Akhirnya Lara pulang dengan naik ojol, tapi memang dasar mungkin hari ini adalah hari sial untuk Lara. Di pertengahan jalan, motor ojol yang ditumpanginnya tiba-tiba malah pecah ban, alhasil Lara tak bisa diantar sampai rumahnya.
"Aduh Neng maafin saya ya, kalo gitu neng gausah bayar deh," kata driver ojol itu dengan wajah sedih. Sepertinya ia berharap sekali mendapat order-an dari Lara namun apa daya malah terkena musibah.
"Emang hari ini angkut berapa penumpang Pak?"
"Hari ini lagi sepi neng, saya seharian dapat lima penumpang aja, itu pun kalo ditambah sama orderan dari eneng, tapi ya mungkin emang bukan rejeki saya."
Lara sebenarnya kesal karena gara-gara pecah ban dirinya jadi telat pulang, tapi dilain sisi ia merasa iba setelah mendengar cerita driver tersebut. "Yaudah Pak nggak apa-apa. Ini buat bapak." Lara memberikan selembar uang 20 ribu rupiah untuk pengendara ojol tersebut.
"Loh Neng, kan saya nggak anter sampe tujuan? Kok saya malah dikasih uang?"
"Nggak apa Pak, itu rejeki Bapak, lagian rumah saya udah nggak terlalu jauh kok! Bapak mending cepet tambal bannya ya."
"I- iya Neng, makasih banyak ya... udah baik sama saya."
"Sama-sama pak, yaudah saya permisi pak, mari..."
Lara akhirnya memutuskan untuk berjalan saja sampai ke rumahnya, karena kalau ia harus naik ojol lagi percuma toh berjalan ke rumahnya kira-kira hanya butuh sepuluh menit jika ia jalan kaki dengan cepat.
Lara berjalan sendirian, untungnya ada warkop di dekat jalanan tersebut sehingga Lara tidak terlalu merasa sepi meski jalan yang ia lewati cukup sepi juga. Lara berjalan dengan langkah cepat, tapi entah mengapa saat ia berjalan ia seperti tengah diperhatikan oleh seseorang. Tapi siapa? Ya Tuhan, kenapa ya? Kok kaya berasa ada yang nguntit sih? Lara pun mempercepat langkah kakinya bahkan sampai berlari kecil-kecil. Tenang Lara tenang...! Gadis itu berkata dalam hati agar tetap tenang. Tiba-tiba saja ponsel Lara berdering, dirinya ingin sekali mengangkat panggilan itu. Namun dia tidak berani, karena takut jika ia mengangkat telepon saat ini malah akan ada hal buruk terjadi. Akhirnya ia pun mengabaikan panggilan tersebut dan terus saja berjalan secepat mungkin menuju rumahnya yang sudah makin dekat.
Huh hah huh hah! Terdengar napas Lara tersengal-sengal. Akhirnya ia sampai juga di depan rumahnya. Lara menoleh kebelakang sembari membuka pintu gerbang rumahnya, gadis itu melirik kesekitar belakang kanan kirinya, memastikan jika benar-benar tidak ada orang yang mengikutinya saat ini. "Huft... syukur deh..." Lara mengelus dadanya, ia pun melangkah memasuki rumahnya namun dirinya malah kembali dibuat kaget tatkala sang adik yang bernama Sandra muncul tiba-tiba dan mengagetkannya. "Dor!"
"Astaga, Sandra! Kamu tuh ngagetin Kakak aja deh!"
"Lah? Kok kakak malah ngomel sama Sandra? Yang ada tuh Sandra sama seisi rumah ini yang marah sama kakak, karena Kakak tuh kenapa nggak angkat telepon dari Bunda, huh?" Sandra memperhatikan sang kakak yang terlihat berkeringat dan napasnya naik turun. "Kakak tuh habis ngapain sih? Kenapa coba mandi keringet terus ngos-ngosan gitu?"
"Oh, umー nggak ada apa-apa kok, cumaー cuma Kakak tadi agak ngerasa takut ada hantu aja, makanya kakak lari terus jadi ngos-ngosan gini deh."
"Hah hantu?" Sandra terheran-heran.
"Udah ah bawel, Kakak mau masuk dulu haus banget nih...!" ujar Lara yang kemudian masuk meninggalkan sang adik yang tengah mengunci gerbang.
"Ye... dasar aneh! Dia yang bikin khawatir orang serumah, dia juga yang malah ngos-ngosan ketakutan," gerutu Sandra.
