Setibanya di rumah Lara langsung pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Gadis itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan hatinya yang berdetak kencang. Lara mengeluarkan alat tes kehamilan yang dibelinya tadi dari dalam tasnya. Takut! Hal itu yang dirasakan oleh Lara, namun ia tetap harus melakukannya. Dengan tekat yang kuat ia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat selesai melakukan test dengan urinnya, Lara masih belum berani untuk melihat hasilnya. Dirinya belum siap jika hasilnya benar-benar positif kalau dirinya hamil. Ya Tuhan aku takut, apa aku bisa kuat nerima kenyataan kalau beneran aku hamil. Sadar tidak bisa terus terkurung dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Lara pada akhirnya memberanikan diri untuk mengetahui hasilnya. Ia mengangkat alat kehamilan tersebut ke hadapan matanya, perlahan Lara membuka matanya. "Du- dua garis?" Seketika tubuhnya lemas dan Lara pun jatuh terkulai diatas lantai sambil ma
Di jalan Lara terus kepikiran tentang kenyataan jika dirinya saat ini tengah mengandung. Sungguh hal tak pernah terpikirkan oleh Lara setidaknya dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mengandung di umurnya yang masih tijuh belas tahun."Udah sampe Dek," ucap driver taksi online, namun sepertinya Lara yang masih melamun tak mendengarnya. "Dek, dek udah sampe sekolah.""Eh iya udah sampe, sorry ya Pak saya nggak tau.""Iya Dek nggak apa-apa."Lara pun akhirnya turun dari taksi online tersebut. Ia melihat gerbang sekolah yang membentang di hadapannya, baginya kini memasuki gerbang sekolah terasa mengerikan sekali ribuan pertanyaan menghantui isi kepala Lara. Gimana kalau orang-orang disekolah tau gue hamil? Gimana kalo gue terpaksa dikeluarin dari sekolah karna hamil? Gimana kalo gue nggak bisa lulus karena hamil? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh membuatnya
Lara pun pulang ke rumah, dengan tubuh kelelahan mata agak sembab ia berjalan memasuki gerbang rumahnya. Lara sempat berpikir apa mungkin salah satu temannya atau gurunya menghubungi sang bunda terkait dirinya tidak masuk hari ini? Tapi siapa peduli saat ini Lara hanya ingin segera masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri. Setelah melepas sepatu dan cuci tangan Lara langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya.Namun saat dirinya ingin masuk kamar ia malah justru dikagetkan dengan penampakan sang Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan memasang wajah serius."Huh? Kok ada Bunda ya apa jangan-jangan Bunda udah tau kalau hari ini aku nggak masuk," ucapnya dalam hati. "Bu- bunda ngapain di depan kamar Lara?"Hani tak menjawab pertanyaan Lara, ia langsung meminta Lara masuk ke kamar bersama dengan dirinya."Ada apa sih Bun? Kok kayaknya muka Bunda serius banget."
