkap Lara setelah menyesap tehnya."Sama-sama."Lara dan Chika kini tengah duduk di sofa, sambil menunggu Ayah dan kakak Lara datang menjemput. Sebagai sahabat dekatnya Chika benar-benar penasaran tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada Lara hingga membuatnya tiba-tiba berjalan sendirian tadi. "Ra, jujur sama gue, sebenernya lo itu kenapa? Dan, kenapa lo bisa ada ditempat itu? Eloー""Gue nggak apa-apa ko
Setibanya dirumah, Lara yang berjalan memasuki rumah dengan didampingi sang ayah langsung dihampiri oleh Hani sang ibu. "Lara..." Lara yang wajahnya terlihat kelelahan pun langsung menyambut pelukan hangat dari wanita yang telah melahirkannya itu."Lara sayang... akhirnya kamu pulang nak." Hani tak kuasa menitikan air matanya saat ini. Melihat putrinya sudah pulang dan berada dalam pelukannya saat ini adalah kebahagiaan yang tak terkira. Hatinya merasa sangat lega setelah mengetahui anaknya sudah kembali bersamanya. Lara pun jadi ikut menitikan air mata, ia tahu ibunya pasti sangatlah khawatir dengannya makanya hingga menangis seperti itu. Tapi disisi lain, hati Lara terasa teriris dan perih. Dari lubuk hatinya yang terdalam ia merasa bersalah pada sang Bunda, dirinya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan bundanya jikalau ia tau penyebab dirinya telat pulang ke rumah hari ini. Padahal baru saja tadi pagi, sang bunda menasihatinya perihal mahkota wanita yang harus
Keesokan paginya Sandra yang sudah rapi mengenakan seragam sekolah datang mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya. "Kakak..., Kak Lara kata Bunda turun yuk buat sarapan. Kak Lara... helow...! Denger aku nggak sih? Apa masih tidur?" Sandra berkali-kali mengetuk pintu kamar Lara namun tidak ada jawaban apapun dari kakaknya. "Apa kakak jangan-jangan masih tidur ya?" Sandra pun akhirnya berhenti mengetuk kamar sang kakak. Ia berpikir jikalau sang kakak masih tidur jadinya ia pun memilih untuk tidak mengganggunya. Saat hendak berbalik badan meninggalkan kamar Lara, Sandra malah dibuat kaget dengan kedatangan bundanya yang tiba-tiba sudah berada berdiri dibelakangnya. "Astaga Bunda, bikin kaget Sandra aja!""Habisnya kamu Bunda suruh panggilin Kak Lara turun lama banget, jadinya Bunda ke atas sendiri aja buat mastiin. Terus kok kamu masih disini sih? Kak Lara mana?"Sandra menolehkan kepalanya ke arah kamar Lara nengisyaratkan kalau kakaknya masih belum keluar. "Tadi udah Sandr
Di sekolah, Chika yang baru saja tiba di kelas langsung meletakan tas di atas mejanya dan berjalan menghampiri Tara yang seperti biasa pagi-pagi sudah sibuk membaca novel. "Tara...!" Pungkas Chika menegur Tara agar tidak fokus ke novelnya terus melainkan fokus padanya. Dan cukup berhasil, Tara akhirnya menutup novelnya dan menghiraukan Chika. "Kenapa si lo Chik? Masih pagi muka lo udah kayak orang nggak semangat gitu.""Emang kelihatannya muka gue gitu ya Tar?"Tara mengangguk mengiyakan. "Emang lagi kenapa sih... Chika si selebgram sekolah kita ini? Cerita sama gue.""Nggak ada apa-apa.""Ck! Yaudah kalo nggak mau cerita. Eh tapi tunggu," Tara mengangkat tangan kanannya dan melihat ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Bentar lagi bel masuk kelas bunyi, kok gue belum lihat Lara ya?""Eh jadi lo belum tau?" ujar Ch
Di kamarnya Lara yang baru saja pulang dari rumah sakit tampak hanya berselonjor di atas ranjangnya sambil terus memandangi ponselnya yang ada di atas nakas. Sudah sejak kemarin ponsel Lara tidak aktif karena habis baterai, dan sampai saat ini belum juga dicharge. Lara terlihat murung memandangi ponselnya itu. Dirinya tengah berpikir pasti banyak pesan dan panggilan yang masuk. "Huft...!" Lara menghela napas seolah melepaskan beban berat yang ada dipikirannya saat ini. Tapi pada akhirnya Lara pun meraih ponselnya itu. Tak lama kemudian tiba-tiba saja Hani datang membawakan makan siang untuk Lara. "Kak ayok makan dulu, abis itu minum obatnya," ucap sang Bunda yang ditangannya sudah membawa nampan berisi makanan. Lara mengangguk pelan menanggapi perkataan sang ibu. "Kamu mau telepon siapa?" Tanya Bunda melihat Lara mengenggam ponsel. "Oh, enggak kok Bunda, Lara cuma mau nge 