**
"Lara pulang...!" Ucap Lara memasuki rumah.
"Lara, kamu darimana aja? Kenapa telpon Bunda nggak kamu angkat? Udah berani ya kamu nggak angkat telepon Bunda?" Baru masuk rumah Lara malah langsung diceramahi Bundanya.
"Bu- bunda, jadi tadi yang telepon Bunda?"
"Iya Bunda hubungin kamu nggak diangkat-angkat, itu kenapa?"
Lara jadi bingung lantaran harus menjawab apa. Pasalnya dirinya juga tidak mungkin cerita soal dirinya yang tengah merasa dikuntit oleh seseorang, karena takut malah akan membuat bundanya jadi semakin khawatir. "Maaf ya Bunda, tadi Lara tuh takut angkat telepon soalnya lagi dijalan, Lara takut aja gitu kena begal, kan bahaya. Hehehe..."
"Masa sih...? Takut begal apa takut dimarahin Bunda gara-gara pulang pacaran kemalaman, hayo ngaku...?" Tukas Sandra yang baru saja masuk sehabis mengunci gerbang.
"Please deh Sandra gausah mulai sotoy sama Kakak...!" Omel Lara.
"Siapa yang sotoy coba, orang cuma nebak doang."
"Ya sama aja itu namanya sotoy, sok tau, padahal nggak tau. Dasar, abege bau kencur!"
"Enak aja bau kencur, kakak tuh yang sok tua padahal juga cuma beda empat tahun sama Sandra, wuek..."
Kakak beradik itu malah saling adu mulut hingga membuat bundanya kesal. "Aduh.... udah dong Lara, Sandra. Kalian ini ribut terus deh kerjaannya kalo ketemu, giliran pada pisah saling kangen. Yang akur gitu loh sekali-kali."
"Sandra duluan tuh Bun!"
"Ye... enak aja! Kak Lara duluan tuh yang mancing Sandra. Ngatain bau kencur."
"Emang bener bau kencur."
"Udah-udah, Bunda bilang stop!"
"Maaf Bun...," ucap kedua anak gadis Bu Hani.
Merasa lelah dan bandannya sudah lengket karena seharian belum mandi, Lara pun izin untuk bersih-bersih sebelum makan malam. "Oh iya Bun, ayah pulangnya baru besok kan?" Sebelum ke kamar Lara menanyakan perihal kepulangan sang ayah yang tengah dinas di luar kota.
"Iya besok sore Ayah baru pulang."
"Oh, gitu... yaudah Lara ke kamar dulu ya Bun mau bersih-bersih."
"Sono mandi, bau keringet tuh!" Lagi-lagi Sandra meledek kakaknya. Lara pun hanya memeletkan lidahnya ke arah Sandra lalu pergi ke kamarnya.
"Sandra... jangan mulai lagi."
"Hehehe... Sorry Bunda." Sandra yang masih berdiri di dekat sang Bunda pun memperhatikan kakaknya.
"Sandra, kamu jangan terlalu gitulah sama kakakmu, kasian loh dia capek belajar buat ujian kelulusan nanti malah kamu ledekin."
"Sandra kan nggak ngapa-ngapain Bun... Eh tapi Bunda tau nggak, tadi pas kak Lara pulang, masa dia keringatan kayak orang habis lari marathon gitu."
"Marathon?"
"Iya Marathon."
"Haduh, kamu ini ada-ada aja, masa kakak kamu lari maraton malem-malem, sudah kamu mending kamu balik belajar sana."
"Iya deh... Bundaku."
**
Di kamarnya, Lara yang baru saja selesai bersih-bersih dan sudah mengenakan pakaian tidur terlihat menghubungi Gilang.
Lara : Halo Gilang.
Gilang : Halo, kamu udah sampe rumah kan?
Lara : Udah kok Lang,
Gilang : Syukur deh kalo gitu. Oh iya kamu dijalan nggak ada yang ganggu kan?
Lara : Ganggu? Maksud kamu apaan?
Gilang : Ya kamu kan cantik, terus mukanya kayak polos gitu, aku takut aja banyak laki-laki brengsek yang ganggu kamu di jalan.
Lara : (Tertawa geli) yaelah lebay banget, nggak gitu juga kali konsepnya. Lagian nggak ada yang gangguin aku cumaー
Gilang : Cuma apa?
