Share

Bab 4 Payung

Penulis: HadasaSjtk
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-14 10:49:22

“Tok…tok…tok,” suara ketukan terdengar dari pintu kamarku, aku membuka pintu kamar dan mendapati Feno yang sudah berpakaian rapi.

“Aku dan Joy mau pergi melakukan penyuluhan kesehatan, Daisy ikut?” tanya Feno kepadaku.

“Aku di rumah saja, sebentar lagi aku akan ke rumah tetangga-tetangga kita sekalian mau berkenalan dengan pelayan diakones yang di samping rumah.”

“Hah, untuk apa?”

“Untuk bersosialisasi, kita kan tinggal disini dan melakukan praktek, jadi kita gak bisa bersikap apatis apalagi profesiku di masa depan mengharuskan untuk peduli pada hal-hal kecil sekalipun,” jawabku pada Feno.

“Kalau begitu kami pergi dulu yah, btw kalau ada apa-apa hubungi kami.”

“Ok tapi aku belum punya nomor kalian, ada cara lain untuk menghubungi kalian?” tanyaku sedikit menggodanya

“Hahahahhahahha, bisa bertelepati?” balasnya tak mau kalah.

“Feno cepatlah!” teriak Joy dari luar.

“Sebentar lagi Joy akan menabrakan mobil itu jika aku tidak segera keluar.”

“Itu akan sangat berbahaya, baiklah agar itu tidak terjadi sini nomormu.”

“Keputusan yang bagus ketiklah 0822XXXXXX, hubungi kami jika terjadi sesuatu,” ujarnya berjalan menjauh dan menghampiri Joy yang sudah menunggu.

Setelah mereka pergi aku juga keluar dari rumah menuju ke rumah pelayan diakones yang berada di samping rumah kami. Inang diakones sangat ramah dan menyambutku dengan sangat baik setelah berbincang-bincang agak lama, Inang mengajaku untuk bertemu dengan perkumpulan ibu-ibu yang ada di tempat ini.

Disini memiliki tradisi yang cukup unik yakni, karena Pasar hanya sekali seminggu yaitu pada hari selasa. Maka keluarga-keluarga disini tidak pergi bekerja keladang, melainkan menjual barang daganganya atau hanya sekedar belanja keperluan sehari-hari.

Setelah berkendara cukup jauh kami ke pasar dan bertemu dengan beberapa perkumulan ibu-ibu arisan yang sedang memilih milih bunga untuk dijadikan sebagai bunga altar. Mereka tampak kebinggungan memilih bunga yang ada di depanya, salah satu ibu bertanya kepada diakones.

“Inang bunga mana yang biasanya di jadikan bunga altar?”

“Yang paling umum, sih bunga aster nang iyakan Daisy?”

“Disini cuacanya dingin inang jadi banyak bunga yang bisa tumbuh mekar, kita bisa gunakan bunga aster warna warni di padukan sama bunga krisan. Terus nanti biar kelihatan ramai dan mewah kita bisa tambahkan bunga kecil-kecil ini nang nama bunganya baby’s Breath, nanti lapis luarnya kita bisa gunakan dedaunan yang berukuran sedang,” jawabku sambil menunjukan beberapa bunga kepada kumpulan ibu arisan itu.

“Kau tau banyak tentang bunga,” ucap salah satu ibu dengan pakaian formal yang sangat rapi.

“Ini nang mahasiswa praktek, dari sekolah pendeta Siantar. Dia melayani di salah satu pagaran kita, kebetulan tadi datang kerumah yaudah aku ajak aja biar pada kenal sama inang-inang yang tinggal di tempat kita ini.

“Ooh Mahasiswa sekolah pendeta, kapan sampainya inang?”

“Semalam pagi inang.”

Setelah memperkenalkan diri kamipun diundang ke rumah salah satu Ibu yang memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Dina untuk makan siang, sekaligus untuk merangkai bunga yang sudah kami beli. Kamipun berangkat sesampainya di rumah Ibu yang mengundang kami, disana kami di suguhkan dengan makanan yang sudah terhidangkan di lesehan.

