Britne masuk ke apartemen Alvaro dengan rasa cemas dan khawatir, dia tahu jika Alvaro pasti sangat terpukul setelah acara pernikahannya gagal. Geena, saudara kembarnya melarikan diri dan meninggalkan pria itu begitu saja di hari pernikahan mereka.Sebagai seorang sahabat, dia tidak mungkin diam saja. Karena itu, dia datang ke apartemen Alvaro berniat untuk menghiburnya.Sesampainya di sana dia mendapati apartemen yang sepi dan gelap. Britne melangkah masuk mencari keberadaan sahabatnya itu.“Alvaro, apakah kamu baik-baik saja?” suaranya menggema di dinding apartemen tanpa balasan.Berusaha menajamkan penglihatan, Britne beradaptasi dalam kegelapan, mengandalkan kerlip lampu kota dari kejauhan sebagai penerangan meski cahayanya sangat minim.“Dimana dirimu?” tanya Britne sambil berjalan perlahan, meraba dinding di dekatnya mencari saklar lampu.Baru saja tangannya hendak menekan saklar tersebut, suara parau dan berat menghentikan gerakannya.“Jangan nyalakan lampunya! Aku sedang ingin
Tiga tahun kemudian …Britne duduk di kursi belakang sebuah mobil sambil menatap padang hijau yang sangat dirindukannya. Dia menurunkan kaca mobil lalu menghirup udara segar pedesaan yang beraroma rumput basah.Tiga tahun dia meninggalkan rumah, bersembunyi di ujung dunia demi meninggalkan masa lalu yang kelam. Harapan baru muncul saat hatinya yakin jika semua sudah baik-baik saja.Tatapannya beralih ke seorang anak berumur dua tahun yang tidur nyenyak di pangkuannya. Wajah tampan anak itu menghanyutkannya ke dalam lamunan.“Sebentar lagi kamu akan bertemu grandpa dan grandma. Di sini ada banyak kuda dan kamu bisa menaikinya, mama yakin kamu akan suka tinggal disini,” ucapnya sambil mengusap rambut anak itu.Mobil yang dinaikinya berhenti di depan sebuah rumah dengan bentuk bangunan yang masih sama seperti yang dia tinggalkan terakhir kali. Belum sempat dirinya keluar dari mobil, papa dan mamanya sudah keluar dari dalam rumah untuk menyambut kedatangannya.Mata Britne berkaca-kaca men
Ketegangan Britne dan Geena masih terus berlanjut hingga acara pernikahan sepupu mereka berlangsung. Dia sengaja menghindar dari keramaian dan menatap acara pernikahan tersebut dari kejauhan.“Pernikahan yang sangat indah,” pujinya sedikit iri.Berusaha mengurangi kegalauan hati, Britne mengambil minuman yang berada di pojok taman. Saat berbalik langkahnya terhenti melihat sosok pria yang dihindarinya selama ini. Jantungnya seketika berdetak sangat cepat dan tubuhnya gemetar tanpa alasan.“Al-Alvaro ...” ucapnya gagap.Mata pria itu menatap tajam tak bersahabat ke arahnya, tatapan lembut yang dulu sering Alvaro berikan, kini lenyap tak berbekas. Britne mendapati pria yang berbeda dari sahabatnya dulu, hal itu membuatnya semakin gugup.“Kemana saja dirimu selama ini?” tanya Alvaro yang sama sekali tidak ingat hal terakhir yang dia lakukan pada Britne.“Aku menyingkir untuk menenangkan diri,” jawab Britne.“Menenangkan diri?” ulang Alvaro dengan seringai sinis. “Aku yang gagal menikah,
Malam hari, Britne tidur dengan gelisah. Mimpi yang selama ini mengganggu tidurnya, datang kembali. Dia meringis menahan rasa sakit di pangkal paha, rasa nyeri itu masih teringat jelas di alam bawah sadar.“Geena, aku mencintaimu,” racau Alvaro sesaat setelah pria itu meledakkan benih di dalam rahimnya.Telinga Britne berdenging sakit ketika mendengar hal tersebut, dia langsung terbangun dengan nafas terengah, keringat dingin membasahi tubuh, air mata menetes karena rasa sakit yang mencengkram hati, jantungnya berdetak kencang karena kemarahan yang meliputi.Malam itu, tiga tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar, hal tersebut membuatnya trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Alvaro berhasil meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan menyebut nama Geena di dalam percintaan mereka.Lebih menyedihkan lagi, pria itu tidak pernah ingat tentang malam yang mereka lewati bersama karena melakukannya dalam keadaan mabuk. Sampai detik ini, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu tentan