Andra dan kawan-kawannya terlihat bersenang-senang di salah satu bar paling terkenal di kota. Muda mudi itu nampakanya telah berbaur dalam hingar bingar gemerlap pesta dunia malam di kota metropolitan. Menari, minum, hingga bahkan saling bercumbu mesra semua aktifitas itu terekam jelas disana tanpa sekat. Tentu saja Andra sendiri yang malam ini menjadi rajanya disana. Lelaki yang mengenakan jaket hitam kulit itu tampak duduk di depan meja bar menikmati minuman racikan bartender yang sangat disukainya. "Bro!" Ogy menepuk pundak Andra dan ikut duduk disebelahnya. "Gy, lu mau minum apa? Pesen aja sesuka lu bebas!" Ogy pun langsung memesan segelas cocktail pada bartender. Sambil menunggu pesanan minumannya jadi, Ogy yang sejatinya masih penasaran dengan Andra yang terlihat begitu senang hari ini pun kembali bertanya. "Andra, lu sebenernya habis menang apa sih? 
Andra mengajak Ogy keluar bar, mereka memilih basement sebagai tempat untuk bicara. "So, sebenernya ada apa?" Tanpa basa-basi Ogy langsungto the pointmenanyakan apa yang ingin ia tanyakan. Andra tampak menarik napas lalu menghembuskannya. Lelaki itu memasukkan kedua tangannya kedalam saku celanannya dan berdiri bersandar pada sisi kap mobil. "Lu bener mau denger?" Tanya Andra memastikan. "Kayak bukan elu banget bertele-tele gitu Ndra!" Andra tersenyum miring. "Oke! Kalau gitu gue tanya sama lu. Lu masih ingetkan sama cewek SMA yang kita lihat di kafe beberapa hari lalu?" "Cewek, di kafe?" Ogy mengerutkan keningnya mencoba mengingat. "Oh... maksud lu cewek yang nyiram lu pake kopi tempo hari? Oke, oke gue inget. Emangnya ada apa sama dia, lu masih dendam sama tuh cewek?"
Lara begitu sedih dan hamcur, tak hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri dengan semua yang terjadi. "Gue gagal, gue udah gagal jadi anak, gue udah ngecewain Bunda!" Lara melihat ke arah cermin memandangi dirinya yang tampak menyedihkan. Bahkan kata menyedihkan mungkin belum cukup untuk menggambarkan atas betapa nista nestapa yang ia alami saat ini. "Ini semua gara-gara lo dasar cowok brengsek! Biadab!" Maki Lara kemudian dengan marah melempari cermin itu dengan berbagi botol parfumnya.***Hani yang kini masih duduk diatas ranjang untuk menenangkan diri seolah masih syok dan tak percaya mengetahui kenyataan yang terjadi pada putrinya. Bayi cantik yang ia lahirkan dan ia besarkan dan ia jaga dengan penuh cinta dan kasih sayang, nyatanya malah harus mengalami tragedi menyedihkan itu. "Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa aku harus terus menyembunyikannya. Tapi bagaimanapun hal ini tidak bisa terus disembunyikan." Sejatinya Lar
Lara pun pulang ke rumah, dengan tubuh kelelahan mata agak sembab ia berjalan memasuki gerbang rumahnya. Lara sempat berpikir apa mungkin salah satu temannya atau gurunya menghubungi sang bunda terkait dirinya tidak masuk hari ini? Tapi siapa peduli saat ini Lara hanya ingin segera masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri. Setelah melepas sepatu dan cuci tangan Lara langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya.Namun saat dirinya ingin masuk kamar ia malah justru dikagetkan dengan penampakan sang Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan memasang wajah serius."Huh? Kok ada Bunda ya apa jangan-jangan Bunda udah tau kalau hari ini aku nggak masuk," ucapnya dalam hati. "Bu- bunda ngapain di depan kamar Lara?"Hani tak menjawab pertanyaan Lara, ia langsung meminta Lara masuk ke kamar bersama dengan dirinya."Ada apa sih Bun? Kok kayaknya muka Bunda serius banget."