Lara : Eh nggak ada apa-apa, cuma tadi aku kasian lihat abang ojolnya tiba-tiba bannya pecah jadi aku kasih aja uang suka rela.
Gilang : Duh... mulia banget sih hati pacar gue.
Lara : Cie... pacarnya siapa tu??
"Kak Lara, tolongin Sandra dongー ups!" Lara seketika dibuat terkejut dan gelagapan, saat kehadiran Sandra yang langsung nyelonong masuk kamarnya ketika dirinya tengah asyik teleponan dengan Gilang. Ia pun tak kuasa memelototi adiknya dan memberi isyarat untuk tunggu diluar.
"I'm sorry Kak." Sandra pun langsung kembali keluar dan menunggu di depan pintu kamar Lara, hingga kakaknya selesai telepon.
Lara : Um Gilang, nanti kita sambung lagi ya aku ada urusan dulu sama adik aku (Ucap Lara dengan nada pelan)
Gilang : Oh gitu, yaudah nggak apa-apa bye Lara.
Lara : Bye Gilang.
**
Setelah menutup teleponnya Lara segera menghampiri adiknya yang kini tengah menunggu tepat dia depan pintu kamarnya.
"Sandra!"
"Eh, Kakakku yang cantik, udah teleponannya samaー" Sandra menoleh dan lagi-lagi menyelonong masuk ke kamar Lara.
"Kamu tuh suka kebiasaan deh masuk kamar kakak asal nyelonong aja nggak ketuk pintu dulu. Nggak sopan tau!"
"Sorry deh Kak, habisnya pintunya kayak nggak dikunci sih, jadnya Sandra masuk aja deh. Tapi Sandra jadi kepo, tadi kakak teleponan sama siapa sih? Pacar Kakak ya? Siapa? Kasih tau dong please..!"
"Sstt... Udah nggak usah kepo urusan orang dewasa! Lagian, emang ada apaan sih kamu tiba-tiba kesini?"
"Oh ini kak, aku mau nanya soal biologi." Sandra memperlihatkan soal biologi di buku biologi SMP miliknya.
"Ya ampun kayak gini aja nggak paham, ini tuh tentang sistem reproduksi makhluk hidup."
"Maksudnya cara bikin anak ya?" Ujar Sandra dengan polosnya.
"Hush! Ya... bahasa nggak cerdasnya sih gitu, tapi kalau pas pelajaran mending jangan kamu pake deh istilah kayak gitu. Konotasinya negatif tau!"
"Emang kenapa Kak?" Lagi-lagi dengan entengnya Sandra bertanya.
"Ah kamu pura-pura nggak paham, udah nggak usah bawel, daripada banyak tanya, sini Kakak ajarin." Akhirnya Lara pun mau mengajari adik satu-satunya tersebut di kamarnya.
🥀🥀🥀
Pagi harinya, Lara yang sudah berseragam rapi baru saja turun dari kamar sambil menggendong tas dan menentengtote bagyang berisi buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolahnya."Pagi semua," sapa Lara yang langsung ikut bergabung dan duduk dimeja makan bersama keluarganya yang lain. "Loh, Kak Dafa udah ikut sarapan aja, bukannya semalem belum pulang ya?" Dafa adalah kakak laki-laki Lara. Kebetulan sang kakak adalah salah satu mahasiswa yang memang cukup aktif menjadi panitia kegiatan di kampusnya, sehingga seringkali pulang larut malam bahkan tak pulang."Tadi Kakak pulang subuh, tidur dulu dua jam terus bangun buat sarapan, soalnya habis ini masih harus balik lagi ke kampus.""Ya Ampun Kak, sibuk banget. Emang kalau udah jadi mahasiswa pasti bakal sesibuk itu ya?" Lara jadi penasaran dengan kehidupan seorang mahasiswa. Terlebih Lara yang kini sudah menginjak 12 SMA sebentar lagi juga akan masuk universitas, ia penasaran akankah dirin
Setelah mengantar Sandra ke sekolahnya, akhirnya Dafa tiba juga di depan gerbang sekolah Lara. "Makasih ya Kak udah anterin aku.""Iya sama-sama, udah sana masuk!" Ujar Dafa sambil mengusap-usap kepala adik perempuannya"Ih... jangan digituin, nanti berantakan tau rambut aku.""Jiah... mau ketemu siapa sih, sampe berantakan dikit aja nggak mau.""Ada deh, rahasia! Udah ah entar keburu si Chika dateng pasti bakal heboh minta salamin ke Kak Dafa.""Ya biarin aja itu kan fans Kakak.""Idih, pede gila." Lara pun membuka pintu dan keluar dari mobil. "Bye Kak..." Ucap Lara berpamitan dari luar kaca mobil.Dafa pun membalas dengan lambaian tangannya dari dalam mobil lalu pergi.Tak lama berselang, Chika dan Tara datang menghampiri Lara yang masih mengamati mobil kakaknya pergi."Woi!" sontak Lara pun kaget dibuatnya oleh kedua temannya itu."Eh kalian tuh, kebiasaan deh ngagetin gue!" Kesal Lara."Hehe...&nb
