Britne tersadar dari tidur panjang, lalu membuka mata karena bau obat yang menyengat hidung. Menahan denyut sakit di kepala, dia mengedarkan pandangan yang sedikit mengabur.“Britne sudah sadar,” seru Inggrid yang langsung menggenggam tangan putrinya kuat.“Mama …” gumam Britne lemah.Mendengar seruan Inggrid, semua orang mendekat dan mengerubungi ranjang rumah sakit tempat Britne terbaring, ada kedua orang tuanya dan saudaranya Geena serta Trevor.Britne mengabsen satu persatu orang yang mengelilinginya, tetapi tidak ada Alvaro di antara mereka. Dia sudah akan menanyakan keberadaan suaminya, namun ingatan akan kecelakaan mobil itu datang mengganggu.“Cedric …! Dimana Cedric?” Rasa panik dan cemas langsung menghinggapinya.“Cedric baik-baik saja, dia sedang menjalani perawatan di kamar sebelah dan semua sudah terkendali,” jelas Inggrid menenangkan putrinya.“Bagaimana keadaan papa Alvaro?” tanya Britne lagi tak memikirkan dirinya tetapi lebih memikirkan orang-orang yang disayanginya.
Alvaro mengasingkan diri di pojok rumah sakit yang gelap. Dia berada dalam titik stress yang cukup tinggi, bahkan masalah peternakan tidak pernah membawanya ke titik terendahnya saat ini. Dengan tubuh lunglai lesu, dia terduduk di lantai dengan punggung bersandar di dinding rumah sakit.Kedua tangannya meremas serta mengacak rambutnya berharap denyut sakit di kepalanya menghilang, namun ingatan samar menyeretnya ke masa lalu yang selama ini sama sekali tidak pernah dia ingat.Tubuhnya berada di sebuah kamar yang gelap yang hanya diterangi lampu kota dari balik dinding apartemen. Tangannya mengusap kulit halus sehalus porselen, kulit yang kini terasa tidak asing baginya. Desahan dan erangan panas saling bersahut saat tubuhnya bergerak menindih seorang wanita yang terasa hangat dan lembut.Setiap kali pinggulnya bergerak, dia merasa melayang karena kenikmatan yang tak bisa diungkapkan.Sayangnya, dia tak dapat melihat wajah wanita yang sedang bersamanya, tetapi aroma tubuh wanita itu me
“Hari itu aku begitu hancur,” ucap Alvaro mengingat kembali hari pernikahannya yang gagal.“Ya, aku tahu karena Geena mencampakkanmu,” sindir Britne, membuat Alvaro menggeram kesal.“Bukan Geena yang mencampakkanku tapi kamu,” balas Alvaro sambil mencubit hidung Britne gemas.“Aku …? Jangan melemparkan kesalahan!” Britne tidak terima tuduhan suaminya.“Aku hancur karena kamu menolak pernikahan kita. Aku mengira batalnya pernikahanku dengan Geena adalah kesempatan terbaik agar aku bisa memilikimu, tetapi kenyataannya itu malah menjadi mimpi buruk yang panjang.”Britne menggigit bibir merasa bersalah, dia terdiam dan memilih untuk mendengarkan penjelasan suaminya lebih lanjut.“Setelah sampai apartemen, aku mabuk berat dan pikiranku saling tumpang tindih. Aku ingin mengatakan jika aku tidak menginginkan Geena sebagai istriku dan bersyukur pernikahan kami batal karena aku mencintaimu. Mungkin hal itulah yang membuatku berkata bodoh dengan mengatakan jika aku mencintai Geena.”“Jadi semua
Britne masuk ke apartemen Alvaro dengan rasa cemas dan khawatir, dia tahu jika Alvaro pasti sangat terpukul setelah acara pernikahannya gagal. Geena, saudara kembarnya melarikan diri dan meninggalkan pria itu begitu saja di hari pernikahan mereka.Sebagai seorang sahabat, dia tidak mungkin diam saja. Karena itu, dia datang ke apartemen Alvaro berniat untuk menghiburnya.Sesampainya di sana dia mendapati apartemen yang sepi dan gelap. Britne melangkah masuk mencari keberadaan sahabatnya itu.“Alvaro, apakah kamu baik-baik saja?” suaranya menggema di dinding apartemen tanpa balasan.Berusaha menajamkan penglihatan, Britne beradaptasi dalam kegelapan, mengandalkan kerlip lampu kota dari kejauhan sebagai penerangan meski cahayanya sangat minim.“Dimana dirimu?” tanya Britne sambil berjalan perlahan, meraba dinding di dekatnya mencari saklar lampu.Baru saja tangannya hendak menekan saklar tersebut, suara parau dan berat menghentikan gerakannya.“Jangan nyalakan lampunya! Aku sedang ingin