Di jalan Lara terus kepikiran tentang kenyataan jika dirinya saat ini tengah mengandung. Sungguh hal tak pernah terpikirkan oleh Lara setidaknya dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mengandung di umurnya yang masih tijuh belas tahun."Udah sampe Dek," ucap driver taksi online, namun sepertinya Lara yang masih melamun tak mendengarnya. "Dek, dek udah sampe sekolah.""Eh iya udah sampe, sorry ya Pak saya nggak tau.""Iya Dek nggak apa-apa."Lara pun akhirnya turun dari taksi online tersebut. Ia melihat gerbang sekolah yang membentang di hadapannya, baginya kini memasuki gerbang sekolah terasa mengerikan sekali ribuan pertanyaan menghantui isi kepala Lara. Gimana kalau orang-orang disekolah tau gue hamil? Gimana kalo gue terpaksa dikeluarin dari sekolah karna hamil? Gimana kalo gue nggak bisa lulus karena hamil? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh membuatnya
Setibanya di rumah Lara langsung pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Gadis itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan hatinya yang berdetak kencang. Lara mengeluarkan alat tes kehamilan yang dibelinya tadi dari dalam tasnya. Takut! Hal itu yang dirasakan oleh Lara, namun ia tetap harus melakukannya. Dengan tekat yang kuat ia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat selesai melakukan test dengan urinnya, Lara masih belum berani untuk melihat hasilnya. Dirinya belum siap jika hasilnya benar-benar positif kalau dirinya hamil. Ya Tuhan aku takut, apa aku bisa kuat nerima kenyataan kalau beneran aku hamil. Sadar tidak bisa terus terkurung dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Lara pada akhirnya memberanikan diri untuk mengetahui hasilnya. Ia mengangkat alat kehamilan tersebut ke hadapan matanya, perlahan Lara membuka matanya. "Du- dua garis?" Seketika tubuhnya lemas dan Lara pun jatuh terkulai diatas lantai sambil ma
Di sekolah Lara terlihat tengah berada di kantin bersama kedua sahabatnya Chika da Tara. Ia terlihat tengah menyantap semangkuk bakso dengan lahapnya, saking lahapnya sampai-sampai kedua temannya itu dibuat menelan ludah. "Lara, lo kelaperan ya?" Ujar Chika yang bahkan sampai merasa sudah merasa kenyang duluan dengan hanya melihat Lara makan."Iya Ra, lo tumben banget deh makan selahap itu, biasanya lo kan yang paling lama makannya diantara kita bertiga," imbuh Tara.Lara kemudian menelan makanan dimulutnya, "Masa sih?""Lah lo emang nggak ngerasa?"Lara hanya menggeleng sambil terus melanjutkan makannya. Lara sepertinya memang tidak sadar kalau akhir-akhir ini nafsu makannya sangat tinggi.Setelah beberapa saat mereka bertiga pun selesai menghabiskan makan siang mereka, dengan Lara yang tanpa sadar hari ini makan dua porsi bakso."Gila lo Ra, hari ini lo mukbang keknya ya?" Ledek Chika mengetahui Lara makan bakso sampai dua mangkuk. Lara pu
"Lara!" Bunda mengetuk dan memanggil Lara dari luar kamarnya. Mendengar sang ibu datang, Lara yang menangis pun segera mengusap air matanya dan membukakan pintu sang ibu."Eh Bunda, kenapa?"Bunda memperhatikan Lara sejenak lalu bertanya, "kamu baik-baik aja kan sayang? Soalnya tadi Bunda lihat muka kamu tiba-tiba pucet terus pergi ke kamar.""Lara baik-baik aja kok Bun," jawab Lara yang tidak ingin sang ibu mengkhawatirkannya.Tapi sayang, sepertinya sang ibu tidak yakin dengan perkataan putrinya itu. Ia justru terlihat memicingkan matanya sambil memperhatikan mata Lara yang nampak sembab. "Kamu habis nangis ya?""Eh- Um— ini aku enggak nangis kok, cuma habis lihat trailer drama yang sedih banget aja makanya nangis deh, hehe...""Yakin kamu?" Bunda meraba kening dan leher Lara memastikan kalau putrinya itu tidak demam atau sejenisnya."Yakin kok Bund, percaya deh sama Lara."Hani menghela napas, sejujurnya ia tidak perca