Sambil makan kami berbicara banyak hal, dilanjutkan dengan merangkai bunga. Mereka memberikan banyak pemahaman yang menarik yang menjadi pelajaran yang menambah wawasanku mengenai tempat ini.

Tiba-tiba Inang diakones permisi untuk pulang terlebih dahulu karena ada urusan yang sangat mendesak mengharuskan mereka untuk segera pergi.

“Kami pulang terlebih dahulu yah inang Daisy bisa pulang sendiri, kan nanti bilang aja sama tukang ankotnya turun di depan rumah pendeta.”

Inang diakones benar-benar sangat terburu buru yang membuatku tidak bisa menolak dan lansung setuju, padahal aku sendiri benar-benar tidak tahu ini ada dimana dan nanti naik angkot yang bagaimana.

Setelah selesai merangkai bunga, aku juga berpamitan kepada tuan rumah dan juga ibu-ibu lain yang berada disana. Mereka menawarkan untuk mengantarkanku, tapi aku menolak karena aku tahu mereka juga sibuk dan juga lelah aku tidak mau merepotkan mereka.

Aku berjalan menuju jalan utama dan menunggu angkot disana akan tetapi jalanan sangat sepi dan kendaraan yang berlalu lalang juga bisa di hitung. Tidak sabar menunggu aku berinisiatif untuk menyusuri jalanan pelan-pelan.

Walau berjalan sudah cukup lama angkot tidak kunjung lewat, aku mulai sedikit gelisah da melihat sekelilingku hanya terdapat rumah yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Dan aku juga mempercepat jalanku ketika melewati lapo tuak atau tempat minum-minum.

Dan sekarang aku benar-benar sangat panik karena hari sudah mulai gelap dan aku juga sudah mulai lelah. Aku teringat bahwa tadi pagi aku menyimpan nomor Feno, cepat-cepat aku mengeluarkan hpku dari saku celanaku dan berusaha menelponya. Sudah beberapa kali menghubungi tidak ada jawaban.

Aku sangat putus asa, air mata sudah mulai mengenang di pelupu mataku aku mencoba meghubungi Feno sekali lagi.

Di tempat lain Joy yang baru selesai mandi melihat hp Feno diatas kasur yang terus berdering, sejenak dia ragu untuk mengangkat karena nomor yang menghubungi tidak bernama tapi karena terus menerus berdering pada akhirnya Joy mengangkatnya.

“Hallo.” Aku memulai percakapan.

 “Hallo.” Suara dari seberang menyahutku.

 “Ini Daisy aku tersesat aku …hiks hiks hiks,” timpalnya dan tagisanya mulai pecah, tangisan wanita itu membuat apa yang di ucapkanya tidak terdengar dengan jelas.

“Yakkkkk!! Jangan menangis bicaralah dengan jelas agar aku bisa paham!” bentakku karena dia tidak berbicara dengan jelas dan hanya menangis.

“Aku aku tadi aku diajak inang diakones berkunjung ke rumah ibu-ibu arisan, terus aku takut ngerepotin inang dan mereka, jadi aku bilang aku bisa pulang sendiri, sekarang aku enggak tau aku dimana,” jelasnya kepadaku sambil menahan tagisanya.

“Cobalah tenang sekarang lihat sekitarmu, apa yang kau lihat.”

“Disini ada rumah berjarak-jarak cukup jauh satu sama lain, lalu aku baru saja melewati seperti perkebunan sayur terus …tut…tut…tut,” telepon kami terputus, aku berusaha untuk menelpon wanita itu kembali akan tetapi nihil tidak ada jawaban sedikitpun.

Daisy berusaha mengoyang-goyangkan hpnya agar mendapatkan jaringan namun usaha yang dilakukanya sia-sia.

“Apakah aku akan mati disini,” pikir Daisy dalam hati, sambil tetap berjalan dengan air mata yang terus membanjiri pipinya.

Di rumah Joy juga benar-benar panik, dia datang ke rumah Inang Diakones akan tetapi rumahnya tutup dan tidak ada orang. Lalu dia bergegas masuk ke dalam mobil dan menghubungi Inang Diakones setelah beberapa kali menghubungi, puji syukur inang itu mengangkat dan memberitahukan alamat tempat mereka tadi berkumpul.