Lara begitu sedih dan hamcur, tak hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri dengan semua yang terjadi. "Gue gagal, gue udah gagal jadi anak, gue udah ngecewain Bunda!" Lara melihat ke arah cermin memandangi dirinya yang tampak menyedihkan. Bahkan kata menyedihkan mungkin belum cukup untuk menggambarkan atas betapa nista nestapa yang ia alami saat ini. "Ini semua gara-gara lo dasar cowok brengsek! Biadab!" Maki Lara kemudian dengan marah melempari cermin itu dengan berbagi botol parfumnya.***Hani yang kini masih duduk diatas ranjang untuk menenangkan diri seolah masih syok dan tak percaya mengetahui kenyataan yang terjadi pada putrinya. Bayi cantik yang ia lahirkan dan ia besarkan dan ia jaga dengan penuh cinta dan kasih sayang, nyatanya malah harus mengalami tragedi menyedihkan itu. "Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa aku harus terus menyembunyikannya. Tapi bagaimanapun hal ini tidak bisa terus disembunyikan." Sejatinya Lar
Setelah pulang sekolah, Lara dan kedua teman baiknya Chika dan Tara, tampak berjalan menuju ke sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari sekolah mereka. Ketiga sahabat itu memang sudah sejak minggu lalu merencanakan ingin pergi ke kafe yang baru buka beberapa bulan lalu itu. Dengan masih mengenakan seragam dibalut cardigan mereka bertiga langsung memasuki kafe tersebut. Di depan pintu masuk mereka langsung disambut oleh pelayan kafe."Selamat datang di Ocean Cafe, untuk berapa orang?" Tanya si pelayan. "Buat tiga orang mbak," jawab Lara dengan lugas. "Oke" "Eh iya mbak, tumben banget pake ditanya kayak begini biasanya juga enggak?" Ungkap Lara penasaran. "Iya soalnya kafe kita hari ini sedang kasih banyak promo makanya pelanggannya tiba-tiba membludak." "Oh... gitu." "Yaudah Ra, kita cepetan cari duduk, capek nih dari tadi jalan. Mbak tunjukin mejanya dong," Chika dari raut wajahnya memang sudah menunjukan rasa lelah. La
"Hahaha... mampus lu Ndra!" Ledek teman-teman Andra menertawakan kegagalannya. "Nyalinya gede banget tuh cewek, seorang Revandra Alvarez disiram kopi dong...!" Ujar Ogy teman Andra. Raut Andra tampak tidak senang, ia dengan cepat meraih kunci mobilnya. "Transferannya nanti gua kirim ke rekening kalian, gue cabut duluan!" Ujar Andra kemudian pergi dengan raut wajah murka. Semua pengunjung pun melihat ke arah lelaki bertinggi badan 182 cm tersebut. "Si Andra murka banget kayaknya tuh!" Ujar salah seorang teman Andra yang lain. ** "Wah gila sih Ra, lo nyiram tuh cowok di depan umum loh, gue nggak bisa bayangin mukanya malu banget pasti, mana disudutin sama pengunjung lain pula," celetuk Chika. "Biar aja, salah sendiri gak bisa ngehargain perempuan!" "Tapi dia diem aja tuh, tapi kayakanya dia marah cuma ditahan aja," ujar Tara. "Ah biar aja biar tuh laki bejat mikir! Nggak semua cewek bisa digrepe-grepe seenak jidatny
"Finallykelar juga kita belajar!" Ungkap Chika sambil membunyikan jari-jarinya. "Elah, dari tadi perasaan lo cuma bikin tok tok samaupdate storymulu deh pake bilang kelar belajar," sahut Tara. "Ye... biarin, yang penting kan gue ikut belajar juga. Walau dikit." "Heuh... dasar lu fansnya Cindy!" "Idih najong, elu aja sono jadi anak buah Cindy si ratu abal-abal." "Aduh...! Kalianpleasejangan berisik dulu deh, gue mau telepon Gilang nih!" Lara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya ternyata tengah mencoba menghubungi sang pacar yang sejak tadi belum mengangkat panggilannya. "Ih Gilang kemana sih? Kok dari tadi gue telepon nggak diangkat-angkat!" "Lagi dijalan kali Ra...," kata Tara mencoba berpositifthinking. "Iya kali ya?" Sudah berkali-kali Lara mencoba terus menghubungi Gilang, namun tetap saja tak diangkat. Chika pun memberi saran kepada Lara untuk