Lara kembali ke rumah dengan keadaan lesu. Ia berjalan menuju ke kamarnya dan tak lama sang bunda muncul lalu menghampirinya. "Loh Kak, kok kamu udah pulang?"Lara melihat ke arah bundanya dan tersenyum kecil. "Lara tiba-tiba masuk angin Bund, makanya Lara pulang.""Tuhkan, kamu sih Bunda bilangin tadi sarapan dulu malah ngeyel, gini kan jadinya. Nggak nurut sih dikasih tau sama orang tua," omel Bunda ikuti rasa cemas."Maaf Bun, yaudah kalo gitu Lara istirahat di kamar dulu ya.""Yaudah, nanti Bunda bawain makanan ke kamar kamu ya."**Selang beberapa saat akhirnya Bunda pun datang ke kamar Lara sambil membawakannya semangkuk bubur.Tok Tok!Lara beranjak lalu membukakan pintu."Nak ini Bunda buatin bubur, kamu makan ya...," pinta sang Bunda pada putrinya itu.Melihat bubur tersebut entah kenapa Lara jadi merasa sangat lapar. Bunda pun meletakan nampan makanan itu diatas nakas, dan meminta Lara agar segera memaka
Waktu terus berjalan, hari-hari pun dilewati Lara pasca dirinya putus dengan Gilang tiga minggu lalu. Sejauh ini berjalan cukup baik, Lara menjalani kehidupan di sekolah dengan normal dan dihabiskan dengan banyak ke perpustakaan dibanding ngobrol bersama sahabatnya. Bahkan saat jam istirahatpun Lara lebih sering ke perpustakaan dibanding kantin. Hingga lama kelamaan kedua sahabatnya Chika dan Tara merasa Lara agak berubah, dia tidak seceria dulu dan lebih sendiri. Akhirnya mereka berdua pun berencana mengajak Lara nongkrong di kafe sepulang sekolah.KRING...! Jam belajar pun usai, guru pengajar pun keluar kelas diikuti murid-murid yang keluar kelas silih berganti. Lara yang masih terlihat membereskan tasnya pun dihampiri oleh Chika. "Ra!""Eh iya kenapa Chik, belom balik lo?" Tanya Lara sambil terus membereskan buku-bukunya ke dalam tas."Um, kita nongki dulu yuk ke kafe biasa sebelum balik? Tara punya voucher potongan harga loh kan lumayan."Sayangnya La
Percakapan Gilang dan Lara berakhir dengan akhir yang tidak baik bagi Gilang, laki-laki itu sungguh masih menyimpan rasa cinta dan harapan untuk bisa kembali dengan Lara, tapi semuanya sudah terlambat, hubungan Lara dan Gilang pada akhirnya harus kandas. Ketika kesedihan menyelimuti Gilang, hal berbeda justru dirasa oleh Cindy yang diam-diam ternyata menguntit percakapan Lara dan Gilang. Cindy yang ditemani sabahatnya Inez tampak senang sekali melihat Gilang yang telah putus dari Lara. Bahkan tak segan ia menampilkan senyum penuh kemenangan."Cin, jadi Gilang beneran udah putus sama Lara?" Tanya Inez yang juga agak belum percaya semua ini."Ya lo bisa lihat sendiri kan?" Cindy terkekeh senang. "Akhirnya, tanpa harus capek-capek cari cara misahin Gilang dari si cewek munafik itu, mereka putus juga.""Tapi Cin, lihat deh tuh... Kayaknya yang sedih banget malah si Gilang." Inez merujuk ekspresi Gilang yang dilihatnya dari jauh."Apaan sih! Lihat aja nanti pa