Joy terus menyusuri jalan, pada akhirnya dari kejauhan melihat seseorang yang berjalan dengan kepala meununduk sambil memeluk dirinya sendiri. Tadi jantungku hampir meledak ketika dia mengatakan bahwasanya dia tersesat, aku sangat khawatir sampai tidak tau harus berbuat apa.

Aku meminggirkan mobil dan turun, berlari ke arah Daisy, menarik tanganya dan membawanya kedalam pelukanku aku sangat lega melihat dia tidak kenapa-napa.

“Mamah hiks hiks hiks mamah hiks hiks,” tangisnya pecah dan tubuhnya bergetar hebat pertanda bahwasanya dia sudah sangat ketakutan.

“Tenanglah, aku sudah disini semua sudah baik baik saja.”

Setelah tangisanya meredah aku merenggangkan pelukanku dan mengangkat dagunya, menatap matanya dan kembali menariknya kedalam pelukanku. Entak perasaan apa yang menggerogoti hatiku yang aku tahu aku benar-benar sangat takut jika suatu hal terjadi padanya.

Ko“Dasar gadis bodoh,” ujarku sambil menghusap kepalanya dengan lembut.

Kemudian kami berjalan, tanganku dengan setia menggenggam tanganya dan menuntunya ke mobil. Setelah Daisy masuk, aku juga menyusul. Aku melihatnya yang duduk tanpa mengeluarkan suara, kemudian aku memasangkan sabuk pengamanya sambil menatapnya yang masih terdiam dengan tatapan kosong.

Aku mengendarai mobil dan membawa kami ke tempat makan, setelah sampai aku melepas sabuk pengamanya, membukakan pintu mobil untuknya dan menuntunya keluar. Menurutku wanita ini benar-benar terguncang dengan kejadian tadi.

“Daisy.” Panggilku

“Hmm,” jawabnya dalam keadaan kepala menunduk

“Daisy, lihat kesini.”

Gadis itu berlahan mengangkat kepalanya lalu melihat kearahku.

“Kamu tahu kan kalau kamu salah.”

“Aku salah, tapi aku hanya enggak mau ngerepotin orang-orang disekitarku,” bantahnya diikuti air matanya yang kembali berlinang.

“Terus kalau kejadinya seperti tadi, kamu masih mau bilang enggak mau ngerepotin,” Aku mengambil tisu dan menghapus air matanya dengan berlahan.

“Kau tahu Daisy, kita selalu takut kalau ngerepotin orang lain padahal terkadang sesuatu yang seperti itu perlu. Aku harap mulai dari sekarang kamu tahu cara memegang payung untuk orang lain dan aku juga berharap kamu dapat menerima payung yang di pegang, kan orang lain kepadamu,” lanjutku menjelaskan kepadanya.

“Maaf, aku salah aku enggak bakalan mengulang hal begituan lagi.” Tatapan matanya terlihat dalam dan meyakinkan.

“Seharusnya memang begitu.”

Bab terkait

  • Love and beautiful life   Bab 5 Berjalanlah Disampingku

    “Aku lapar,” ucapnya kepadaku.“Tentu saja kau lapar, kau menangis sambil berjalan.”Aku memesan makanan untuk kami berdua, dan selesai makan tidak lupa aku membungkus makananya untuk Feno karena aku yakin dia belum makan dan memilih untuk menahan lapar daripada harus pergi keluar. Setelah bungkusanya selesai aku membayar semua yang kami pesan ke kasir.“Kau mau membeli hal lain?” tanyaku padanya yang masih duduk di tempat kami makan tadi.“Tidak ada,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.“Kalau begitu kita lansung pulang.” Aku mengenggam tanganya.“Tidak perlu menggenggam taganku, aku tidak akan tersesat lagi,” katanya sambil berusaha menarik tanganya.Tanpa membalas ucapanya aku semakin mengenggam tanganya dengan erat.Sesampainya di rumah Daisy turun dari mobil dan menungguku yang sedang memasukan mobil ke bagasi. Aku melihatnya yang berdiri dan sesekal

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-16
  • Love and beautiful life   Bab I Nalbi

