“Mari kita mengambil jalan masing masing,” ucapku kepadanya dengan nada serius.
“Aku sudah muak dengan semua alasanmu yang tidak masuk akal. Kau terus menerus hanya memikirkan dirimu sendiri kau tidak pernah sedikitpun memikirkan keadaanku, semua alasan yang kau ucapkan hanya untuk kepentingan mu! Sudahlah mari mengakhiri percakapan ini aku sudah lelah.
“Bukan begitu hanya saja...”
“Aku udah enggak peduli, yang terbaik adalah kita berpisah dan menentukan jalan kita masing-masing,” ucapku dengan cepat memandangnya dengan sinis lalu pergi.
Dia Jene Simanjuntak salah satu teman seangkatanku yang beberapa kali melakukan pelayanan bersamaku, selama pelayanan bersama memang dia benar-benar sangat menguji kesabaranku dia itu orangnya tidak pernah tepat waktu, kekanakkanakan, selalu mengeluh dan yang paling membuatku stress adalah sifatnyai yang selalu mementingkan dirinya sendiri.
Dan mengapa aku tetap mau melakukan pelayanan denganya? Maka jawabanya adalah rasa kasihan, itulah jawaban yang dapat kuberikan. Teman-teman seangkatan merasa bahwa dia tidak tertolong karena sifatnya yang benar-benar menyebalkan mereka menyerahkanya padaku karena mereka menganggap aku adalah orang yang tepat yang dapat mengajarinya ke arah yang lebih baik dan juga dengan alasan bahwa rumah kami berdekatan.
Tapi untuk masalah kali ini aku sunguh-sungguh angkat tangan dengan sifatnya itu bagaimana tidak, awalnya kami akan bersama melakukan praktek lapangan 1 di Samosir akan tetapi disana tidak lagi menerima Mahasiswa praktek karena suda ada mahasiswa lain yang menghubungi tempat tersebut.
Lalu Jene yang tidak mau ambil pusing menyerahkan semua urusan mengenai tempat kepadaku katanya.
“Nanti yang mencari tempat kamu aja yah, aku ada urusan kalau memang udah dapat. Aku gak bakalan protes mengenai tempat, yang penting kita dapat tempat dulu.”
Aku lansung mengiyakan pernyataanya tersebut. Kemudian setelah menghubungi beberapa kenalan, salah satu Gereja yang aku hubungi yakni gereja di Sipahutar mengkonfirmasi bahwasanya mereka sudah setuju kalau kami akan praktek lapangan disana. Dengan perasaaan senang karena sudah mendapatkan tempat aku menghubungi Jene dan memberitakunya mengenai berita bagus tersebut.
“Jene di Sipahutar menerima mahasiswa praktekyah, Pendeta Ressortnya juga udah konfirmasi hal itu dan mereka minta minggu depan kita udah bisa datang kesana dan lihat-lihat situasi terlebih dahulu.”
“oh yah, Sipahutar dimana sih?” jawabnya dengan santai.
“Aku juga gak tau aku belum pernah kesana,” Ucapku dengan jujur.
“ok, aku diskusi dulu sama orangtuaku mengenai hal ini.”
Jene mematikan teleponya dan satu jam kemudian dia datang kerumahku sambil sedikit berteriak dia memulai percakapan.
“Daisy, Sipahutar itu jauh tau! aku itu enggak bisa ketempat yang jauh-jauh aku mual-mual kalau perjalanan jauh, dan karena itu jauh dari rumah entar kalau aku sakit gimana siapa donk yang bakalan ngurusin aku, iih.”
“Lansung ke intinya saja, enggak usah bertele-tele apa maksudmu,” jawabku lagi kepadanya
“Intinya aku enggak mau ketempat itu. Lagian kata mama papah aku itu tempat masih sangat perkampungan, nanti gimana kita hidup disana.”
“Kamu lagi bicara apasih Jene? Kamu yang menyerahkan kepadaku mengenai mencari tempat dan kamu bilangg bahwa apapun keputusanya maka kamu bakalan ok ok aja. Dan kamu tau kan bahwasanya mereka juga udah ok dan sekarang kamu bilang apa? engggak mau ? Sumpah becandamu itu enggak lucu Jene!” Jawabku dengan menekankan setiap kata.
“Aku gak lagi becanda Daisy, aku ini lagi bicara serius sama kamu. Aku benar-benar gak mau kesana aku udah cari informasi tentang situasi disana dan aku udah bulat memutuskan gak mau kesana.”
“Kita cari tempat lain aja kan kamu tingga menghubungi kesana lagi dan bilang kalau kita gak jadi praktek disana,” timpal jene dengan nada santai tanpa merasa bersalah.