Akhirnya Lara pulang dengan naik ojol, tapi memang dasar mungkin hari ini adalah hari sial untuk Lara. Di pertengahan jalan, motor ojol yang ditumpanginnya tiba-tiba malah pecah ban, alhasil Lara tak bisa diantar sampai rumahnya."Aduh Neng maafin saya ya, kalo gitu neng gausah bayar deh," katadriverojol itu dengan wajah sedih. Sepertinya ia berharap sekali mendapatorder-andari Lara namun apa daya malah terkena musibah."Emang hari ini angkut berapa penumpang Pak?""Hari ini lagi sepi neng, saya seharian dapat lima penumpang aja, itu pun kalo ditambah sama orderan dari eneng, tapi ya mungkin emang bukan rejeki saya."Lara sebenarnya kesal karena gara-gara pecah ban dirinya jadi telat pulang, tapi dilain sisi ia merasa iba setelah mendengar ceritadrivertersebut. "Yaudah Pak nggak apa-apa. Ini buat bapak." Lara memberikan selembar uang 20 ribu rupiah untuk pengendara ojol tersebut."Loh N
Pagi harinya, Lara yang sudah berseragam rapi baru saja turun dari kamar sambil menggendong tas dan menentengtote bagyang berisi buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolahnya."Pagi semua," sapa Lara yang langsung ikut bergabung dan duduk dimeja makan bersama keluarganya yang lain. "Loh, Kak Dafa udah ikut sarapan aja, bukannya semalem belum pulang ya?" Dafa adalah kakak laki-laki Lara. Kebetulan sang kakak adalah salah satu mahasiswa yang memang cukup aktif menjadi panitia kegiatan di kampusnya, sehingga seringkali pulang larut malam bahkan tak pulang."Tadi Kakak pulang subuh, tidur dulu dua jam terus bangun buat sarapan, soalnya habis ini masih harus balik lagi ke kampus.""Ya Ampun Kak, sibuk banget. Emang kalau udah jadi mahasiswa pasti bakal sesibuk itu ya?" Lara jadi penasaran dengan kehidupan seorang mahasiswa. Terlebih Lara yang kini sudah menginjak 12 SMA sebentar lagi juga akan masuk universitas, ia penasaran akankah dirin
Lara begitu sedih dan hamcur, tak hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri dengan semua yang terjadi. "Gue gagal, gue udah gagal jadi anak, gue udah ngecewain Bunda!" Lara melihat ke arah cermin memandangi dirinya yang tampak menyedihkan. Bahkan kata menyedihkan mungkin belum cukup untuk menggambarkan atas betapa nista nestapa yang ia alami saat ini. "Ini semua gara-gara lo dasar cowok brengsek! Biadab!" Maki Lara kemudian dengan marah melempari cermin itu dengan berbagi botol parfumnya.***Hani yang kini masih duduk diatas ranjang untuk menenangkan diri seolah masih syok dan tak percaya mengetahui kenyataan yang terjadi pada putrinya. Bayi cantik yang ia lahirkan dan ia besarkan dan ia jaga dengan penuh cinta dan kasih sayang, nyatanya malah harus mengalami tragedi menyedihkan itu. "Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa aku harus terus menyembunyikannya. Tapi bagaimanapun hal ini tidak bisa terus disembunyikan." Sejatinya Lar
Lara pun pulang ke rumah, dengan tubuh kelelahan mata agak sembab ia berjalan memasuki gerbang rumahnya. Lara sempat berpikir apa mungkin salah satu temannya atau gurunya menghubungi sang bunda terkait dirinya tidak masuk hari ini? Tapi siapa peduli saat ini Lara hanya ingin segera masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri. Setelah melepas sepatu dan cuci tangan Lara langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya.Namun saat dirinya ingin masuk kamar ia malah justru dikagetkan dengan penampakan sang Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan memasang wajah serius."Huh? Kok ada Bunda ya apa jangan-jangan Bunda udah tau kalau hari ini aku nggak masuk," ucapnya dalam hati. "Bu- bunda ngapain di depan kamar Lara?"Hani tak menjawab pertanyaan Lara, ia langsung meminta Lara masuk ke kamar bersama dengan dirinya."Ada apa sih Bun? Kok kayaknya muka Bunda serius banget."