Akhirnya jam menunjukan pukul delapan malam, yang mana itu tandanya jam bimbingan belajar Lara sudah usai. Setelah beberapa saat ngobrol dengan teman-teman satu tempat bimbingan degannya untuk membahas pelajaran, ia pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Dan sepertinya hari ini Lara harus pulang naik ojekonlinelagi, karena dirinya tidak bisa minta jemput Gilang, dikarenakan hari ini Gilang tengah mengantar kakaknya ke luar kota. Lara juga tidak bisa minta jemput kakaknya Dafa karena kebetulan Dafa juga tengah ada rapat kepanitiaan di kampus.Tidak mau mengulur waktu, Lara yang ingin cepat-cepat sampai rumah pun segera mengeluarkan ponselnya untuk membuka aplikasi ojekonline. Tapi sungguh sial, saat dirinya hendak ingin memesan ojekonlineponsel Lara malah justru habis baterai. "Eh, eh! Jangan mati dulu dong plis, hape... hape...! Yah... Mati lagi!" Lara mengguncang-gunca
Lelaki itu menurunkan tubuh Lara yang dibopongnya ke atas lantai yang beralaskan permadani usang. Lara yang begitu ketakutan pun terus menangis, tubuhnya meringsek kebelakang menjauhi laki-laki yang ada dihadapannya itu. "Tolong, tolong jangan sakitin saya, saya mohon," Lirih gadis belia itu dengan suaranya yang bergetar.Lelaki itu tertawa geli, "Nyakitin? Lu tenang aja, sakitnya sebentar doang kok cantik, habis itu lu bakal tau rasanya surga dunia." Pria tersebut menyetuh pipi Lara, spontan Lara pun menghalau dan semakin meringsek mundur. Rasa takut yang ditandai dengan keringat dingin yang bercucuran di dahi Lara membuatnya semakin panik. Ekor matanya bergerak ke sekelilingnya guna mencari celah untuk Lara agar bisa kabur atau setidaknya menghentikan laki-laki gila yang ada di hadapannya ini. Mata Lara akhirnya tertuju pada bingkai usang yang ada di dekatnya. Diambilnya bingkai tersebut, lalu ia lemparkan ke arah laki-laki bermasker hitam itu hingga mengenai pelipisnya. Al
"Kita cari Lara kemana Yah?" tanya Dafa yang sibuk menyetir mobil mengelilingi jalan sambil celingak-celinguk memandang keluar kaca mobil mencari dimana keberadaan adiknya saat ini."Ayah juga nggak tau Daf harus cari kemana, tapi kita tetep harus cari adik kamu. Jujur, perasaan ayah nggak enak kali ini.""Ayah harus tetep berpikiran positif ya." Tiba-tiba ponsel Dafa berdering, ia pun langsung mengangkatnya denganearphone wireless."Ya Halo, kenapa Chika?".."Oh kamu mau bantu cari Lara juga, yaudah kalau gitu kamu cari nanti kalau ada info kamu tolong langsung telfon kakak!"...."Oke, makasih ya Chik!""Itu temen Lara, ada infokah soal Lara?" Tanya Rizal pada putra sulungnya yang habis menerima telepon, berharap ada kabar tentang putrinya."Belum Yah, tapi tadi Chika bilang dia mau bantu cari Lara."Rizal menghela napas. "Semoga Lara baik-baik saja," ungkap Rizal penuh harap. Bagaimana pun sebagai
Lara akhirnya keluar dari kamar mandi setelah selesai berganti pakaian. Lara sengaja dipinjami pakaian oleh Chika karena melihat pakaian seragam dan kardigan yang dikenakannya tadi tampak kotor, dan berantakan."Ini Ra, diminum dulu tehnya." Chika yang menuggu didepan kamar mandi ternyata sudah membawakan secangkir teh hangat untuk untuk diminum oleh Lara agar lebih tenang. "Umー mending minumnya sambil duduk di sofa aja yuk!" Ajak Chika.Setelah duduk Lara pun menyesap secangkir teh yang telah dibawakan oleh temannya itu. "Thanks ya Chik," ungkap Lara setelah menyesap tehnya."Sama-sama."Lara dan Chika kini tengah duduk di sofa, sambil menunggu Ayah dan kakak Lara datang menjemput. Sebagai sahabat dekatnya Chika benar-benar penasaran tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada Lara hingga membuatnya tiba-tiba berjalan sendirian tadi. "Ra, jujur sama gue, sebenernya lo itu kenapa? Dan, kenapa lo bisa ada ditempat itu? Eloー""Gue nggak apa-apa ko