Tanpa kusadari air mataku udah enggak bisa di bendung lagi aku kesal, aku marah aku kecewa dengan semua ucapanya. Bagaimana mungkin dengan gampangnya aku membatalkan ke Sipahutar padahal satu jam yang lalu aku sudah mengiyakan bahwasanya akan praktek disana. Bagaimana mungkin aku membatalkan padahal mereka udah dengan tangan terbuka menerima kami.
Pada akhirnya aku yang sebenarnya belum siap untuk pelayanan sendiri memutuskan untuk pisah jalan. Aku akan tetap berangkat ke Sipahutar dan untuk Jene aku tidak peduli dia mau kemana yang aku tau aku tidak lagi punya urusan dengan dia.
Tempat ini sangat indah di kelilingi oleh bukit-bukit yang menjulang cukup tinggi, hamparan sawah dan juga kebun nenas, sehingga masih sangat asri dan sangat sesuai untuk menjadi tempat menikmati keindahan alam.
Itulah bagaimana aku menggambarkan Sipahutar yang pada akhirnya menjadi tempat pilihanku untuk melaksanakan praktek lapangan 1 atau sekarang sering disebut dengan KKN.
Sipahutar merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Tapanauli Utara, Provinsi Sumatera Utara Indonesia. Aku sendiri Daisy Aritonang salah satu Mahasiswa Theologia di kampus yang cukup terkenal di Pematangsiantar, mahasiswa tingkat 3 semester 6.
Seperti ceritaku sebelumnya bahwasanya rencana awal aku akan praktek bersama temanku yang juga seangkatan denganku akan tetapi setelah perdebatan panjang kami memutuskan mengambil jalan masing-masing. Dan disinilah aku berakhir setelah perjalanan selama 20 Jam dari rumahku aku sampai di Sipahutar.
Aku menelpon Pendeta Ressort yang merupakan Pendeta yang menerimaku selama praktek mengatakan bahwa aku sudah sampai dan Beliau menyuruhku untuk menungggu. Seperti orang bodoh aku terus merasa gelisah karena ini merupakan tempat yang jauh dari rumahku dan aku belum pernah kesini aku terus melihat ke kanan dan kekiri karena merasa terancam apakah akan ada yang datang atau tidak, dan satu hal lagi tempat ini sangat-sangat dingin berbanding terbalik dengan Pekanbaru yang cuacanya panas.
Setelah menunggu selama 30 menit akhirnya sebuah mobil Toyota Rush putih datang, seseorang dari dalam mobil menurunkan setengah kaca sebelah kiri dan berkata
“Daisy kan... masuk aja.”
Hah, sangat arogan itulah kesan pertamaku terhadapnya. Bagaimana tidak dia tidak lansung mati jika dia turun dan membantuku mengangkat barang-barangku tapi apa yang barusan dikatakanya? Masuk saja benar-benar menyebalkan. Dengan susah payah aku memasukan barang-barangku dan kemudian akupun masuk ke dalam mobil.
Aku terus melirik kearahnya dengan perasaan kesal sepanjang perjalanan tidak ada percakapan diantara kami. Aku melihat keluar jendela cuaca cukup cerah akan tetapi hujan ringan tiba tiba turun
“Nalbi,” ucapnya dari depan
Hm? Nalbi?” jawabku dengan binggung dan berharap mendapatkan penjelasan namun hening tidak ada jawaban sedikitpun
“Sangat menyebalkan.”
Hanyut dengan suasana terlintas dikepalaku bagaimana perjuanganku hingga ke tempat ini aku benar-benar merasa sangat tertekan apalagi mengigat bagaimana laki-laki ini menanggapiku seluruh pikiran negatif melintas di pikiranku. Kemudian untuk mencairkan suasana aku membuka suara aku tidak ingin di anggap sombong ataupun apatis aku bertanya
“Abang, siapa namanya?”
“Daniel Joy Saragi,” jawabnya tanpa menoleh kearahku.
Sangat menyebalkan dia benar-benar minus dimataku, setelah beberapa saat kami sampai. Kami lansung di sambut oleh Pendeta Manalu dan istrinya beserta satu lagi anak laki-laki yang menurutku juga seumuran denganku dia memperkenalkan dirinya sebagai Feno Syaputra dia memiliki senyum yang ramah dengan dimpelnya yang menawan hati, itulah bagaimana aku melihatnya.
Pergilah berberes dahulu kamarmu ada di ujung ucap Pendeta sambil menunjuk ke arah kamar yang akan aku tempati, Pendeta menyuruh Feno dan Joy untuk membantuku mengangkat barang-barangku.