Di jalan Lara terus kepikiran tentang kenyataan jika dirinya saat ini tengah mengandung. Sungguh hal tak pernah terpikirkan oleh Lara setidaknya dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mengandung di umurnya yang masih tijuh belas tahun."Udah sampe Dek," ucap driver taksi online, namun sepertinya Lara yang masih melamun tak mendengarnya. "Dek, dek udah sampe sekolah.""Eh iya udah sampe, sorry ya Pak saya nggak tau.""Iya Dek nggak apa-apa."Lara pun akhirnya turun dari taksi online tersebut. Ia melihat gerbang sekolah yang membentang di hadapannya, baginya kini memasuki gerbang sekolah terasa mengerikan sekali ribuan pertanyaan menghantui isi kepala Lara. Gimana kalau orang-orang disekolah tau gue hamil? Gimana kalo gue terpaksa dikeluarin dari sekolah karna hamil? Gimana kalo gue nggak bisa lulus karena hamil? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh membuatnya
Setibanya di rumah Lara langsung pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Gadis itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan hatinya yang berdetak kencang. Lara mengeluarkan alat tes kehamilan yang dibelinya tadi dari dalam tasnya. Takut! Hal itu yang dirasakan oleh Lara, namun ia tetap harus melakukannya. Dengan tekat yang kuat ia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat selesai melakukan test dengan urinnya, Lara masih belum berani untuk melihat hasilnya. Dirinya belum siap jika hasilnya benar-benar positif kalau dirinya hamil. Ya Tuhan aku takut, apa aku bisa kuat nerima kenyataan kalau beneran aku hamil. Sadar tidak bisa terus terkurung dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Lara pada akhirnya memberanikan diri untuk mengetahui hasilnya. Ia mengangkat alat kehamilan tersebut ke hadapan matanya, perlahan Lara membuka matanya. "Du- dua garis?" Seketika tubuhnya lemas dan Lara pun jatuh terkulai diatas lantai sambil ma
Di sekolah Lara terlihat tengah berada di kantin bersama kedua sahabatnya Chika da Tara. Ia terlihat tengah menyantap semangkuk bakso dengan lahapnya, saking lahapnya sampai-sampai kedua temannya itu dibuat menelan ludah. "Lara, lo kelaperan ya?" Ujar Chika yang bahkan sampai merasa sudah merasa kenyang duluan dengan hanya melihat Lara makan."Iya Ra, lo tumben banget deh makan selahap itu, biasanya lo kan yang paling lama makannya diantara kita bertiga," imbuh Tara.Lara kemudian menelan makanan dimulutnya, "Masa sih?""Lah lo emang nggak ngerasa?"Lara hanya menggeleng sambil terus melanjutkan makannya. Lara sepertinya memang tidak sadar kalau akhir-akhir ini nafsu makannya sangat tinggi.Setelah beberapa saat mereka bertiga pun selesai menghabiskan makan siang mereka, dengan Lara yang tanpa sadar hari ini makan dua porsi bakso."Gila lo Ra, hari ini lo mukbang keknya ya?" Ledek Chika mengetahui Lara makan bakso sampai dua mangkuk. Lara pu
"Lara!" Bunda mengetuk dan memanggil Lara dari luar kamarnya. Mendengar sang ibu datang, Lara yang menangis pun segera mengusap air matanya dan membukakan pintu sang ibu."Eh Bunda, kenapa?"Bunda memperhatikan Lara sejenak lalu bertanya, "kamu baik-baik aja kan sayang? Soalnya tadi Bunda lihat muka kamu tiba-tiba pucet terus pergi ke kamar.""Lara baik-baik aja kok Bun," jawab Lara yang tidak ingin sang ibu mengkhawatirkannya.Tapi sayang, sepertinya sang ibu tidak yakin dengan perkataan putrinya itu. Ia justru terlihat memicingkan matanya sambil memperhatikan mata Lara yang nampak sembab. "Kamu habis nangis ya?""Eh- Um— ini aku enggak nangis kok, cuma habis lihat trailer drama yang sedih banget aja makanya nangis deh, hehe...""Yakin kamu?" Bunda meraba kening dan leher Lara memastikan kalau putrinya itu tidak demam atau sejenisnya."Yakin kok Bund, percaya deh sama Lara."Hani menghela napas, sejujurnya ia tidak perca