Setibanya dirumah, Lara yang berjalan memasuki rumah dengan didampingi sang ayah langsung dihampiri oleh Hani sang ibu. "Lara..." Lara yang wajahnya terlihat kelelahan pun langsung menyambut pelukan hangat dari wanita yang telah melahirkannya itu."Lara sayang... akhirnya kamu pulang nak." Hani tak kuasa menitikan air matanya saat ini. Melihat putrinya sudah pulang dan berada dalam pelukannya saat ini adalah kebahagiaan yang tak terkira. Hatinya merasa sangat lega setelah mengetahui anaknya sudah kembali bersamanya. Lara pun jadi ikut menitikan air mata, ia tahu ibunya pasti sangatlah khawatir dengannya makanya hingga menangis seperti itu. Tapi disisi lain, hati Lara terasa teriris dan perih. Dari lubuk hatinya yang terdalam ia merasa bersalah pada sang Bunda, dirinya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan bundanya jikalau ia tau penyebab dirinya telat pulang ke rumah hari ini. Padahal baru saja tadi pagi, sang bunda menasihatinya perihal mahkota wanita yang harus
Keesokan paginya Sandra yang sudah rapi mengenakan seragam sekolah datang mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya. "Kakak..., Kak Lara kata Bunda turun yuk buat sarapan. Kak Lara... helow...! Denger aku nggak sih? Apa masih tidur?" Sandra berkali-kali mengetuk pintu kamar Lara namun tidak ada jawaban apapun dari kakaknya. "Apa kakak jangan-jangan masih tidur ya?" Sandra pun akhirnya berhenti mengetuk kamar sang kakak. Ia berpikir jikalau sang kakak masih tidur jadinya ia pun memilih untuk tidak mengganggunya. Saat hendak berbalik badan meninggalkan kamar Lara, Sandra malah dibuat kaget dengan kedatangan bundanya yang tiba-tiba sudah berada berdiri dibelakangnya. "Astaga Bunda, bikin kaget Sandra aja!""Habisnya kamu Bunda suruh panggilin Kak Lara turun lama banget, jadinya Bunda ke atas sendiri aja buat mastiin. Terus kok kamu masih disini sih? Kak Lara mana?"Sandra menolehkan kepalanya ke arah kamar Lara nengisyaratkan kalau kakaknya masih belum keluar. "Tadi udah Sandr
Lara begitu sedih dan hamcur, tak hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri dengan semua yang terjadi. "Gue gagal, gue udah gagal jadi anak, gue udah ngecewain Bunda!" Lara melihat ke arah cermin memandangi dirinya yang tampak menyedihkan. Bahkan kata menyedihkan mungkin belum cukup untuk menggambarkan atas betapa nista nestapa yang ia alami saat ini. "Ini semua gara-gara lo dasar cowok brengsek! Biadab!" Maki Lara kemudian dengan marah melempari cermin itu dengan berbagi botol parfumnya.***Hani yang kini masih duduk diatas ranjang untuk menenangkan diri seolah masih syok dan tak percaya mengetahui kenyataan yang terjadi pada putrinya. Bayi cantik yang ia lahirkan dan ia besarkan dan ia jaga dengan penuh cinta dan kasih sayang, nyatanya malah harus mengalami tragedi menyedihkan itu. "Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa aku harus terus menyembunyikannya. Tapi bagaimanapun hal ini tidak bisa terus disembunyikan." Sejatinya Lar
Lara pun pulang ke rumah, dengan tubuh kelelahan mata agak sembab ia berjalan memasuki gerbang rumahnya. Lara sempat berpikir apa mungkin salah satu temannya atau gurunya menghubungi sang bunda terkait dirinya tidak masuk hari ini? Tapi siapa peduli saat ini Lara hanya ingin segera masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri. Setelah melepas sepatu dan cuci tangan Lara langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya.Namun saat dirinya ingin masuk kamar ia malah justru dikagetkan dengan penampakan sang Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan memasang wajah serius."Huh? Kok ada Bunda ya apa jangan-jangan Bunda udah tau kalau hari ini aku nggak masuk," ucapnya dalam hati. "Bu- bunda ngapain di depan kamar Lara?"Hani tak menjawab pertanyaan Lara, ia langsung meminta Lara masuk ke kamar bersama dengan dirinya."Ada apa sih Bun? Kok kayaknya muka Bunda serius banget."