Setelah mengatur barang-barangku aku lansung pergi ke kamar mandi dan seperti dugaanku aku benar benar tidak tahan dengan airnya ini benar-benar sangat dingin aku mengigil dan lansung bersin-bersin, sinusitisku kambuh itulah yang terjadi aku tidak tahu bahwa Sipahutar itu dingin padahal aku adalah orang yang alergi dingin.
Dengan tegesa-gesa aku keluar dari kamar mandi dan aku sedikit terkejut dan memundurkan sedikit langkahku sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada karena Joy berdiri tepat di depan pintu.
“Apa yang kau lakukan!” Ucapku dengan nada terkejut.
Dia menatapku dengan acuh dan berkata.“Apa yang kau pikirkan,” ujarnya sambil menyerahkan cangkir berisi teh hangat, minyak kayu putih dan juga Freshcare dia berkata lagi.“Kau mungkin memerlukanya,” timpalnya berbalik lalu pergi.Aku bingung dan tidak memahami apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan.Aku berjalan ke ruang tengah dan melihat mereka sudah berkumpul, dengan hidangan sarapan pagi sudah tertata rapi di atas meja. Kemudian Inang mengajaku untuk duduk bergabung bersama dengan mereka lalu pendeta mambuka percakapan.“Mereka juga mahasiswa kkn sama sepertimu, hanya saja mereka fakultas kedokteran.” Pendeta menjelaskan mengenai Joy dan Feno kepadaku.“Oh,” jawabku sambil menganguk-angguk petanda bahwa aku mengerti.“Orang tua dari Joy merupakan sahabat kami, jadi selama tinggal di rumah ini kami harap kalian bisa saling beradaptasi. Apalagi karena Inang merupakan Gur
Disisi lain Joy tidak bisa tidur, dia gelisah dan matanya tidak mau terpejam.“Tidak bisa tidur?” tanya Feno pada Joy sambil memainkan gadgetnya“Belum ngantuk.” “Apa yang kau pikirkan? Wanita itu?” ujar Feno lagi tetap fokus memainkan gadgetnya. “Maksudmu?” Joy meminta penjelasan atas pertanyaan yang di ajuka oleh Feno. “Bukankah Daisy menarik perhatianmu.” “Berhenti mengatakan hal aneh!” bantah Joy, sambil melemparkan bantal ke arah Feno. “Hahahhahhahahahaha.” Feno tertawa keras dan menambahkan perkataanya.&
“Tok…tok…tok,” suara ketukan terdengar dari pintu kamarku, aku membuka pintu kamar dan mendapati Feno yang sudah berpakaian rapi.“Aku dan Joy mau pergi melakukan penyuluhan kesehatan, Daisy ikut?” tanya Feno kepadaku.“Aku di rumah saja, sebentar lagi aku akan ke rumah tetangga-tetangga kita sekalian mau berkenalan dengan pelayan diakones yang di samping rumah.”“Hah, untuk apa?”“Untuk bersosialisasi, kita kan tinggal disini dan melakukan praktek, jadi kita gak bisa bersikap apatis apalagi profesiku di masa depan mengharuskan untuk peduli pada hal-hal kecil sekalipun,” jawabku pada Feno.“Kalau begitu kami pergi dulu yah, btw kalau ada apa-apa hubungi kami.”“Ok tapi aku belum punya nomor kalian, ada cara lain untuk menghubungi kalian?” tanyaku sedikit menggodanya“Hahahahhahahha, bisa bertelepati?” balasnya tak mau kalah.