Lara kembali ke rumah dengan keadaan lesu. Ia berjalan menuju ke kamarnya dan tak lama sang bunda muncul lalu menghampirinya. "Loh Kak, kok kamu udah pulang?"Lara melihat ke arah bundanya dan tersenyum kecil. "Lara tiba-tiba masuk angin Bund, makanya Lara pulang.""Tuhkan, kamu sih Bunda bilangin tadi sarapan dulu malah ngeyel, gini kan jadinya. Nggak nurut sih dikasih tau sama orang tua," omel Bunda ikuti rasa cemas."Maaf Bun, yaudah kalo gitu Lara istirahat di kamar dulu ya.""Yaudah, nanti Bunda bawain makanan ke kamar kamu ya."**Selang beberapa saat akhirnya Bunda pun datang ke kamar Lara sambil membawakannya semangkuk bubur.Tok Tok!Lara beranjak lalu membukakan pintu."Nak ini Bunda buatin bubur, kamu makan ya...," pinta sang Bunda pada putrinya itu.Melihat bubur tersebut entah kenapa Lara jadi merasa sangat lapar. Bunda pun meletakan nampan makanan itu diatas nakas, dan meminta Lara agar segera memaka
Waktu terus berjalan, hari-hari pun dilewati Lara pasca dirinya putus dengan Gilang tiga minggu lalu. Sejauh ini berjalan cukup baik, Lara menjalani kehidupan di sekolah dengan normal dan dihabiskan dengan banyak ke perpustakaan dibanding ngobrol bersama sahabatnya. Bahkan saat jam istirahatpun Lara lebih sering ke perpustakaan dibanding kantin. Hingga lama kelamaan kedua sahabatnya Chika dan Tara merasa Lara agak berubah, dia tidak seceria dulu dan lebih sendiri. Akhirnya mereka berdua pun berencana mengajak Lara nongkrong di kafe sepulang sekolah.KRING...! Jam belajar pun usai, guru pengajar pun keluar kelas diikuti murid-murid yang keluar kelas silih berganti. Lara yang masih terlihat membereskan tasnya pun dihampiri oleh Chika. "Ra!""Eh iya kenapa Chik, belom balik lo?" Tanya Lara sambil terus membereskan buku-bukunya ke dalam tas."Um, kita nongki dulu yuk ke kafe biasa sebelum balik? Tara punya voucher potongan harga loh kan lumayan."Sayangnya La
Percakapan Gilang dan Lara berakhir dengan akhir yang tidak baik bagi Gilang, laki-laki itu sungguh masih menyimpan rasa cinta dan harapan untuk bisa kembali dengan Lara, tapi semuanya sudah terlambat, hubungan Lara dan Gilang pada akhirnya harus kandas. Ketika kesedihan menyelimuti Gilang, hal berbeda justru dirasa oleh Cindy yang diam-diam ternyata menguntit percakapan Lara dan Gilang. Cindy yang ditemani sabahatnya Inez tampak senang sekali melihat Gilang yang telah putus dari Lara. Bahkan tak segan ia menampilkan senyum penuh kemenangan."Cin, jadi Gilang beneran udah putus sama Lara?" Tanya Inez yang juga agak belum percaya semua ini."Ya lo bisa lihat sendiri kan?" Cindy terkekeh senang. "Akhirnya, tanpa harus capek-capek cari cara misahin Gilang dari si cewek munafik itu, mereka putus juga.""Tapi Cin, lihat deh tuh... Kayaknya yang sedih banget malah si Gilang." Inez merujuk ekspresi Gilang yang dilihatnya dari jauh."Apaan sih! Lihat aja nanti pa