Di jalan Lara terus kepikiran tentang kenyataan jika dirinya saat ini tengah mengandung. Sungguh hal tak pernah terpikirkan oleh Lara setidaknya dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mengandung di umurnya yang masih tijuh belas tahun."Udah sampe Dek," ucap driver taksi online, namun sepertinya Lara yang masih melamun tak mendengarnya. "Dek, dek udah sampe sekolah.""Eh iya udah sampe, sorry ya Pak saya nggak tau.""Iya Dek nggak apa-apa."Lara pun akhirnya turun dari taksi online tersebut. Ia melihat gerbang sekolah yang membentang di hadapannya, baginya kini memasuki gerbang sekolah terasa mengerikan sekali ribuan pertanyaan menghantui isi kepala Lara. Gimana kalau orang-orang disekolah tau gue hamil? Gimana kalo gue terpaksa dikeluarin dari sekolah karna hamil? Gimana kalo gue nggak bisa lulus karena hamil? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh membuatnya
Setibanya di rumah Lara langsung pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Gadis itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan hatinya yang berdetak kencang. Lara mengeluarkan alat tes kehamilan yang dibelinya tadi dari dalam tasnya. Takut! Hal itu yang dirasakan oleh Lara, namun ia tetap harus melakukannya. Dengan tekat yang kuat ia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat selesai melakukan test dengan urinnya, Lara masih belum berani untuk melihat hasilnya. Dirinya belum siap jika hasilnya benar-benar positif kalau dirinya hamil. Ya Tuhan aku takut, apa aku bisa kuat nerima kenyataan kalau beneran aku hamil. Sadar tidak bisa terus terkurung dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Lara pada akhirnya memberanikan diri untuk mengetahui hasilnya. Ia mengangkat alat kehamilan tersebut ke hadapan matanya, perlahan Lara membuka matanya. "Du- dua garis?" Seketika tubuhnya lemas dan Lara pun jatuh terkulai diatas lantai sambil ma
Di sekolah Lara terlihat tengah berada di kantin bersama kedua sahabatnya Chika da Tara. Ia terlihat tengah menyantap semangkuk bakso dengan lahapnya, saking lahapnya sampai-sampai kedua temannya itu dibuat menelan ludah. "Lara, lo kelaperan ya?" Ujar Chika yang bahkan sampai merasa sudah merasa kenyang duluan dengan hanya melihat Lara makan."Iya Ra, lo tumben banget deh makan selahap itu, biasanya lo kan yang paling lama makannya diantara kita bertiga," imbuh Tara.Lara kemudian menelan makanan dimulutnya, "Masa sih?""Lah lo emang nggak ngerasa?"Lara hanya menggeleng sambil terus melanjutkan makannya. Lara sepertinya memang tidak sadar kalau akhir-akhir ini nafsu makannya sangat tinggi.Setelah beberapa saat mereka bertiga pun selesai menghabiskan makan siang mereka, dengan Lara yang tanpa sadar hari ini makan dua porsi bakso."Gila lo Ra, hari ini lo mukbang keknya ya?" Ledek Chika mengetahui Lara makan bakso sampai dua mangkuk. Lara pu
"Lara!" Bunda mengetuk dan memanggil Lara dari luar kamarnya. Mendengar sang ibu datang, Lara yang menangis pun segera mengusap air matanya dan membukakan pintu sang ibu."Eh Bunda, kenapa?"Bunda memperhatikan Lara sejenak lalu bertanya, "kamu baik-baik aja kan sayang? Soalnya tadi Bunda lihat muka kamu tiba-tiba pucet terus pergi ke kamar.""Lara baik-baik aja kok Bun," jawab Lara yang tidak ingin sang ibu mengkhawatirkannya.Tapi sayang, sepertinya sang ibu tidak yakin dengan perkataan putrinya itu. Ia justru terlihat memicingkan matanya sambil memperhatikan mata Lara yang nampak sembab. "Kamu habis nangis ya?""Eh- Um— ini aku enggak nangis kok, cuma habis lihat trailer drama yang sedih banget aja makanya nangis deh, hehe...""Yakin kamu?" Bunda meraba kening dan leher Lara memastikan kalau putrinya itu tidak demam atau sejenisnya."Yakin kok Bund, percaya deh sama Lara."Hani menghela napas, sejujurnya ia tidak perca