“Aku lapar,” ucapnya kepadaku.“Tentu saja kau lapar, kau menangis sambil berjalan.”Aku memesan makanan untuk kami berdua, dan selesai makan tidak lupa aku membungkus makananya untuk Feno karena aku yakin dia belum makan dan memilih untuk menahan lapar daripada harus pergi keluar. Setelah bungkusanya selesai aku membayar semua yang kami pesan ke kasir.“Kau mau membeli hal lain?” tanyaku padanya yang masih duduk di tempat kami makan tadi.“Tidak ada,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.“Kalau begitu kita lansung pulang.” Aku mengenggam tanganya.“Tidak perlu menggenggam taganku, aku tidak akan tersesat lagi,” katanya sambil berusaha menarik tanganya.Tanpa membalas ucapanya aku semakin mengenggam tanganya dengan erat.Sesampainya di rumah Daisy turun dari mobil dan menungguku yang sedang memasukan mobil ke bagasi. Aku melihatnya yang berdiri dan sesekal
“Aku lapar,” ucapnya kepadaku.“Tentu saja kau lapar, kau menangis sambil berjalan.”Aku memesan makanan untuk kami berdua, dan selesai makan tidak lupa aku membungkus makananya untuk Feno karena aku yakin dia belum makan dan memilih untuk menahan lapar daripada harus pergi keluar. Setelah bungkusanya selesai aku membayar semua yang kami pesan ke kasir.“Kau mau membeli hal lain?” tanyaku padanya yang masih duduk di tempat kami makan tadi.“Tidak ada,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.“Kalau begitu kita lansung pulang.” Aku mengenggam tanganya.“Tidak perlu menggenggam taganku, aku tidak akan tersesat lagi,” katanya sambil berusaha menarik tanganya.Tanpa membalas ucapanya aku semakin mengenggam tanganya dengan erat.Sesampainya di rumah Daisy turun dari mobil dan menungguku yang sedang memasukan mobil ke bagasi. Aku melihatnya yang berdiri dan sesekal
“Tok…tok…tok,” suara ketukan terdengar dari pintu kamarku, aku membuka pintu kamar dan mendapati Feno yang sudah berpakaian rapi.“Aku dan Joy mau pergi melakukan penyuluhan kesehatan, Daisy ikut?” tanya Feno kepadaku.“Aku di rumah saja, sebentar lagi aku akan ke rumah tetangga-tetangga kita sekalian mau berkenalan dengan pelayan diakones yang di samping rumah.”“Hah, untuk apa?”“Untuk bersosialisasi, kita kan tinggal disini dan melakukan praktek, jadi kita gak bisa bersikap apatis apalagi profesiku di masa depan mengharuskan untuk peduli pada hal-hal kecil sekalipun,” jawabku pada Feno.“Kalau begitu kami pergi dulu yah, btw kalau ada apa-apa hubungi kami.”“Ok tapi aku belum punya nomor kalian, ada cara lain untuk menghubungi kalian?” tanyaku sedikit menggodanya“Hahahahhahahha, bisa bertelepati?” balasnya tak mau kalah.
Disisi lain Joy tidak bisa tidur, dia gelisah dan matanya tidak mau terpejam.“Tidak bisa tidur?” tanya Feno pada Joy sambil memainkan gadgetnya“Belum ngantuk.” “Apa yang kau pikirkan? Wanita itu?” ujar Feno lagi tetap fokus memainkan gadgetnya. “Maksudmu?” Joy meminta penjelasan atas pertanyaan yang di ajuka oleh Feno. “Bukankah Daisy menarik perhatianmu.” “Berhenti mengatakan hal aneh!” bantah Joy, sambil melemparkan bantal ke arah Feno. “Hahahhahhahahahaha.” Feno tertawa keras dan menambahkan perkataanya.&
Dia menatapku dengan acuh dan berkata.“Apa yang kau pikirkan,” ujarnya sambil menyerahkan cangkir berisi teh hangat, minyak kayu putih dan juga Freshcare dia berkata lagi.“Kau mungkin memerlukanya,” timpalnya berbalik lalu pergi.Aku bingung dan tidak memahami apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan.Aku berjalan ke ruang tengah dan melihat mereka sudah berkumpul, dengan hidangan sarapan pagi sudah tertata rapi di atas meja. Kemudian Inang mengajaku untuk duduk bergabung bersama dengan mereka lalu pendeta mambuka percakapan.“Mereka juga mahasiswa kkn sama sepertimu, hanya saja mereka fakultas kedokteran.” Pendeta menjelaskan mengenai Joy dan Feno kepadaku.“Oh,” jawabku sambil menganguk-angguk petanda bahwa aku mengerti.“Orang tua dari Joy merupakan sahabat kami, jadi selama tinggal di rumah ini kami harap kalian bisa saling beradaptasi. Apalagi karena Inang merupakan Gur
“Mari kita mengambil jalan masing masing,” ucapku kepadanya dengan nada serius.“Aku sudah muak dengan semua alasanmu yang tidak masuk akal. Kau terus menerus hanya memikirkan dirimu sendiri kau tidak pernah sedikitpun memikirkan keadaanku, semua alasan yang kau ucapkan hanya untuk kepentingan mu! Sudahlah mari mengakhiri percakapan ini aku sudah lelah.“Bukan begitu hanya saja...”“Aku udah enggak peduli, yang terbaik adalah kita berpisah dan menentukan jalan kita masing-masing,” ucapku dengan cepat memandangnya dengan sinis lalu pergi.Dia Jene Simanjuntak salah satu teman seangkatanku yang beberapa kali melakukan pelayanan bersamaku, selama pelayanan bersama memang dia benar-benar sangat menguji kesabaranku dia itu orangnya tidak pernah tepat waktu, kekanakkanakan, selalu mengeluh dan yang paling membuatku stress adalah sifatnyai yang selalu mementingkan dirinya sendiri.Dan mengapa a