    “Mari kita mengambil jalan masing masing,” ucapku kepadanya dengan nada serius.“Aku sudah muak dengan semua alasanmu yang tidak masuk akal. Kau terus menerus hanya memikirkan dirimu sendiri kau tidak pernah sedikitpun memikirkan keadaanku, semua alasan yang kau ucapkan hanya untuk kepentingan mu! Sudahlah mari mengakhiri percakapan ini aku sudah lelah.“Bukan begitu hanya saja...”“Aku udah enggak peduli, yang terbaik adalah kita berpisah dan menentukan jalan kita masing-masing,” ucapku dengan cepat memandangnya dengan sinis lalu pergi.Dia Jene Simanjuntak salah satu teman seangkatanku yang beberapa kali melakukan pelayanan bersamaku, selama pelayanan bersama memang dia benar-benar sangat menguji kesabaranku dia itu orangnya tidak pernah tepat waktu, kekanakkanakan, selalu mengeluh dan yang paling membuatku stress adalah sifatnyai yang selalu mementingkan dirinya sendiri.Dan mengapa a

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-08
  • Love and beautiful life   Bab 2 Tersenyum Manis

    Dia menatapku dengan acuh dan berkata.“Apa yang kau pikirkan,” ujarnya sambil menyerahkan cangkir berisi teh hangat, minyak kayu putih dan juga Freshcare dia berkata lagi.“Kau mungkin memerlukanya,” timpalnya berbalik lalu pergi.Aku bingung dan tidak memahami apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan.Aku berjalan ke ruang tengah dan melihat mereka sudah berkumpul, dengan hidangan sarapan pagi sudah tertata rapi di atas meja. Kemudian Inang mengajaku untuk duduk bergabung bersama dengan mereka lalu pendeta mambuka percakapan.“Mereka juga mahasiswa kkn sama sepertimu, hanya saja mereka fakultas kedokteran.” Pendeta menjelaskan mengenai Joy dan Feno kepadaku.“Oh,” jawabku sambil menganguk-angguk petanda bahwa aku mengerti.“Orang tua dari Joy merupakan sahabat kami, jadi selama tinggal di rumah ini kami harap kalian bisa saling beradaptasi. Apalagi karena Inang merupakan Gur

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-11
  • Love and beautiful life   Bab 3 Menarik Perhatian

    Disisi lain Joy tidak bisa tidur, dia gelisah dan matanya tidak mau terpejam.“Tidak bisa tidur?” tanya Feno pada Joy sambil memainkan gadgetnya“Belum ngantuk.” “Apa yang kau pikirkan? Wanita itu?” ujar Feno lagi tetap fokus memainkan gadgetnya. “Maksudmu?” Joy meminta penjelasan atas pertanyaan yang di ajuka oleh Feno. “Bukankah Daisy menarik perhatianmu.” “Berhenti mengatakan hal aneh!” bantah Joy, sambil melemparkan bantal ke arah Feno. “Hahahhahhahahahaha.” Feno tertawa keras dan menambahkan perkataanya.&

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13

Bab terbaru

  • Love and beautiful life   Bab 5 Berjalanlah Disampingku

    “Aku lapar,” ucapnya kepadaku.“Tentu saja kau lapar, kau menangis sambil berjalan.”Aku memesan makanan untuk kami berdua, dan selesai makan tidak lupa aku membungkus makananya untuk Feno karena aku yakin dia belum makan dan memilih untuk menahan lapar daripada harus pergi keluar. Setelah bungkusanya selesai aku membayar semua yang kami pesan ke kasir.“Kau mau membeli hal lain?” tanyaku padanya yang masih duduk di tempat kami makan tadi.“Tidak ada,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.“Kalau begitu kita lansung pulang.” Aku mengenggam tanganya.“Tidak perlu menggenggam taganku, aku tidak akan tersesat lagi,” katanya sambil berusaha menarik tanganya.Tanpa membalas ucapanya aku semakin mengenggam tanganya dengan erat.Sesampainya di rumah Daisy turun dari mobil dan menungguku yang sedang memasukan mobil ke bagasi. Aku melihatnya yang berdiri dan sesekal