Lara kembali ke rumah dengan keadaan lesu. Ia berjalan menuju ke kamarnya dan tak lama sang bunda muncul lalu menghampirinya. "Loh Kak, kok kamu udah pulang?"Lara melihat ke arah bundanya dan tersenyum kecil. "Lara tiba-tiba masuk angin Bund, makanya Lara pulang.""Tuhkan, kamu sih Bunda bilangin tadi sarapan dulu malah ngeyel, gini kan jadinya. Nggak nurut sih dikasih tau sama orang tua," omel Bunda ikuti rasa cemas."Maaf Bun, yaudah kalo gitu Lara istirahat di kamar dulu ya.""Yaudah, nanti Bunda bawain makanan ke kamar kamu ya."**Selang beberapa saat akhirnya Bunda pun datang ke kamar Lara sambil membawakannya semangkuk bubur.Tok Tok!Lara beranjak lalu membukakan pintu."Nak ini Bunda buatin bubur, kamu makan ya...," pinta sang Bunda pada putrinya itu.Melihat bubur tersebut entah kenapa Lara jadi merasa sangat lapar. Bunda pun meletakan nampan makanan itu diatas nakas, dan meminta Lara agar segera memaka
Waktu terus berjalan, hari-hari pun dilewati Lara pasca dirinya putus dengan Gilang tiga minggu lalu. Sejauh ini berjalan cukup baik, Lara menjalani kehidupan di sekolah dengan normal dan dihabiskan dengan banyak ke perpustakaan dibanding ngobrol bersama sahabatnya. Bahkan saat jam istirahatpun Lara lebih sering ke perpustakaan dibanding kantin. Hingga lama kelamaan kedua sahabatnya Chika dan Tara merasa Lara agak berubah, dia tidak seceria dulu dan lebih sendiri. Akhirnya mereka berdua pun berencana mengajak Lara nongkrong di kafe sepulang sekolah.KRING...! Jam belajar pun usai, guru pengajar pun keluar kelas diikuti murid-murid yang keluar kelas silih berganti. Lara yang masih terlihat membereskan tasnya pun dihampiri oleh Chika. "Ra!""Eh iya kenapa Chik, belom balik lo?" Tanya Lara sambil terus membereskan buku-bukunya ke dalam tas."Um, kita nongki dulu yuk ke kafe biasa sebelum balik? Tara punya voucher potongan harga loh kan lumayan."Sayangnya La
Percakapan Gilang dan Lara berakhir dengan akhir yang tidak baik bagi Gilang, laki-laki itu sungguh masih menyimpan rasa cinta dan harapan untuk bisa kembali dengan Lara, tapi semuanya sudah terlambat, hubungan Lara dan Gilang pada akhirnya harus kandas. Ketika kesedihan menyelimuti Gilang, hal berbeda justru dirasa oleh Cindy yang diam-diam ternyata menguntit percakapan Lara dan Gilang. Cindy yang ditemani sabahatnya Inez tampak senang sekali melihat Gilang yang telah putus dari Lara. Bahkan tak segan ia menampilkan senyum penuh kemenangan."Cin, jadi Gilang beneran udah putus sama Lara?" Tanya Inez yang juga agak belum percaya semua ini."Ya lo bisa lihat sendiri kan?" Cindy terkekeh senang. "Akhirnya, tanpa harus capek-capek cari cara misahin Gilang dari si cewek munafik itu, mereka putus juga.""Tapi Cin, lihat deh tuh... Kayaknya yang sedih banget malah si Gilang." Inez merujuk ekspresi Gilang yang dilihatnya dari jauh."Apaan sih! Lihat aja nanti pa