Alvaro melirik sekilas ke arah Britne lalu melemparkan handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut ke kursi di dekatnya, sengaja mengabaikan keterkejutan wanita itu.“Bagaimana aku bisa bersamamu?” tanya Britne heran.“Memangnya siapa yang kamu harapkan bersamamu saat ini, pria brengsek yang ingin melecehkanmu itu?” sindir Alvaro.“Aku tidak tahu jika dia pria jahat.”“Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu begitu bodoh, mudah tergoda oleh bujuk rayu pria,” geram Alvaro menahan kemarahan tanpa memikirkan apa yang dia katakan.“Aku tidak …” Britne seketika terdiam tak melanjutkan perkataannya karena percuma saja dia menyangkal, Alvaro tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan.Sambil tertunduk lesu, tangannya meremas bagian depan kemeja yang dipakai. Untuk sekian kali Alvaro meruntuhkan kepercayaan dirinya, membentuk persepsi di alam bawah sadar jika dirinya memang benar-benar bodoh.Bibir Britne gemetar, dadanya terasa sesak, ingin sekali dia menjauh dari pria itu tetapi ada ya
“Kenapa papa belum tidur dan tampak gelisah?” tanya Britne melihat papanya mondar-mandir di ruang tamu padahal malam sudah larut.“Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Alvaro semenjak sarapan kita pagi itu. Jika terus begini, bagaimana dengan nasibmu?” jawab Axton.“Aku tidak terkejut dengan hal tersebut, aku tahu bagaimana sifat keluarganya. Di jaman modern ini, hanya keluarganya yang masih memegang teguh sebuah kehormatan. Aku yakin Alvaro tidak akan menikahiku setelah mengetahui jika aku memiliki putra tanpa seorang ayah.”“Papa akan coba menelponnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” balas Axton hendak mengambil ponsel.“Hentikan hal itu Pa! Kenapa papa masih saja mengharapkan Alvaro untuk mau menikahiku? Dia tidak mungkin menerimaku setelah mengetahui kenyataan jika Cedric adalah putraku,” larang Britne.“Jika tidak dengan Alvaro, dengan siapa lagi kamu akan menikah?”Kening Britne mengkerut tidak senang mendengar ucapan papanya. “Serendah itukah papa memandangku sehingga me
Dengan tangan gemetar, Britne menorehkan tanda tangan di atas kertas yang membuat statusnya berubah menjadi Nyonya Cooper.Tidak ada pesta megah atau acara khusus untuk merayakan pernikahan dirinya dan Alvaro, mereka hanya menandatangani surat pernikahan yang disaksikan oleh keluarga dekat, lalu dilanjutkan dengan acara makan keluarga di rumahnya.Hal tersebut sudah menjadi keputusannya karena dia tidak ingin menikah dengan pesta megah sedangkan pernikahan dirinya dan Alvaro lebih seperti pernikahan bisnis.Sebelum acara makan dimulai, Britne duduk kaku di samping Alvaro, dia tidak mengerti dengan sikap pria yang kini sudah menjadi suaminya itu.Bukankah dari awal Alvaro sendiri yang bersikeras untuk menikah dengannya? Tetapi sekarang, pria itu malah terlihat dingin dan cuek, seakan tidak menginginkan pernikahan tersebut.“Apakah kamu menyesal dengan pernikahan ini?” singgung Britne sambil melirik ke arah suaminya.“Tidak ada yang perlu aku sesali,” ucapnya seakan pernikahan mereka bu
Perjalanan menuju peternakan Cooper menjadi perjalanan yang terasa panjang dan lama bagi Britne dan Alvaro. Sepanjang perjalanan mereka sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Britne duduk menjauh dari Alvaro sambil mendekap Cedric yang terlelap, sedangkan Alvaro fokus dengan kemudi mobil, sesekali mencuri pandang ke arah istrinya dengan tatapan yang tak terbaca.Tatapan itu disalah artikan sebagai ancaman bagi Britne sehingga dia semakin menutup diri dan memasang dinding atas keberadaan Alvaro.Mereka sampai di peternakan ketika hari sudah malam, Britne menidurkan Cedric ke kamar yang sudah disediakan Alvaro lalu pergi ke kamar dimana barang-barangnya ditaruh di sana.Saat membuka pintu, dia terkejut mendapati Alvaro sudah berada di kamar tersebut. Bayangan masa lalu mereka saat berada di dalam satu kamar yang sama, membuat Britne merasa sesak dan wajahnya memucat.Perubahan raut wajah Britne membuat Alvaro khawatir. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil berjal