  • Love and beautiful life   Bab 4 Payung

    “Tok…tok…tok,” suara ketukan terdengar dari pintu kamarku, aku membuka pintu kamar dan mendapati Feno yang sudah berpakaian rapi.“Aku dan Joy mau pergi melakukan penyuluhan kesehatan, Daisy ikut?” tanya Feno kepadaku.“Aku di rumah saja, sebentar lagi aku akan ke rumah tetangga-tetangga kita sekalian mau berkenalan dengan pelayan diakones yang di samping rumah.”“Hah, untuk apa?”“Untuk bersosialisasi, kita kan tinggal disini dan melakukan praktek, jadi kita gak bisa bersikap apatis apalagi profesiku di masa depan mengharuskan untuk peduli pada hal-hal kecil sekalipun,” jawabku pada Feno.“Kalau begitu kami pergi dulu yah, btw kalau ada apa-apa hubungi kami.”“Ok tapi aku belum punya nomor kalian, ada cara lain untuk menghubungi kalian?” tanyaku sedikit menggodanya“Hahahahhahahha, bisa bertelepati?” balasnya tak mau kalah.

  • Love and beautiful life   Bab 3 Menarik Perhatian

    Disisi lain Joy tidak bisa tidur, dia gelisah dan matanya tidak mau terpejam.“Tidak bisa tidur?” tanya Feno pada Joy sambil memainkan gadgetnya“Belum ngantuk.” “Apa yang kau pikirkan? Wanita itu?” ujar Feno lagi tetap fokus memainkan gadgetnya. “Maksudmu?” Joy meminta penjelasan atas pertanyaan yang di ajuka oleh Feno. “Bukankah Daisy menarik perhatianmu.” “Berhenti mengatakan hal aneh!” bantah Joy, sambil melemparkan bantal ke arah Feno. “Hahahhahhahahahaha.” Feno tertawa keras dan menambahkan perkataanya.&

  • Love and beautiful life   Bab 2 Tersenyum Manis

    Dia menatapku dengan acuh dan berkata.“Apa yang kau pikirkan,” ujarnya sambil menyerahkan cangkir berisi teh hangat, minyak kayu putih dan juga Freshcare dia berkata lagi.“Kau mungkin memerlukanya,” timpalnya berbalik lalu pergi.Aku bingung dan tidak memahami apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan.Aku berjalan ke ruang tengah dan melihat mereka sudah berkumpul, dengan hidangan sarapan pagi sudah tertata rapi di atas meja. Kemudian Inang mengajaku untuk duduk bergabung bersama dengan mereka lalu pendeta mambuka percakapan.“Mereka juga mahasiswa kkn sama sepertimu, hanya saja mereka fakultas kedokteran.” Pendeta menjelaskan mengenai Joy dan Feno kepadaku.“Oh,” jawabku sambil menganguk-angguk petanda bahwa aku mengerti.“Orang tua dari Joy merupakan sahabat kami, jadi selama tinggal di rumah ini kami harap kalian bisa saling beradaptasi. Apalagi karena Inang merupakan Gur

  • Love and beautiful life   Bab I Nalbi

    “Mari kita mengambil jalan masing masing,” ucapku kepadanya dengan nada serius.“Aku sudah muak dengan semua alasanmu yang tidak masuk akal. Kau terus menerus hanya memikirkan dirimu sendiri kau tidak pernah sedikitpun memikirkan keadaanku, semua alasan yang kau ucapkan hanya untuk kepentingan mu! Sudahlah mari mengakhiri percakapan ini aku sudah lelah.“Bukan begitu hanya saja...”“Aku udah enggak peduli, yang terbaik adalah kita berpisah dan menentukan jalan kita masing-masing,” ucapku dengan cepat memandangnya dengan sinis lalu pergi.Dia Jene Simanjuntak salah satu teman seangkatanku yang beberapa kali melakukan pelayanan bersamaku, selama pelayanan bersama memang dia benar-benar sangat menguji kesabaranku dia itu orangnya tidak pernah tepat waktu, kekanakkanakan, selalu mengeluh dan yang paling membuatku stress adalah sifatnyai yang selalu mementingkan dirinya sendiri.Dan mengapa a

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status