Tiga tahun kemudian …Britne duduk di kursi belakang sebuah mobil sambil menatap padang hijau yang sangat dirindukannya. Dia menurunkan kaca mobil lalu menghirup udara segar pedesaan yang beraroma rumput basah.Tiga tahun dia meninggalkan rumah, bersembunyi di ujung dunia demi meninggalkan masa lalu yang kelam. Harapan baru muncul saat hatinya yakin jika semua sudah baik-baik saja.Tatapannya beralih ke seorang anak berumur dua tahun yang tidur nyenyak di pangkuannya. Wajah tampan anak itu menghanyutkannya ke dalam lamunan.“Sebentar lagi kamu akan bertemu grandpa dan grandma. Di sini ada banyak kuda dan kamu bisa menaikinya, mama yakin kamu akan suka tinggal disini,” ucapnya sambil mengusap rambut anak itu.Mobil yang dinaikinya berhenti di depan sebuah rumah dengan bentuk bangunan yang masih sama seperti yang dia tinggalkan terakhir kali. Belum sempat dirinya keluar dari mobil, papa dan mamanya sudah keluar dari dalam rumah untuk menyambut kedatangannya.Mata Britne berkaca-kaca men
Ketegangan Britne dan Geena masih terus berlanjut hingga acara pernikahan sepupu mereka berlangsung. Dia sengaja menghindar dari keramaian dan menatap acara pernikahan tersebut dari kejauhan.“Pernikahan yang sangat indah,” pujinya sedikit iri.Berusaha mengurangi kegalauan hati, Britne mengambil minuman yang berada di pojok taman. Saat berbalik langkahnya terhenti melihat sosok pria yang dihindarinya selama ini. Jantungnya seketika berdetak sangat cepat dan tubuhnya gemetar tanpa alasan.“Al-Alvaro ...” ucapnya gagap.Mata pria itu menatap tajam tak bersahabat ke arahnya, tatapan lembut yang dulu sering Alvaro berikan, kini lenyap tak berbekas. Britne mendapati pria yang berbeda dari sahabatnya dulu, hal itu membuatnya semakin gugup.“Kemana saja dirimu selama ini?” tanya Alvaro yang sama sekali tidak ingat hal terakhir yang dia lakukan pada Britne.“Aku menyingkir untuk menenangkan diri,” jawab Britne.“Menenangkan diri?” ulang Alvaro dengan seringai sinis. “Aku yang gagal menikah,
Malam hari, Britne tidur dengan gelisah. Mimpi yang selama ini mengganggu tidurnya, datang kembali. Dia meringis menahan rasa sakit di pangkal paha, rasa nyeri itu masih teringat jelas di alam bawah sadar.“Geena, aku mencintaimu,” racau Alvaro sesaat setelah pria itu meledakkan benih di dalam rahimnya.Telinga Britne berdenging sakit ketika mendengar hal tersebut, dia langsung terbangun dengan nafas terengah, keringat dingin membasahi tubuh, air mata menetes karena rasa sakit yang mencengkram hati, jantungnya berdetak kencang karena kemarahan yang meliputi.Malam itu, tiga tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar, hal tersebut membuatnya trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Alvaro berhasil meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan menyebut nama Geena di dalam percintaan mereka.Lebih menyedihkan lagi, pria itu tidak pernah ingat tentang malam yang mereka lewati bersama karena melakukannya dalam keadaan mabuk. Sampai detik ini, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu tentan
Alvaro melirik sekilas ke arah Britne lalu melemparkan handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut ke kursi di dekatnya, sengaja mengabaikan keterkejutan wanita itu.“Bagaimana aku bisa bersamamu?” tanya Britne heran.“Memangnya siapa yang kamu harapkan bersamamu saat ini, pria brengsek yang ingin melecehkanmu itu?” sindir Alvaro.“Aku tidak tahu jika dia pria jahat.”“Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu begitu bodoh, mudah tergoda oleh bujuk rayu pria,” geram Alvaro menahan kemarahan tanpa memikirkan apa yang dia katakan.“Aku tidak …” Britne seketika terdiam tak melanjutkan perkataannya karena percuma saja dia menyangkal, Alvaro tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan.Sambil tertunduk lesu, tangannya meremas bagian depan kemeja yang dipakai. Untuk sekian kali Alvaro meruntuhkan kepercayaan dirinya, membentuk persepsi di alam bawah sadar jika dirinya memang benar-benar bodoh.Bibir Britne gemetar, dadanya terasa sesak, ingin sekali dia menjauh dari pria itu tetapi ada ya